Saturday, May 15, 2010

Teks, Makna, dan Audiens

Analisis tekstual merupakan suatu proses interpretasi dan analisis terhadap teks media apapun, khususnya memfokuskan pada bentuk dan konten, gaya, dan struktur dari media tersebut. kita akan melihat bahwa terdapat dominant reading atau makna untuk suatu teks. Dominant reading adalah makna dari suatu teks yang diterima oleh kebanyakan anggota audiens dan dapat ditentukan dengan meneliti kode tekstual dan konteks sosial atau sejarahnya. Kita juga akan melihat perbedaan makna akibat perbedaan konteks, kriteria kritikal, atau perspektif personal yang kita gunakan untuk pendekatan terhadap teks. Oleh karena itu, terdapat empat faktor yang saling tumpang tindih yang harus diperhitungkan: analisis—teks dari teks itu sendiri, konteks produksi, konteks distribusi, dan konteks audiens.

Sebagian orang berpendapat bahwa saat latar belakang pengetahuan dan konteks yang berbeda menjadi penting, apa yang sebenarnya menjadi inti permasalahan adalah teks itu sendiri. Analisis tekstual memfokuskan semata-mata pada konten tekstual dan proses tekstual yang digunakan. Teks memproduksi makna dengan menunjuk pada dunia di luar mereka dan dengan menggunakan kode representasi yang telah ada sebelumnya. Sebagai anggota audiens kita harus memiliki pengetahuan mengenai dunia sebenarnya yang ditunjuk oleh teks dan pengetahuan konvensi dari medium teks. Bagaimana suatu teks diinterpretasikan mengacu pada koden dan konvensi yang digunakan oleh teks di dalam produksinya. Untuk mengetahui makna suatu teks, kita memulainya dengan mengacu pada konteks teks, tetapi tetap memfokuskan pada teks itu sendiri. Dalam hal ini, pendekatan semiotik dan strukturalis bekerja.

Akan sangat membantu apabila kita mengetahui proses aktual dari pembuatan teks. Hal ini akan mempermudah kita memahami makna dari teks dan memperjelas teks melalui beberapa cara. Kita dapat memulainya dengan mencari motivasi yang diakui dari elemen-elemen yang terlibat dalam produksi. Kita juga dapat mencoba untuk mengeksplor perhatian tidak sadar dari pembuat teks dengan cara mencari tahu detail personal yang penting dari kehidupan mereka untuk melihat apakah hal tersebut memperjelas teks. Pendekatan auteur theory merupakan salah satu contohnya. Pendekatan ini mengatakan bahwa film merupakan produk kreatif dari sutradara film dan dapat diinterpretasikan sebagai visi personal mereka, ditandai dengan gaya khas mereka yang unik. Pendekatan auteur terhadap film membantu mengelaborasi konteks produksi, tetapi pendekatan ini gagal untuk mengakui bahwa pembuatan film merupakan proses koloboratif yang melibatkan input kreatif dari banyak sumber termasuk dari pembuat skrip, pemain, dan kru. Kita juga dapat melihat kondisi produksi. Faktor sosial, politik, dan sejarah mungkin ikut menentukan hasil akhir dari suatu teks.

Karena konteks suatu teks mempengaruhi makna teks tersebut, terdapat dua konteks utama yang perlu diperhatikan yaitu ruang dan waktu. Setiap teks disajikan dalam ruang media tertentu dan dalam ruang sosial yang lebih luas. Perbedaan ruang dapat mempengaruhi makna dari teks tersebut. teks tidak disajikan dalam keadaan isolasi, tetapi dikelilingi oleh teks-teks lain yang akan mempengaruhi pemaknaan kita. Norma sosial dan konvensi dari budaya apapun akan menjalin suatu keterkaitan dengan teks dan akan memproduksi pembacaan dan pemaknaan yang berbeda. Dalam konteks waktu, banyak teks yang diproduksi dengan menyesuaikan waktu-waktu khusus tertentu dan dikonsumsi atau diinterpretasikan pada waktu-waktu tersebut. Oleh karena itu, teks mempunyai konteks waktu yang spesifik yang berkontribusi pada makna mereka. Sebagai akibatnya, pembacaan tidak akan pernah selesai. Kita harus terbuka untuk menemukan faktor-faktor baru, seperti latar belakang informasi baru dan aspek yang berbeda dari konteks sosial dan sejarah, yang akan mempengaruhi pemaknaan kita. Semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin dekat kita dapat memahami apa yang teks-teks tertentu maksudkan dan bagaimana teks-teks tersebut dapat memproduksi makna-makna yang dimaksud.

Reception studies membagi pembaca menjadi dua jenis, yaitu the inscribed reader (individu yang dikonstruksi oleh teks) dan the actual reader (individu yang menginterpreta-sikan teks). Penelitian mengenai audiens dibagi ke dalam dua cara, yaitu dalam hal efek dan penerimaan. Kajian efek melihat pada bagaimana audiens secara langsung dipengaruhi oleh media, sedangkan kajian penerimaan melihat pada bagaimana audiens aktif memilih dalam penggunaan media. Penelitian-penelitian ini pada akhirnya menggunakan dua area, yaitu kualitatif dan kuantitatif.

Terdapat beberapa variasi cara dalam memahami hubungan media—audiens, yaitu dengan metode direct effects, reinforcement, cultivation, desensitization, observational learning and cognitive scripts, dan uses-and-gratifications. Menurut model etnografis, pembaca dibagi menjadi tiga, yaitu: preferred readings (yang menerima apa yang disajikan tanpa bertanya), negotiated readings (yang menerima sebagian dari apa yang disajikan), dan alternative/ oppositional readings (yang menginterpretasikan teks berlawanan sepenuhnya dengan preferred readings).

Ide mengenai proyeksi menyatakan bahwa orang memproyeksikan perasaan tidak sadar mereka sendiri kepada orang atau objek lain. Oleh karena itu, jika kita mencoba untuk memahami bagaimana audiens memaknai teks, kita dapat menggunakan ide dari proyeksi dan berpendapat bahwa seitap pemaknaan seseorang terhadap teks merupakan suatu refleksi dari diri mereka. Hal ini dikarenakan mereka memproyeksikan ide dan perasaan mereka sendiri terhadap teks tersebut. Perasaan dan kepercayaan sadar dan tidak sadar kita akan terefleksikan dalam cara kita menginterpretasikan suatu teks.

Jika pembacaan secara murni berasal dari pembacanya, maka pembacaan ter-tentu mungkin kecil terpengaruh nilai-nilai tertentu dalam menentukan makna. Kita dapat meyakini bahwa pembacaan tertentu terhadap sebuah teks dapat dihasilkan dari memberi perhatian khusus terhadap kode-kode dan konvensi, struktur, dan komposisi dari bagian-bagian, dengan memperoleh pengetahuan mengenai konteks budayanya, dan meneliti apakah makna yang kita peroleh dari teks juga beresonansi bagi pembaca lainnya.

Monday, May 10, 2010

MASA DEPAN MEDIA

1. KONSEP – FETISISME
Masing – masing dari istilah – istilah itu memiliki sesuatu untuk beberapa penawaran lebih dari yang lain, tergantung pada fokus intelektual seseorang dan selera pribadi. Biasanya mengambil bentuk dari yang berpegangan pada salah satu dari mereka sebagai ide-master dan hampir semua mantra keagamaan yang konon menawarkan pendapat pribadi unik hermeneutika.
Perdebatan ini memungkinkan untuk menjadi salah satu energik karena orang berpikir bahwa mereka berdiri di atah tanah yang sama. Jika kesuksesan adalah istilah yang tepat atas apa yang terjadi, sebagian disebabkan oleh ketidakjelasan mereka, yang seharusnya membuat definisi bisnis mereka menjadi sangat menekan, tapi juga jarang melakukannya.

2. PERBANDINGAN PENELITIAN
Perbandingan penelitian hampir merupakan proyek baru. Tetapi harus dikatakan bahwa setidaknya sampai baru – baru ini di media komunikasi dan penelitian sangat dekat dengan global yang terjadi dan komparatif untuk mendapatkan penghargaan yang jauh kebih dalam daripada ketaatan pelanggaran tersebut. Untuk alasan jelas tentang temuan logistik dan apa yang mengerikan adalah kesiapan bagi banyak peneliti untuk meramalkan kemungkinan dengan implikasi dari temuan mereka tentang satu negara atau bagian dari itu semua.
Tidak semua orang diakui, baik dalam mempelajari bahasa lain, tetapi di banyak bagian dunia bahkan seluruhny, orang buta huruf yang membiasakan untuk dapat berkomunikasi setiap hari dalam tiga atau empat bahasa, bahkan dalam bahasa roh pun dengan kekerabatan sedikit linguistik atau tidak ada sama sekali.

3. GERAKAN SOSIAL DAN MEDIA MEREKA
Penelitian media juga sangat menderita. Diragukan bahwa sebagai akibat dari obsesi ini setiap orang akan menyesali apapun itu. Masalahnya adalah di prioritas penelitian, yaitu asumsi bahwa inti lokal, skala – kecil, cepat berlalu dari ingatan itu, fana, kekurangan dana, rendah nilai produksi, aneh, menunggu untuk tenggelam di bawah gelombang dan bertemu mereka yang jatuh tempo dan pantas dilupakan.

4. INTERPERSONAL DAN KELOMPOK PENELITIAN KOMUNIKASI DAN GURUN GOBI BESAR
Media komunikasi memprodusen media dan khalayak / pembaca. Banyak akal sehat di dalamnya. Buka berarti bagaimana beberapa wawasan menarik dengan tidak sengaja muncul sebagai hasilnya, tidak terkecuali di bidang komunikasi nonverbal. Tapi hampir seolah – olah mereka telah muncul walaupun bukan dengan cara apa pun, karena dengan adanya metode yang diterapkan untuk studi mereka. Jadi ini adalah panggilan yang mendesak untuk penciptaan kembali sebuah penelitian komunikasi interpersonal. Di mana menggunakan sumber seperti penelitian feminis, unsur – unsur antropologi budaya dan sosial dan deskriptif sosiolinguistik, akumulasi pengalaman penelitian kelompok yang terarah, novel cerita pendek, teater, lirik musik yang populer dan tentang psikologi.

5. KEBIJAKAN – PENELITIAN
Kebijakan penelitian komunikasi yang benar – benar diperlukan adalah penelitian yang dimulai dari posisi mendengarkan, kebiasaan memiliki telinga untuk waspada terhadap publik, bukan di eksploitas secara populer ke dunia. Sebenarnya ada cukup banyak penelitian yang muncul sekarang ini secara identitas etnis. Masalah penelitian yang utama adalah tetap di masa mendatang yaitu rasisme dan komunikasi.

6. HAM
Ada banyak alasan dari kemunafikan pejabat yang memberi jaminan prioritas hak komunikasi manusia bagi para peneliti. Mungkin terlalu jelas yaitu kebutuhan untuk menemukan saluran yang efektif untuk mempublikasikan pelanggaran hak asasi manusia secara berkelanjutan. Untuk peneliti komunikasi yang berkaitan dengan gender, mana yang berharap akan benar dalam beberapa ukuran semua peneliti, situasi hak asasi manusia dan sejarah harus sangat mendesak kandidat untuk perhatian sistematisnya.

7. PERAN AGAMA YANG DIABAIKAN
Ada sesuatu yang menjadi keengganan peneliti media saat memeriksa dimensi religius media, komunikasi dan budaya. Banyak peneliti media yang sekuler dalam orientasi kecil pribadi dengan agama. Tapi memungkinkan kebiasaan kita sendiru dari hati dan pikiran untuk mengalihkan kita seperti fenomena budaya dan media utama yang diizinkan.

8. TOPIK TABU DALAM KELAS SOSIAL
Itu tidak membuat konsep tersebut menjadi untuk dijelaskan semua, tetapi heuristik berbicara mengarah pada pertanyaan yang layak untuk ditanya, pertanyaan yang melampaui epiphenomena dari distribusi pendapat tentang gaya hidup yang kolektif. Itu tidak berati bahwa epiphenomenal adalah analisis yang tidak relevan. Tetapi dalam mode yang disetel untuk mengeksplorasi hubungan antara makro dan mikro k, konfliktual dan keselarasan secara bersamaan.

Expanding the Definition of Media Activism

Political activism in media is already rise in many factor that influenced the characteristic of each media. Media work has become central to advocacy work because of the economic conditions and ideological constraints corporate media conglomerates and their cohort in corporate public relations create for public action.
The mass media are tools, but they are also the necessary means for communicating with policy-makers and establishing public debate. it is strategic use of the mass media, and sometimes paid advertising, in support of community organizing to push public policy initiative. As media scholars and citizens working toward more democratic, public-run media systems, we have a lot to learn about the possibilities of using strategic media techniques. There are few financial resources available to people interested in anticorporate advocacy.
This chapter will examine four broad typologies of media activism to expand its definitions and increase the number of possible practices that are available to social movement actors. the four typologies are media reform movements, the alternative press, flak, and the strategic use of public relations and news writing techniques. As media scholars, we can look to the media activism within this movement for examples of techniques that work because of, and sometimes in spite of, political orientation.

Typologies I and II : Media reform movements and the alternative press
Media Studies scholarship on media activism tends to study media reform movements and alternative press. Some of the most well known work on media activism come from political economy scholar. Activist forms of media can appear in unlikely places, like on cable networks or even in the nightly news. McChesney and Nichol’s (2001) article is in fact a good example of the relationship between media reform movements and alternative press. The Nation provides an important forum for the discussion of media reform.
The foundations that support progressive publications also earmark their money for special uses rather than for general operating costs, which means that this funding does not support the basic costs that go to maintaining the press itself.
In essence, the right developed a set of alternative communication networks through which everyday people could connect with movement leaders. These networks through which everyday people could connect to tap into potential constituencies’ often loosely defined emotions and political sentimeters and direct them towards specific political action, electoral campaigns and fundraising goals.

Typology III : Flak
The right’s publicity organizations also enable them to pressure the mainstream media to cover their issues from their sources. This is called flak. Flak institutions essentially discipline the mass media through complaint. Powerful institutions with significant monetary resources can coerce media outlets to change their content, their ideological bent, and/or their personnel. Flak can also be directed at the media’s own contituencies, such as advertisers, stockholders, and major resources. Institution with significant recources, howeverm cab also work as flak institution, especially if they have the ability to embarrass or morally sanction the media and its corporate advertisers. Resources poor organization can also make use of current news stories in their respective issues as points of entry into the news media.

Typology IV : Techniques of strategic media advocacy
We have to look to the power organized people and their abilities to draw attention to and advocate for important political and social issues in other ways. By and large, this goal aims to turn social movement organizations into long-term sources for the news media – or at least making sure ine’s foot is in the door so that you can offer the news alternative naratives on social problems that the ones they typically offer.
To become successful at media activism, social movement organizations must institutionalize media strategies into their day-to-day-work. In other words, they must begin to function as credible information and news recources. News and entertainment media organizations have for a long time tapped visible victim advocacy organizations for stories on crime and crime victims.
Another set of practical media training techniques are directed at working journalist and journalism schools. Most of this training teaches journalist how to alter their professional practices and their demeanor on the job. Victim advocates have pushed the field of journalism to become more reflexsive about its coverage of crime and disaster, especially towards those supposedly most affected by the coverage : the victims. For victims and advocatesm victim-centered journalism education represents an intervention into victims and survivors’ roles in the news making process. It also represents the institutionalization of a victim perspective on crime and violence reporting within journalism schools. Another set of strategies utilizes newer entertainment media forms and combines them with more steadfast forms of media action, such as public service announcements.
Mass media are a contested terrain and the media activist practices of existing social movements. Many of these techniques aim to turn the news into more contested terrain, where social movements can serve as powerful news sources and steer public debate on important public issues.

Sunday, May 09, 2010

Perspektif Teori Kritis dan Kultur Komunikasi Massa

(AG. Eka Wenats Wuryanta)


Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini, menjadi penting dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsi-asumsi teori Marxis selain bahwa juga dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung status quo dan mencampuri usaha gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.

Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.

Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.


Perspektif Kritis dan Kultural

Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih menjadi dasar dari posisi epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt dipakai untuk mengkritisi institusi sosial yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang dikritisi. Alternatif-alternatif institusi atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan praksis. Teori dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria.

Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.

Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi.

Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian teori kritis di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan alasan-lasan lama bila dianggap tidak berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita kepada pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki hasrat sosial yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara sebagai subyek pelaku.


Catatan Kritis

Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori media dan kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah memungkinkan suatu praksis politik. Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik media juga tak mungkin di cerai-beraikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti jika kita menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond Williams dalam Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata ‘budaya’; pertama, budaya dapat digunakan untuk menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas dan perkembangan estetika.

Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama’-ulama’, para seniman, dan sajak-sajak. Kedua, kata ‘budaya’ untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga, Williams menyarankan bahwa budaya dapat digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas artistik. Dengan kata lain, ‘teks-teks’ dan ‘praktik-praktik’ yang fungsi utamanya adalah untuk menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki persinggungan dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis sebagai ‘praktik-praktik penandaan’.

Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah “suatu sistem simbolik yang terbentuk secara internal, khas secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin dengan mereduksinya pada praksis, struktur sosial atau ‘impuls-impuls kemanusiaan dasar”.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here