Monday, October 26, 2015

Pergeseran Epistemik dalam Teori Komunikasi Massa ke Komunikasi Bermedia

AG. Eka Wenats Wuryanta
  
Seiring dengan perkembangan media massa dan dinamika sosial kemasyarakatan, tak dapat dipungkiri bahwa terjadi juga beberapa pergeseran atau perubahan dalam teori komunikasi massa. Perubahan ini, gelagatnya, akan terus terjadi karena mengikuti perkembangan media dan teknologi informasi yang kian pesat. 

Terdapat beberapa perubahan teori komunikasi massa di antaranya berikut ini:
  1. Terdapat kecenderungan titik perhatian atau penekanan akan penggunaan media elektronik dan internet dari masa sebelumnya. Peran penting aktivitas audiens juga semakin  jelas  seiring dengan munculnya bentuk-bentuk baru media.
  2. Ada pergeseran dalam pendekatan komunikasi perspektif kognitivis atau teori berkaitan dengan proses informasi ( Beniger & Gusek, 1995).

Di dalam situasi perkembangan dan perubahan epistemik teori media komunikasi, setidaknya tercakup tiga aspek penting, yaitu sebagai berikut:
  1. Pergeseran dalam variable independen dari yang semula berupa variable persuasi ( misal kredibilitas sumber) menjadi konsep-konsep semacam ‘wacana’ (misal sifat dan penggunaan dari bahasa yang merepresentasikan ideology tertentu) dan ‘framing’ (misal bagaimana sebuah peristiwa dikemas dan disajikan dalam media). Atau setidaknya ada pergeseran pola dan titik penelitian yang tadinya banyak berbicara tentang efek media menjadi berbicara soal makna dan diskursus ideologi yang menjadi variabel penting dalam studi media.
  2. Perubahan dalam dependen variabelnya, dari variable sikap (misal setuju atau tidak setuju beradasarkan evaluasi terhadap objek) menuju variable kognitif/pengetahuan ( misal pengetahuan atau keyakinan terhadap sesuatu objek)
3.                  Perubahan dalam penekanan dari yang semula diakibatkan oleh kekuatan komunikasi (misal perubahan sikap atau perilaku) menuju konstruksi ulang (misal perubahan cara pandang  kita atau dikenal dengan pendekatan konstruksi sosial atas realita)

Perkembangan pesat teknologi komunikasi mau tidak mau mengharuskan peneliti untuk mencari formulasi teori komunikasi baru  yang bisa mewadahi konsep sejalan dengan sifat media atau teknologi yang ada.  Misalnya, kita harus menghindari konsep atau frase seperti “pembaca surat kabar” atau “terpaan televisi” dan diganti dengan frase “perilaku masyarakat mencari informasi”, “ kebutuhan akan persahabatan”, “tingkatan kontrol pengguna media”, dst.  Dengan kata lain, kita sudah harus berubah dari yang semula disarankan oleh sosiolog Herald Hage ketika menyebut “specific nonvariable” menuju “ general variable” (Hage, 1972).

Selain itu, bagi para pengkaji media juga harus mengubah penekanan studi terkait “efek” dengan memusatkan perhatian  “dampak sosial komunikasi”. Bogers (1986) menyarankan beberapa dampak sosial yang penting dari adanya teknologi komunikasi misalnya bertambahnya  pengangguran, bertambahnya jurang informasi antara si kaya dan si miskin, meningkatnya ketidasetaraan gender dalam kaitannya dengan akses media, peluberan informasi, makin berkurangnya privasi, desentralisasi kekuasaan dalam masyarakat, dan segmentasi audiens media massa.
Teori Media

Produk media merespon terhadapat perkembangan sosial dan budaya dan selanjutnya media memengaruhi bagaimana perkembangan social dan budaya tersebut. Adapun contoh media tersebut adalah televisi. Televisi dapat memengaruhi bagaimana individu berpikir tentang dunia dan merespon pada dunia.

Teori Media Klasik

Marshall McLuhan memberikan gagasan bahwa, Media terpisah dari apapun yang disampaikannya, pengaruh individu ataupun masyarakat. Televisi memengaruhi anda terlepas dari apa yang anda tonton. Dunia maya memengaruhi masyarakat, terlepas dari situs yang orang kunjungi. Media pribadi mengubah masyarakat, terlepas dari pilihan lagu yang dibuat oleh penggunanya. Sebenarnya gagasan sangat dipengaruhi oleh karya pengajarnya, Harold Adams Innis mengajarkan bahwa media komunikasi adalah intisari peradaban dan bahwa sejarah diarahkan oleh media yang menonjol pada masanya. Bagi McLuhan dan Innis, media merupakan perpanjangan pikiran manusia, jadi media yang menonjol dalam penggunaan membiaskan masa historis apapun.

Tesis McLuhan adalah bahwa manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio pemahaman tertentu dan media utama dari masa tersebut menghadirkan rasio pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi.

Donald Ellis mencatat bahwa media yang terbesar pada suatu waktu akan membentuk prilaku dan pemikiran. Ketika media berubah demikian juga cara berpikir kita, cara kita mengatur informasi, dan berhubungan dengan orang lain.

Pergeseran lain terjadi ketika media elektronik muncul ke permukaan. Media elektronik seperti televise dapat cepat dan bersifat sementara, tetapi tidak terikat dengan tempat tertentu  karena dapat disiarkan secara luas.

Pergeseran lain munculnya dunia maya dan teknologi yang terkait dan komunikasi dengan media computer telah menciptakan realitas tambahan. Pergeseran ini mengacu pada apa yang dikenal dengan “media baru”. Pergeseran yang terjadi dari media penyiaran ke media interaktif dengan munculnya dunia maya membawa lingkungan media ke permukaan, dengan minat baru dalam teori media anatar para peneliti komunikasi.

Teori Media Baru

Tesis tentang era media kedua membawa teori media dari kesamaran yang relative pada tahun 1960-an pada populeritas baru pada tahun 1990-an dan seterusnya. Era media pertama digambarkan oleh (1) sentralisasi produksi (2) komunikasi satu arah (3) kendali situasi (4) reproduksi stratifikasi social dan perbedaan melalui media (5) audiens massa yang terpecah (6) pembentukan kesadaran social. Era media kedua dapat digambarkan sebagai : (1) desentralisasi (2) dua arah (3) diluar kendali situasi (4) demokratisasi (5) mengangkat kesadaran individu (6) oriebtasi individu.
           
Ada dua pandangan yang dominan tentang era media. Pertama dengan penekanannya pada penyiaran, dan era media kedua dengan penekanannya pada jaringan. Kedua pandangan tersebut adalah pendekatan interaksi social dan pendekatanintegrasi social.
           
Pendekatan interaksi social membedakan media menurut seberapa dekat media dengan model interaksi tatap muka. Ada beberapa masalah dalam membuat perbandingan ini, beberapa orang yakin bahwa media yang baru lebih “termediasi” daripada yang akan diyakini oleh para pendukungnya. Media baru juga mengandung kekuasaan dan batasan, kerugian dan keuntungan, dan kebimbangan.
           
Pada pendekatan integrasi social menggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi, atau penyebarannya, tetapi dalam bentuk ritual, atau bagaimana manusia menggunakan media sebagai cara menciptakan masyarakat. Menurut pandangan integrasi social, interaksi bahkan bukanlah sebuah komponen penting dalam integrasi social melalui ritual.

Aplikasi dan Refleksi

Dalam ilmu komunikasi massa, pembicaraan mengenai relasi antara media dengan audiens-nya memang dianggap sebagai bagian yang paling sulit dirumuskan secara teoritis. Dulu ada yang namanya Teori Peluru atau dikenal juga sebagai Teori Jarum Suntik, yang berasumsi bahwa isi media mempengaruhi audiens layaknya peluru yang menembus sasaran tanpa hambatan, atau seperti sesuatu yang disuntikkan ke dalam tubuh. Seiring dengan perkembangan zaman, di mana manusia semakin pintar dan kritis, maka teori itu pun gugur.

Nyatanya, audiens media bukanlah sekumpulan orang yang pasif dan menerima begitu saja pesan yang disampaikan oleh saluran-saluran komunikasi. Maka, kemudian lahirlah teori-teori lain, salah satu yang penting dan masih relevan sampai sekarang adalah Teori Agenda Setting. Ide dasarnya: media (komunikasi) massa lebih dari sekedar pemberi informasi dan opini. Media mungkin tidak atau kurang berhasil membuat orang untuk memikirkan sesuatu. Namun, teori ini percaya bahwa media sangat berhasil mendorong audiens-nya untuk menentukan apa yang perlu mereka pikirkan.

Dengan kata lain, Agenda Setting menggambarkan betapa “powerful”-nya (pengaruh) media, terutama dalam kemampuannya menunjukkan kepada kita, ini lho isu-isu yang penting. Dengan demikian, teori ini mengandung asumsi bahwa media tidak semata-mata mengabarkan informasi dan opini, melainkan lebih daripada itu, juga menyeleksi dan menentukan informasi maupun opini tersebut. Artinya, media sebenarnya hanya berkonsentrasi pada isu-isu tertentu yang jumlahnya mungkin sedikit, dan kemudian membuat audiens menerima bahwa memang itulah isu-isu yang lebih penting dibandingkan isu-isu lainnya yang banyak sekali.

Teori Agenda Setting berkembang pada dekade 60-an, ketika belum ada internet. Tentu saja, apa yang disebut sebagai pengaruh pers (koran, majalah, radio, televisi) itu masih ada, dan tetap nyata dan boleh dibilang, juga tetap besar. Namun, kini peran itu sudah digerogoti, untuk kemudian dibagi, oleh blog dan situs-situs jaringan sosial di internet. Bahkan, dalam batas dan kasus tertentu, peran itu sudah bergeser. Apa yang penting bagi publik sekarang ini tidak lagi (hanya) ditentukan oleh koran nasional atau stasiun TV besar, melainkan juga oleh postingan di blog, video yang mungkin di-unggah secara iseng di Youtube, konversasi di Facebook atau bahkan mungkin “status” seseorang (yang cukup berpengaruh) di Twitter.

Kasus monster air Pantai Ancol barangkali akan menjadi salah satu contoh klasik untuk pergeseran peran agenda setting (dari) media massa ke social media. Kabar mengenai adanya monster air itu berawal dari sebuah video di Youtube, yang kemudian menjadi obrolan di Forum Kaskus. Detikcom kemudian mengembangkannya, me-running beritanya, bahkan sampai mewawancarai Wapres Jusuf Kalla segala sehingga menimbulkan efek dramatis yang mencekam –seolah-olah ini sesuatu yang sangat gawat, dan oleh karenanya perlu mendapat perhatian semua pihak. Hingga akhirnya koran-koran dan televisi pun “menindaklanjuti”-nya.

Menarik untuk mencermati, bagaimana media online seperti Detikcom, yang di awal kemunculannya diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh para budayawan serius (yang mengatakan bahwa berita-beritanya dangkal, tidak akurat, dan kurang bisa dipercaya), dalam perkembangannya justru memainkan peran yang krusial dalam mengarahkan agenda media-media besar, cetak maupun elektronik.

Dengan kata lain, suatu isu mendadak menjadi penting ketika dilaporkan oleh Detikcom –lebih-lebih jika isu itu di-update terus-menerus. Efek dari “running news” ala dotcom semacam itu memang ampuh dalam meningkatkan nilai berita sebuah informasi atau isu tertentu, yang tak jarang membuat para redaktur koran dan TV kalang-kabut. Belakangan, dengan semakin maraknya penggunaan media-media jaringan sosial di internet macam Facebook dan Twitter, berita-berita dari media online (tidak hanya Detikcom), tapi (sekarang juga ada) Kompas.com, Vivanews, Okezone, Inilah.com dan lain-lain) semakin menemukan jalan mulus untuk memainkan “kepemimpinan”-nya dalam agenda setting komunikasi massa.

Para blogger, Facebooker, dan pecandu micro-blogging lewat Twitter dan Plurk sering secara sukarela “membawa” berita-berita dari media-media online tersebut ke blog dan social media, baik dalam bentuk postingan, informasi link, maupun pernyataan di status. Dan, semua itu kemudian menciptakan konversasi yang panjang dan ramai. Waktu terjadi pembunuhan di Pasific Place beberapa waktu lalu misalnya, seorang teman saya membuat postingan yang selain “mengabarkan kembali” peristiwa itu, sekaligus juga mengungkapkan kekhawatirannya akan ibukota yang semakin tidak aman.

Ternyata, banyak dari pembaca yang berkomentar, baru tahu mengenai berita pembunuhan itu dari postingan tersebut. Ketika sebuah helikopter militer lagi-lagi terjatuh, Pemimpin Redaksi Detikcom Budiono Darsono langsung memasang link berita dari media yang dipimpinnya mengenai peristiwa itu di Facebook-nya. Pada saat yang berbarengan, sejumlah awak redaksi lainnya juga melakukan hal yang sama. Bayangkan, kalau semua awak redaksi sebuah media online memasang setiap link hot news di Facebook dan/atau Twitter masing-masing! Betapa akan sangat besar dampaknya dalam mempengaruhi agenda setting komunikasi massa.
Kasus Prita adalah contoh paling segar tentang kedahsyatan konversasi online dalam mempengaruhi agenda setting media massa secara umum. Begitu ramainya postingan di blog dan pembicaraan di Facebook yang mengungkapkan keprihatinan, dukungan maupun simpati atas Prita yang dituntut karena dituduh mencermarkan nama baik Rumah Sakit Omni Tangerang, koran-koran, majalah dan televisi pun kemudian beramai-ramai menjadikannya laporan utama. Ini bisa diartikan bahwa secara tidak langsung blog dan social media telah mampu menjadi kekuatan penekan –sebuah peran politis yang penting dan strategis, yang sebelumnya, selama ini, (hanya) dimiliki oleh pers “resmi”.




Referensi :

Beniger,J.R. & J.A.Gusek, 1995. “The cognitive revolution in public opinion and communication research”. Dalam TL Glaseer and C.T. Salmon, Public Opinion and the Communication of Consent. New York : The Guilford Press. Hal. 217-248.

Hage,J. 1972. Techniques and Problem of Theory Construction in Sociology. New York : John Wiley

McLuhan, Marshal, 1999, Understanding Media, The Extension Of Man. London: The MIT Press.

Mulyana, Deddy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisik. Yogyakarta: Jalasutra.

Sendjaja, Sasa Djuarsa, 2000. Paradigma Baru dalam Perkembangan Ilmu Komunikasi disampaikan pada Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Strinati, Dominic. 2003. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.

Tester, Keith, 2003, diterjemahkan Muhammad Syukri, Media, Budaya, Moralitas. Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dan Kreasi Wacana.

Wimmer, Roger D & Joseph R Dominick. Mass Media Research edisi ke 2



Sunday, April 19, 2015

Segara Larung dan Kritik Teater: Antara Penilaian Estetik dan Kegenitan Intelektual

Tulisan ini berangkat dari beberapa diskursus yang membahas dan menilai pementasan Segara Larung yang dilakonkan oleh Teater Kafha Paramadina. Beberapa penilaian, kritik dilemparkan seperti SEGARA LARUNG: NARASI SERAMPANGAN ATAS PROBLEM NELAYAN dan SEGARA-LARUNG: SAMUDRA, DAN SEGALA KEMUNGKINAN-KEMUNGKINANNYA ..... ada banyak hal yang bisa didiskusikan karena dalam sebuah kritik teater, segala hal bisa dilihat, termasuk prosedur kritik itu sendiri. Tulisan ini lebih merupakan kritik dari sebuah kritik. 

Gejala pendirian dan pematangan teater modern di Indonesia adalah fenomena reklamasi identitas. Teater dipilih sebagai arena kreasi identitas, lebih sebagai kebutuhan personal untuk menguruk dan memadatkan fondasi identitas. Profesionalitas bukan satu-satunya tujuan kulminasi terpenting apalagi kalau teater tersebut berbasis di kampus.

Teater adalah altar penggalian atau pendalaman identitas personal, di mana pengorbanan pribadi dan kedaruratan fasilitas justru jadi jalan ritual untuk pemadatan biografi dari sekian pelaku-pelakunya. Jelas, ini tipe pandangan yang diromantisir, dan kesimpulan yang secara eksplisit emosional. Tapi, optimisme para pekerja teater modern di Indonesia adalah hasil dari internalisasi emosi. Internalisasi emosi inilah yang justru melahirkan moral berkreasi yang liat, tandas, terinisiasi, meski tidak seluruhnya menghasilkan inovasi pertunjukan estetis atau peluapan kreasi sosial yang tidak tercerabut dari akar sosial kemasyarakatan.

Kreativitas estetik teater modern di Indonesia (terutama teater berbasis kampus) bersumber dari energi biografis yang terus digandakan. Perjuangan artistik adalah medan pergulatan identitas itu sendiri. Kreasi teater adalah eksplorasi sekunder kreatornya. Karena itu, dapur kimiawi teater cenderung juga merefleksikan dapur identitas para penggiatnya.

Alur perjalanan kreativitas teater di Indonesia tidak dibangun oleh institusi formal teater, tetapi berbasis pada hasil-hasil sublimatif dan bahkan laten dari kreativitas persona. Biografi teater modern adalah biografi sejumlah persona. Persona itu adalah individu-individu yang memproses sendiri ritual teatrikal-nya, untuk kemudian membangun energi kimiawi dalam lingkaran internal komunitas kreatifnya. Itu sebabnya konsep-konsep kreatif di dunia teater selalu berkumpar pada keunikan dan ekspresi konsep-konsep personal, sebuah self-confession dari dapur biografisnya; dan bukan dimanifestokan dalam bentuk konseptualisasi akademis, yang argumentatif, logis dan sistemik.

Dapur biografis dapat dipahami sebagai hasil pertalian dan transformasi kesadaran persona dengan alam sosialnya. Alam sosial adalah ruang perpindahan dan penyatuan pengalaman sekaligus. Karya-karya teater modern di Indonesia merupakan pilihan adaptif dari proses migrasi dan reintegrasi tersebut. Teater ekspresionis Arifin-Kecil, berisi kesadaran pelintas antara Islam substantif dan proses reintegrasinya dengan narasi urban Jakarta. Putu- dengan teater Mandirinya, menemukan estetika Putu, lewat reintegrasi bahasa piktografik wayang, vokalisasi Bali dan diksi oral komunitas trotoar Jakarta, sepanjang proses migrasi eksistensial Putu, dari Bali, Yogya, lalu berakhir dan bersandar di Jakarta. Yudi- dengan Teater Garasi, melakukan keterputusan migrasi  atas praksis teater populis Yogya— memilih prinsip amnesia terhadap determinasi dan beban budaya masa lalu—untuk menemukan koridor penyatuan dengan ranah estetika global. Mariyo dengan Teater Kafha, melakukan migrasi kader dan eksperimentatif atas budaya Indonesia tanpa harus dibebani dengan penelitian yang ketat atas isu dan wacana pakem sebuah gejala yang dipotretnya. Dan ini terlihat dalam dua kali pementasan Segara Larung di hadapan publik.

Bukan Sekedar me-reka Estetika
Proses estetika teater seperti contoh-contoh di atas adalah proses alkemi teater yang bekerja dalam dapur biografis masing-masing kreatornya. Kreasi teater bukan hanya soal melakukan rekayasa artistik untuk membuat ‘pertunjukan yang bagus’. Kata ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ menjadi terminologi yang terlampau simplistik dalam membaca praktik teater sebagai proses migrasi ini. Sebab klasifikasi kelas ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ adalah kategori kualifikasi untuk kerja profesi. Teater modern di Indonesia dan di Paramadina secara khusus bukan profesi, tapi sebuah kerja alkemis di wilayah dapur identitas personal. Bagi para kreatornya, teater kemudian lebih dihayati sebagai medan empatis, bukan regularitas teknis. Aku dalam teater bukan aku-singular objektif. Aku dalam teater adalah multi-aku, pulang-pergi antara migrasi dan reintegrasi, untuk menemukan identitas sublimnya.

Dalam konteks membaca paradigma kreasi teater seperti di atas, narasi kritik tertantang untuk menunjukkan sensitivitas penerimaan dan pemaknaannya, dengan cara menunjukkan bahwa: di belakang setiap kreasi teknis teater, sebenarnya melekat pula kreasi sublimasi lain, yang bekerja di luar kategori pencapaian ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’. Kreasi sublimatif ini adalah wilayah ritual biografis kreatornya, yaitu peristiwa interface antar sang multi-aku dalam diri, di mana kepercayaan atas penemuan adaptif dan self-confession akan lebih berperan daripada pencapaian kesempurnaan teknis semata.

Kerja kritik teater harus lebih mampu menangkap nilai dari kreasi sublimasi ini, yang biasanya muncul implisit di bawah realitas teknis pertunjukan. Kreasi sublimatif ini menjadi lebih penting dikuak dan dipahami karena dalam relasi sosial dalam sebuah teater, intensitas ritual dari proses reklamasi biografis kreatornya dapat lebih terbaca. Proses reklamasi adalah denyut dari dunia multi-aku, dunia migrasi dan reintegrasi, yang tengah membangun koneksi-koneksi alkemisnya terhadap medan biosfir sosial yang diserap kreator. Dari relasi-relasi seperti itulah, idiom-idiom estetika personal dibangun. Malhamang-Bandar Jakarta, berada dalam koneksi alkemis dengan perahu-perahu kayu Tanjung Priok. Gundono-Suket, mendapatkan kembali nutrisi estetik yang melimpah dari kekenyalan memori pastoralnya, yang lekat dengan imaji rumput dan tanah. Mariyo dengan teaternya bekerja secara laten pada wilayah penafsiran semena atas makna bahasa sebagai sebuah permainan, yang terwujud dalam penokohan, plot dan adegan …..terutama di Segara Larung.

Untuk dapat memahami sumber-sumber alkemis yang menjadi fondasi dari kreasi sublimatif teater seperti di atas, narasi kritik harus dapat membangun kekuatan empatis dari tulisan. Kritik empatis sebagai bentuk penjelajahan terhadap kreasi sublimatif teater bukan cara untuk mengorbankan atau menumpulkan kekuatan diskursif tulisan, lalu menggantinya dengan ungkapan-ungkapan euphemistis. Empati justru merupakan ketajaman lebih lanjut dari panah diskursif.

Jika diskursus cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan pemaksaan-pemerkosaan opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan bahasanya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan. Narasi kritik adalah pendulum yang terus mengikhtiarkan gerak skriptural untuk makin melebarkan rentang semantiknya.

Kritik bukan perumusan amanat kritikus, lewat usaha klasifikasi atas nilai-nilai kreatif seni. Kritik adalah tulisan alkemis, di mana pengalaman reseptif yang dibangun kritikus, sekaligus menunjukkan kualitas interpose kritikus, dalam upayanya untuk terus membaca peristiwa teater dalam dua jejak alkemisnya, yakni antara kreasi teknis dan kreasi sublimatif teater. Dengan kata lain, kritik alkemis adalah hasil pembacaan silang yang makin intensif dan sensitif antara realitas Aku-teknis dan kehadiran senyawanya, yaitu Multi-aku sublimatif. Atau antara kehadiran si kaki di front-stage dan migrasi jejak-majemuknya di wilayah back-stage. Jika tidak demikian maka kritik teater tidak lebih dari hanya sekedar pameran kata – bahasa intelektual yang justru tercerabut dari ontology teater itu sendiri. Jadi, itu hanya genit belaka !

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here