Abstraksi
Media discourse influences human being to formulate their view of world. The world-view in mass media is making to frame describing about what and how to understand the reality. Without clear and distinct view and frame, all the moments or realities seem to be chaotic. My main objective in this article is to give a selective account of previous work on media discourse. I discuss the following approaches in turn: possible relation between mass media, ideology and political economy analysis. The other discussion, I will attempt to reconsider all process in media discourse, especially most of my analysis is based on the critical theory perspectives.
PENDAHULUAN
Kajian ilmu komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi pada tingkat praksisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan manusia itu sendiri (Littlejohn, 2002).
Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi
Berita, dalam konteks komunikasi
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.
DISKUSI I: Relasi Ideologi, Media Massa dan Ekonomi Politik Media
Usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”
Dalam kajian media, perspektif ekonomi politik media merupakan bagian dari perspektif kritis selain cultural studies, teori kritis, feminisme, teori resepsi pesan, dan semiotika (Mohammadi & Mohammadi, 1990, hal. 15).
Pendekatan ekonomi politik merupakan sebuah kajian yang diidentifikasi sebagai kelompok pendekatan kritis (McQuail, 2000:82). Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika media, dan ideologi media itu sendiri.
Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media
Diskusi II: Perspektif Ekonomi Politik Dan Wacana Media
Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Dewasa ini ini setidaknya terdapat tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi : komodifikasi (commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration).
Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media
Spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996).
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi
Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.
Mekanisme pasar itu, diatur oleh apa yang disebut Adam Smith sebagai “tangan tersembunyi” (the invisible hand theory). Media
Varian ekonomi politik liberal merupakan aliran pemikiran yang memberikan penekanan pada peran media
Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.
Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).
Sifat holistik dalam perspektif ini (terutama dalam konteks analisa ekonomi politik kritis) merupakan satu dari beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.
Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media
Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.
Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.
Apabila mainstream ilmu ekonomi melihat persoalan ekonomi sebagai satu hal dominan yang terpisah dan khusus, maka perspektif ekonomi politik kritis melihat persoalan ekonomi itu berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya. Liberalisme menekankan pada kedaulatan dan kebebasan individual dalam kapitalisme, maka paradigma kritis memberikan penekanan pada relasi sosial (social relations) dan kekuasaan (power).
Diskusi III: Ekonomi-Politik Produksi Teks
Produksi makna dalam sebuah teks merupakan konsekuensi kekuasaan yang berdampak pada lingkup konsumsi budaya. Golding dan Murdock menyatakan bahwa ekonomi merupakan faktor penentu penting untuk praktek produksi teks media. Alasannya adalah bahwa ekonomi merupakan organisasi pembuat keuntungan dan institusi industri budaya yang sangat terbuka pada tekanan proses komodifikasi dan strukturasi, dan institusi yang punya pola kepemilikan yang khas. Luas dan besarnya kepemilikan media di tangan konglomerat atau pemegang kekuasaan secara tidak langsung telah membuat media menjadi lebih terintegrasi pada kepentingan pemilik serta memperdalam ikatan mereka dengan kepentingan kelas kapitalis.
Dalam perspektif ekonomi politik produksi tetap dibuka kemungkinan faktor instrumentalisme dan strukturalisme dalam analisa penelitian. Instrumentasime berpusat pada cara dan sarana kaum kapitalisme atau pemilik modal menggunakan kekuasaan ekonomi dengan sistem pasar komersial untuk menjamin arus informasi publik yang harmonis dengan kepentingan mereka. Akibatnya, kontradiksi di dalam sistem tersebut bisa dilupakan.
Posisi kaum instrumentalis menyatakan bahwa kepemilikan media secara privat merupakan instrumen dominasi kelas (Currant & Guravitch, ed,. 1991). Media berfungsi menggerakkan dukungan untuk kepentingan kelas yang berkuasa (Chomsky, 1988). Dengan demikian, terdapat
Dengan menggunakan kekuasaan ekonomi dan sistem sosial yang mau ditawarkan, kelas dominan akan menangani lingkup wacana dan representasi. Penanganan lingkup wacana dan representasi ini bisa terwujud dalam bentuk perbaikan premis wacana, keputusan mana yang boleh dilihat dan dianggap penting oleh masyarakat umum dan menangani opini publik melalui propaganda.
Sebetulnya dalam konteks ekonomi politik media
Diskusi IV: Ekonomi-Politik Konsumsi Teks
Wilayah ekonomi politik konsumsi teks adalah wilayah yang mau menggambarkan hubungan antara ketidakseimbangan antara materi dan budaya. Analisanya bersandar pada pandangan bahwa masyarakat berdaulat untuk mempunyai makna mereka sendiri dan interpretasi masalah yang begitu kompleks. Akan tetapi, kapasitas untuk mempunyai akses pada hasil dan fasilitas komunikasi sangat tergantung pada kemampuan tiap individu. Begitu juga dengan perubahan kondisi dan distribusi artifak budaya dari publik menjadi privat. Perubahan ini menandakan adanya perubahan substansial yang menyangkut kesempatan bagi kelompok yang berbeda dalam masyarakat untuk mempunyai akses terhadap artifak budaya tersebut (Currant & Guravitch,1991).
Teks media dikonsumsi dalam konteks wilayah privat. Teks juga dikonsumsi melalui berbagai respon dan interpretasi yang menghasilkan berbagai makna dari berbagai kategori dalam masyarakat. Dari aspek konsumsi teks, persoalan variabilitas praktek diskursif adalah tatanan wacana apa yang ditarik masyarakat dari teks media yang cocok ? Apakah mereka bicara tentang teks media dalam perwacanaan kehidupan privat atau dalam wilayah publik ? Faktor sosial apa yang relevan dengan pilihan tersebut ?
Diskusi IV: Wacana Media, Ideologi Dan Hegemoni
Dalam penjelasan sebelumnya, media selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.
Pendapat Golding dan Murdock (Currant dan Guravitch ed., 1991) menunjukkan bahwa studi wacana media meliputi tiga wilayah kajian, yaitu teks itu sendiri, produksi dan konsumsi teks. Kerangka teoritis semacam ini adalah kerangka teoritis yang senada dikembangkan oleh Norman Fairclough. Perbedaan analisis Golding dan Murdock jika dibandingkan dengan analisis wacana kritis Norman Fairclough terletak pada wilayah analisis teks, produksi dan konsumsi sebagai kajian tersendiri. Fairclough mempunyai kerangka teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya sebagai wilayah analisis kritisnya. Dari konteks perspektif analisis di atas maka teks ditafsirkan.
Wacana teks selalu melibatkan dengan apa yang disebut dengan alternasi atau peralihan timbal balik antara dua fokus kembar analisis wacana, yaitu kejadian komunikatif (teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya) dengan tatanan wacana (genre dan jenis pewacanaan).
Kejadian komunikatif meliputi aspek teks, praktek wacana dan praktek sosial budaya. Wilayah teks media merupakan representasi yang berkaitan dengan realitas produksi dan konsumsi. Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana. Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan dalam teks. Ini berarti bahwa teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang berlangsung secara simultan dalam teks.
Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Oleh sebab itu, wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.
Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (John Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media
Maka tidak mengherankan bahwa para awak media dalam konteks pemberitaan teks media selalu memperhatikan aspek konsensus sosial. Meskipun demikian, pemahaman awak media terhadap suatu proses produksi media sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan peta ideologi pada setiap awak media, dalam hal ini adalah wartawan.
Dalam konteks ini, menarik apabila menyimak pendapat Daniel Hallin mengenai peta ideologi dalam seluruh konstelasi pemahaman suatu teks. Dia berpendapat bahwa dunia jurnalis dibagi dalam tiga bidang ideologi, yaitu bidang penyimpangan, bidang kontroversi dan bidang konsensus. Bidang-bidang dalam pemetaan ideologis ini akan mempengaruhi bagaimana para awak media dan media
Ideologi
Istilah ideologi sendiri adalah istilah yang banyak dipakai atau digunakan khususnya dalam lingkungan ilmu sosial. Hanya memang ironinya adalah terminologi ideologi menjadi istilah yang mempunyai ketidakjelasan arti. Hanya memang dalam perdebatan ilmu sosial kontemporer, debat ideologi banyak mengambil wacana yang dikembangkan oleh Gramsci. Gramsci menyatakan adanya 2 wilayah analisis yang bisa difungsikan sebagai sarana evaluatif hubungan antagonistik antara kaum borjuis dengan klas pekerja. Hubungan antagonistik klasik ini pada akhirnya menjadi penentu pandangan analisa kultur dan ideologi yang diletakkan dalam perspektif teori Marxis kritis. Tradisi awal Marxisme melihat bahwa hubungan kultural dan ideologi antara klas dominan dengan kelas subordinat bukan menjadi hal yang pokok. Tradisi Marxis awal lebih melihat perjuangan untuk “hegemoni” moral, kultur, intelektual dan kepemimpinan politik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ideologi mempunyai dua pengertian yang berbeda[1]. Pengertian dalam tataran positif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas pandangan dunia (world-view, welttanschaung) yang menyatakan sistem nilai kelompok atau komunitas sosial tertentu untuk melegitimasikan kepentingannya. Sementara itu, pengertian dalam tataran negatif menyatakan bahwa ideologi dipersepsikan sebagai realitas kesadaran palsu. Dalam arti, bahwa ideologi merupakan sarana manipulatif dan deceptive pemahaman manusia mengenai ralitas sosial (Karl Mannheim, 1991).
Dalam perkembangan ilmu sosial, terminologi ideologi mengalami banyak pemaknaan. Tapi secara ringkas, ideologi dapat dilihat dalam tiga ranah acuan pokok. Pertama, ideologi sebagai realitas yang bermakna netral. Artinya, ideologi dimaknai sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai dan sikap dasar rohani suatu kelompok sosial dasn komunitas kebudayaan tertentu[2].
Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Pengertaian ideologi sebagai kesadaran palsu menyatakan bahwa ideologi merupakan sistem berpikir yang sudah terdistorsi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ideologi dalam pengertian ini adalah sarana kelas atau kelompok sosial tertentu untuk mensahkan atau melegimasikan asal-sumber dan praksis kekuasaaan secara tidak wajar[3]. Dalam pengertian ini, makna ideologi justru bernilai negatif. Artinya, ideologi merupakan perangkat claim yang tidak wajar atau sebuah teori yang tidak berorientasi pada nilai kebenaran[4], melainkan sudah mengambil sikap berpihak pada kepentingan tertentu.
Ketiga, ideologi sebagai sistem keyakinan yang tidak rasional. Artinya, bahwa ideologi merupakan hanya sekedar rangkaian sistem kepercayaan dan keyakinan subjektif (belief system). Konsekuensinya adalah ideologi tidak membuka kemungkinan pertanggungjawaban rasional dan objektif (Magnis, 1992:230-231).
Sementara itu, kita bisa melihat ideologi mempunyai tiga ragam perwujudannya. Pertama, ideologi dalam arti penuh. Ragam ideologi dalam arti penuh bermakna bawha ideologi merupakan ajaran, pandangan dunia, filsafat sejarah yang memerlukan tujuan-tujuan dan norma sosial politik - yang diklaim sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan lagi serta sekaligus sudah mapan dan harus dituruti secara penuh-paripurna. Ideologi arti penuh berarti ideologi yane mempunyai status moral absolut dan menuntut ketaatan mutlak. Ragam ideologi tertutup ini diambil dari konsiderasi elit yang harus dipacu, dipropagandakan dan dipublikasikan (Franz Magnis, 2000: 232-235).
Ragam selanjutnya adalah ragam ideologi yang terbuka. Ideologi terbuka lebih merupakan cita-cita etika politik yang terbuka pada pluralitas operasionalisasi tindakan konkretnya. Justru cita-cita atau nilai tersebu menjamin kebebasan masyarakat untuk melaksanakan cita-cita tersebut. Dalam ideologi terbuka, cita-cita dilaksanakan tanpa ada paksaan.
Terakhir, ideologi implisit. Ideologi implisit adalah keyakinan atau sistem nilai hakikat realitas dan cara bertindak masyarakat yang tidak dirumuskan secara eksplisit. Meskipun implisit, ideologi tersebut diyakini dan diresapi dalam seluruh
Tapi hal penting dalam pembahasan tulisan ini adalah konsep ideologi yang dikemukakan oleh Louis Althusser. Althusser melihat ideologi sebagai dialektika yang dicirikan dengan kekuasaan yang dominan (Eriyanto, 2001:98). Ideologi dalam perspektif ini dilihat secara lebih jauh. Ideologi dilihat sebagai praksis sosial. Argumentasi ideologi sebagai praksis di dasarkan pada asumsi bahwa negara mempunyai dua hakiki yang tidak terpisahkan, yaitu represif dan ideologis. Dua hakikat ini berkaitan erat dengan cara keberadaan negara sebagai alat perjuangan kelas[5].
Bahasan penting lainnya dalam tema ideologi Althusser adalah soal subjek. Ideologi membutuhkan subjek. Subjek membutuhkan ideologi. Ideologi merupakan hasil rumusan dari subjek-subjek tertentu. Keberlakuan nilai ideologi menuntut adanya subjek-subjek pelaku.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ideologi menciptakan subjek. Artinya, bahwa ideologi menempatkan individu bukan hanya dalam posisi dalam relasi sosial tapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut (Diane Mac Donell, 1987:37). Dalam hal ini, Stuart Hal juga mencoba memberikan makna ideologi sebagai sebuah kesatuan interpertatif. Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yang berbeda menuju perbedaan makna. Kedua, statuta ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologi sendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum individu ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar. Ketiga, ideologi bekrja melalui konstruk sosial untuk posisi subjek individual dan kolektif dari keseluruhan identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-nilai ideologis.
Diskusi V: Dominasi, Legitimasi Dan Hegemoni
Di atas dikatakan bahwa perspektif Althusser, ideologi merupakan dialektika yang dicirikan dengan kekuatan yang dominan dan legitim. Kata kunci dominasi dan legitimasi menjadi penting dalam pembahasan ini. Hal ini paralel dengan teori ideologi Althusser uyang menyatakan bagaimana kekuasaan dijalankan secara dominan dalam arti bahwa kekuasaan tertentu mampu mengontrol dan menguasai kelompok lain.
Pertimbangan pertama adalah pertimbangan nilai dominasi ideologis yang melahirkan, pada point tersebut, teori yang menyatakan realitas hegemoni. Dari sekian banyak teori hegemoni, teori hegemoni Antonio Gramsci mempunyai kedudukan yang penting. Gramsci membangun teori yang menyatakan bagaimana akseptasi kelompok yang didominasi oleh dan dengan keberadaan kelompok dominan. Proses akseptasi tersebut berlangsung dalam proses yang damai tanpa represi kekerasan. Atau dengan kata lain, hegemoni borjuis bukan melalui proses pemusnahan klas pekerja tapi melalui artikulasi budaya dan afiliasi ekonomi-politik masyarakat.
Ini berarti bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material tapi juga bersifat kultural[6]. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan dan pelestarian “ketaatan sukarela” dari kelompok yang didominasi oleh kelas elit penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral dan politik. Melalui hegemoni, penyebaran (distribusi) ide, nilai, belief system, - dipenetrasikan secara “seakan-akan wajar”. Dalam arti tertentu, ideologi yang hegemonik mengandaikan percampuran dengan praksis sosial.
Oleh sebab itu, ideologi yang hegemonik selalu beroperasi dalam konsensus sosial. Dalam konteks ini, ideologi yang hegemonik merupakan dinamisasi penciptaan cara berpikir terhadap wacana tertentu sebagai sesuatu yang benar dan yang lain salah (Eriyanto, 103-108).
Dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan kedua, yaitu legitimasi. Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu memegang mandat kekuasaan. Keabsahan di sini selalu diartikan sebagai sifat normatif. Mempertanyakan keabsahan wewenang kekuasaan berarti memperbandingkan wewenang dengan norma. Apabila sesuai dengan norma yang berlaku, maka wewenang itu sah, apabil tidak, wewenang itu tidak sah.
Dalam paham umum legitimasi, legitimasi selalu mempunyai dua objek yang jelas, yaitu legitimasi materi wewenang kekuasaan dan legitimasi subjek wewenang. Legitimasi materi wewenang adalah keabsahan kewenangan dari segi fungsi. Legitimasi subjek wewenang adalah dasar absah wewenang individu atau kelompok untuk membuat dan melaksanakan wewenang kekuasaan. Legitimasi subjek wewenang terbagi dalam tiga ragam legitimasi, yaitu legitimasi religius, legitimasi eliter dan legitimasi demokratis.
Pada prinsip dalam konteks ideologi, dominasi dan kekuasaan maka legitimasi mempunyai tiga kriteria pokok. Kriteria pertama adalah legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis adalah legitimasi mekanisme motivatif yang membuat masyarakat menerima wewenang penguasa atau elite dominatif. Kriteria kedua adalah kriteria legalitas. Kriteria legalitas adalah kriteria legitimasi kesesuaian kekuasaan dengan hukum yang disepakati dan berlaku. Kriteria ketiga adalah kriteria legitimasi etis. Kriteria ketiga ini mempersoalkan kewenangan dan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Kriteria ini muncul dalam dua konteks dasar, yaitu bahwa setiap tindakan negara harus dan dapat dipertanyakan dari norma-norma moral serta bahwa setiap tindakan kekuasaan negara selalu mempunyai dasar kekuasaan politik itu sendiri.
Ketika berbicara tentang konteks legitimasi, maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan delegitimasi. Legitimasi dan delegitimasi merupakan aksi sosial kompleks yang bisa dilakukan serta dipertegas melalui percakapan atau teks. Konteks legitimasi dan legitimasi merupakan aktivitas diskursif dan dapat menunjukkan bahwa melalui kegiatan persuasi, suatu wacana dapat menghasilkan efek perubahan format perilaku dan ideologi dominan suatu kelompok tertentu. Dalam konstelasi semacam ini, maka wacana dapat dilihat sebagai
Van Dijk pernah menyatakan bahwa delegitimasi dalam level wacana dilakukan ketika perangkat represif dan koersif tidak efektif meminggirkan wacana-wacana alternatif. Strategi delegitimasi dapat dilakukan dengan memakai beberapa cara.
Pertama, delegitimasi dilakukan dengan fokus konteks produksi, akses dan penggunaan wacana. Dalam perang wacana, kelompok dominan kerap kali mempraktekkan strategi ini dengan menggugat legitimasi kelompok sub-dominan serta menegasi peran-legalitas-latar belakang-pengetahuan dan visi anggota kelompok sub-dominan. Peran media dalam hal ini berfungsi untuk menghalangi akses kelompok delegitim ke media
Kedua, delegitimasi juga dipraktekkan dengan fokus unsur-unsur negatif sebuah wacana, penekanan pelanggaran terhadap nilai umum, atau deskripsi negatif terhadap pihak tertentu. Dalam situasi semacam ini, merupakan sebuah kewajaran bahwa bila dalam domain berita politi, kelompok-kelompok sub-dominan (di luar sistem) tidak pernah akan dibiarkan mendominasi sumber pemberitaan dan wacana berita yang terbentuk.
Ketiga, delegitimasi juga dapat ditempatkan pada isu kemungkinan-kemungkinan efek wacana. Dapat saja proses delegitimasi dilakukan dengan penayangan posisi berita di halaman depan, sisi halaman yang tidak menarik, menghambat proses produksi wacana, mempersulit distribusi media dan lain-lainnya.
Strategi legitimasi dan delegitimasi akan sangat efektif bila mampu berasosiasi dengan akal sehat, norma dan ideologi yang berlaku secara umum. Wajar apabila dalam kepentingan ini, kelompok dominan cenderung mengontrol institusi yang mempunyai akses terhadap ilmu pengetahuan dan opini publik. Institusi ilmu pengetahuan dan opini publik mempunyai otoritas yang kuat bahkan dapat disebut sebagai pusat “klaim kebenaran”. Klaim kebenaran bukan semata-mata karena mereka mempunyai akses utama terhadap media
Diskusi VI: Media
Setelah kita membahas beberapa kata kunci, terutama sosial ideologi, legitimasi dan hegemoni, ada baiknya kalau dalam bagian ini bahasan mulai mencoba mencari kaitan antara ideologi-hegemoni dengan media
Hubungan pertama yang perlu dijelaskan adalah kaitan antara media
Hubungan kedua adalah bahwa media
Hubungan ketiga adalah media
Hubungan keempat dalam perkembangan media modern, media justru juga mempunyai ideologi dan praksis hegemoni. Proses ekonomi politik yang terdapat daslam pola produksi, konsumsi dan distribusi media baru merupakan bagian yang integral. Nilai subjek dan lingkungan mampu dijadikan komoditas baru. Proses komodifikasi subjek - objek realitas telah menciptakan ideologi dan hegemoni baru di mana media
Diskusi Wasana: PANDANGAN KRITIS: Eksistensi dan Fungsi Media Massa - Wacana Media
Setidaknya ada beberapa titik kritis dalam hal ini yang bisa diungkapkan. Titik kritis pertama adalah soal pemahaman tentang fakta yang diangkat oleh media atau teks berita yang ada. Fakta yang diangkat oleh media lebih banyak dipahami sebagai fakta semu. Maka dapat dikatakan berita lebih merupakan ranah pergulatan wacana antara berbagai ideologi wartawan atau media. Set fakta yang dibuat dalam media
Titik kritis kedua adalah posisi media itu sendiri. Titik kritis ini mau mengatakan bahwa media adalah instrumen elit untuk menyebarkan ideologi dominan (David Barrat, 1994: 48-52). Media dan berita media
Titik krusial lainnya, menurut paradigma kritis dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, adalah posisi wartawan. Wartawan tetap saja menjadi partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Wartawan mempunyai latar belakang sosial ideologi, nilai politik yang akhirnya mempengaruhi bagaimana ia menghasilkan, memilih simbol dalam seluruh pemberitaannya. Wartawan dan profesionalisme wartawan tidak dapat melepaskan diri dari proses praksis kelas. Dengan demikian, proses dan kerja media tidak didasarkan oleh dasar profesionalisme “objektif” tapi lebih meletakkan pada landasan ideologi dan hegemoni yang terjadi. Profesionalisme merupakan bagian yang integral dari kontrol kelas. Kebebasan media lebih merupakan rangkaian kontrol dan konsep kelas yang telah dibuat oleh elit dominan.
Terakhir adalah titik krusial tentang hasil liputan. Persoalan liputan yang objektif selalu menjadi masalah. Paradigma kritis melihat bahwa bukan objektivitas berita yang seharusnya dicari. Persoalannya adalah apakah media atau berita yang diproduksi itu mengandung bias atau tidak. Persoalan lainnya adalah bahwa kenyataan wartawan merupakan bagian kecil dari seluruh struktur sosial yang lebih besar. Permasalahannya bukan terletak pada hasil liputan atau sang wartawan itu sendiri, melainkan bahwa struktur sosial di luar wartawan begitu kuat mempengaruhi seluruh isi berita media
DAFTAR REFERENSI
Curran, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society . Edward Arnold:
[1] Klasifikasi positif dan negatif di sini tidak dimaknai sebagai dua klasifikasi baik dan buruk dalam pengertian moral atau etika. Klasifikasi di sini untuk membagi secara sederhana pengertian ideologi dalam pengertian persepsi orang yang mencoba memaknainya.
2 comments:
Pak Eka, saya ingin tulisan bapak menjadi referensi kajian saya, terutama tulisan bapak :
Diskusi II: Perspektif Ekonomi Politik Dan Wacana Media.
tapi saya bingung mana yang harus saya jadikan sumber rujukan, apakah dari situs bapak atau dari situs http://ellenyasak.multiply.com/journal/item/3. Terima kasih
Sangat recomended
Post a Comment