Pra Wacana
Sekarang ini sedang terjadi revolusi yang luar biasa menarik, mencengangkan dan sekaligus menantang bagi manusia. Revolusi ini menarik karena revolusi ini membawa perubahan terhadap pola dan struktur proses komunikasi manusia. Revolusi ini juga mencengangkan karena dari revolusi tumbuh dan berkembang teknologi informasi manusia yang pada akhirnya mampu untuk melampaui batasan ruang dan waktu. Revolusi ini juga menantang karena revolusi ini juga membawa pengaruh “tidak sehat” terhadap manusia yang gagap dan rakus “gelojoh” terhadap pola-pola kemudahan teknis yang ditawarkan oleh revolusi ini. Ketika informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat, maka masyarakat mulai “mau tidak mau” membuka diri pada media massa dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi.
Dengan mengukur perkembangan komunikasi dari pengaruh pra-lisan, tradisi lisan, tulisan, cetakan, media massa dan akhirnya telematika dapat disimak bahwa bagaimana lambannya gerakan proses kebudayaan komunikasi tersebut pada proses awalnya, tapi kemudian terakselerasi secara cepat dan massif pada era belakangan ini (Asa Briggs, 2002).
Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi informasi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses massifikasi informasi terletak ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi informasi tanpa batas.
Berkaitan dengan pernyataan di atas dan tidak jauh dari waktu pembuatan tulisan ini, kita sebagai masyarakat diterpa fenomena di era informasi dan keterbukaan, yaitu ketika kasus “cicak versus buaya” (pertikaian antara KPK dan Kepolisian-Kejaksaan) menjadi top headline dari berbagai media massa. Melalui pemberitaan di media massa, khususnya di televisi, warga memperoleh aneka informasi dalam jumlah yang sedemikian besar. Bukan saja jumlahnya yang besar, tetapi jenis, sumber, dan kualitas informasi juga sangat beragam. Selain dibombardir oleh fakta gamblang hasil penyelidikan pihak berwajib, masyarakat juga dihujani aneka pendapat dari komentator, analis, pejabat, dan bahkan dari orang-orang yang langsung terlibat skandal korupsi. Setelah kasus itu mereda, muncul upaya parlemen menyelidiki kasus Bank Century, seolah-olah melanjutkan silang sengkarut informasi yang diterima oleh masyarakat. Kali ini media massa memaparkan secara rinci bagaimana para anggota Dewan Perwakilan Rakyat berusaha merespon harapan rakyat tentang fungsi mereka sebagai wakil yang harus membongkar penyelewengan. Publik kembali dibombardir oleh berita tentang perdebatan di parlemen, serta curahan pendapat dari komentator, analis, pejabat, dan para petinggi partai.
Di tengah suasaha hiruk-pikuk yang mencerminkan keterbukaan dan keleluasaan publik, muncul fenomena yang berlawanan. Dua film yang akan beredar di masyarakat mengalami upaya sensor. Film deskriptif tentang kiamat, 2012 sempat ditentang oleh beberapa kalangan dan bahkan dilarang beredar di beberapa kota. Sementara film fiksi Balibo Five yang diinspirasi peristiwa terbunuhnya para wartawan Australia dalam konflik Timor-Portugal sebelum dianeksasi oleh Indonesia untuk dilarang ikut Jakarta Film Festival. Upaya-upaya pelarangan ini memiliki persamaan motivasi: mencegah publik mendapatkan hal-hal yang “tidak benar” atau “mengganggu ketentraman masyarakat”. Belum lagi belakangan terdapat usaha untuk “meluruskan” fakta yang sebenarnya dari sebuah pemaparan audio visual dalam film “Cowboys in Paradise” yang menceritakan fakta lain yang menyatakan bahwa Bali juga dikenal dengan wisata seksual, melalui aktivitas para gigolo. Ini memperlihatkan adanya urgensi literasi informasi berikut implementasi dan konsekuensi logis yang menyertainya.
Dalam beberapa kondisi tersebut maka artikel ini dibuat dalam beberapa hal penting, yaitu: pemahaman menyeluruh tentang informasi, masyarakat informasi dan literasi informasi, pemahaman tentang dinamika perkembangan media baru dalam konteks perkembangan literasi informasi, terakhir; wacana industri media baru dengan literasi informasi-literasi media.
INFORMASI: Karakteristik dan Hambatan yang Muncul
Pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power), penguasaan pengetahuan berarti juga penguasaan atas dunia. Demikianlah urgensi pengetahuan, dalam hal ini termasuk informasi, menjadi kekuatan yang luar biasa karena informasi adalah salah satu sumber yang penting dan berharga. Informasi adalah suatu nilai untuk mengetahui suatu hal yang belum jelas (Littlejohn, 2008: 69-75). Saat ini informasi dalam arti kesanggupan mengirim, menyimpan dan menggunakan informasi sudah dianggap sebagai unsur yang sama nilainya dengan energi atau bahan baku.
Tanpa menguasai informasi maka orang akan pasif, tetapi dengan menguasai informasi seseorang akan mendapat suatu rangsangan sehingga akan menimbulkan kreativitas untuk melakukan sesuatu. Apalagi di era informatika komunikasi yang sangat kompetitif ini, informasi menjadi sangat penting agar seseorang, masyarakat, suatu institusi dan negara dapat mempunyai daya saing yang tinggi.
Ada hubungan antara informasi dan kesejahteraan. Untuk mencapai kesejahteraan diperlukan adanya suatu kemampuan daya saing yang ditunjang oleh informasi, ilmu, knowledge, wisdom, sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan pasar (Raharjo, www.cert.com). Aksesabilitas berarti adanya mekanisme akses terhadap informasi dan ketersediaan informasi. Akses terhadap informasi membutuhkan ketersediaan infrastruktur (telekomunikasi, listrik) dan perangkat (hardware dan software) serta penguasaan penggunaan komputer (literasi komputer).
Dengan demikian tujuan akhir dari penggunaan media informasi dan komunikasi adalah kesejahteraan dari rakyat yang tercermin dalam kemampuan ekonomi dari negara tersebut. Informasi bagi masyarakat adalah sangat penting dalam memberdayakan kehidupannya agar lebih meningkat. Dengan membanjirnya informasi bagi masyarakat memungkinkan bertambahnya orang memperoleh ilmu dan pengetahuan yang biasanya hanya dimiliki oleh kelompok profesional sehingga dapat dimasyarakatkan. Selain itu dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan jarak antar kelompok masyarakat dapat ditiadakan.
Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, informasi dapat diketengahkan oleh beragam media. Banyaknya kuantitas sumber informasi tersebut akan dapat memperkaya informasi dan pengetahuan bagi masyarakat. Bagi institusi, informasi sangat membantu dalam mencapai tujuan yang ditetapkan serta dalam proses pengambilan keputusan. Dengan banyaknya peran informasi di dalam masyarakat modern, berarti perlu tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi khusus yaitu yang menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Dengan adanya informasi dan tenaga kerja yang terampil dapat meningkatkan produktivitas kerja dan memberi prospek yang cerah bagi kemajuan industri.
Informasi bagi suatu negara dapat sebagai sumber kekuasaan. Selain itu informasi bagi suatu negara dapat memberi sumbangan kepada kekuatan dan kestabilan sistem sosial, politik, ekonomi dan kebudayaannya. Informasi dalam suatu negara dapat sebagai kekuatan di bidang ekonomi dan merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam melaksanakan pembangunan. Dengan memanfaatkan informasi dari berbagai media yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diharapkan akan ada perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Perubahan sosial yang terjadi dalam konteks sikap masyarakat dapat dilihat dari pola interaksi masyarakat dan bagaimana masyarakat bersikap dengan informasi yang ada. Dengan adanya kemudahan akses informasi dan adanya keterbukaan informasi, masyarakat diharapkan akan semakin kritis, cerdas dan berani.
Dengan kaya informasi, masyarakat mempunyai sikap kritis, yaitu sikap kritis untuk mengkritisi berbagai persoalan yang ada disekitarnya mulai dalam bidang pendidikan sampai politik. Selain itu juga berani mengungkapkan pendapat apabila sesuatu persoalan tidak sepaham dengan pendapat yang dimilikinya. Semua dapat berkomentar di era ini, tentunya dengan argumentasi tersebut didasari oleh teori atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di samping itu dengan adanya dinamika informasi juga dapat memotivasi dan mencerdaskan masyarakat. Akses informasi yang tidak membedakan status sosial yang disandang seiring dengan demokratisasi informasi. Dengan kaya informasi maka masyarakat diharapkan akan mampu memilih mana informasi yang benar dan mana yang menyesatkan sehingga tidak mudah terkelabui oleh orang lain dan mampu berdiri sendiri serta mempunyai daya saing yang tinggi. Dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi diharapkan terjadi perubahan dalam konteks pranata sosial yang dapat dilihat dari berubahnya format tatanan sosial serta munculnya lembaga-lembaga baru di bidang tata kelola informasi.
Sekarang lembaga-lembaga pelayanan publik atau banyak lembaga sosial lainnya mulai berubah dengan menerapkan sistem pelayanan informasi terpadu, misalnya di beberapa pemerintah daerah telah menggunakan e-goverment dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang informatif dan akuntable. Lembaga-lembaga tersebut mulai menerapkan automasi dalam layanannya. Hal ini dilakukan sejalan dengan tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang cepat, informatif dan transparan.Sedangkan perubahan pranata sosial di bidang pengelolaan informasi diharapkan juga semakin meningkat kualitas layanannya.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain perpustakaan, kantor arsip, atau lembaga-lembaga informasi baru, yang mulai berbenah dengan mengaplikasikan teknologi informasi dalam layanannya, sehingga semakin cepat dan tepat. Selain itu juga muncul lembaga-lembaga informasi baru yang memfokuskan layanannya dalam bidang tertentu. Misalnya munculnya pusat informasi pariwisata, pusat informasi bisnis atau pusat informasi rumah kontrakan dan sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut merupakan pranata sosial yang muncul karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat bahkan dapat menjadi komoditas ekonomi. Adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dapat mempengaruhi budaya kita, yakni dapat mendorong atau mempengaruhi sikap, memberi motivasi, mengembangkan pola tingkah laku dan dapat menyebabkan integrasi sosial. Selain itu kebudayaan kita juga akan mudah terpengaruh oleh kebudayaan lain baik kebudayaan lokal maupun kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan kita. Adanya kemajuan teknologi dan komunikasi juga dapat mempercepat proses produksi dan distribusi baik barang maupun jasa dalam jumlah yang besar. Selain itu kebudayaan kita juga akan terpengaruh.
Semua itu adalah perubahan positif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap individu dan mayarakat, namun dampak negatifnya tentu juga ada. Di era keterbukaan ini apabila pemerintah tidak bersikap transparan dan akuntabel maka yang terjadi adalah sering terjadi demonstrasi yang menentang kebijakan pemerintah tersebut yang kadang bersifat destruktif karena masyarakat kita baru dalam taraf belajar berdemokrasi. Dengan kehadiran berbagai produk informasi seperti radio, TV, internet, handphone juga berdampak terhadap sikap dan perilaku seseorang, misalnya malas belajar, individualistis, perilaku asusila, dan sebagainya.
Adanya teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan ancaman terhadap budaya kita, misalnya perubahan pada cara kerja, cara hidup, hubungan famili dan komunikasi antar individu. Perubahan budaya ini dapat kita lihat dari budaya gotong-royang yang merupakan salah satu modal sosial kita terutama di masyarakat pedesaan sekarang sudah mulai terkikis, dan sebagai gantinya adalah adanya hubungan buruh dengan majikan yang mendapat imbalan gaji. Dengan adanya kebudayaan yang cepat tersebar melalui teknologi informasi dan komunikasi juga merupakan ancaman bagi kelestarian kebudayaan kita terutama adanya kebudayaan asing yang dapat mendominasi kebudayaan kita. Itulah berbagai dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di satu sisi dapat mensejahterakan masyarakat kita apabila mau memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, tetapi di sisi lain apabila disalahgunakan maka akan berakibat fatal dan merugikan kita sendiri.
MASYARAKAT INFORMASI DAN LITERASI INFORMASI: Telaah Prinsip dan Konsekuensi
Beberapa pernyataan dinyatakan oleh para pemerhati perkembangan komunikasi modern yang memperlihatkan kepada manusia bahwa informasi menjadi unsur penting dalam suatu masyarakat. Straubhaar menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat yagn mempunyai aktivitas ekonomi politik-sosial melalu proses produksi, konsumsi dan distribusi informasi. Masyarakat informasi ditandai engan intensitas yagn tinggi atas pertukaran dan penggunaan teknologi komunikasi (Straubhaar, 2002). Masyarakat Informasi, dalam McQuail (1992), adalah masyarakat yang bergantung pada jaringan informasi dan komunikasi elektronik, serta mengalokasikan sebagian besar sumber daya bagi aktivitas-aktivitas informasi dan komunikasi. Masyarakat Informasi adalah masyarakat berbasis data digital. Dengan ungkapan lain dapat dinyatakan sebagai information is the lifeblood that sustains political, social and business decision. Hal ini pula yang mengakibatkan bahwa masyarakat membukan diri dengan perkembangan dan dinamika media baru dan komunikasi global. Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi informsi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses massifikasi informasi terjadi ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi informasi nir batas.
Harapan yang dijadikan patokan sebuah masyarakat terhadap prinsip masyarakat informasi adalah pembebasan manusia dari penderitaan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi informasi. Proses pertukaran informasi dan komunikasi secara lebih bebas diyakini sebagai alat efektif untuk melakukan kemajuan. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi. Media massa berkonvergensi, membuka pelbagai saluran informasi, dan menerpa khalayak dengan (sensasi) informasi yang begitu banyak dan melimpah.
Permasalahannya adalah bahwa keberlimpahan informasi belum tentu mencerdaskan khalayak. Konvergensi media memang membuka pasar industri yang ramai. Tapi keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar. Maraknya media massa tidak dibarengi dengan isi yang membangun. Kunci-kunci akses teknologi tetap dipegang oleh penguasa-penguasa teknologi, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar.
Banjir informasi adalah keseharian khalayak, perdebatan berlarut seputar hak penguasaan frekuensi, perebutan ranah publik, komodifikasi khalayak, sentralisasi dan sensor, keamanan informasi, serta penciptaan pasar yang dikendalikan oleh instrumen-instrumen seperti rating. Dalam kondisi ini, khalayak sering ditinggalkan, dibiarkan untuk diseret dan ditenggelamkan dalam banjir informasi hingga mencapai titik kejenuhan informasi—information overloaded. Khalayak dengan demikian hanya diposisikan dan dilihat sebagai khalayak pasif. Khalayak tak lebih dari konsumen, yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media mau pun bisnis informasi.
Dalam konteks masyarakat digital maka masyarakat informasi adalah sejauh mana definisi masyarakat informasi mendapat tempat dan porsi yang tepat dalam seluruh konteks perkembangan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan perkembangan media massa kontemporer yang diwarnai dengan digitalisasi dan teknologisasi media.
Tentunya masyarakat informasi berkaitan dengan beberapa syarat literasi, termasuk di dalamnya literasi informasi. Literasi informasi sering disebut juga dengan keberaksaraan informasi atau kemelekan informasi. Dalam bidang ilmu informasi, literasi infromasi sering dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar informasi yang tersedia. Pengertian literasi informasi yang sering dikutip adalah penegrtian literasi informasi dari American Library Association (ALA) : “information literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effective needed information”. Artinya, literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi secara efektif dan etis. (dalam Naibaho, 2007: 7-8).
Masyarakat Informasi tidak akan mungkin terjadi jika tidak disertai dengan pembekalan information literacy (literasi informasi) kepada khalayak. Informasi yang melimpah sesungguhnya bisa menjadi sumberdaya yang bermanfaat, jika khalayak cukup memadai dalam literasi informasi. Literasi informasi, adalah kemampuan untuk mengakses sumber-sumber informasi, bisa menyeleksi informasi sesuai kebutuhannya, bisa menganalisis informasi secara kritis, dan bisa mengelola informasi. Tanpa bekal literasi informasi, publik hanya menjadi komoditas pasar dari pemilik modal teknologi informasi.
Terdapat dua aspek dari literasi informasi, yaitu: literasi teknologi informasi dan literasi media. Mengapa literasi TI begitu penting? Tidak ada gunanya melakukan akselerasi teknologi media atau menyelenggarakan proyek digitalisasi yang mahal, ketika khalayak tidak tahu mau dibawa ke mana dengan teknologi tersebut. Mengapa literasi media menjadi penting? Tidak ada gunanya membuka saluran media massa, dan pemahaman atas terpaan khalayak dengan media, ketika ujung-ujungnya publik hanya disuguhi program atau isi informasi yang tidak mencerdaskan. Itulah sebabnya, apabila kita perlu memahami dinamika relasi antara teknologi, industri media dan masyarakat informasi.
TEKNOLOGI, INDUSTRIALISASI MEDIA DAN MASYARAKAT INFORMASI
Teknologi dalam industrialisasi media sangat penting. Setidaknya industrialisasi media komunikasi membutuhkan teknologi untuk menjadi perpanjangan tangan yang efektif menaikkan skala keuntungan ekonomi yang diperoleh. Tapi tetap ada beberapa argumentasi yang perlu dikaji, selain argumentasi ekonomi. Pertama adalah argumentasi kultur komunikasi yang berkembang. Argumentasi ini mau memperlihatkan adanya perkembangan atau perubahan mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola komunikasi manusia.
Kedua adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya yang dihidupi oleh manusia modern.Setidaknya perlu dikaji soal relasi signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media (Turow, 1997).
Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat
Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres (kemajuan linear) dalam teknologi. Efisiensi industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.
Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital, mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpul-simpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri. Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam seluruh proses distribusi media komunikasi modern.
Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global. Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi. Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia. Perkembangan komunikasi sangat luar biasa. Perkembangan dramatik teknologi komunikasi tidak terletak pada soal sistem perangkat kerasnya saja tapi sudah menyangkut soal bagaimana membuat interkoneksitas jaringan komunikasi. Teknologi komunikasi bukan sekedar soal barang tapi juga soal teknologi jaringan itu sendiri.
Kalau kita mau membicarakan struktur industrialisasi media maka kita tidak memisahkan diri dari isi media dibuat dan diciptakan. Teknologi komunikasi merupakan perangkat yang membutuhkan biaya yang tinggi, dengan demikian hanya pemilik modal besar saja yang mampu menguasai teknologi. Maka tidak mengherankan apabila industrialisasi dan teknologisasi media komunikas meimbawa industri media pada usaha konglomerasi.
PROBLEM POTENSIAL DALAM TEKNOLOGI MEDIA MODERN: Dimensi Lain dalam Literasi Informasi
Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mempercepat dinamika pesan dan informasi yang dikirim dan diterima oleh manusia. Proses akselerasi informasi tersebut membuat proses kejenuhan dan overloading informasi yang pada akhirnya membuat informasi tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan yang perlu melainkan sebagai sambilan sementara informasi hiburan dan komersial.
Kemajuan teknologi sering dalam seluruh proses pengembangannya tidak bisa disangkal akan mereduksi dan mendeterminasikan peran informasi dalam seluruh sistem masyarakat. Berbicara tentang teknologi media maka ukuran yang empirik ada adalah soal eksistensi media komunikasi. Padahal teknologi bukan sekedar soal barang tapi juga soal sistem nilai yang berada di balik teknologi itu sekaligus implikasi logis terhadap masyarakat. Apakah dengan demikian informasi bisa dilihat dan diukur secara empirik.
Permasalahan potensial yang lain dan layak di kaji adalah bahwa teknologi komunikasi menimbulkan persoalan akses, yang pada akhirnya akan berhubungan dengan soal kekuasaan dan kapital. Siapa yang bisa menjamin pemerataan informasi dan teknologi ?
Selain permasalahan di atas, terdapat masalah yang sangat krusial, yaitu masalah regulasi media baru. Jangan dilupakan bahwa berbagai deregulasi komunikasi dan telekomunikasi merupakan pemicu perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi. Pengembangan sistemik pada jasa komunikasi membawa pengaruh yang sangat jauh pada soal kompetisi, efektivitas, pengembangan aplikasi media komunikasi baru. Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu saja mempunyai sisi positif dan negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu diprioritaskan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kebaikan bersama. Pada aras politik ini diperlukan regulasi yang memadai agar khalayak terlindungi dari dampak buruk konvergensi media. Regulasi menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen. Tujuannya jelas, yakni agar tidak terjadi tabrakan kepentingan yang menjadikan salah satu pihak menjadi dirugikan. Terutama bagi kalangan pengguna atau publik yang memiliki potensi terbesar sebagai pihak yang dirugikan alias menjadi korban dari konvergensi media (Straubhaar, 2003).
Persoalan pertama regulasi menyangkut seberapa jauh masyarakat mempunyai hak untuk mengakses media konvergen, dan seberapa jauh distribusi media konvergen mampu dijangkau oleh masyarakat. Problem mendasar dari regulasi konvergensi media dalam konteks ini terkait dengan seberapa jauh masyarakat mempunyai akses terhadap media konvergen dan seberapa jauh isi media konvergen dapat dianggap tidak melanggar norma yang berlaku. Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa isi media konvergen pada bagian tertentu akan merusak moral generasi muda merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan oleh para pelaku media konvergen.
Beberapa pertanyaan pokok yang harus dijawab terkait dengan isu regulasi media konvergen adalah; pertama, siapa yang paling berkewajiban untuk membuat format kebijakan yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan aktor-aktor yang telibat dalam konvergensi dan kedua adalah bagaimana isi regulasi sendiri mampu menjawab tantangan dunia konvergen yang tak terbendung. Pertanyaan terakhir ini menarik, karena perkembangan teknologi umumnya selalu mendahului regulasi. Dengan kata lain, regulasi hampir selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi komunikasi. Dalam hal penciptaan regulasi konvergensi media, institusi yang paling berwenang membuat regulasi adalah pemerintah atau negara. Cara pandang demikian dapat dipahami jika dilihat dari fungsi negara sebagai agen regulator di dalam menjaga hubungan antara pasar dan masyarakat. Di satu sisi negara memegang kedaulatan publik dan di sisi lain negara mempunyai apparatus yang berfungsi menjaga efektif tidaknya sebuah regulasi. Gambaran ideal dari hubungan tiga aktor konvergensi (negara, pasar, masyarakat) ini mestinya berlangsung secara sinergis dan seimbang.
Membangun sebuah regulasi yang komprehensif dan berdimensi jangka panjang tentu saja bukan hal yang mudah. Bahkan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi yang makin cepat, regulasi yang berdimensi jangka panjang nampaknya hampir menjadi satu hal yang mustahil. Adagium tentang regulasi yang selalu ketinggalan dibandingkan perkembangan teknologi mesti disikapi secara bijak. Pasalnya, sebuah bangunan kebijakan selalu mengandung celah multiinterpretasi sehingga bisa saja hal itu dimanfaatkan untuk menampilkan citraan media yang luput dari tujuan kebijakan. Di sisi lain, pada saat sebuah kebijakan disahkan dan dicoba diimplementasikan, boleh jadi telah muncul varian teknologi baru yang tak terjangkau oleh regulasi tersebut. Ini tidak berarti bahwa pembuatan regulasi tak harus dilakukan, bagaimanapun regulasi menjadi kebutuhan mendesak agar teknologi komunikasi baru tidak menjadi instrumen degradasi moral atau menjadi alat kelas berkuasa untuk menidurkan kesadaran orang banyak.
Regulasi tetap diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan antar manusia itu sendiri. Beberapa isu menarik layak direnungkan dalam konteks penyusunan regulasi. Pertama adalah bagaimana pengambil kebijakan mendefinisikan batasan sektor-sektor yang akan dikenai kebijakan, misalnya saja soal hukum yang dapat dijalankan. Kedua bagaimana situasi pasar dan hak cipta diterjemahkan. Wilayah ini menyangkut soal self regulation dan kondisi standarisasi hak cipta. Ketiga, bagaimana soal akses pada jaringan media serta kondisi sistem akses itu sendiri. Persoalan seperti pengaturan decoder TV digital maupun content media menjadi layak kaji dalam hal ini. Keempat, akses pada spektrum frekuensi, kelima mengenai standar jangkauan atau sejauh mana media konvergen dapat dijangkau oleh khalayak serta apakah sebuah akses harus disertai dengan harga yang harus dibayar oleh khalayak.
Terakhir menyangkut sejauh mana kepentingan khalayak diakomodasi oleh regulasi, misalnya sejauh mana freedom of speech dan kalangan minoritas benar-benar mendapat perlindungan dalam sebuah kebijakan.
Permasalahan yang tidak kalah penting adalah perkembangan media baru, yang mempunyai tingkat teknologi dan kemampuannya bisa menghindari regulasi, seperti internet. Memang dirasakan internet memberikan sumbangan konstruktif kepada manusia, tapi tetap saja ada persoalan “kebebasan” yang tidak terkontrol atas efek internet pada masyarakat.
PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN LITERASI INFORMASI: Ide Alternatif
Ada beberapa langkah pemberdayaan khalayak dalam proses literasi informasi. Pertama, strategi pemecahan konsentrasi kekuasaan dalam hal ini simpul-simpul informasi dan komunikasi pada simpul-simpul yang lebih kecil. Dalam konteks Masyarakat Informasi, pemecahan harus diterjemahkan sebagai pemecahan konsentrasi penguasaan teknologi informasi, yang saat ini hanya terpusat pada tempat atau posisi wilayah tertentu. Pendayagunaan dan penyebaran wilayah konsentrasi komunikasi dan informasi juga membentuk apa yang sering dinamai dengan jaminan diversifikasi informasi.
Peran pemerintah dalam hal diperlukan sebagai regulator atau fasilitator yang bijak dan berpihak pada publik, tidak egois menghamba pada kepentingan ideologis atau kepentingan pasar. Peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga diperlukan, sebagai jembatan penghubung antara pusat-pusat kekuasaan dengan publik. Pemerintah melalui Depkominfo bisa duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Informasi Publik, Dewan Pers dan lainnya, untuk membicarakan dan mendiskusikan langkah-langkah menjadikan informasi dan muatan komunikasi sebagai ranah publik.
Sesungguhnya, ini merupakan upaya dan proses decentring untuk memecah konsentrasi penguasaan ranah penyiaran dan informasi, yang tadinya hanya berada di tangan pemerintah. Proyek Koran Masuk Desa, pengadaan Internet bagi wilayah pedesaan, atau pendirian pusat-pusat informasi masyarakat di tingkat RW juga bisa dibaca sebagai strategi decentring. Tujuannya tidak lain menjadikan teknologi informasi dan pertukaran informasi tak cuma terfokus di kota-kota besar. Namun, bisa dinikmati hingga ke sentra-sentra masyarakat terkecil. Pemecahan kuasa informasi tidak sekadar membuka akses, tapi juga membuka ruang-ruang partisipasi. Informasi yang lazimnya bersifat top down (dari pusat ke pinggiran) kini bisa diseimbangkan dengan alur bottom-up (dari bawah ke atas).
Permasalahannya, pemecahan kuasa informasi saja tidak cukup. Strategi kedua yang harus dilakukan adalah memberdayakan publik lewat pendidikan melek media dan melek informasi. Menempatkan komputer di desa-desa, mengembangkan jaringan internet sampai tingkat RW, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan mengenai cara memanfaatkannya, sungguh-sungguh merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab. Berapa banyak komputer dan perangkat instalasi Internet yang teronggok tanpa guna di rumah-rumah pemuka desa, atau ketua-ketua RW, gara-gara masyarakat tidak tahu cara menggunakannya? Harus ada pencatatan yang berhubungan dengan wilayah atau komunitas yang membutuhkan. Apabila memang wilayah, daerah atau komunitas tersebut belum memerlukan teknologi komputer dan Internet, serta tidak punya daya dukung, seperti listrik yang memadai, tentu saja tidak harus dipaksakan. Pengembanga radio komunitas, mendirikan perpustakaan gratis, atau memberdayakan majelis-majelis umat beragama sebagai pusat pertukaran informasi masyarakat, contohnya, bisa menjadi upaya alternatif untuk membuat masyarakat melek informasi dan melek media.
Berkaitan dengan literasi informasi dan literasi media, apa saja yang mesti ditransfer pada publik? Pertama-tama adalah pengenalan mengenai jenis-jenis informasi dan media informasi. Selanjutnya, mendampingi khalayak agar bisa memproduksi sendiri informasi yang dibutuhkan. Dengan cara ini, khalayak tidak sekadar mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga bisa memelihara isi dan mengelola medianya sendiri. Inilah sesungguhnya esensi demokratisasi informasi—khalayak yang berdaya menjadi produsen, sekaligus konsumen informasi!
Strategi ketiga adalah mengembangkan jejaring advokasi media dan informasi. Jejaring ini penting untuk menguatkan publik, menjamin akses agar senantiasa terbuka ke segala pihak, termasuk melakukan kontrol bersama untuk menjaga agar wahana informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai secara sepihak—oleh siapapun. Stakeholder yang bisa dilibatkan meliputi kalangan pendidik dan akademisi, praktisi atau profesional-profesional media, teknokrat dan industrialis, publik pada umumnya, biro-biro pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ringkasnya, siapapun yang memiliki concern pada isu pemberdayaan publik, literasi media, literasi informasi dan literasi teknologi informasi.
Dari aspek teknologi, segala bisa dimungkinkan berkat pengembangan teknologi open source, personal-based-technology, dan user-friendly-gadget. Tapi, yang tak kalah penting, hendaknya seluruh strategi pemberdayaan publik dilakukan seiring sejalan. Bukan jamannya lagi menjalankan kebijakan parsial, atau setengah-setengah, karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (dan biasanya bukan publik!). Pada dasarnya, yang mesti dilakukan adalah pekerjaan mahabesar, yaitu menegakkan atau merekonstruksi kedaulatan publik di ranah informasi.
WACANA AKHIR: Langkah Ke Depan
Masalahnya adalah apakah memang orang Indonesia benar-benar siap melangkah menjadi masyarakat informasi. Bagaimana perkembangan citra dan budaya teknologi informasi di Indonesia. Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi mencakup persiapan masyarakat informasi di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang perlu ditarik dalam hal ini.
Pertama adalah soal penentuan konsep teknologi dan masyarakat komunikatif macam apa yang mau dibangun. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang terlambat untuk dijawab sekarang ini. Masyarakat kita perlu mengadoptasi teknologi komunikasi tanpa meninggalkan nilai budaya setempat.
Kedua, perkembangan teknologi mempengaruhi transformasi sosial dan literasi sosial. Transformasi sosial yang seimbang dan sesuai dengan kekuatan sosial masyarakat. Transformasi itu meliputi integrasi optimisme industri dan teknologi komunikasi, pemberdayaan partisipasi masyarakat - kewenangan negara dan kekuatan swasta untuk semakin bertindak bertanggungjawab secara sosial, transformasi regulasi yang diperlukan untuk aturan main bersama terutama dalam hal perkembangan industri dan teknologi media, aspek transformasi kepemimpinan dalam menemukan dan menciptakan ekonomi baru sebagai perluasan lapangan kerja dan akses informasi yang lebih luas.
Ketiga, perubahan citra teknologi komunikasi dan proses literasi informasi itu sendiri. Perubahan citra teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif praktek hidup, kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian, tersedia setiap saat, terbukti bermanfaat.
Dengan demikian, teknologi komunikasi bisa diterapkan dalam masyarakat. Dan teknologi komunikasi semakin menjadi manusia semakin menjadi manusia yang utuh. Semoga !
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B., 1996 Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts, Iowa States University Press:Iowa
Briggs, Asa, 2002, A Social History of The Media: From Gutenberg to the Internet, Polity Press:Cambridge
Dahlan, Alwi, 2000, Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester Genap 1999/2000, Universitas Indonesia:Jakarta
Dizzard, Wilson, 2007, The Coming of Information Age, Longman:New York
Giddens, Anthony, 2001, The Third Way and Its Critics, SAGE:London
Littlejohn, Stephen dan Karen Foss, 2008, Theories of Human Communication. Wadsworth:USA
McKeown, Patrick G., 2006, Information Technology and The Networked Economy, Harcourt:Orlando
McLuhan, Marshall, 1996, Understanding Media:The Extension of Man, MIT Press:Massacusetts
Mirabito, Michael, 1997, The New Communications Technologies, Focal Press:Boston
Naisbitt, John, 2001, High Tech - High Touch: Technology and Our Search of Meaning: High Tech - High Touch, Inc: New York
Pacey, Arnold, 1984, The Culture of Technology, MIT Press:Massachusetts
Stevenson, Nick, 1995, Understanding Media Cultures, Social Theory and Mass Communications, SAGE:London
Straubhaar, Joseph dan La Rose, 2002, Media Now: Communication Media in the Information Age: Wadsworth:Australia.
Tapscott, Don, 1996, Digital Economy, McGraw HIll:New York
Toffler, A., 1980, The Third Wave, Morrow:New York
Turow, Joseph, 1997, Media System in Society: Understanding Industries, Strategies and Power, LONGMAN:New York
Vivian, John, 2008, The Media of Mass Communication. Pearson:New York
Williams, Frederick, 1992, The New Communications, Wadsworth:California