oleh: AG. Eka Wenats Wuryanta
Pembuka Wacana
Semenjak peristiwa peledakan Menara WTC di New York beberapa tahun yang lalu, berita-berita tentang terorisme menjadi salah satu komoditas utama di media massa seluruh dunia. Belum lagi dengan peristiwa-peristiwa teror yang terjadi di seantero dunia. Pernyataan perang Presiden Amerika Serikat terhadap teroris dengan segala aktivitas terorisme menjadi bahan berita yang mengisi sekian head-line berita media Internasional (seperti yang dilakukan oleh CNN, BBC, ABC) maupun nasional. Perang-perang lokal yang terjadi di belahan bumi menjadi bahan atau materi berita yang semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berita-berita tentang perampok bersenjata yang tidak jarang memakan korban telah menjadi bagian integral bagi media massa untuk menaikkan oplah media, baik media cetak maupun media elektronik. Banyak korban kekerasan dan peristiwa yang bersifat destruktif menjadi ladang panen yang siap dipanen bermanfaat untuk memperbanyak kuantitas profit ekonomi para pemilik modal media massa kontemporer. Bukan saja berita yang bersifat langsung dan keras yang laku di pasaran tapi juga berita-berita kelaparan, kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat dalam “teror-teror” simbolik yang dikembangkan di media massa.
Kajian ilmu komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi pada tingkat praksisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan manusia itu sendiri (Littlejohn, 2002).
Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup signifikan pada kehidupan sehari-hari.
Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.
Diskusi I: Culture of Fear + Ideologi Politik Kekerasan = TERORISME
Perjalanan sejarah manusia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kekerasan. Dapat dikatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah tontonan yang penuh dengan tindak kekerasan. Kekerasan terbentuk dari brutalitas, perampokan, perkosaan, tawuran, mutilasi, sadisme, bahkan penghilangan paksa. Tesis empirik dari sejarah kekerasan manusia ini – yang sarat dengan ketidaknyamanan ontologis merupakan kontradiksi dengan jaminan kenyamanan ontologis, seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens tentang globalisasi.
Proses dehumanisasi sampai ke taraf yang paling primitif ini terjadi pada skala pelaku individual, etnis, antar agama bahkan sampai taraf antar kelas (lih. Pembantaian suku tutsi di Rwanda). Dehumanisasi yang berujud budaya rasa takut merupakan deaktualisasi atau impotensi kemampuan manusiawi yang hendak dibangun dalam peradaban modern melalui komunikasi modern yang rasional dan penuh dengan harapan terjadinya dialog peradaban.
Alih-alih, sistematika kekerasan dikurangi - dalam perkembangan selanjutnya kekerasan telah bertransformasi menjadi sistematika politik kekerasan. Ideologi politik yang mengembangkan “trade off” atas pengembangan hak asasi manusia merupakan bagian sejarah yang faktual dialami oleh masyarakat Indonesia. Kekerasan ekonomi yang dipenuhi dengan pola penggusuran paksa dan perampokan terstruktur dalam bentuk korupsi dengan dalih stabilitas dan prestise ekonomi nasional. Kekerasan budaya yang membentuk pola interpretasi tunggal terhadap fenomena seni menggerus interpretasi personal dan semakin memarginalisasi ruang kebebasan potensi estetik manusiawi. Politik kekerasan sebagai bentuk manifestasi kefrustasian sosial menjadi latah dilakukan dan biasa untuk dilakukan. Pola-pola politik kekerasan ini membentuk atmosfer ketakutan yang massif atas nama stabilitas politik, keamanan dan demokrasi.
Dalam perspektif di atas, saya ingin meletakkan makna terorisme dalam pengertian yang bisa didiskusikan secara mendalam. Ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan dalam kerangka pengembangan diskursus atau wacana tentang terorisme.
Pertama, terorisme sebagai ontologisme eksistensi manusia. Pertimbangan pertama ini berangkat bahwa sangatlah naif apabila kita mengartikan terorisme sebagai usaha bela diri dari segala ketidakadilan. Terorisme merupakan permasalahan eksistensial manusia mengenai bagaimana manusia ber”ada”. Pada dasarnya, manusia mengalami ketidaknyamanan ontologis bahwa mereka mempunyai keterbatasan dalam hidup. Sifat kesementaraan ini menimbulkan ketidakpastian dalam mengisi kehidupan. Terjadi gap pemaknaan antara ada untuk diri, ada bersama orang lain dan ada bersama untuk bersama mati (lihat pandangan Heidegger mengenai masalah being manusiawi).
Manusia modern terperangkap dalam gugusan citra yang ingin melampaui keterbatasannya. Citra kontemporer yang dibangun oleh media massa turut mempengaruhi mind-set mengenai kekuatan, kekuasaan, superioritas. Masalahnya, citra-citra tersebut serta merta membentuk citra kekerasan sebagai pola hidup yang harus dilalui (pandangan Charles Darwin tentang survival of the fittest). Lebih ironi lagi adalah bahwa citra kekerasan tersebut mengejar tuntutan untuk membentuk mesin kekerasan untuk menjamin keberlangsungan dan penguasaan atas nilai yang citrawi tersebut. Akhirnya tidaklah mengherankan apabila Amerika dengan mesin perang dan ekonomi mencoba untuk menterjemahkan hal tersebut.
Indonesia mengalami sebuah era perubahan sosial politik yang cukup mendasar. Kehidupan demokrasi yang sempat stagnan pada masa Orde Baru, mulai menunjukkan gairah kehidupan yang sebenarnya. Salah satu indikator yang menunjukkan sejauh mana demokrasi mulai bernafas dengan lega adalah indikator kebebasan pers atau media yang pada waktu Orde Baru mengalami pemasungan yang luar biasa. Kekuatan media yang seharusnya menjadi kontrol sosial dan politik justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bagian hegemoni negara yang sedemikian kuat. Tidak mengherankan apabila media massa pada waktu itu menjadi state apparatus, yang artinya bahwa media massa justru menjadi corong kebijakan otoriterianisme yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh rejim Orde Baru.
Situasi sebagian besar media massa Orde Baru yang sempat menjadi state apparatus tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme di Indonesia pada khususnya atau dunia pada umumnya (Hidayat, Dedy. N., 2000, hal. 129-133). Tapi kenyataan bahwa industri media massa Orde Baru yang dipengaruhi oleh sistem politik-ekonomi yang berkembang saat itu, tetap kita tidak bisa menutup kenyataan bahwa media massa di Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem kapitalisme media massa global pada waktu itu.
Ketika Indonesia mengalami perubahan sosial politik, rupanya imbas perubahan sosial yang terjadi juga dialami oleh industri media massa di Indonesia. Proses transisi demokrasi di Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri. Penguatan peran media dalam kehidupan sosial semakin dirasakan sebagai faktor positif perubahan sosial di Indonesia. Meskipun, penguatan peran dan aktivitas media setelah “lengsernya” Soeharto juga mempunyai dampak negatif. Tapi yang jelas, telah terjadi perubahan iklim ketidakbebasan menjadi kebebasan yang sempat “dirayakan” oleh para pelaku industri media di Indonesia.
Masalahnya, dari sekian perubahan sosial politik dalam negeri yang sempat mengubah iklim kebebasan media, Indonesia sebagai bagian global juga terkait dan dipengaruhi oleh kemajuan serta modernisasi sistem komunikasi dunia. Perkembangan atau revolusi informasi yang menyeluruh, radikal, drastis dan menyentuh seluruh dimensi kemanusiaan terasakan oleh manusia Indonesia juga oleh pelaku media massa Indonesia.
Perubahan yang signifikan dalam bidang komunikasi-informasi global yang berpengaruh pada perubahan sosial manusia Indonesia menjadi salah satu alasan pengajuan pertanyaan kritis: sejauh mana dan bagaimana revolusi komunikasi-informasi atau globalisasi media massa memberikan dampak yang berarti bagi perubahan sosial-budaya-ekonomi-politik masyarakat Indonesia ?
DAMPAK GLOBALISASI MEDIA
Kalau kita tarik garis umum dampak globalisasi media pada tata sosial masyarakat Indonesia pada khususnya, maka dapat ditemukan garis positif atau konstruktif serta garis negatif atau destruktif. Garis positif atau lebih tepat akibat konstruktif fenomena globalisasi media massa di Indonesia adalah perubahan sosial politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral sistem komunikasi sosial masyarakat. Sementara itu, garis negatif dalam arti dampak buruk dari globalisasi media dapat juga dilihat dari fenomena masyarakat yang semakin konsumeristis, apatis, individualistis dan sebagainya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa globalisasi media massa juga memicu kerusakan etika atau moral kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
Beberapa dampak negatif yang perlu dieksplorasi dalam diskusi ini adalah: pertama, gejala globalisasi media massa membuka kondisi dunia yang borderless world. Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam sistem, pola dan budaya komunikasi dunia dan Indonesia pada khususnya. Masalahnya terjadi paradoks yang muncul di dalam gejala ini, yaitu ketika dunia dan globalisme memicu penyeragaman cara, sistem komunikasi umat manusia, di situ juga terjadi budaya tanding dalam bentuk tren nasionalisme, primordialisme, lokalisme kebudayaan. Ini artinya dalam globalisasi, termasuk di dalamnya globalisasi media massa, terjadi tarik ulur kecenderungan holisme-kolektivistik dengan tendensi parsialisme-individualistik manusia. Masing-masing sikap tidak seluruhnya buruk, karena terjadi penyebaran pesan global yang positif misalnya globalisasi gerak demokrasi atau gerak penyebaran tata nilai agama (BBC World - CNN sempat dijuluki sebagai salah satu juru bicara tata demokrasi baru). Tapi juga tidak seluruhnya baik, karena globalisasi informasi global sempat menjadi benih-benih perilaku kekerasan, separatisme atau regionalisme yang berlebihan (rentetan kerusuhan di Ambon dan pengerahan massa Laskar Jihad disinyalir karena diprovokasi pemberitaan di beberapa media Jakarta yang bertiras nasional).
Kedua, kebijakan media global. Setidaknya ada dua dimensi dalam kebijakan media global, yaitu kebijakan internal (editorial) yang bersifat horizontal dan kebijakan politik-ideologi pelaku media yang bersifat vertikal. Dalam perkembangan kapitalisme global tidak jarang kedua dimensi tersebut saling bertabrakan kepentingan. Tarik ulur kebijakan politik-ideologi yang dipunyai oleh pelaku media terkait dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pada saatnya, kebijakan-kebijakan publik tersebut saling silang dengan kepentingan dan kebijakan pelaku media dalam konteks industri media yang mereka buat. Perbenturan kepentingan antara kebijakan internal dan eksternal yang ada dalam konteks budaya komunikasi di Indonesia rupanya juga mempengaruhi bagaimana prinsip kebebasan pers harus dimaknai.
Memang, kebebasan media massa global menjadi salah satu tolok ukur bagaimana demokrasi harus dibangun. Tapi, kebebasan yang dipahami dalam konteks perspektif ekonomi politik tetap harus diletakkan dalam konstelasi alur atau jalinan kekuasaan yang mendistribusikan, memproduksi dan mengkonsumsi seluruh produk media sebagai output kebudayaan sosial. Artinya, dengan konteks Indonesia, apakah memang kebebasan media massa di sini dilihat sebagai komoditas perluasan globalisasi yang sedang berlangsung atau kebebasan media massa merupakan raison d’etre demokratisasi di Indonesia ?
Ketiga, globalisasi media massa semakin memperlebar jurang perbedaan atau kepincangan arus informasi yang terjadi antara negara-negara maju di satu pihak dengan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di lain pihak. Kehadiran suatu media terutama di Indonesia bisa menjadi indikator yang kuat terbentuknya sistem sosial yang terbuka dan demokratis. Tapi kehadiran media global di dalam media Indonesia juga menimbulkan masalah. Seperti pada karakter pembentukan media massa di negara berkembang pada umumnya, secara luas dapat kita sistem kepemilikan, pola produksi dan kebijakan internal yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem kepemilikan, pola produksi dan industri media di negara-negara maju. Inilah yang pada akhirnya akan membuat kepincangan arus informasi yang didominasi oleh media global.
Tahapan konsentrasi sistem kepemilikan, pola produksi dan distribusi, kebijakan internal media global (yang sering diwakili oleh media negara maju) akan menimbulkan tekanan yang berupa potensi teknologi baru dan konsentrasi ekonomi yang semakin memusat pada pelaku media besar (Graham-Golding, dalam Curran-Gurevitch “Mass Media and Society, 1991: pp.15-30). Lihat bagaimana Metro TV merujuk media besar CNN untuk liputan peristiwa WTC 11 September 2001 atau Indosiar yang merujuk VOA TV, atau beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan radio lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.
Tahapan konsentrasi dominasi sistem komunikasi global ini melahirkan apa yang dinamakan dengan imperialisme budaya global. Setidaknya dalam refleksi ilmiah, fenomena imperialisme budaya terutama yang sekarang kita alami mempunyai dua sifat yang saling terkait satu sama lain. Yang pertama soal sifat satu-arah dari aliran media internasional, di mana aliran besar dipasok dari ciri, visi, opini produk media negara maju. Sementara sifat yang lain terlihat bahwa proses pengaruh dalam sejumlah kecil negara berkembang memperhitungkan substansi pengaruh media internasional.
Keempat, timbulnya masalah bagaimana sistem sosial dan hukum nasional mewadahi berbagai ragam kepentingan yang masuk dan terpenetrasi secara ideal maupun nilai yang ditawarkan oleh media global. Artinya bahwa informasi pasar global yang diwujudkan dalam ide-ide komunikasi sosial masuk ke negara-negara berkembang tanpa melalui sensor yang diperlukan. Konsekuensi logis globalisasi yang bersifat borderless society mengakibatkan penetrasi tanpa batas tanpa perlu mengindahkan kedaulatan negara, masyarakat, dan individu.
Kelima, akibat point keempat dapat terlihat dengan munculnya berbagai masalah terutama pada masalah etis produksi, distribusi dan konsumsi isi media yang berisi tentang bagaimana hak privasi dapat dilindungi ketika hak tersebut berbenturan dengan hak publik untuk mengetahui. Ini berarti bahwa dampak negatif dari globalisasi media tidak hanya berhenti pada tataran sosial-kolektif tapi juga pada tataran individual.
Keenam, munculnya masalah sumber manusia yang menjadi pelaku media. Ketika media global masuk ke sebuah negara, dalam hal ini Indonesia, tentu saja standarisasi sumber daya manusia juga harus disesuaikan dengan ukuran internasional. Dalam hal ini, kita harus mengakui bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam bidang media masih memprihatinkan. Masalahnya adalah ketika masalah SDM ini mencuat sebagai masalah global dapat kita tarik garis lurus lalu bagaimana kualitas isi pemberitaan. Ketika kualitas isi media lokal masih memprihatinkan, maka pertanyaan kritis lainnya adalah apakah memang media massa kita masih bisa dipercaya ? Lebih baik percaya dengan media global yang sudah diketahui kualitas SDM dibandingkan dengan kualitas wartawan, reporter, kameramen, produser media yang ada dan hidup di Indonesia. Hal ini nantinya akan berpengaruh dengan soal prioritas nilai persaingan yang harus dihadapi oleh para pelaku media di Indonesia.
DISKUSI MASALAH DAMPAK GLOBALISASI MEDIA
Pola Interaksi Globalisasi Media
Dari beberapa point menyolok dari dampak globalisasi media yang dialami oleh negara berkembang dan Indonesia pada khususnya, terlihat ada beberapa pemikiran yang perlu dipertegas lagi supaya bisa dicari dan dieksplorasi lebih dalam lagi.
Pertama soal perspektif ekonomi politik yang melingkupi soal media di Indonesia. Perspektif ekonomi politik media di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman kita terhadap proses relasi sosial khususnya hubungan kekuasaan yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada (Mosko, 1996). Dalam konteks bidang komunikasi di Indonesia maka sumberdaya yang berupa relasi koran, buku, audiens, pelaku bisnis media, pemerintah merupakan jalinan atau rangkaian produksi, distribusi dan konsumsi media di Indonesia. Rangkaian kekuasaan politik yang berarti kekuasaan untuk mengontrol dan rangkaian kekuasaan ekonomi yang berarti kekuasaan untuk tetap survive dalam hidup bersama. Dengan demikian rangkaian produksi, distribusi, konsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh hubungan yang melibatkan pelaku media, pemodal media (kapitalis media), dan negara sebagai penguasa dalam arti politis.
Persoalan yang menyangkut industri dan pasar media di Indonesia merupakan hubungan yang saling mengandaikan dengan tetap mengambil pola kapitalisme global sebagai sistem besar yang mengatur hubungan tersebut. Globalisasi media di Indonesia dalam sejarahnya yang panjang tetap tidak bisa dipisahkan dengan pola hubungan yang bersifat saling silang atau tarik ulur kepentingan antara pihak pelaku-pengelola media di mana di dalamnya ada aspek kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial pada masyarakat; pihak pemodal yang di dalamnya aspek orientasi pada keuntungan dan pihak negara di mana di dalamnya ada kewajiban serta hak pengaturan, kontrol-pembinaan media massa yang berkembang di Indonesia (Hidayat, Dedy. N., 2000; Dhakidae, 1991).
Hubungan tarik ulur pelaku ekonomi politik media Indonesia tidak bisa memisahkan diri dari konstelasi perkembangan teknologi dan dinamika kapitalisme global. Artinya, para pelaku ekonomi politik media Indonesia sangat diwarnai oleh pendekatan dinamis pembangunan bangsa sebagai wacana dan praksis publik. Padahal pembangunan sebagai wacana dan praksis publik Indonesia sampai sekarang masih berorientasi dengan bagaimana pembangunan menghasilkan pertumbuhan. Wacana dan praksis pertumbuhan dalam era modernitas diwakili secara gemilang oleh sistem ekonomi dan sosial kapitalisme lanjut yang bersifat neo-liberalistik.
Titik refleksi dan kaitan pemahaman atas pernyataan di atas adalah kondisi dan situasi globalisasi media diwarnai dengan soal konteks yang lebih sempit, yaitu bahwa globalisasi media di Indonesia ditunjang dengan kebijakan publik dan politik yang berkembang sampai sekarang. Bahwa Indonesia masih harus membentuk dirinya dalam situasi yang terus bertumbuh. Pertumbuhan Indonesia didukung dengan praksis ekonomi kapitalis global.
Tapi di lain pihak, terlihat bahwa media massa global sangat mewarnai perkembangan media di Indonesia Setidaknya bahwa media Indonesia sedikit banyak berwarna seragam dengan pola globalisasi yang berkembang Indonesia. Lepas apakah memang ada persoalan interplay antara globalisasi dengan proses lokal, kita melihat bahwa pola hubungan politik ekonomi global saling berjalan timbal balik dan saling tergantung sama lain, saling mentransformasikan nilai guna media di hadapan masyarakat (berbagai berita politik, ekonomi, gosip selebritis yang bisa diubah menjadi komoditas ekonomi yang laris), konsentrasi media secara horizontal, vertikal dan perusahan multinasional, misalnya Indosiar dalam Salim Group merupakan salah satu diversifikasi horizontal, vertikal dari kekuatan ekonomi pasar yang dikembangkan oleh Om Liem, kelompok Kompas-Gramedia yang mempunyai beberapa majalah, tabloid, koran-termasuk di dalam koran daerah, hotel, toko serba ada, tour travel agent, radio sonora, TV7 (Mosko, 1996; -Giddens, 1999).
Tentu saja contoh di atas adalah salah dua contoh yang bisa dikemukakan, masih ada banyak contoh yang bisa dilihat. Masalahnya adalah ketika proses globalisasi merambah masyarakat Indonesia tetap ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat.
Revolusi Media Global yang Harus Ditata
Ketika globalisasi media berikut revolusi industri media global merambah Indonesia, harga wajar yang harus dibayar masyakat dan sistem sosial Indonesia adalah ketergantungan pola komunikasi (Indonesia semakin tergantung dalam seluruh warna produksi media berikut asas filosofi dalam produksi dan distribusi media), imperialisme dan hegemoni informasi serta ketidakmampuan media masyarakat mengangkat ruang publik yang seharusnya menjadi media alternatif bagi aspirasi rakyat.
Adagium yang perlu disadari adalah bahwa harga yang harus dibayar tersebut mempunyai dua mata. Mata positif dalam arti bahwa harga tersebut tetap memberikan kontribusi yang baik bagi perubahan sosial di Indonesia. Mata negatif dalam arti bahwa harga tersebut justru menjerumuskan sistem sosial termasuk di dalamnya media massa Indonesia dalam lingkaran mesin besar kapitalisme yang bisa membuat sistem sosial berikut individu-individu masyarakat semakin “terasing” dengan budaya dan aspirasi kebenaran yang mau dicapai oleh manusia Indonesia.
Oleh sebab itu, revolusi dan globalisasi media perlu diatur dan dikontrol agar seluruh pemain, baik itu pelaku media, pemodal, masyarakat maupun negara tetap menjadi pihak-pihak yang proporsisional memainkan hak dan kewajibannya.
Dampak Globalisasi Media terhadap Hukum Nasional
Patut yang menjadi pertimbangan dalam soal bagaimana sistem ekonomi politik media yang di dalamnya mempunyai dinamika globalisasi media bisa diatur; adalah bahwa globalisasi media tidak bisa dikatakan bebas nilai dan bebas kepentingan, entah itu kepentingan ekonomi atau kepentingan politik. Masalah hukum atau penataan aturan main dalam media selalu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah budaya politik (berkaitan dengan demikian pada masalah kekuasaan dan kontrol), soal budaya (berkaitan dengan demikian pada masalah simbolisasi-komodifikasi-spasialisasi-strukturisasi) serta masalah perekonomian nasional (Muis, A., 2001: pp. 97-116).
Pengalaman Indonesia selama ini menyatakan bahwa hukum selalu berada di bawah kekuasaan politik. Hal ini mengakibatkan bahwa sering kali hukum Indonesia belum mampu menjadi alat yang adil bagi masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya. Impotensi hukum di hadapan masalah politik jelas akan menjadikan hukum semakin lemah di hadapan derasnya laju globalisasi informasi yang sering bersifat anti negara, anti individu, anti masyarakat, anti norma dan sebagainya.
Kenyataan di atas memperlihatkan betapa ketika kita mempunyai sistem hukum yang positif tapi tetap saja ketika sistem hukum tersebut berhadapan dengan masalah-masalah baru terutama dalam bidang komunikasi, gagaplah sistem hukum Indonesia (lihat saja pelanggaran dengan menggunakan internet atau media massa nir-kabel yang belum ditampung secara positif dalam hukum Indonesia, atau pelanggaran privasi individu sehingga gambar tubuh atau kepalanya bisa dimanipulasi sehingga menjadi gambar yang tidak senonoh, atau beberapa televisi yang menayangkan film-film dewasa pada waktu jam anak-anak masih bangun, atau konsep tabloid cetak porno yang secara sewenang-wenang bisa memberikan gambar semi-vulgar pada siapa saja yang melihat, termasuk pada anak-anak di bawah usia). Ini berarti memang hukum nasional di satu sisi kuat ketika dia bisa dipergunakan untuk kepentingan politik praktis. Tapi di sisi lain, terlihat hukum Indonesia masih “loyo” menanggapi fenomena globalisasi media. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa membangun regulasi yang bisa mengantisipasi dan mengontrol dampak negatif yang dihasilkan oleh globalisasi media ?