Wednesday, June 13, 2007

Jaman Edan!!!!!

Statistik pornografi

Percaya nggak percaya, diakses dari majalah online Good Magazine

· 12% situs di dunia ini mengandung pornografi.

· 25% yang dicari melalui search engine adalah pornografi.

· 35% dari data yang diunduh dari internet adalah pornografi.

· Setiap detiknya 28.258 pengguna internet melihat pornogafi.

· Setiap detiknya $89.00 dihabiskan untuk pornografi di internet.

· Setiap harinya 266 situs porno baru muncul.

· Kata “sex” adalah kata yang paling banyak dicari di internet.

· Pendapatan US dari pornografi di internet tahun 2006 mencapai $2.84 milyar.

· Pengguna pornografi di internet 72% pria dan 28% wanita.

· 70% traffic pornografi internet terjadi pada hari kerja jam 9.00 – 17.00.

· Diperkirakan kini ada 372 juta halaman website pornografi.

· Website pornografi diproduksi 3% oleh Inggris, 4% oleh Jerman, dan 89% oleh US.

· Website pornografi yang traffic-nya paling tinggi: AdultFriendFinder, menduduki peringkat ke-49 dengan 7.2 juta pengunjung.

· Negara-negara yang melarang pornografi: Saudi Arabia, Iran, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Malaysia, Indonesia, Singapura, Kenya, India, Kuba, dan Cina.

Relax dulu Ah!!!!!!!!!!!

Remaja, Gaya dan Selera

Oleh
ANTARIKSA

Dalam ilmu-ilmu sosial, studi atas remaja pertama kali dilakukan oleh sosiolog Talcott Parsons pada awal 1940-an. Berbeda dengan anggapan umum bahwa remaja adalah kategori yang bersifat alamiah dan dibatasi secara biologis oleh usia, menurut Parsons remaja adalah sebuah sebuah konstruksi sosial yang terus-menerus berubah sesuai dengan waktu dan tempat (Barker 2000).

Para pemikir kajian budaya juga berpendapat konsep remaja bukanlah sebuah kategori biologis yang bermakna universal dan tetap. Remaja, sebagai usia dan sebagai masa transisi, tidak mempunyai karakteristik-karakteristik umum. Karena itu pertanyaan-pertanyaan yang akan selalu muncul adalah: secara biologis, kapan masa remaja dimulai dan berakhir? Apakah semua orang yang berumur 17 tahun sama secara biologis dan secara kultural? Kenapa remaja di Jakarta, Singapura, dan London tampak berbeda? dsb.

Remaja adalah sebuah konsep yang bersifat ambigu. Kadang bersifat legal dan kadang tidak. Di Indonesia misalnya, ukuran kapan seseorang boleh mulai melakukan hubungan seks, ukuran kapan seseorang boleh menikah, dan ukuran kapan seseorang boleh berpartisipasi dalam Pemilihan Umum sangatlah berbeda. Dalam studinya tentang batas-batas kedewasaan di Inggris, A. James (1986) mengatakan bahwa batas usia fisik telah diperluas sebagai batas definisi dan batas kontrol sosial. Sementara bagi Grossberg (1992) yang menjadi persoalan adalah bagaimana kategori remaja yang ambigu itu diartikulasikan dalam wacana-wacana lain, misalnya musik, gaya, kekuasaan, harapan, masa depan dsb. Jika orang-orang dewasa melihat masa remaja sebagai masa transisi, menurut Grossberg remaja justru menganggap posisi ini sebagai sebuah keistimewaan dimana mereka mengalami sebuah perasaan yang berbeda, termasuk di dalamnya hak untuk menolak melakukan rutinitas keseharian yang dianggap membosankan.

Hampir sama dengan pendapat itu, Dick Hebdige dalam Hiding in the Light (1988) menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikan dalam wacana "masalah" dan "kesenangan" (remaja sebagai pembuat masalah dan remaja yang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya, dalam kelompok pendukung sepakbola dan geng-geng, remaja selalu diasosiasikan dengan kejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remaja juga direpresentasikan sebagai masa penuh kesenangan, dimana orang bisa bergaya dan menikmati banyak aktivitas waktu luang.

Remaja sebagai Subkultur

Secara khusus, dalam studinya tentang remaja, kajian budaya membuat sebuah konsep analisis tentang subkultur. Kata kultur dalam subkultur menunjuk pada "keseluruhan cara hidup" atau "sebuah peta makna" yang memungkinkan dunia bisa dimengerti oleh anggota-anggotanya. Kata sub mengkonotasikan kekhususan dan perbedaan dari kebudayaan yang dominan atau mainstream. Thornton mengatakan bahwa subkultur bisa juga dilihat sebagai sebuah ruang dimana "kebudayaan yang menyimpang" menegosiasikan kembali posisinya atau justru merebut dan memenangkan ruang itu (Barker 2000).

Buku yang sering disebut sebagai pondasi bagi studi remaja sebagai subkultur yang dikaitkan dengan musik, gaya, dan fesyen adalah kumpulan karya anggota Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham, Resistance Through Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain (Ed. Stuart Hall dan Tony Jefferson 1976). Tema besar karya ini adalah subkultur remaja yang dilihat sebagai stilisasi bentuk perlawanan terhadap kebudayaan hegemonis.

Dalam "Subculture, Cultures and Class" (Clarke et al.), ditunjukkan bahwa remaja terbentuk dalam suatu artikulasi ganda, yaitu dalam perlawanannya dengan kebudayaan orang tua dan sekaligus dalam perlawanannya dengan kebudayaan dominan. Ritual-ritual seperti fesyen, musik, atau bahasa, dilihat sebagai usaha untuk memenangkan ruang kultural dalam melawan kebudayaan dominan dan kebudayaan orang tua.

Sementara dalam "Style" (Clarke) salah satu konsep penting yang muncul adalah brikolase (diadopsi dari antropolog Levi-Strauss). Konsep brikolase dipakai untuk menjelaskan rekontekstualisasi objek-objek untuk mengkomunikasikan makna-makna baru. Dalam brikolase sebuah objek yang telah mempunyai endapan makna simbolik tertentu dimaknai kembali dalam hubungannya dengan artefak lain dan dalam konteks yang baru. Clarke menunjukkan bahwa gaya Teddy Boy yang dandy , necis, dan flamboyan dan populer pada tahun '70-an adalah brikolase dari gaya berpakaian kelas atas pada akhir '40-an. Hal yang sama juga berlaku bagi para pecinta musik Ska yang bersepatu boot dan berambut cepak, yang merupakan brikolase dari semangat kerja keras dan maskulinitas kelas pekerja.

Setelah Resistance Through Rituals , yang patut dicatat adalah karya Paul Willis (juga dari CCCS) Learning to Labour (1978). Willis mempraktekkan analisis homologi untuk menyelidiki subkultur motorbike boys . Konsep homologi berkaitan dengan pemahaman kebudayaan sebagai seperangkat relasi objek-objek, artefak-artefak, dan institusi-institusi beserta praktek-praktek di sekitarnya. Dengan begitu sebuah analisis homologi berusaha menangkap dan merekam struktur sosial dan simbol-simbol kulturalnya.

Menurut Willis subkultur hidup dalam hubungannya yang bersifat kritis dengan budaya kapitalisme. Ia mencontohkan subkultur hippies yang lebih suka menghabiskan waktu luang sebanyak-banyaknya, dapat dilihat sebagai sebuah subversi atas konsepsi waktu kapitalisme industrial yang linear, kaku, dan disiplin. Demikian juga motorbike boys bisa dilihat sebagai respon manusia atas teror teknologi yang dahsyat dari kapitalisme. Ia mengekspresikan keterasingan dan kerinduan akan hubungan kemanusiaan. Konsekuensinya, menurut Willis, ekspresi, kreasi, dan perilaku simbolik subkultur dapat dibaca sebagai sebuah bentuk perlawanan.

Berbeda dengan Resistance Through Rituals dan tulisan Willis, dimana gaya direduksi dalam struktur kelas (gaya adalah ekspresi dan derivasi kelas), dalam Subculture: The Meaning of Style (1979) Dick Hebdige melihat gaya sebagai sesuatu yang otonom. Ia kembali menyelidiki konsep brikolase dan perlawanan, tapi kali ini ia memadukan pendekatan Gramsci dengan semiologi Roland Barthes.

Hebdige menyelidiki gaya dalam tingkat keotonomiannya sebagai penanda. Gaya adalah sebuah praktek penandaan ( signifying practice ), gaya adalah sebuah arena penciptaan makna. Di dalam kode-kode pembeda, gaya merupakan pembentuk identitas kelompok. Dalam subkultur remaja, barang-barang komoditas--melalui konsumsi brikolase--dijadikan alat perlawanan terhadap nilai-nilai dominan. Gaya adalah sebuah perang gerilya semiotik.

Kritik atas Teori-teori Subkultur

Menjawab karya-karya CCCS, Cohen (1980) berargumen bahwa ketika gaya direduksi ke dalam perlawanan, maka ada aspek lain dari gaya dilupakan, yaitu kesenangan. Laing (1985) berpendapat bahwa punk adalah sebuah genre musik, tetapi oleh Hebdige (1979) direduksi ke dalam praktek-praktek penandaan, dengan asumsi dan tujuan-tujuan yang terlalu politis. Pemikir lain, seperti Steve Readhead (1990), menyatakan bahwa punk adalah subkultur remaja otentik yang terakhir dan subkultur remaja sesudahnya telah mati dan ditelan oleh budaya konsumen kontemporer.

Kritik keras juga datang dari anggota CCCS sendiri, Angela McRobbie. Perhatiannya adalah pada tidak adanya perempuan dalam karya-karya tentang gaya dan remaja. Dalam "Girls and Subculture", yang dimuat dalam Resistance Through Rituals , ia (dan Jenny Garber) mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang ketiadaan perempuan ini, apakah subkultur perempuan itu benar-benar ada, tetapi tidak tampak? Jika ia ada dan tampak, apakah nilai-nilainya sama, tetapi lebih marjinal dari laki-laki, ataukah sama sekali berbeda? Dengan cara apa perempuan mengorganisasi kehidupan kulturalnya? McRobbie dan Gerber mengatakan bahwa perempuan telah diabaikan oleh peneliti laki-laki, perempuan telah dipinggirkan dan disubordinasikan dalam subkultur laki-laki, dan bahwa perempuan bernegosiasi dalam ruang personal dan ruang bersenang-senang yang sangat berbeda dengan laki-laki. Karena itu, model perlawanan perempuan dalam gaya juga berbeda dengan laki-laki.McRobbie dan Garber berargumen bahwa jika perempuan berada di posisi pinggiran dalam subkultur tertentu, ini karena mereka berada di posisi pinggiran dalam dunia kerja laki-laki dan dikecilkan peranannya dari jalanan.

Pierre Bourdieu, 'Habitus', 'Logic of Practice'

Cara pandang alternatif tentang gaya dan fesyen juga datang dari sosiolog/antropolog Perancis Pierre Bourdieu. Dalam Outline of a Theory of Practice (1977) Bourdieu memperkenalkan istilah habitus untuk mendifinisikan sebuah sistem disposisi, yang mengatur kapasitas individu untuk bertindak. Habitus tampak jelas dalam pilihan individu tentang kepantasan dan keabsahan seleranya dalam berdandan, berpakaian, seni, makanan, hiburan, hobi dll. Menurut Bourdieu ini semua dibentuk melalui sekolah, dengan internalisasi seperangkat kondisi material tertentu.

Dengan cara pandang Bourdieu, habitus individu dibentuk oleh/dikaitkan pada keluarga, kelompok, danyang paling penting posisi kelas individu dalam masyarakat.

Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika praktek ( logic of practice ) yang diatur berdasar sistem klasifikasi bawah sadar (maskulin/feminin, baik/buruk, trendi/kuno dll). Penerapan prinsip-prinsip ini dalam bentuk konsumsi budaya dikenal sebagai selera . Bourdieu mengatakan bahwa selera, yang kelihatannya sekedar praktek individu, sebetulnya diatur oleh logika praktek dan selalu merupakan bagian dari praktek kelas.

Dalam Ruang Pribadi Penonton: Romantisme dan Ekonomi Politik Sinetron Indonesia

Oleh
NURAINI JULIASTUTI

Televisi memang telah jadi perhatian studi-studi kebudayaan sejak lama, dan menurut saya memang tidak ada media lain yang menyamai televisi dalam hal besarnya volume teks-teks budaya populer yang dihasilkan. Rasanya, televisi selalu mampu melahirkan bagian-bagian baru yang menarik untuk diamati dan dianalisa, mulai dari siaran berita, iklan televisi, sinetron, film televisi, talk show , kuis-kuis, acara musik, dan sebagainya. Dengan demikian televisi juga merupakan ruang eksperimen yang menarik bagi para ilmuwan sosial untuk mencobakan berbagai macam metode dan teori sebagai pisau dan alat-alat untuk menganalisa persoalan kebudayaan. Karenanya, banyak hal yang harus dipahami dari televisi. Mulai dari teks, hubungan antara teks dan penonton, aspek ekonomi-politik yang melingkupinya, hubungan televisi dengan aspek-aspek lain diluarnya, sampai pola makna budaya yang ada dalam televisi. Tulisan ini akan melakukan analisa terhadap sinetron sebagai bagian dari dunia televisi.

Memang benar bahwa tulisan-tulisan yang beredar selama ini tentang sinetron seperti selalu memberi kita bayangan gelap akan kehidupan sinetron--buruknya mutu penulis naskah sinetron, rendahnya etos kerja para pekerja sinetron mulai dari pemain, sutradara sampai pekerja-pekerja teknis yang ada disitu, ketiadaan festival atau wadah untuk mengukur mutu sinetron-sinetron yang beredar, ketiadaan kritikus sinetron yang baik, sampai penghargaan yang rendah pada diri penonton, dan sebagainya, dan karenanya percakapan tentang sinetron menjadi membosankan dan tidak menyenangkan karena kita seolah-olah sudah mengetahui semua hal-hal buruk tentangnya. Tetapi bukankah memang sebuah tulisan tidak berniat untuk memberikan sebuah penilaian final tentang sesuatu hal?

Yang saya lakukan dalam tulisan kali ini adalah memberikan penajaman pada aspek resepsi penonton dan aspek ekonomi-politik dari sinetron indonesia. Penonton menempati posisi penting dalam pembacaan suatu fenomena kebudayaan. Sayangnya mereka sering luput dari perhatian publik, termasuk oleh para peneliti kebudayaan. Proses pembacaan penonton sebuah pameran, sebuah film, sebuah sinetron, apa yang mempengaruhi interpretasi mereka dan bentuk komunikasi seperti apa yang sebetulnya sedang terjadi antara seniman dan penonton, antara sutradara/penulis naskah dan penonton, seharusnya bisa menjadi tema yang menarik untuk diteliti. Selain dimensi resepsi penonton, dimensi lain yang juga terlupakan adalah dimensi ekonomi-politik. Hal ini dilakukan mengingat dalam sebuah sirkuit kebudayaan yang berjalan, tidak hanya terdapat aspek produksi dan konsumsi, tetapi terdapat aspek-aspek lain seperti aspek distribusi, regulasi, representasi dan pembentukan identitas, yang semuanya saling berhubungan erat.

Dunia Romantis dan Ekonomi Politik Sinetron

Saat ini terdapat sekitar 55 buah sinetron yang sedang diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Jika dideskripsikan lebih jauh, berbagai macam sinetron yang beredar di televisi tersebut mewakili beberapa karakter utama yaitu: karakter cerita yang terbuka dan karakter cerita yang terpusat pada tema hubungan interpersonal pemainnya. Dalam karakter yang pertama, rangkaian episode-episode sinetron berjalan mengalir begitu saja. Setiap episode menampilkan jalinan cerita yang berbeda. Tidak ada persoalan-persoalan tertentu yang dicoba untuk dipecahkan dari awal episode sampai seri episode sinetron ini berakhir. Sedangkan dalam karakter yang kedua, cerita sinetron terpusat pada hubungan pribadi manusia: pertikaian keluarga, jatuh cinta, pernikahan, perpecahan, perselingkuhan, balas dendam, dan sebagainya. Poin yang menarik adalah dari bermacam-macam sinetron yang diputar tersebut, 80% diantaranya berujung pangkal pada persoalan cinta dan segenap romantismenya. Setiap kita melihat sinetron, ada hawa romantisme kuat yang berhembus disitu.

Bahkan sinetron-sinetron yang berbasis cerita misteri dan aksi laga yang sedang banyak digemari penonton seperti Misteri Gunung Merapi (Indosiar, Minggu, 19.30 WIB), Dendam Nyi Pelet (Indosiar, Senin, 18.00 WIB), Misteri Nini Pelet (SCTV, Senin, 19.30 WIB), juga Angling Darma (Indosiar, Rabu, 19.30 WIB) dan Prahara Prabu Siliwangi (SCTV, Selasa, 19.30 WIB) sebenarnya juga berpangkal pada persoalan cinta kasih yang romantis. Dendam Nyi Pelet misalnya bercerita tentang seorang gadis yang dendam pada semua laki-laki karena pemuda pujaannya ternyata mempunyai kekasih lain. Maka ia berguru, menguasai ilmu hitam, dan berubah menjadi Nyi Pelet yang selalu siap menyebar maut bagi para pemuda yang ditemuinya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya demokratisasi wacana dalam sinetron Indonesia itu tidak ada. Yang ada justru keseragaman wacana karena semua isu ditarik dalam persoalan cinta..

Lantas apakah sinetron merupakan sebuah karya seni atau kerajinan tangan? Jawaban untuk pertanyaan yang sederhana tersebut ternyata tidak sederhana. Karena yang terjadi dalam dunia posmodern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Mike Featherstone (1991, 1995), adalah kekaburan batas-batas antara seni, kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan estetis.

Analisis ekonomi-politik termasuk sisi produksi dan distribusi di dalamnya selama ini diabaikan. Analisis budaya lebih memusatkan perhatiannya pada analisis tekstual. Menurut Kellner (1997), analisis ekonomi-politik perlu lebih ditekankan mengingat kenyataan bahwa kebudayaan selalu berada dalam satu bidang bersama-sama dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial, media massa dan dimensi-dimensi lain dari realitas sosial. Kenyataan lain yang harus dihadapi adalah bahwa kebudayaan selalu diproduksi dalam hubungan dominasi dan subordinasi. Analisis yang meletakkan kebudayaan dalam sistem produksi dan distribusi dapat membantu menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang membatasi produksi suatu artefak kebudayaan, wacana-wacana apa saja yang sedang dominan berlangsung dalam masyarakat saat itu, juga pengaruh aspek politik pada saat artefak kebudayaan tersebut didistribusikan. Sebenarnya, analisis ekonomi-politik juga harus mempertimbangkan persfektif-persfektif lain dalam menganalisis sesuatu. Perspektif-perspektif lain tersebut bisa berupa persfektif gender, ras, etnisitas, kelas, atau nasionalisme. Semakin kaya perpektif yang dipakai untuk menganalisa, maka hasil analisa akan semakin bagus. Mengingat sinetron merupakan sebuah fenomena yang kompleks maka keberagaman persfektif mutlak diperlukan.

Rumah produksi ( production house ), sutradara, pemain, naskah, pembuat naskah, industri musik, iklan, stasiun televisi, dan penonton adalah aspek-aspek yang terdapat dalam sinetron dan terentang dari proses produksi sampai konsumsi. Mungkin masih teringat saat TVRI merayakan ulang tahunnya pada tanggal 20-26 Agustus 1999 yang lalu. Waktu itu TVRI menayangkan acara Sepekan Sinetron HUT TVRI. Sinetron-sinetron yang diputar dalam acara tersebut antara lain: Orang Kaya Baru dari Teater KOMA, Wagiyem , Karsih dan Karsiman , serta Merobek Angan-Angan . Munculnya Teater KOMA di TVRI sangat menarik mengingat di masa lalu Teater KOMA sempat dilarang tampil di TVRI karena naskah-naskah yang dimainkannya dinilai berbahaya bagi keamanan dan stabilitas negara. Tema-tema naskah-naskah sinetron lain yang tampil juga berkisar pada persoalan politik seperti perjuangan seorang aktivis LSM, persoalan korupsi, tahanan Pulau Buru serta demonstrasi mahasiswa. Sinetron-sinetron ini tidak akan mungkin ditayangkan dengan bebas sebelum peristiwa Mei 1998 terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga menunjukkan perubahan sikap politik TVRI karena dulu TVRI sangat dikenal sebagai corong utama orde baru.

Pemilihan sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi juga penting untuk dicermati mengingat stasiun televisi mempunyai kriteria dan standar-standar tertentu yang ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut meliputi ide cerita, siapa yang membuat naskah, siapa sutradaranya, siapa saja artis-artis yang dilibatkan. Semua itu adalah nilai-nilai utama dari sinetron yang menentukan apakah sebuah sinetron layak jual atau tidak. Selain persoalan-persoalan diatas, hal lain yang harus diperhitungkan adalah kecocokan antara cerita, jumlah slot tayang yang direncanakan, dengan harga yang ditetapkan.

Saat produksi sinetron berjalan, aspek-aspek yang mempengaruhinya juga semakin banyak. Misalnya, jika rating sebuah sinetron naik, dan jumlah iklan yang masuk juga semakin tinggi, sementara rangkaian episodenya sudah hampir habis, maka sutradara dan penulis naskah dipaksa untuk melipatgandakan jumlah episode dan melakukan pengembangan cerita yang kadangkala menyimpang dari ide cerita awal. Bahkan seringkali terjadi pengembangan cerita tersebut dilakukan tanpa perencanaan khusus, dan dilakukan langsung di tempat pengambilan gambar berlangsung. Hal seperti ini biasanya terjadi pada sinetron-sinetron yang jumlahnya sudah mencapai ratusan episode. Sinetron yang banyak digemari seperti Si Doel Anak Sekolahan bahkan dapat semakin terdongkrak popularitasnya karena karakter sejumlah tokohnya laris dipinjam untuk memerankan iklan-iklan produk dan iklan layanan masyarakat.

Persoalan lain yang menarik dicermati dalam dunia sinetron adalah hubungan antara sinetron dengan industri musik. Lagu-lagu Indonesia populer dan laris dibeli kasetnya oleh para penggemar kini tidak hanya bisa dinikmati di radio-radio atau dalam acara-acara musik di televisi, melainkan bisa kita dengarkan juga dalam tayangan sinetron sebagai lagu tema sinetron. Kita mengenal ciri-ciri sinetron Cerita Cinta (Indosiar, Senin, 20.30 WIB) dari lagu-lagu yang dilantunkan oleh grup musik Dewa. Kita juga mengenal ciri-ciri sinetron Lupus Millenia (Indosiar, Kamis, 19.30) dan sinetron Cinta Pertama (Indosiar, Kamis, 20.00 WIB) lewat lagu-lagu dari kelompok Sheila On 7. Tidak hanya itu. Hampir semua sinetron yang diputar di televisi sekarang pasti menampilkan satu atau dua lagu Indonesia yang sedang populer. Fenomena ini mirip seperti yang terjadi dalam dunia film. Dulu ketika lagu-lagu Whitney Houston menjadi soundtrack film The Bodyguard , orang jadi bertanya-tanya apakah ketenaran lagu itu yg mendongkrak popularitas film tersebut, atau sebaliknya, film yang dibintangi aktor terkenal Kevin Costner itulah yang menyebabkan banyak orang mencari-cari dan membeli kaset lagu Whitney Houston. Tentunya hubungan yang signifikan antara rating sinetron dengan popularitas sebuah lagu ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Kode Dominan, Negosiasi, dan Oposisi

Penonton tidak pernah menjadi pihak yang pasif dalam membaca sebuah fenomena kebudayaan. Hal ini disebabkan karena makna yang dikeluarkan oleh sinetron tidak pernah langsung diterima begitu saja oleh penonton. Sebaliknya, penonton melakukan kontekstualisasi makna-makna tersebut dengan kondisi nyata yang dialaminya, penonton juga melakukan modifikasi sendiri sehingga makna tersebut sesuai dengan keinginannya. Maka, penonton adalah pihak yang aktif, dan proses konsumsi fenomena kebudayaan pun menjadi sesuatu yang kreatif.

Televisi merupakan sesuatu yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka itu analisis televisi--termasuk juga sinetron--tidak hanya harus dilekatkan dengan persoalan makna dan interpretasi melainkan harus juga dihubungkan dengan ritme rutinitas kehidupan sehari-hari. Menonton televisi biasanya dilakukan di ruang keluarga, atau di tempat tidur. Dari ruang-ruang pribadi ini, menarik untuk mengamati bagaimana penonton melakukan ritual-ritual tertentu sebelum mulai menonton sinetron kesayangannya, misalnya mereka akan menyiapkan makanan kecil sebagai teman menonton, dan memanggil teman-teman atau saudara, mengingatkan bahwa sinetron kesayangan mereka sebentar lagi akan diputar.

Saya pernah mengamati 4 orang penghuni kos puteri yang menonton sinetron Cerita Cinta bersama-sama. Mereka menonton di dalam kamar salah satu anak kos yang kebetulan mempunyai pesawat televisi. Sepanjang menonton, mereka asyik berkomentar tentang Mini, Dewa, Nadia, Miko, dan Miranda. Mereka ikut gembira dan bersyukur karena Igo dan Miranda jadi menikah. Salah satu dari mereka jengkel dengan Mini yang sakit leukimia dan berubah menjadi orang yang cengeng. Mereka juga ribut berkomentar ketika Miranda dan Dewa yang pernah berpacaran bertemu secara kebetulan di sebuah restoran. Dari ilustrasi ini tampak bahwa berdiskusi tentang sinetron lebih penting dari menonton sinetron itu sendiri. Selain berdiskusi, hal-hal yang juga dilakukan adalah memperkirakan seperti apa kira-kira jalan kisah selanjutnya dan kadang-kadang juga berharap semoga jalan ceritanya berjalan persis seperti yang mereka inginkan.

Dalam menerima pesan-pesan, penonton sering menempatkan diri dalam posisi yang berbeda-beda sesuai dengan kode-kode pembacaan yang mereka jalankan. Stuart Hall (1981) mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan oleh sinetron. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya. Pada pembacaan yang mengikuti kode dominan, penonton akan senang ketika akhirnya Andri, tokoh lesbian dalam Cerita Cinta yang diperankan oleh Dhea Ananda, akhirnya berpacaran dengan Rangga dan tidak jadi berpacaran dengan Nadia. Kode dominasi disini berarti bahwa penonton sepakat dengan nilai-nilai yang ditampilkan dalam sinetron ini bahwa homoseksualitas bukan hal yang bagus. Bahwa perempuan seharusnya memang berpasangan dengan laki-laki, bukan dengan sesama perempuan, dan maka itu Andri memang lebih baik jika berpacaran dengan Rangga.

Akhirnya, penggunaan multiperspektif yang kaya dalam analisis kebudayaan seperti yang dilakukan pada sinetron ini tidak hanya dapat meningkatkan mutu analisis itu sendiri, tapi mungkin juga bisa digunakan sebagai jalan untuk menuju masyarakat yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik.

Dominasi Budaya Politik Istana dalam Ruang Redaksi

Oleh

Dedy N. Hidayat, Ph.D

Bila Anda datang ke suatu negeri di mana koran dan televisi hanya dijejali berita-berita baik, maka janganlah ragu bertaruh: pasti banyak orang baik-baik di negeri itu yang dijejalkan ke penjara. Kurang lebih begitulah senator Daniel Moynihan melukiskan pengaruh suatu budaya politik yang represif dengan praktik dan rutinitas profesional para pekerja sektor industri budaya beserta realitas simbolis yang mereka olah menjadi komoditas.

BUKU karya Angela Romano, dosen jurnalisme di Queensland University of Technology, Politics and The Press in Indonesia: Understanding an Evolving Political Culture, RoutledgeCurzon: 2003, pada intinya juga mendiskusikan bagaimana dinamika falsafah dan budaya politik yang dominan di Indonesia (macro-culture), telah menyentuh dan mempengaruhi journalistic culture (yang ia tempatkan sebagai micro-culture), baik yang menyangkut rutinitas praktik jurnalistik ataupun persepsi diri jurnalis-sebagai interpretive communities-tentang profesi mereka.

Dalam bidang kajian media, tesis seputar relasi dominasi-subordinasi antara budaya politik dan media semacam itu memang jauh dari sebuah terobosan. Namun, elaborasi terhadap varian-varian seputar tesis tersebut, dalam suatu konteks budaya spesifik melalui studi ideografis yang tak memuat klaim keberlakuan universal sekalipun, masih tetap memiliki signifikansi akademis, dan juga menjanjikan suatu signifikansi sosial, khususnya sebagai pelajaran bagi upaya penyadaran, pemberdayaan, dan transformasi sosial. Mungkin itu pula signifikansi buku Romano ini, yang didasarkan atas studi dalam konteks spesifik yang ada di Indonesia, khususnya dalam periode Orde Baru yang belum lama berlalu.

Struktur dan agensi

Hampir bisa dipastikan, akan banyak pembaca yang segera menempatkan buku ini dalam konteks kajian kritis relasi kekuasaan antara media dan struktur di mana media berada. Kajian-kajian kritis semacam itu sekurangnya bisa dikategorikan dalam tiga varian. Yang pertama, adalah varian yang cenderung menempatkan agencies (tindakan yang secara nyata dilakukan oleh aktor sosial atau agents) pada posisi lebih dominan dalam suatu struktur atau kultur. Salah satu analisis dalam varian ini dikenal sebagai instrumentalism, yang menempatkan media sebagai instrumen dominasi yang bisa dipergunakan sepenuhnya oleh penguasa politik dan pemilik modal seperti analisis klasik yang dilakukan oleh Herman dan Chomsky dalam Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, New York: Pantheon Books, 1988.

Sejajar namun berlawanan arah dengan instrumentalism, terdapat pula analisis yang menempatkan para jurnalis sebagai human agents, yang independen dan memiliki otonomi atas kreativitas serta idealisme mereka. Premis kedua varian tersebut seolah mengabaikan fakta bahwa walaupun penguasa dan pemilik modal bisa menjadikan media sebagai instrumen dominasi, ataupun jurnalis bisa menjadikannya sebagai instrumen ekspresi idealisme, bagaimanapun juga media merupakan institusi bisnis yang berorientasi pada akumulasi modal dan beroperasi dalam struktur yang memiliki kaidah dan logika sendiri.

Varian kedua, structuralism, cenderung melihat struktur sebagai totalitas yang solid dan permanen. Para fundamentalis structuralism bahkan menilai produk dari proses pemberitaan, contohnya, secara langsung ditentukan oleh struktur ekonomi industri media. Apa pun juga di antara keduanya, seperti idealisme jurnalis dan ideologi politik pemilik modal adalah elemen yang tidak perlu diamati. Seperti dikemukakan Schudson dalam "The Sociology of news production". Media, Culture, and Society, Volume 11, No 3; July, 1989: " ...everything in between is a black box that need not be examined ".

Varian ketiga, yang bisa disebut sebagai constructionism, pada intinya melihat adanya interplay atau interaksi timbal balik antara structure dan agencies. Struktur, memang membatasi ruang gerak para aktor sosial. Namun, bagaimanapun struktur adalah konstruksi atau formasi dinamis, yang secara konstan direproduksi dan diubah melalui tindakan para aktor sosial. Hal itu dimungkinkan oleh posisi struktural para aktor sendiri seperti dikemukakan dalam sebuah kajian media oleh Golding dan Murdock, "Culture, Communication, and Political Economy", dalam Curran, James, dan Michael Gurevitch (Eds), Mass Media and Society, New York: Edward Arnold, 1991. Dalam varian pemikiran constructionism, penentuan mana yang lebih dominan, struktur dan kultur ataukah agencies, ditentukan oleh konteks historis spesifik yang ada seperti dikemukakan George Ritzer dalam Modern Sociological Theory, Fourth edition. New York: McGraw-Hill, 1996.

Dominasi terhadap media, pekerja media, dan konsumen media, dalam analisis ekonomi-politik media pun lebih dikaitkan dengan capitalist mode of production. Karenanya, analisis kelas (class analysis) memegang peran kunci dalam mengamati suatu struktur dominasi. Para fundamentalis strukturalisme, bahkan bersikukuh bahwa konteks makro sosial yang menentukan ruang gerak persepsi dan "ideologi" para jurnalis dalam mengonstruksi teks isi media (superstructure), bukanlah sistem budaya dan semacamnya, melainkan struktur ekonomi, atau tepatnya capitalist mode of production atau base.

Sejumlah analis media dari berbagai komunitas akademik, menolak premis bahwa struktur dominasi beserta praktik-praktik budaya yang terkait dengannya itu bermuara pada sistem produksi kapitalis. Bagi mereka, totalitas sosial dalam analisis hubungan dominasi-subordinasi di sektor media bisa dijelaskan melalui sistem budaya, praktik-praktik budaya, baik budaya dalam pengertian umum ataupun dalam pengertian khusus seperti budaya politik. Karenanya, analisis mereka tentang struktur dominasi juga didasarkan atas analisis gender, ras, budaya, dan berbagai cultural signifiers lainnya. Posisi seperti itulah yang tampaknya dipilih oleh Romano dalam melakukan analisisnya di buku ini.

Namun, kritik semacam itu tampaknya lebih tepat ditujukan kepada para fundamentalis strukturalisme. Sebab, bagi para konstruksionis dalam kubu ekonomi-politik, economic determinism tersebut diartikan secara lebih luwes. Artinya, konteks historis spesifik analisis ekonomi-politik mereka adalah sistem kapitalisme dalam perkembangan yang ada saat ini, di mana institusi media bagaimanapun juga adalah institusi bisnis yang berorientasi pada kepentingan modal. Karenanya, walaupun faktor-faktor budaya dan sebagainya bisa saja turut berperan, pilihan serta ruang gerak yang tersedia bagi media pertama-tama dibatasi, atau lebih didominasi, oleh realitas eksistensi dirinya sebagai institusi bisnis dalam sebuah sistem produksi kapitalis yang memiliki logika, dogma, dan kaidah sendiri.

Budaya politik dominan

Analisis dalam buku Romano secara jelas berupaya menjelaskan pengaruh suatu struktur atau kultur terhadap para jurnalis sebagai human agencies yang terlibat dalam proses produksi di sektor industri media. Tetapi, berbeda dengan pendekatan yang semata-mata mengupas dominasi struktur terhadap agen melalui studi struktur ekonomi makro, Romano memilih untuk memulai analisisnya dengan suatu analisis makro mengenai budaya politik yang dominan, kemudian mengombinasikannya dengan analisis mikro, melalui survei dan metode etnografi guna menggali apa yang dihayati oleh ordinary journalists (bukan figur signifikan atau key informants semacam Goenawan Mohamad atau Mochtar Lubis sebagaimana dilakukan oleh banyak studi terdahulu).

Budaya politik yang dominan tersebut, dalam buku ini tampaknya dilihat sebagai ramuan dinamis antara sejumlah falsafah konservatif, seperti integrasionalisme dan paternalisme. Falsafah integrasionalisme, dalam analisis Romano, merujuk pada pandangan bahwa sistem pengorganisasian negara integralistik merupakan bentuk paling sesuai dengan "karakter nasional yang otentik" dari bangsa Indonesia. Falsafah integralistik semacam itu dapat ditelusuri jejaknya ke ide-ide Supomo, seorang ahli hukum adat, anggota BPUPKI dalam penyusunan naskah Undang-Undang Dasar 1945, dan penganut pemikiran falsafah Hegelian yang reaksioner-konservatif.

Salah satu inti pemikiran faham integralistik melihat negara sebagai suatu kesatuan organik, seperti halnya kesatuan antara anggota-anggota sebuah keluarga. Yang ditekankan adalah kesatuan antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpinlah yang memegang kedaulatan rakyat yang dipimpinnya karena pemimpin dan yang dipimpin merupakan suatu kesatuan. Salah satu implikasinya, pandangan tersebut pada dasarnya menolak penjaminan atas hak-hak asasi individu karena hal itu akan menciptakan dualisme antara negara dengan individu atau kelompok individu warganegara, dan antara pemimpin dan yang dipimpin. Di samping itu juga akan mengarah pada individualisme yang tidak sesuai dengan asas kekeluargaan.

Pemikiran negara integralistik tersebut dalam pengertiannya yang utuh, berkat usaha sejumlah anggota BPUPKI lainnya, telah tertolak dan terpatahkan di dalam UUD 1945 dengan dilekatkannya asas kedaulatan rakyat seperti dikemukakan Marsilam Simanjuntak dalam Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1997. Namun, menurut Romano pemikiran itulah yang telah banyak mempengaruhi bentuk Undang-undang Dasar 1945 (hal 4). Romano menilai, Pasal 28 UUD 1945 ("Kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang"), yang merupakan kompromi antara Supomo dengan anggota BPUPKI lainnya, bila secara kritis dikaji sebenarnya tetap mengabaikan kemerdekaan itu semua sebagai hak rakyat, dan justru memberdayakan penguasa atau pihak yang memiliki kuasa untuk membuat undang-undang.

Tetapi, terlepas dari penilaian tersebut, yang menarik adalah Romano lebih lanjut mengungkapkan bahwa faham integralistik tetap dimanfaatkan oleh para elite penguasa untuk menafsirkan konstitusi dan demokrasi, menggelar praktik-praktik budaya politik, serta mengembangkan sistem politik yang mendominasi keseharian hidup masyarakat dan operasi industri media beserta para pekerjanya.

Falsafah integralistik itu pula yang dimanfaatkan oleh rezim Soeharto untuk melakukan konsolidasi kekuasaan serta membangun rezim authoritarian state-corporatism Orde Baru yang dikemas dalam Demokrasi Pancasila. Ideologi Pancasila yang selama era Soekarno telah diberi konotasi revolusioner, oleh rezim Soeharto juga diberi interpretasi yang menonjolkan faham integralistik. Falsafah integralistik itu pun menunjang ideologi developmentalisme yang dikembangkan Orde Baru. Walaupun para teknokrat Orde Baru belum tentu berminat dengan faham integralistik, elemen-elemen paradigma teori-teori pembangunan dan modernisasi yang mempengaruhi mereka saat itu banyak yang sejalan dengan faham integralistik. Teori-teori Daniel Bell, Seymour Lipset, dan Samuel Huntington, contohnya, cenderung menekankan perlunya suatu pemerintahan dan kepemimpinan yang kuat, bahkan otoriter, untuk membawa suatu negara Dunia Ketiga menempuh proses modernisasi yang penuh gejolak perubahan.

Falsafah integralistik itu jugalah menjadi dasar bagi rezim Orde Baru untuk merumuskan "Pers Pancasila", yang pada intinya menempatkan pers bukan sebagai entitas yang otonom dan terpisah dari negara, melainkan sebagai bagian dari suatu kesatuan di bawah negara. Dengan konsepsi "Pers Pancasila" itu pula rezim penguasa mendefinisikan peran pers sebagai partner dalam proses pembangunan nasional, ataupun untuk memberi kebebasan pers dengan embel-embel "bertanggung-jawab". Kesemuanya itu pun diterjemahkan dalam praktik-praktik budaya politik melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang secara langsung mempengaruhi praktik keseharian di sektor media, dan juga karakteristik teks isi media yang diproduksi selama era Orde Baru.

Budaya politik yang mempengaruhi sektor industri media bukan hanya budaya politik yang diproduksi dan dipelihara istana belaka, melainkan juga budaya paternalisme (ataupun patriarki) sebagai elemen budaya Jawa yang paling dominan di Tanah Air. Budaya yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi tersebut telah mendorong para jurnalis perempuan ke dalam keharusan menjalankan peran ganda (sebagai jurnalis dan ibu rumah tangga yang harus mengurus dapur dan anak, sesuai dengan "kodrat" mereka) sehingga membatasi gerak mereka dalam pekerjaan jurnalistik. Di lain sisi, kuatnya budaya paternalisitik tersebut menyebabkan profesi jurnalistik seorang perempuan juga bisa membatasi kehidupan pribadinya, seperti kesulitan dalam menemukan suami yang "mau memahami profesi istrinya sebagai wartawan".

Budaya paternalistik semacam itu juga dimanfaatkan Orde Baru untuk membuat kebijakan gender yang dinilai bisa memperkuat sistem integralistik-developmentalis. Antara lain dengan pembentukan Dharma Wanita, yang secara implisit sebenarnya meletakkan para istri dalam posisi yang harus menomor-satukan karier suami mereka sebagai pegawai negeri.

Budaya politik Orde Baru yang integralistik dinilai Romano sebagai faktor yang telah menghambat kemampuan jurnalis untuk memperoleh akses informasi, khususnya informasi yang berkaitan dengan akuntabilitas penguasa (hal 132). Sebab, dalam kultur integralistik, informasi, khususnya yang secara umum dikategorikan sebagai public information, tidak dinilai sebagai sebagai hal yang secara terbuka bisa diakses publik, melainkan sebagai ranah yang dikuasai oleh negara sebagai penjaga kepentingan publik.

Praktik pewadah tunggalan kelompok profesi, yang menjadi ciri Orde Baru sebagai suatu authoritarian state-corporatism, juga bisa dilihat sebagai praktik yang ditopang premis-premis falsafah integralistik. Jurnalis yang dikategorikan sebagai kelompok profesi, misalnya, hanya bisa dan boleh menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Wadah-wadah alternatif dinilai hanya akan menciptakan kompetisi, perpecahan, dan ancaman bagi harmoni kesatuan organik. Klasifikasi jurnalis sebagai buruh juga dinilai akan menciptakan dualisme antara buruh dan pemilik modal, dan menciptakan konflik kelas antara keduanya. Penolakan Orde Baru untuk mengklasifikasikan kelompok jurnalis sebagai buruh, tetapi sebagai profesional atau karyawan, dinilai Romano konsisten dengan falsafah integralistik yang menolak konsepsi perburuhan kapitalis liberal (hal 77).

Konsekuensinya, para jurnalis tidak bisa membentuk serikat buruh serta dilindungi oleh undang-undang perburuhan yang berlaku. Organisasi PWI yang berdasarkan Kode Etik PWI 1955 berfungsi seperti serikat buruh, selama era Orde Baru menjadi organisasi profesi, yang tidak mempunyai peran melindungi kesejahteraan dan hak-hak para jurnalis sebagai pekerja institusi bisnis di sektor industri media. Argumen untuk membentuk serikat buruh juga semakin dipatahkan oleh ketentuan bahwa setiap media cetak harus memberikan 20 persen sahamnya kepada karyawan media, untuk mereka miliki secara kolektif. Dengan ketentuan tersebut, jurnalis dikategorikan sebagai bagian dari pemilik media, meskipun dalam praktiknya jurnalis tidak bisa menjual dan menginvestasikan saham tersebut, ataupun memiliki suara dalam Dewan Komisaris seperti pemilik saham lainnya.

Resistensi jurnalis

Sistem dan praktik-praktik budaya politik dominan yang diterapkan oleh istana telah demikian mendominasi praktik keseharian industri media dan para pekerjanya. Itu semua tercermin dari berbagai kasus pembredelan, penangkapan atau intimidasi terhadap jurnalis, kebijakan diskriminatif dalam memberikan lisensi, isi pemberitaan yang memaksa masyarakat berkerut-kening untuk bisa memahami apa yang tersirat di balik yang tersurat, ataupun memaksa para jurnalis sendiri untuk mempraktikkan self-censorship.

Namun, itu tidak berarti selama era Orde Baru ruang-ruang redaksi menjadi sepi dari resistensi para jurnalis. Serangkaian usaha untuk membentuk serikat buruh, contohnya, telah dilakukan oleh para jurnalis. Usaha tersebut kandas oleh adanya penolakan yang tidak hanya dilakukan aparatus represif Orde Baru, tetapi juga dari PWI dan pihak manajemen atau pemilik media sendiri. Untuk itu, berbagai bentuk konsekuensi harus diterima oleh para inisiator atau aktivisnya. Perlawanan terbuka terhadap pewadahtunggalan jurnalis juga tercatat dilakukan oleh sekelompok jurnalis yang membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan ini pun lahir dari sebuah perlawanan terbuka yang untuk pertama kalinya dilakukan jurnalis kita di era Orde Baru terhadap pembredelan media mereka.

Tampaknya resistensi semacam itu berkaitan dengan temuan Romano yang memperlihatkan penolakan para jurnalis terhadap falsafah dan praktik-praktik budaya politik yang diterapkan istana terhadap mereka. Dari survei yang dilakukan selama 1996-1998 terhadap sejumlah sampel, yang diakui memang tidak representatif dan tidak sepenuhnya ditarik secara random, Romano menemukan hanya segelintir jurnalis yang mempersepsikan fungsi mereka terkait dengan "Pers Pancasila". Berbeda dengan penguasa yang mendefinisikan pers sebagai "partner pembangunan", maka mayoritas jurnalis yang diteliti mempersepsikan peran profesional mereka sebagai "watchdog" atau "agent of empowerment" untuk memberdayakan masyarakat dalam posisinya terhadap penguasa.

Penolakan para jurnalis terhadap definisi peran pers yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru juga terlihat dari data di mana hampir semua jurnalis yang diteliti menyebutkan bahwa role models mereka adalah jurnalis senior seperti Goenawan Mohammad, Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar, yang kesemuanya pernah menjadi korban tindakan represif penguasa, dan dinilai memiliki kemampuan menjadi watchdog, memiliki integritas, dan berani menentang penguasa.

Dari istana ke pasar

Pergantian rezim, dari Orde Baru ke rezim-rezim berikutnya, secara jelas telah membebaskan ruang-ruang redaksi dan sektor industri media dari dominasi praktik-praktik budaya politik integralistik. Liberalisasi tersebut dengan segera juga mengubah struktur industri media, berbagai tingkah-laku media, karakteristik teks yang diproduksinya, serta relasi kekuasaan antara istana dan pers.

Tetapi, yang juga penting diamati adalah adanya praktik-praktik budaya lama yang masih bertahan hingga ke era reformasi. Meskipun kebijakan pewadahtunggalan jurnalis telah berakhir dan berbagai organisasi jurnalis berdiri, namun penolakan terhadap upaya jurnalis untuk mendirikan serikat buruh masih terus diperlihatkan oleh manajer atau pemilik media. Direktur Grup Jawa Pos, contohnya, mengungkapkan sederet argumen untuk menentang in-house trade unions.

Masih adanya sikap semacam itu, oleh Romano dinilai menunjukkan bahwa falsafah integralistik Orde Baru masih terus mempengaruhi manager media (hal 82). Namun, di situlah masalahnya dengan perspektif yang menonjolkan faktor budaya dalam analisis hubungan struktur-agensi seperti yang dianut buku ini. Pembaca mungkin akan mempertanyakan apakah keberadaan dan bertahannya penolakan terhadap serikat "kuli tinta" dalam suatu organisasi media tersebut benar-benar disebabkan oleh faktor budaya (ideologi) integralistik, ataukah lebih disebabkan oleh tekanan dan pertimbangan kaidah pasar?

Kurang diperhatikannya faktor kekuatan pasar dan fakta bahwa media bagaimanapun juga adalah institusi ekonomi, menyebabkan dinamika interaksi antara pers dengan budaya politik penguasa, ataupun dinamika struktur dominasi penguasa-pers di era Orde Baru, terasa kurang tajam tergambar dalam buku ini. Buku The Press in New Order Indonesia karya David Hill, 1994, contohnya, mengamati bahwa dalam peristiwa pembantaian di Santa Cruz, Dili, 12 November 1991, tekanan persaingan merebut pasar telah turut berperan mendorong munculnya keberanian pers untuk mencari celah-celah pemberitaan di tengah ketatnya kontrol penguasa untuk menjadikan media sebagai intrumen dominasi.

Pemahaman pers sebagai institusi bisnis itu semakin penting mengingat bahwa apa pun budaya politik yang dipraktikkan Orde Baru untuk mendominasi pers, rezim itu sendiri bagaimanapun juga adalah sebuah rezim kapitalis. Karena itu, sejumlah analisis berkepentingan untuk mengamati dinamika struktur dominasi yang ada dengan melihat kontradiksi internal yang terjadi dalam kapitalisme Orde Baru, contohnya dalam buku Media, Culture, and Politics in Indonesia, karya David Hill dan Krishna Sen, 2000; atau Hidayat dkk, dalam Pers Dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Gramedia Pustaka Utama, 2000. Kontradiksi internal tersebut muncul oleh karena di satu sisi, tampil kepentingan untuk melakukan represi politik, dengan menerapkan berbagai praktik budaya politik represif, sementara di sisi lain muncul kepentingan melakukan ekspansi ekonomi yang menjadi sumber legitimasi rezim. Kebutuhan untuk melakukan ekspansi ekonomi itu pula yang telah mendorong Orde Baru untuk lebih mengintegrasikan diri ke dalam tatanan kapitalisme global. Namun, langkah itu pula yang justru semakin membatasi praktik-praktik dominasi Orde Baru, termasuk kontrol terhadap media, dan sekaligus membuatnya lebih rentan terhadap tekanan eksternal. Terlebih lagi kondisi tersebut berlangsung dalam konteks historis spesifik struktur ekonomi global, di mana yang menjadi "fundamental ekonomi" tidak banyak terdiri atas faktor-faktor semacam cadangan devisa, melainkan faktor-faktor yang amat sensitif terhadap pemberitaan media, seperti persepsi para investor portofolio serta kelompok kelas menengah yang mudah panik memborong dollar dan bahan-bahan pokok di supermarket. Dalam konteks historis spesifik semacam itulah jurnalis sebagai human agencies mampu mengatasi dominasi struktur represif Orde Baru.

Pemahaman adanya kontradiksi internal semacam itulah yang akan melengkapi penjelasan tentang bagaimana budaya politik integralistik tersebut akhirnya memudar, ataupun bagaimana kontribusi jurnalis sendiri dalam proses delegitimasi budaya politik Orde Baru. Penjelasan tentang pasang surutnya struktur dominasi seperti itulah yang boleh dikata absen dalam buku ini.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here