Friday, May 09, 2014

Teater yang tidak hanya seksi tapi juga sekaligus Politis

Sekilas dari AG. Eka Wenats Wuryanta

Oleh beberapa orang, pernah dinyatakan bahwa ketika kita sedang berteater maka sebenarnya kita sedang berpolitik. 

Ada orang lain menyatakan bahwa berteater adalah berkegiatan untuk berideologi. Dan memang pementasan teater Kafha Paramadina tanggal 6-7 Mei 2014 yang menampilkan drama saduran dari buku Novriantoni Kahar yang bertajuk “Imaji Cinta Halima” tepat sekali ditafsirkan sebagai berteater dan berpolitik. Bukan tanpa alasan hal di atas disebut dan dinyatakan secara tegas. Siapa yang bisa menampik bahwa berteater adalah berpolitik, lebih tepat sebagai politik bahasa. 

Ketika bahwa dalam buku puisi essay disadur dan digelar kembali menjadi sebuah drama maka kata bertransformasi tidak hanya dipahami dalam level kognisi saja tapi masuk pada relung emosi dan tindakan. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai rentetan huruf saja tapi sudah berubah menjadi mantera sastra dan letupan emosi yang membuncah dan terlihat dalam mimik muka, gesture dan gerak tubuh yang lain. Hanya memang dalam rangkaian plot yang begitu sederhana dan linear, rangkaian kata dan mantera sastra tersebut tidak menemukan titik-titik emosi yang seharusnya bisa dieksplor lebih jauh. 

Apakah memang Syech Besar Kafrawi tidak mampu lagi menerjemahkan kemarahan meluap-luap kepada Yusuf (anaknya)? Seorang Syech Besar dengan tingkat kedalaman spiritual yang begitu mendalam seakan “galau besar” menangani anaknya sendiri. Tidak adakah dinamika regresi antara tingkat kedalaman rohani dengan cara verbal dalam mengekspresikan amarah yang begitu besar? Apakah tidak cukup dengan permainan wajah dan mimik muka saja untuk menunjukkan amarah ketika harus berbicara: “,islam tidak harus menyesuaikan zaman. Zamanlah yang harus mengalah pada ajaran kita. Jika islam harus menyesuaikan dengan zama di mana letak kemurnian ajarannya? Sejak dahulu Islam tidak pernah berubah….cobalah telaah sejarah….!” 

Eksplorasi ini penting dan vital ketika sebuah teater sebenarnya bisa menyediakan ruang wajah dan jeda verbal yang seharusnya bisa menjadi pelengkap dan pemanis sebuah alur linear sejarah dalam drama “ Yusuf; Sang Westernis” Menonton Kafrawi dan Yusuf dari awal pertunjukan sampai paruh kedua menjelang akhir drama ini dipentaskan……(sebentar merenung) seakan diingatkan dengan hubungan cinta dan benci……mengada dan menjadi…… puritan dan liberal …….fundamental dan modern. 

Dua biner yang jamak dilabelkan dalam memahami konflik dan pertikaian. Meski kalau tidak berhati-hati, kita sendiri akan dijebak dan terjerumus pada logika sempit mengenai apa yang disebut ideology, keyakinan, agama atau cinta itu sendiri. Padahal bisa ada kekayaan lain dari tafsir pertikaian dan konflik tidak ada henti sampai liang kubur sehingga harus ada perkataan “: Astagafirullah….maafkan aku Sofia, akau telah lalai akan kehadiranNya. Aku terlalu jauh dalam kesedihan ini. Aku masih berharap kepada jawaban yang menghantuiku dimanakah kebenaran yang tersembunyi itu? Menguapkah dia dalam peluh tangis semalam? Gusti………Bapak…..sekeras bajakah hati dan pendirianmu? Semahal itukah restu yang telah menjadi hak putramu…………” 

Pertanyaan menjadi muncul……..sebenarnya yang keras kepala itu siapa? Syech Kafrawi atau Yusuf? Masing-masing keras dengan pendiriannya……Syech Kafrawi yang keras tapi akhirnya lembut ketika sakratul maut atau Yusuf yang keras kepala yang tadinya lembut tapi justru keras pada akhirnya......lingkaran kekerasan tak hanya berhenti dalam kelembutan atau kekerasan an sich....tapi di dimensi yang lain. Bukankah Tuhan itu justru hadir dalam kelembutan yang sebenarnya bisa dieksplor lebih dalam pada tokoh Sofia….gadis cantik dengan segala kebijakannya (namanya saja sudah dengan kata SOPHIA = kebijaksanaan)….hanya sayang tokoh ini menjadi tenggelam dari silang sengkarut Syech Kafrawi dengan Yusuf anaknya…..dan pantaslah kalau Sofia akan berbicara “kalau Bapak sudah ikhlas, kita juga harus ikhlas. Hadirkan Allah dalam hatimu….jangan sampai kita mengasingkanNya….” Dan memang ketika manusia satu dengan manusia satu yang lain berkonflik maka yang terjadi malah Allah atau Tuhan diasingkan dan dipojokkan dari sisi kemanusiaan kita. 

Yang patut diperhatikan dari sisi lain teater Kafha Paramadina adalah bahwa teater ini secara lugas meskipun tidak menghilangkan sisi abstrak yang membuat penonton berkerinyit adalah keberanian menghadirkan beberapa ruangan dalam satu panggung (sayang tidak didukung dengan teknik pencahayaan yang kuat). Ruangan pertama adalah ruang keluarga yang penuh konflik, terutama konflik ayah-anak dan kadang kadang jujur saja....ruangan ini adalah ruangan yang menjemukan dengan alunan kata kata dengan pitch tinggi sering membuat telinga cepat lelah......penyadur mungkin belum berani menjajagi kemarahan yang lembut atau kelembutan yang menusuk...pilihan kata atau diksi memaksa pemain mengeluarkan kata dengan pitch yang tinggi, Ruangan kedua adalah ruang rumpi sosial yang diisi oleh kekonyolan dan mulut bocor ruang sosial ibu-ibu dan para santri, Ruang ketiga adalah ruang kelembutan antara Yusuf dan Sofia (ruangan ini adalah ruang yang termarginalisasikan, justru kalah dengan ruang keluarga yang konfliktual dan ruang rumpi sosial)……dan sebenarnya satu ruang yang saya tunggu-tunggu….ruang pencerahan entah itu untuk menggabungkan dan mensintesakan tiga ruang di atas. Ruang pencerahan yang tidak harus merupakan akhir yang membahagiakan atau menyediakan….tapi ruang di mana dinamika emosi dan amarah melebur dalam kelembutan dan penyadaran makhluk Insan Kamil….yang melampaui kerja otak atau rasa saja…sayang…..sayang…..ruangan ini kosong sehingga berakibat ending teater pun terasa tergantung di antara gantungan antah berantah. 

Sampai di sini saja…pementasan teater Kafha Paramadina yang sangat politis itu patut diacungi jempol. Teater ini konsisten menawarkan pertunjukan pertunjukan yang lepas dengan kondisi sosial masyarakat (dan ini khan politis, bukan? dan ini bukan masalah mengambil isu sosial yang seksi atau bukan) Setidaknya untuk level teater universitas…..masih jarang dan terbilang bisa dihitung dengan jari…teater teater yang berisi anak muda yang masih mau berteater dan menampilkan repertoire yang terbilang kontroversial di antara orang-orang yang “jumud” dengan keyakinannya, seperti yang diteriakkan oleh Yusuf: “Apa yang salah dengan keputusanku. Mengapa Bapak dan warga menganggap ini seolah hal yang tabu? Dengan cara apalagi aku harus membasuh dahaga keilmuanku? …..bukankah islam menganjurkan untuk menuntut ilmu? …Islam yang aku pahami tidak diam pada kejumudan….islam adalah jalan kesempurnaan….dan dengannyalah aku bertahan meski dalam kegetiran……..” Kolaborasi teater dengan music yang cukup apik terpelihara di sepanjang pertunjukan hari II setidaknya kesan padang pasir yang saya tangkap di gladi kotor tidak terasa lagi. Penguatan dan keberanian ilustrasi music di hari ke dua….semakin memperkuat dugaan pada proses evaluasi berjalan dengan baik dan sistem koordinasi bisa berjalan……… 

Selamat untuk Marijo dan Adin…yang berani menyadur dan mengeksekusi naskah romantisme sosial ala Novriantoni Kahar bisa didramatisasikan meskipun kalian kelihatan masih malu malu untuk secara radikal menyadur naskah ini habis-habisan……untuk Marijo…..sekarang udah 2 hari pementasan……bisa saya tunggu untuk pementasan 5 hari di GKJ? Teater Kafha…….bisa menerima tantangan tampil di GKJ (gedung kesenian Jakarta)? Selamat untuk pemain pementasan…….dari AA Kribo sama cs kafha 2013……anda semua patut diacungi jempol..(para santri dan ibu-ibu rumpi adalah sekelompok pemain yang mampu mencuri perhatian di sepanjang pementasan drama)……..selamat untuk kalian….. Terima kasih Teta Paramadina, Komunitas Musik Indonesia, dan para pendukung acara ini……

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here