Thursday, April 13, 2006

Penyiaran Publik dan Public Sphere

PENYIARAN PUBLIK DAN PUBLIC SPHERE

PENGANTAR

Mengapa kita berkomunikasi ? Apa fungsi komunikasi bagi manusia ? Pertanyaan ini begitu luas, bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk menjawabnya. Apalagi kalau pertanyaanya kita lebih fokuskan seperti, mengapa kita berkomunikasi ? cara-cara seperti apa yang menjadikan komunikasi menjadi efektif, dsb.

Kalau kita teliti lebih lanjut, pertanyaan tersebut merupakan dasar ketika kita akan mendalami proses komunikasi antar manusia. Baik itu komunikasi yang bersifat langsung, interpersonal maupun komunikasi yang menggunakan media, baik media komunikasi interpersonal dan media massa.

Penyiaran Publik

Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan dalam konteks ‘warga negara (citizens) dengan hak-haknya. Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi logis secara hukum (juga konsekwensi politis, administratif, dll) dari kontrak sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik, dll.

Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran Publik dan Penyiaran Komunitas Alternatif tapi Mutlak’, bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju masyarakat madani. Philip Savage, Manager of Coverage and Regulatory Affair, CBC (Radio Kanada) mengatakan bahwa yang dikenal dengan penyiaran publik yaitu; ‘A public broadcaster attemps to inform, antertain, and enligten the citizens of the country as citizens first and foremost, that is as active participants in the social, cultural, economic, and political life iof Canada’.

Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) membuat definisi tentang media penyiaran publik (public service broadcasting) sebagai media yang: 1) tersedia (available) secara general-geographis, 2) memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional, 3) bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil, 4) memiliki imparsialitas program, 5) memiliki ragam varietas program, dan 6) pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media. Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik.

Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Sendjaja (2001, h.1) yang terinspirasi oleh Harol D. Lasswell (1946), telah menguraikan beberapa fungsi sosial dari lembaga penyiaran publik. Pertama, sebagai pengawas sosial (social surveillance). Yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Kedua, Korelasi sosial (social correlation). Merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. Konsensus sosial ini biasanya untuk memperkuat rasa identitas dari berbagai kelompok untuk menjadi satu kekuatan besar bersama. Dan Ketiga, Sosialisasi (socialization). Merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Nilai-nilai kearifan masyarakat lokal harus terus dijaga dan dibentengi dari ‘serbuan’ nilai-nilai modern yang ditampilkan melalui institusi-institusi produksi.

Selanjutnya menurut Ashadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di Indonesia. Pertama, telekomunikasi sebagai basis material. Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah (domain) telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang ‘dikuasai’ negara. Regulasi penyiaran publik harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik.

Kedua, orientasi fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama yang menjadi dasar keberadaannya. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik. nilai bersama ini diharapkan dirumuskan oleh kaum profesional penyiran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan.

Ketiga, sistem jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya berupa ranah jaringan (networks) penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah ini dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar sistemik kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiran publik juga ditentukan oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkrit dukungan ini diwujudkan melalui adanya stake-holder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik, dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik.

Keempat, adanya code of conduct profesi dan institusi. Code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Biasanya mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum prefesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat, dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi) profesional sebagai bagian dalam sistem manejemen personalia.

Dan kelima, sistem kontrol fungsi publik. Untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stake-holder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara), maka akuntabilitas sosial perlu dipertanggung-jawabkan kepada stake-holder dan lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini kontrol atas fungsi publik yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.

Debat Public Sphere.

Konsep mengenai public sphere dipicu pertama kali oleh tulisan Jurgen Habermas yang berjudul The Public Sphere pada tahun 1962. Dalam esai tersebut, Habermas mau mengatakan tentang terdapatnya sebuah wilayah sosial yang terbuka, bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere’. Yaitu semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial manusia membentuk opini publik yang relatif bebas. Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan kemasyarakatan (sense of public), sebagai praktek sosial yang melekat secara budaya. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, yang memiliki kebebasan dalam menyatakan pendapatnya.

Dalam pandangan Habermas, ia mengangkat konsep public sphere berdasarkan pada istilah-istilah yang ada dan berkembang dalam tradisi Eropa. Misalnya tentang coffe house (Inggris), salon (Prancis), dan tichgesllschaften (Jerman) pada abad ke-19 dan 20. Istilah-istilah yang digunakan dalam membangun konsep public sphere. Maka selanjutnya, public sphere Habermas dikenal sebagai public sphere borjuis. Sebab, tempat-tempat tersebut seringkali dijadikan sebagai sarana berkumpul para aristokrat kerajaan. Dimana mereka secara tatap muka berdiskusi dan berdialog dalam kerangka kepentingan sosial yang lebih luas untuk mengubah hubungan antara kelas aristokrat dengan kelas bisnis. Dengan demikian, public sphere bersifat independen terhadap gereja dan negara dan terbuka untuk semua manusia.

Apa yang ditampilkan Habermas tentang public sphere borjuis baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften secara filosofis dan institusional memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Pertama, baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften sama-sama melihat kesetaraan sebagai manusia dalam kontek berkomunikasi dan berbagi informasi melalui tradisi dialog. Dalam diskusi tersebut mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi tertentu. Dalam arti tertentu, masing-masing mereka berfungsi sebagai pendidik.

Kedua, diskusi dalam konteks public sphere mengandaikan proses mempermasalahkan kawasan-kawasan atau bidang-bidang yang ada pada masa selanjutnya tidak dipertanyakan. Masalah tersebut adalah produk budaya (seperti kesenian dan sastra) menjadi komoditas yang bersifat profan. Dalam konteks kritik kesenian muncul peran baru yakni kritikus seni (yang mewakili publik sekaligus pendidik) selanjutnya peran ini digantikan oleh periodicals essay yang merupakan jurnal kritis dari diskusi kelompok cafe kopi. Peran ini muncul pada abad ke-18 yang pada saat itu muncul pandangan bahwa filosofi, kesenian, dan sastra kritis yang dapat mencerahkan proses kehidupan.

Dan ketiga, sama halnya dengan proses perubahan budaya menjadi komoditas, public sphere pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan objek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja. Public sphere borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsip-prinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Walaupun telah eksis public sphere pada zaman Yunani kuno, namun tidak sampai abad ke-7 dan ke-8 Eropa, bersama perkembangan kapitalisme, public sphere diasumsikan sebagai bentuk yang lebih berbeda.

Dalam konteks ini, negara dipisahkan dengan domain publik. Dimana negara dengan perangkat kekuasaanya cenderung bersikap ‘keras’ terhadap domain publik. Pada tingkatan ini mendorong lahirnya celah public sphere di antara masyarakat sendiri. Dimana tujuan utama dari public sphere tersebut adalah menjadikan orang-orang mampu untuk merefleksikan dirinya secara kritis dan dalam praktek-praktek negara, baik secara sosial, politik, ekonomi, ataupun kebudayaan. Walaupun memang, jika ditelusuri lebih jauh konsep public sphere Habermas berawal dari kalangan borjuis laki-laki, bangsawan dan intelektual. Dalam konteks ini, mereka secara sadar dan rasional bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra. Sementara percakapan-percakapan ini terus didasarkan pada praktek-praktek ekslusi, bagi Habermas paling tidak praktek itu menahan keberadaan tertentu.

Lebih jauh menurut Habermas, perbincangan kritis yang potensial dalam public sphere sesungguhnya ditopang oleh tiga alasan utama. Tiga alasan ini berdasarkan realitas historis yang berlaku pada saat keadaan Eropa masa itu dimana Habermas mengambil konsep public sphere borjuis. Pertama, hubungan sosial yang akhirnya berubah dari kritik sastra kepada kritik politik membuka jarak sosial dimana argumen terkuat dinyatakan melawan status quo. Kedua, area debat sosial yang tertutup di bawah feodalisme telah kehilangan aura yang telah diberikan oleh gereja dan istana dan menjadi dipermasalahkan melalui percakapan yang tidak memandang status peserta. Dan ketiga, Habermas berpendapat bahwa pertemuan-pertemuan yang terjadi di Eropa di salon-salon dan coffe house, terutama tahun 1680-1730, bersifat inklusif dan ekslusif.

Karena sifat keterbukaan yang dibangun dari model public sphere borjuis-nya Habermas, tentunya terdapat syarat-syarat yang memungkinkan orang-orang untuk dapat berpartisipasi ambil bagian dalam dialog-dialog tersebut. Pada mula lahirnya masih sangat dibatasi, sebab faktor klaim yang dibuat adalah bahwa aktivitas ini membentuk “mouthpiece’ terhadap publik. Habermas berpendapat bahwa sementara “publik” masih kecil, prinsip-prinsip universalitas mulai diterima; mereka yang memenuhi kriteria rasional, laki-laki dan sifatnya bermanfaat bagi dirinya, melalui partisipasi aktif, dalam public sphere. Melalui prinsip publisitas, dia berpendapat, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penggunaan pemikiran publik menjadi superior terhadap manfaat privatnya. Pencarian kebenaran melalui dimensi intersubjektif yang merefleksikan baik dalam civil society maupun negara. Menurut Habermas, memungkinkan adanya perbedaan untuk mereformasi hubungan kekuatan yang asimetris. Kelas laki-laki kapitalis yang dominan menjaga posisi hegemoni melalui praktek-praktek eksklusi, sementara secara bersamaan menyediakan latar budaya untuk mengkritik.

Pelayanan publik. Model pelayanan publik (public service) dinilai telah gagal dalam usaha mengemban dua fungsi media dalam ranah public sphere. Dua fungsi tersebut yaitu mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi (peran jurnalis) dan menyediakan forum publik untuk melakukan debat (peran politikus). Jurnalis dalam persoalan pelayanan publik menjalankan dua fungsi tersebut atas nama publik di bawah aturan keseimbangan dan objektivitas yang tinggi. Kondisi ini menimbulkan kontradiksi.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya struktur kebebasan informasi, jurnalis yang terlatih dan profesional, struktur ketentuan pelayanan publik, nilai-nilai profesionalitas, akses yang terbuka bagi keahlian-keahlian sosial, dan juga oleh struktur bertanggung-gugat publik. Untuk menjamin keberlangsungan dan keberagaman informasi bagi ranah publik, debat politik haruslah bersifat sangat politik dengan memberikan akses pada partai politik serta gerakan sosial di publik untuk tampil melalui media.

Saat ini, siaran pelayanan publik cenderung menjauhkan diri dari sifat politik konsumerisme dengan cara mempertentangkan siaran dengan politikus. Politikus dikritik dan dilihat sebagai pengintervensi dan pengendali siaran. Penurunan partai politik dalam media menjadi masalah karena dalam masyarakat terpisah oleh konflik kepentingan, kepentingan rasionalis dan universalis. Bagaimanapun juga keterlibatan politik tidak bisa dihindari karena untuk mengangkat berbagai isu seperti gerakan perempuan adalah tidak mungkin tanpa mengkaitkan dengan tujuan ekonomi sosial dalam struktur dan program umum dari prioritas politik.

Universalisme dan public sphere internasional. Kekuatan konsep public sphere berkenaan dengan pelayanan publik bersifat universalisme. Dalam arti bahwa adanya lingkup struktur keputusan politik sama batasnya dalam lingkup kekuasaan yang dikontrolnya. Dengan demikian, pelayanan umum di tingkat nasional hendaknya menjangkau seluruh warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam debat publik dan juga hendaknya memasukan sebanyak mungkin ragam pandangan yang relevan. Masalah hubungan antara saluran komunikasi dan kekuasaan politik menjadi masalah apabila dilihat dalam aspek transnasional perkembangan media. Kesulitan membangun public sphere di tingkat nasional akan mudah dikalahkan oleh perkembangan public sphere di tingkat internasional.

Di samping itu, munculnya kecenderungan-kecenderungan terjadinya internasionalisasi media sebagai ancaman lebih lanjut dari model pelayanan publik yang ideal. Internasionalisasi media yang berupa kepemilikan media, pengendalian dan isi menjadi tidak secara koheren bisa mewujudkan internasionalisasi publik, atau publik nasional sebagaimana yang dilakukan oleh BBC di Inggris. Sebab, agenda umum publik belum didominasi oleh kejadian-kejadian internasional yang bisa menyatukan proyek identifikasi khalayak internasional sebagai bagian atau anggota dari publik internasional. Di samping itu juga tidak mampu menyatukan perasaan, emosi bahkan pikiran publik secara nyata.

Dalam konteks ini, Garnham melakukan identifikasi terhadap kecenderungan-kecenderungan yang mengarah pada inter-nasionalisai media sebagai ancaman lebih lanjut model pelayanan publik yang ideal. Dan model pengamatan ini menekankan kontradiksi bahwa pemilikan media, pengendalian dan isi menjadi semakin menginternasional tetapi tidak dapat diartikan sudah menciptakan publik internasional atau publik nasional seperti halnya BBC di Inggris. Agenda umum publik belum didominasi oleh kejadian-kejadian internasional yang dapat menyatukan identifikasi khalayak internasional sebagai anggota dari publik. Juga mereka tidak dapat membentuk perasaan internasional yang tepat dan koheren.

Debat Penyiaran Publik dan Public Sphere Habermas

Dengan demikian, tentunya media massa yang didalamnya termasuk adalah penyiaran publik berorientasi pada penyiaran yang mengusung nilai-nilai lokal dan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal. Habermas berpendapat bahwa pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere tetapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas (comodified) melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa untuk perusahaan periklanan, sehingga media jauh dari perannya semula sebagai public sphere. Dalam konteks ini, sebenarnya Habermas menolak prinsip-prinsip atau mekanisme yang dibangun dalam media massa yang terwadahi sebagai lembaga penyiaran publik.

Dalam pandangan Habermas, media massa penyiaran komersial telah menyebabkan informasi sebagai komoditas dan jauh dari kepentingan publik secara luas. Media penyiaran komersial dalam arti tertentu tidak dapat menjadi sarana terbangunya wialyah publik secara adil, terbuka dan demokratis sebagaimana yang dimuat dalam konsep public sphere. Hal ini memang karena Habermas mengandaikan media massa sebagai media sebagaimana idealnya public sphere. Dan teori ini yang pad akhirnya dikritik oleh (lihat Thompson, 1983). Bagi Thomson, konsep Habermas tersebut terlalu mengidealisasikan dan meromantisir dunia yang sangat elit dan dunia laki-laki, juga terlalu menekankan pers kelas pekerja yang radikal (Curran dan Seaton, 1983).

Dengan demikian, Habermas juga terlalu pesimistik dalam menilai kemajuan media massa. Koran, radio, televisi pada masa itu jelas mengadakan forum untuk diskusi mengenai isue-isue yang menjadi perhatian umum. Diskusi tersebut melibatkan orang-orang berpengetahuan, tertarik dan dapat berbicara mewakili kepentingan sosial yang lebih luas dan yang mempunyai potensial pengaruh politik. Habermas juga terlalu memberikan perhatian berlebih pada berita politik dalam public sphere dan membesar-besarkan kecurangan-kecurangan yang ditimbulkan komersialisasi media massa pada abad 19 dan 20-an. Dimana nilai-nilai tersebut telah ditinggalkan sedemikian rupa oleh lemabag penyiaran yang bersifat komersial (swasta).

Lalu bagaimana dengan penyiaran publik? Apakah habermas sependapat dengan konsep yang ditawarkan dalam penyiaran publik? Dan apakah penyiaran publik dalam arti tertentu merupakan wadah dari public sphere? Atau dalam pengertian lain penyiaran publik merupakan sarana media yang dianggap dapat menjadi dan membangun public sphere saat ini? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Habermas tidak secara eksplisit menyebut adanya atau terdapatnya istilah penyiaran publik dalam konteks public sphere. Akan tetapi, nilai-nilai dan konsep yang dibangun dalam konteks penyiaran publik yang lebih menekankan kepada kepentingan dan aspirasi publik sejalan dengan apa yang disebut habermas sebagai public sphere. Mengapa demikian, sebab menurut Habermas public sphere merupakan celah ruang diantara negara (state), dan civil society, dimana setiap warga negara bisa melibatkan diri dalam diskursus tentang masalah bersama dan untuk mengontrol negara dan pasar. Celah tersebut dapat diisi dan diperankan oleh media massa yang berfungsi ke-publikan (bc; lembaga penyiaran publik) sebagai lembaga yang memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, penyiaran publik juga memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen untuk perdebatan publik, menyangkut isu ekonomi, politik, sosial, dan budaya.. Masalahnya adalah, adakah media yang murni memerankan kekuatan publik tersebut dan terbebaskan dari pengaruh sistem negara dan sistem pasar. Lebih-lebih pada sebuah sistem politik yang anti demokrasi dan pada kondisi ekonomi pasar bebas yang ditopang oleh sistem kapitalis, dapatkah media bersikap independen ? Jawabannya, paling tidak penyiaran publik menjadi alternatif dalam membangun public sphere ideal sebagaimana yang hendak dibangun dan dikonsepkan dalam public sphere.

Sebab, jika berharap pada media massa komersial tentunya hal itu sangat sulit sekali dalam menciiptakan public sphere. Hal itu dikarenakan, lembaga penyiaran komersial telah meninggalkan fungsinya sebagai penyiaran edukasi yang berpihak pada publik dan public sphere. Karena telah meninggalkan nilai-nilai yang melekat pada penyiaran publik dan urgensi dari public sphere, yaitu sebagaimana yang disebut oleh Denis McQuail, dalam Senjaja (2001, h.3) adalah faktor idependensi, solidaritas, keanekaragaman (opini dan akses), objektivitas dan kualitas informasi.

Mengapa demikian, sebab secara filosofis, urgensi kehadiran media penyiaran publik berangkat dari kehidupan publik yang dilihat dari posisi sebagai warga masyarakat hanya dalam dua ranah, yaitu dalam lingkup kekuasaan dan lingkup pasar. Padahal, masyarakat memiliki ruang tersendiri unutk berapresiasi, berkarya, berpendapat, dan bersikap terhadap realitas yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, munculnya pandangan dikotomis yang mengabaikan peran dan posisi warga negara dalam kontek hubungan sosial dan bernegara telah mengabaikan adanya kenyataan tentang ranah publik yang diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan yang bersih dari kekuasaan dan pasar. Habermas menyebut ranah ini sebagai ranah publik (public sphere).

Oleh karena itu, untuk menjelaskan hal tersebut, menurut Habermas (dalam Barret, 1995, h, 239-240), yang menyebut tentang awal dibentuknya media. Menurutnya, pada awalnya media dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere tetapi kemudian dikomersilkan menjadi komoditi (commodified) melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa ke perusahaan periklanan, sehingga media menjauh dari peran public sphere. Kondisi tersebut yang menyebabkan kenapa Habermas berpendapat media komersial jauh dari nilai-nilai public sphere. Nah, dalam konteks ini penyiaran publik menjadi alternatif yang secara implisit mengandung ajaran public sphere.

Pada saat yang sama, Ashadi (2001, h.3) mengatakan bahwa civil society dapat diwujudkan antara lain dimulai dari paradigma yang menggerakkan dinamika kehidupan publik yang berbasis nilai kultural. Nilai kultural ini merupakan pemaknaan atas setiap kegiatan dalam ranah publik. Ini dapat dilihat melalui dominasi dan monopoli yang dilakukan oleh pihak kekuasaan dan pasar harus dijauhkan dari kehidupan publik, dan secara positif membangun otonomi dan independensi institusi sosial. Maka, membangun civil society pada dasarnya adalah membalik arus utama yang tadinya ‘dari kekuasaan negara dan pasar ke warga’, menjadi ‘ dari warga ke kekuasaan nagara dan pasar’. Dan ini dapat dilakukan melalui penyiaran publik.

Penyiaran publik yang secara relatif dapat mengakomodir public sphere yang di dalamnya memiliki otonomi dan independensi. Juga memfasilitasi berlangsungnya kegiatan kultural dalam berbagai aspek kehidupan fungsional. Penyiaran publik sebagai publik sphere diharapkan menjadi format baru kehidupan publik yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan publik menjadi visi bersama dalam penyelenggaraan kehidupan publik secara terhormat dan demokratis. Dalam konteks reformasi kekinian, mestinya terbuka peluang untuk membangun format baru atas keberadaan media penyiaran pemerintah (RRI/TVRI) menjadi institusi otonom dan independen yang menjalankan fungsi kultural dalam ranah publik (baca: media penyiaran publik). Dalam kerangka pencapaian ruang publik yang berbasis pada pemenuhak-hak-hak publik dalam mengakses, menerima, dan memberikan informasi secara terbuka dan bertanggung-jawab.

Menurut pengamatan Keane, media publik memberikan kesempatan kesempatan berbicara dan didengarkan secara tidak merata di antara para pembaca. Mereka mengandalkan casting profesional atau orang-orang yang menjadi ‘langganan’ yang ditunjuk sendiri oleh media untuk berbicara mewakili umum. Murdock mengacu kepada kegagalan siaran publik dalam mengikuti langkah diskursus sosial politik yang meningkat dengan cepat. Sistem demokratis di tingkat nasional yang bertanggung-jawab memerlukan sistem media yang mempunyai batas yang sama yang dapat menghasilkan diskusi-diskusi isue-isue publik yang tidak berkaitan dengan kepentingan partisan.

Oleh karena itu, dalam industri media perlindungan paling efektif adalah dengan monopoli publik yang dilindungi negara, yang didasarkan pada prinsip perlindungan trehadap baranag umum, yang walaupun keliru dapat menyadarkan kepada pentingnya implikasi perluasan pasar bebas. Keane berpendapat keberagaman komunikasi media komunikasi non-pemerintah dan penciptaan badan-badan pengaturan yang supranasional dan bertanggung-gugat secara politis dan pemberian tanggung-jawab kepada koorporasi media yang besar dapat memperbaiki model pelayanan publik. Currant (1991) mengusulkan model campuran televisi publik ini dengan sektor swasta, profesional, sosial, dan sipil.

Dalam tahap demikian, Habermas menyebut sebagai sebuah kondisi yang menyebabkan kemunduran dari public sphere. Menurut Habermas penurunan tersebut karena perubahan media, dalam arti media dari milik publik menjadi komersial sebagaimana yang terjjadi di masa sekarang. Sedangkan, menurut Phillip Elliot dikatakan bahwa penyebabnya adalah komersialisasi masyarakat secara umum, dan peningkatan pasar karena kebijakan Reagen dan Teacher yang lebih menentukan hubungan antara provider dengan konsumen dari barang dan jasa.

Yang utama, dalam melihat persoalan di atas terutama menyangkut keterkaitan konsep penyiaran publik dalam kaitannya dengan pembentukan public sphere ideal sebagaimana yang disebut oleh Habermas, tentunya memiliki beberapa kekurangan-kekurangan. Akan tetapi, konsep Habermas tentang public sphere tentunya juga memiliki kelebihan-kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain; pertama, Kebenaran (authenticity) sosiologis yang mengesankan dan menggambarkan kelangkaan karya yang setara untuk media lain, dalam konteks dan sejarah yang berbeda. Kedua, memberikan pengaruh kuat pada massa glasnost diikuti oleh tumbangnya Uni Soviyet dan Eropa Timur. Ketiga, Inspirasi kebijakan Reagen dan Teacher dan difusi dan penerapan tersebut pada birokrasi umum dengan maksud untuk merevitalisasi dan memperkuat ideologi kapitalis dan praktek kapitalis menimbulkan suatu kondisi ‘menantang’ analisis oposisional radikal, dan pada saat yang sama kondisi tersebut memperlemah legitimasi dan kesempatan menggunakan analisis tersebut.

Keempat, kepentingan praktis penelitian untuk membantu mendefinisikan ulang dan mengatur peranan media di timur, bersamaan dengan kepentingan barat berkenaan dengan konsekwensi-konsekwensi swastanisasi media publik dan komersialisasi yang lebih intensif pada media swasta. Dan kelima, Keuntungan politis bagi para intelektual media untuk membangun dialog dengan dunia dalam kehidupan akademis.

Murdock mengusulkan prinsip-prinsip mendasar yakni kebutuhan akses terhadap informasi, nasehat dan analisis yang memungkinkan mereka untuk mengetahui apa hak pribadi mereka dan mengusahakannya secara efektif; akses terhadap beragam informasi, debat pada bidang-bidang yang melibatkan pilihan-pilihan politik publik; fasilitas untuk mengenali diri dan aspirasi mereka dalam representasi dan pembentukannya dalam media. Media publik memberikan lisensi untuk berbicara dan mendengar secara tidak adil, karena pembicara ditunjuk dan belum tentu mewakili kepentingan publik.

Jadi, untuk menguatkan penyiaran publik sebagai model dari pelayanan publik (the public service models) yang dapat menguatkan bangunan public sphere tentunya harus melakukan hal-hal yang dapat mendukung keberlangsungan model pelaynaan publik yang dimaksud. Sehingga, cita-cita tentang public sphere sebagaimana yang disebut oleh Habermas dapat terealisasikan. Konsep ini lahir dari pandangan Nicholas Garnham, pertama, melakukan pengandaian dan usaha-usahanya untuk mengem-bangkan praktek-praktek dalam serangkaian hubungan-hubungan sosial yang lebih bersifat politik daripada ekonomi. Dan kedua, pada saat yang sama berusaha memisahkan diri dari pengendalian negara (pengendalian politik).

Oleh karena itu, yang paling utama adalah mengembalikan masyarakat sebagai manusia politik karena relasi sosial yang ada telah dibentuk oleh ideologi konsumerisme dengan mengajukan isue-isue ekonomi dan politik, pelayanan publik, dan perantara pengetahuan (knowledege broking), pelayanan publik dan partai, pelayanan umum, universalisme dan public sphere internasional. Dalam konteks ini sesungguhnya public sphere akan dapat terwujud, memang tidak sebagaimana yang disebut Habermas sebagai public sphere borjuis. Namun demikian, cita-cita dari public sphere Habermas dapat terwujud melalui pembentukan penyiaran publik di beberapa tempat yang dapat menjadai sarana diskusi publik dalam persoalan-persoalan sosial, politik, dan sebagainya.


Kepustakaan

Baran, Stanley J., 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment and Future, New York:Wadsworth

Berry, David, (2000), Ethic and Media Culture, Oxford: Focal Press

Boyd Barret, 1995, Conceptualicing the Public Sphere. In Boyd Barrtet, Oliver and Newbold, Chris. Eds (1995), Approach to Media Reader, New York; Arnold.

Chesney, Robert Mc., (1998), Coorporate Media and The Threat to Democracy, (terj. AJI), Jakarta: AJI

Curran and Gurevitch (eds), 1991, Mass Media and Society, London:Edward Arnold.

Habermas, J, 1989, Institution of the Public Sphere. In Boyd Barrtet, Oliver and

Newbold, Chris. Eds (1995), Approach to Media Reader, New York; Arnold.

Hardiman, F. Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat dan Posmodern menurut Jurgen Habermas, (1993), Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Garnham, Nicholas, The Media and The Public Sphere. In Boyd Barrtet, Oliver and Newbold, Chris. Eds (1995), Approach to Media Reader, New York; Arnold.

Elliot, Phillip, Intelectuals in the Information society and the dissappearence of the Public Sphere. In Boyd Barrtet, Oliver and Newbold, Chris. Eds (1995), Approach to Media Reader, New York; Arnold.

Senjaja, S. Djuarsa dan Ashadi Siregar, (2001), Kumpulan Makalah Seminar Televisi Publik, Yogyakarta: UGM

Stevensen, Nick, Understanding Media Cultures, Social Theory and Mass Communication, 1995 sage Publication, London.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here