Sunday, November 29, 2009

Internet dan Revolusi Media

Oleh: Onno W. Purbo

Media konvensional terutama media cetak sangat terasa nuasa pengiriman informasi satu arah yang sangat lambat. Media radio & TV di integrasikan dengan kemampuan live talkshow yang didukung FAX & telepon menjadikan media radio & TV lebih bersifat dua arah daripada media cetak. Ciri khas media konvensional ini, selain lebih bernuasa satu arah, peralatan di sisi pemirsa-nya (jika dibutuhkan) relatif murah terutama media cetak & radio. Kekuatan ini akan terus menjadi penunjang media konvensional Indonesia sampai pada titik dimana seluruh bangsa Indonesia tersambung ke Internet. Entah kapan ..

Dalam media baru, seperti Internet, sangat kontradiktif dengan media konvensional maka kemampuan interaksi & customisasi menjadi sangat tinggi sekali. Bagi anda yang hidup 80-90% di Internet, terutama aktif di berbagai mailing list tempat diskusi di Internet yang sangat interaktif – maka hampir pasti anda jarang membaca detail koran & majalah yang ada, paling cukup melihat judul artikel & sedikit browsing untuk melihat keakuratan beritanya. Mengapa hal ini terjadi? Para pengguna aktif Internet, biasanya sudah memperoleh inside information dari berbagai diskusi di mailing list tersebut, informasi yang ada di majalah & media konvensional biasanya sudah “basi” untuk mereka.

Beruntung sekali hanya ada 1% bangsa Indonesia yang terkait ke Internet pada hari ini & naga-naganya masih akan lama sebelum kita melihat 100% bangsa Indonesia di Internet. Kondisi ini menjadi peluang bagi media konvensional untuk berkiprah, di luar tantangan adanya proses lokalisasi media yang menjadi ancaman langsung bagi media nasional. Dalam dunia media cetak, kita kenal koran daerah, majalah daerah dll. Memang dalam dunia radio & TV ancamannya belum separah media cetak, bayangkan jika konsep community broadcasting di setujui oleh DPR untuk menjamin Hak Azasi bangsa Indonesia akan akses ke informasi seperti yang dijamin oleh Amandemen ke dua UUD 45 pasal 28F. Urusan pasti akan berabe bagi dunia radio & TV.

Jaringan / networking antar radio, TV, media cetak maupun media internet menjadi kunci keberhasilan seorang kampiun media di masa datang. Sialnya banyak media melihat / berfikir bahwa internet untuk memindahkan siarannya / tayangannya. Saya pikir pola fikir / pendapat ini amat sangat salah. Pada hari ini, memindahkan siaran, tulisan & tayangan ke Internet tidak akan menimbulkan keuntungan yang maksimal untuk media konvensional – mengapa? Karena pemirsa di Internet memerlukan peralatan yang jauh lebih mahal & jauh lebih kompleks daripada media konvensional biasa. Akibatnya, tidak akan dapat kita menjangkau banyak pemirsa di Internet. Anda masih lebih baik memfokuskan pada pemirsa di dataran konvensional yang ada saja.

Beruntung sekali mitra usaha, nara sumber, mitra media lainnya pada saat ini sudah banyak yang berada di internet. Effisiensi networking antar media & nara sumbernya menjadi sangat memungkinkan & jauh lebih effisien melalui Internet. Contoh, liputan berita PRSSNI dapat dengan mudah di sebarluaskan melalui mailing list antar radio. Pendapat para nara sumber yang kadang terkesan ekstrim akan dapat dengan mudah di tap & di monitor di berberapa mailing list di Internet khususnya di bidang teknologi informasi yang nara sumber-nya biasanya agak vokal & berani berteriak di mailing list.

Teknologi informasi akan sangat terasa baik untuk effisiensi dalam pembangunan jaringan antar media, misalnya pencetakan jarak jauh, telepon internet yang harga SLJJ-nya 1/8 SLJJ normal, maupun networking antar media & nara sumber-nya. Di samping itu, teknologi informasi juga akan memudahkan media mengeffisiensikan proses internal mereka misalnya penggunaan MP3 di radio, komputerisasi siaran, belum termasuk database berita untuk membangun sumber pengetahuan bagi jurnalist yang sedang membuat laporan.

Dalam bahasa sederhana, media konvensional akan tetap berjaya selama bangsa Indonesia masih bodo & gaptek. Teknologi informasi akan membantu terbentuknya jaringan media & peningkatan kualitas media tersebut.

9 Saran untuk Menghadapi "Media Baru"


oleh Enda Nasution (http://enda.goblogmedia.com)

Dalam dua minggu kebelakang ini media massa diributkan atas peristiwa diajukannya somasi oleh harian nasional KOMPAS dan wartawannya Sidik Pramono pada Basuki Suhardiman, yang kemudian berbuntut dilaporkannya Basuki Suhardiman dengan tuntutan mencemarkan nama baik pada hari Jumat, 6 Mei lalu ke Kepolisian Mapolda Metro Jaya.

Somasi dan pelaporan terhadap Basuki Suhardiman, Sekretaris Tim Ahli Teknologi Informasi (TI) KPU ini dipicu oleh email anonim yang beratas nama "Satria Kepencet" yang di-forward oleh Basuki ke milis internal ITB, dimana Basuki merupakan salah satu anggota yang biasa berdiskusi di milis tersebut.

Tindakan pengajuan somasi dan kemudian pelaporan yang dilakukan KOMPAS dan Sidik Pramono ini menimbulkan reaksi keras di kalangan miliser [mereka yang biasa bermilis] dan para blogger [para pemilik blog] yang menganggap apa yang dilakukan KOMPAS salah alamat dan overacting bahkan menunjukkan ketidakmengertian KOMPAS terhadap dinamika perseliweran informasi di Internet.

KOMPAS kemudian dalam dua kesempatan menurunkan kolom opini pada tanggal 2 Mei "Tendangan Milis" dan kolom 8@9 dengan judul "Media Baru" yang makin menunjukkan ketidakmengertiannya pada apa yang mereka sebut "Media Baru" ini, sebuah hal yang tidak mengherankan sekaligus menyedihkan, karena KOMPAS (berarti sebagai "Media Lama"?) yang sehari-hari bergelut dengan informasi, ternyata bisa sedemikian tertinggal pengetahuannya tentang "Media Baru"

Bukan itu saja, reaksi balasan dari KOMPAS ataupun pribadi yang mengatasnamakan KOMPAS juga muncul, berupa email pribadi dan komentar-komentar anonim (setiap blog memberikan fasilitas feedback dimana pembaca dapat memberikan komentar) yang sama sekali tidak membantu dan bersifat emosionil.

Seluruh tindakan KOMPAS ini baik yang resmi berupa somasi dan pelaporan pada pihak kepolisian maupun kolom opini dan respon pada penulis blog bukan saja justru memberikan kredibilitas berlebih pada kritik yang asalnya bahkan oleh masyarakat Internet dan anggota milis ITB diacuhkan sebelumnya tapi juga tidak menyelesaikan masalah.

Tidak perlu ada yang merasa nama baiknya “dicemarkan” jika Sidik Pramono dan KOMPAS serta media lainnya mau sedikit memahami dan mengetahui bagaimana dinamika “Media Baru” dan apa yang sudah, tengah dan biasa terjadi disana.

Posting Priyadi, seorang blogger yang alamatnya berada di Priyadi.net, salah seorang aktifis blogger Indonesia, dengan judul "KOMPAS dan Intenet" (http://priyadi.net/archives/2005/05/10/KOMPAS-dan-internet/) memberikan tanggapan, kesimpulan dan juga saran agar siapapun untuk jangan malas mempelajari "Media Baru" ini sebelum bereaksi lebih jauh.

Keluar dari permasalahan diatas, ketidakmengertian KOMPAS dan kemungkinan besar banyak pihak terhadap dinamika "Media Baru" baik itu milis, forum maupun blog dapat mudah dimengerti. Internet baru baru berjalan kurang lebih 10 tahun tahun, blog hadir lebih baru lagi, baru sekitar 4-5 tahun dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Hal diatas dan keterkejutan banyak pihak melihat begitu mudahnya masyarakat Internet memiliki "media" dan menyebarkan informasi di Internet karenanya adalah wajar, dan bukannya tanpa solusi.

Apa yang dialami KOMPAS diatas, datangnya kritik tajam, dapat terjadi pada siapa saja, baik itu individu, nama perusahaan, nama media, nama merek atau apa saja.

Menangkal ini dengan menabur somasi, seperti pada kasus KOMPAS, pada para pengguna "Media Baru" bukan saja tindakan yang tidak strategis dan menunjukkan ketidaktahuan tapi juga justru memberikan kredibilitas pada kritik yang dimaksud dan menimbulkan kecurigaan.

Setiap "dunia" memiliki mata uang-nya (currency) sendiri-sendiri. Apa yang berlaku di satu negara sudah pasti tidak berlaku di negara lain. Memaksakan cara-cara dunia nyata dan media lama pada media baru dapat dianalogikan seperti mencoba membeli hamburger di tengah kota New York dengan uang Rupiah, Anda akan ditertawakan karena Rupiah tidak berlaku di New York, Amerika Serikat.

Satu-satunya mata uang yang laku di "Media Baru" adalah informasi. Penyampaian informasi dengan gaya yang dimengerti oleh para pengguna "Media Baru" dan nilai informasi itu sendiri, itulah yang akan berpengaruh pada dialog yang terjadi di Internet.

Lalu apa yang harus dilakukan jika nama Anda, merek yang perusahaan Anda bangun dengan investasi ratusan juta rupiah menabur kritikan tajam di "Media Baru"?

9 tips dibawah ini mungkin dapat membantu :

  1. Sadari bahwa apa yang Anda hadapi adalah "Media Baru" dan "mata uang" Anda di dunia lama bisa jadi tidak bernilai apa-apa disini. Investasikan waktu untuk mempelajari apa yang bisa dan jangan dilakukan di "Media Baru" atau pekerjakan orang yang tahu.

  1. Identifikasi para "pemimpin" komunitas di Internet, baik itu milis ataupun blogger. Tidak ada cap "pemimpin" khusus disini, ataupun jabatan ketua. Mereka ini adalah orang-orang yang setiap harinya berkecimpung di Internet, luwes dan mengerti bagaimana cara menyampaikan informasi di Internet, tahu informasi apa yang berharga dan tidak berharga untuk diteruskan dan punya kegemaran khusus mengendus ketidakakuratan dan ketidakadilan di dunia luar.

  1. Jelaskan informasi dari pihak Anda dengan jelas, lengkap, jujur adil, tidak emosional dan tidak overacting. Jangan memyembunyikan apa-apa, karena jika ada informasi yang Anda sembunyikan atau sengaja Anda hilangkan dan informasi itu tersebar, maka kredibilitas Anda di Internet hancur seketika.

  1. Akui kesalahan Anda jika memang itu telah dilakukan, terangkan apa alasannya jika memang ada alasan dan sebabnya. Mohon maaf bila perlu. Cantumkan ini pada pernyataan dan penjelasan informasi dari pihak Anda diatas.

  1. Dukung keterangan dan informasi Anda diatas dengan referensi berupa link-link ke website-website lain yang bisa Anda temukan. Cantumkan link ini pada pernyataan Anda diatas.

  1. Pasang pernyataan Anda diatas pada sebuah alamat web, karena dengan cara ini pernyataan Anda akan mudah di-link dan akan menjadi bagian dari dialog di Internet. Cantumkan di website perusahaan Anda, website merek atau website pribadi Anda. Buat website tersebut jika belum ada, membuat website sekarang mudah, murah dan cepat. Jangan lupa cantumkan juga alamat email yang dapat dihubungi.

  1. Informasikan pertanyaan Anda diatas pada para "pemimpin komunitas" tadi lewat email. Jangan sembunyikan apapun, beritahukan dengan jelas siapa Anda dan dari pihak mana Anda serta apa latar belakang dari pertanyaan tadi. Jangan menganggap rendah dan mengasumsikan bahwa para blogger atau miliser ini tidak akan mengecek informasi yang Anda berikan dan mudah dipengaruhi.

  1. Jika nilai nama yang dipertaruhkan terlalu tinggi, nama merek dengan investasi milyaran rupiah maka sewa tenaga profesional. Cari kantor PR yang mengerti, memahami dan biasa menangani dinamika "Media Baru" ini. Periksa dengan seksama apa mereka memang mengerti dan ahli di bidang "Media Baru" dan bukan mengaku-ngaku. Kantor Online PR yang bermutu tidak hanya dapat merespon kritik yang datang di Internet tapi juga akan melakukan online media monitoring pada nama atau merek Anda di Internet.

  1. Miliki blog dan pekerjakan seorang blogger. Apakah Anda ini seorang individu, perusahaan, merek ataupun media. Makin banyak sekarang organisasi yang memiliki fitur blog selain website resminya. Blog adalah website dengan sentuhan pribadi yang sering diupdate dan bersifat interaktif. Banyak manfaat memilik blog bagi Anda selain dari merespon kritikan di Internet, dengan blog organisasi Anda akan memiliki sentuhan pribadi, menerima masukan lebih banyak serta lebih lancar berkomunikasi dengan klien, pelanggan maupun mitrausaha Anda. Microsoft memiliki blog, General Motors memiliki blog, BusinessWeek memiliki blog. Sudah saatnya Anda dan organisasi Anda juga memiliki blog.

Enda Nasution, seorang blogger sejak September 2001, tinggal di Bangkok, Thailand.

Thursday, June 25, 2009

Mempertanyakan Agenda Setting Media Televisi


Oleh: Agus Sudibyo
Jika mau jujur, problem media sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana mengisi halaman demi halaman, segmen demi segmen dengan informasi yang harus disajikan secara kontinyu kepada khalayak. Sebab setiap hari ada begitu banyak isu dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan publik. Ruang untuk melaporkan dan mengurai isu maupun peristiwa itu justru yang terbatas. Yang lebih relevans untuk diidentifikasi sebagai problem media adalah bagaimana memilih, memilah dan mengolah luberan isu dan peristiwa itu? Bagaimana media merumuskan strategi pemberitaan di antara begitu banyak obyek pemberitaan ? Seberapa jauh media akan mengangkat satu persoalan, sementara persoalan-persoalan baru bermunculan?
Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Perbincangan soal agenda setting ini, perlu dikemukakan untuk melihat bagaimana kinerja media dalam memberitakan soal-soal Aceh. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan sehubungan dengan persoalan ini. Apakah media menunjukkan konsistensi dalam memberitakan Aceh? Apakah media mempunyai fokus pemberitaan yang jelas, dan sejauhmana fokus tersebut relevans dengan gagasan-gagasan ideal tentang peran media sebagai institusi sosial? Instititut Studi Arus Informasi (ISAI) secara rutin melakukan pemantauan terhadap pemberitaan Aceh sejak 28 Juli 2003. Dengan metode content analysis, coba diindentifikasi kecenderungan-kecenderungan media dalam meliput konflik Aceh. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap pemberitaan media televisi tentang Aceh, pada periode 26 Agustus – 4 September 2003. Media yang dianalisis adalah RCTI, Metro TV, SCTV, Indosiar, TVRI, ANTV, TPI, Trans TV, TV7, dan Lativi. Analisis dilakukan terhadap seluruh item berita pada semua program news pada masing-masing televisi.
Problem Konsistensi
Aceh adalah salah-satu persoalan terbesar yang kita hadapi saat ini. Bukan sekedar persoalan kemungkinan lepasnya satu kawasan dari sebuah negara. Tapi juga sejauhmana kita sebagai bangsa dapat menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan beradab, menegasikan cara-cara kekerasan yang beresiko tinggi terhadap perikemanusiaan, serta menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sejauhmana kita bisa mendudukkan kebebasan pers pada proporsinya? Dan masih banyak aspek yang lain.
Namun agak mengherankan bahwa diskursus Aceh belakangan mulai ditinggalkan. Ketika intensitas perang tak kunjung mereda, perbincangan publik perlahan-lahan mulai bergeser ke masalah-masalah lain. Kompleksitas masalah Aceh tidak lagi mendapatkan perhatian dan fokus yang memadahi.
Sungguh disayangkan bahwa gejala ini justru dimulai oleh media, terutama media televisi. Padahal media televisilah yang notabene sejak akhir April 2003, telah membuat perhatian publik begitu terfokus pada isu-isu Aceh. Lambat-laun, media televisi mulai mengendorkan pemberitaan tentang Aceh. Bisa jadi karena isu Aceh mulai mengalami kejenuhan, sementara di sisi lain muncul isu-isu baru yang lebih aktual. Isu sukhoigate, Bom Marriot, persiapan pemilu 2004, hingga isu kekerasan di STPDN Jatinangor. Tapi sekali lagi, kita bukan sekedar membayangkan media sebagai entitas bisnis, namun juga media sebagai institusi sosial dengan sejumlah tanggung-jawab moral kepada publik.
Pada periode pertama pemantauan (28 Juli – 6 Agustus 2003), total berita media televisi tentang Aceh masih cukup besar, yakni 470 berita. Lalu menurun menjadi 388 item berita pada periode kedua (7-15 Agustus 2003). Penurunan intensitas pemberitaan semakin terasa pada periode pemantauan keempat (26 Agustus – 4 September 2003), dengan total berita sebanyak 268 item. Data ini semakin semakin kontras jika kita bandingkan dengan intensitas pemberitaan soal Aceh pada menjelang dan masa-masa awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Periode Mei-Juni 2003 adalah saat itu periode di mana setiap hari perkembangan konflik di Aceh menjadi headline media massa, dengan intensitas pemberitaan yang sangat tinggi.
Konsistensi juga bisa dilihat dari penempatan berita-berita Aceh pada struktur pemberitaan televisi. Sebanyak 73,9% dari total 268 berita televisi soal Aceh ditempatkan pada segmen tengah. Hanya 19,4 % berita Aceh yang diletakkan pada segmen depan. Temuan ini paralel dengan hasil pemantauan pada periode sebelumnya. Pada periode 28 Juli – 6 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 42,1 %, dan segmen tengah sebanyak 52,6%. Sementara pada periode 7-15 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 14,2 %, dan pada segmen tengah sebanyak 76,3 %.
Apa yang bisa disimpulkan dalam hal ini. Aceh tak lagi menjadi prioritas bagi media televisi. Keberadaannya tergusur oleh isu-isu baru yang lebih aktual. Beberapa stasiun televisi juga mulai mengubah kebijakan redaksionalnya. Media televisi mudah terbuai oleh obyek pemberitaan, sekaligus mudah pula melupakannya. Pemberitaan media televisi soal Aceh, seakan-akan mengalir begitu saja, tanpa muara yang jelas. Sebuah realitas pemberitaan yang tidak menunjukkan adanya strategi atau agenda yang jelas dalam mensikapi masalah-masalah yang terlanjur menjadi sorotan publik, di mana media berperan besar di dalamnya. Suatu hal yang kontraproduktif bagi penyelesaian kasus Aceh, jika pengelola media berpikir bahwa realitas konflik patut mendapatkan prioritas pemberitaan terutama sekali karena konflik selalu menarik perhatian publik. Bukan karena pertimbangan bahwa konflik harus segera diakhiri karena dapat menyebabkan kerugian-kerugian lebih besar pada publik.
Fakta di atas juga sangat riskan bagi kelanjutan penyelesaian kasus Aceh. Semakin menipis perhatian media terhadap Aceh, semakin besar potensi pelanggaran HAM dan segala bentuk abuse of power di sana. Semakin mengecil prioritas media terhadap masalah Aceh, semakin leluasa pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Tanpa ada kontrol yang memadahi dari unsur civil society, publik Serambi Mekkah dibawah bayang-bayang tragedi kemanusiaan yang lebih buruk dan tidak akan berkesudahan dalam waktu dekat.
Fokus Pemberitaan
Selanjutnya, kita bisa melihat fokus yang diberikan oleh televisi terhadap kasus Aceh. Mengamati fokus pemberitaan menjadi sangat penting, karena akan menunjukkan sikap media dalam menghadapi sebuah persoalan. Fokus pemberitaan paling-tidak dapat memberikan indikasi tentang sejauhmana media melihat perang sebagai “problem”, sehingga perlu terus-menerus dipertanyakan urgensinya. Ataukah yang terjadi justru kecenderungan media untuk pertama-tama melihat entitas perang sebagai komoditi. Maka yang menjadi prioritas kemudian adalah bagaimana mengolah momentum perang ini sedikian rupa sehingga dapat menaikkan oplah, rating, atau leverage sebuah media. Fokus pemberitaan, pada titik ekstrim tertentu bisa menjadi perangkat untuk melihat apakah media banyak berperan sebagai conflic intensifier atau conflict deminisher?
Dari tema berita, tidak ada perubahan berarti pada kecenderungan media televisi untuk lebih banyak mengangkat realitas Aceh sebagai melulu “realitas perang”. Berita tentang kekerasan, tentang aksi baku-bunuh yang terjadi di medan perang masih mendominasi berita televisi tentang Aceh. Bisa dibandingkan misalnya dengan berita-berita yang melihat konflik Aceh dari sisi korban atau pengungsi. Sebanyak 51,9% dari total berita yang dianalisis, masih berfokus pada pelaku konflik. Sementara hanya 14,2 % berita yang memberikan fokus kepada korban konflik.
Baku bunuh, kekerasan masih dianggap lebih penting untuk diberitakan daripada kondisi para pengungsi atau korban. Mungkin karena adegan-adegan kekerasan akan dengan cepat memuaskan rasa keingintahuan sebagian dari publik atas perkembangan di Aceh. Mungkin karena adegan-adegan tersebut lebih merangsang penonton untuk menatap layar televisi, sebagaimana aneka rupa kekerasan yang muncul dalam berita-berita kriminal “Buser”, “Patroli”dan lain-lain.
Pada titik ini, dapat dilihat bahwa media televisi belum memberikan kontribusi memadahi terhadap upaya untuk mempertanyakan urgensi perang sebagai solusi bagi persoalan Aceh. Media sesungguhnya dapat memberikan kontribusi signifikans terhadap upaya ini jika mereka memberikan fokus yang lebih besar terhadap sisi-sisi perikemanusiaan dari konflik Aceh. Media televisi belum menggunakan potensinya yang paling besar, yakni menggalang opini publik untuk mempertanyakan kebijakan-kebijakan politik pemerintah, yang katakanlah kontraproduktif dari sisi penegakan HAM di Indonesia.
Kualitas Pemberitaan
Belakangan, sebenarnya muncul harapan agar media dapat meningkatkan kualitas pemberitaannya terhadap kasus Aceh. Muncul kritik dari berbagai pihak atas kinerja pers dalam meliput Aceh. Ada yang mempersoalkan embeddeed journalism yang banyak digunakan media, ada yang mempertanyakan nasionalisme sempit media. Muncul pertanyaan-pertanyaan seputar profesionalisme dan parsialitas media dalam meliput konflik Aceh. Ketika perdebatan tentang masalah ini menyedot perhatian banyak pihak, sebenarnya telah ditemukan titik-pijak untuk memperbaiki kinerja media dalam meliput Aceh. Kritik-kritik yang muncul, bagaimanapun akan menjadi referensi bagi proses peliputan selanjutnya.
Namun ketika harapan itu muncul, kita dihadapkan pada surutnya perhatian media terhadap Aceh. Bahkan ketika perang itu sendiri masih terus berkecamuk, dan intensitas konflik belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Harapan akan perbaikan kualitas liputan itu semakin sulit karena disisi lain muncul problem pada level newsgathering. Media televisi masih membiarkan dirinya sangat tergantung pada sumber-sumber resmi pemerintah. Sebanyak 60,8 % sumber yang dikutip televisi pada periode yang diamati, tup, adalah sumber resmi pemerintah : TNI, Kepolisian, Pemerintah dan DPR. Bandingkan dengan sumber GAM yang hanya 4,1 %, atau sumber tokoh dan warga masyarakat Aceh sebesar 11, 6%. Media masih terus menyuarakan realitas psikologis kaum elit kekuasaan, terutama TNI. Dengan demikian, media sesungguh tetap menghadapi kesulitan untuk melepaskan diri dari kerangka pemberitaan pemerintah. Kerugian terbesar, tentu saja karena media tetap gagal dalam menghadirkan diskusi yang dialogis dan seimbang soal konflik Aceh. Apalagi media di sisi lain juga tidak terjadi perubahan pada lemahnya media televisi dalam memenuhi prinsip-prinsip cover botshide. Sebanyak 51,9% dari 268 total berita yang dianalisis, tidak memenuhi prinsip cover both side. Untuk sesuatu yang paling esensial dalam jurnalisme, dan sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan pun, media televisi tetap lalai.

Ilmu Politik dan Komunikasi

(AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515)

Istilah politik telah lama dikenal. Bahkan beberapa ahli yang menyatakan bahwa politik sama tuanya dengan peradaban manusia. Aristoteles juga pernah menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang berpolitik. Kata kunci penting dalam kajian politik adalah kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa unsur utama dalam pembahasan politik adalah apa dan bagaimana manusia mengelola kekuasaan.
Perspektif dasar dalam pembahasan tentang politik adalah usaha untuk mendapatkan, memanfaatkan, mendistribusikan, mengimplementasikan dan mempertahankan kekuasaan kepada manusia yang lain. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana kekuasaan itu sendiri (mengutip Lasswell). Politik adalah proses dan aktivitas sosial manusia untuk mengatur tindakan manusia.
Ilmu politik adalah kajian sistematik, metodis dan rasional yang ingin memahami dan menjelaskan proses-kegiatan serta tindakan individu atau kelompok dalam mendapatkan, memanfaatkan, mendistribusikan, mengimplementasikan dan mempertahankan kekuasaan yang ada. Ilmu ini mau menjelaskan prinsip-prinsip dasar dan bagaimana proses serta tindakan politik bisa dilakukan dalam kehidupan sosial. Proses politik sebagai pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan yang menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama pembuat keputusan.
Ilmu politik sendiri mempunyai empat cabang utama, terutama yang sampai berkembang. Empat cabang tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama adalah filsafat politik. Cabang pertama ini merupakan kajian ilmu politik yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan normatif dalam tindakan politik. Perspektif dasarnya adalah hakikat mendasar dari sebuah proses dan kegiatan politik.
Kedua adalah hubungan internasional. Cabang kedua ilmu politik ini adalah cabang yang mengkaji prinsip dasar dan eksplanasi kompleksitas tatanan dan relasi internasional. Perspektif dasar hubungan internasional adalah proses hubungan yang bersifat internasional. Sifat hubungan ini yang berakibat bahwa hubungan tersebut tidak lagi sederhana tapi penuh dengan kerumitan-kerumitan sendiri.
Ketiga adalah ilmu perbandingan politik. Ilmu perbandingan politik adalah kajian yang mau mengambarkan, menjelaskan dan menganalisa ragam sistem dan proses politik dari sekian banyak negara yang ada di dunia ini.
Keempat adalah ilmu politik dalam negeri atau lokal. Ilmu ini mengkaji keberadaan dan keunikan dari proses politik lokal yang ada dan berkembang sampai sekarang.
Sementara ilmu politik terapan yang berkembang sekarang seperti: politik kemiliteran, politik gender, politik etnis dan sebagainya lebih mau memperlihatkan bahwa ilmu politik sendiri pada dasarnya ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan disiplin ilmu yang lain.
Perspektif politik terhadap komunikasi lebih mendasarkan pada asumsi bahwa politik adalah sebuah proses. Politik melibatkan komunikasi. Proses komunikasi dalam ruang lingkup politik menempati posisi yang penting. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi. Dengan kata lain, sejauh mana proses politik menentukan struktur dan pola komunikasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Perspektif ilmu komunikasi terhadap politik. Kerangka yang mengekspresikan atau menyatakan pesan politik tentunya melalui proses komunikasi. Dalam arti tertentu, politik berada dalam domain komunikasi. Proses komunikasi akan menentukan struktur, efektivitas, proses dan aktivitas politik yang ada. Atau dengan kata lain, sejauh mana komunikasi menentukan proses pencarian, mempertahankan dan mendistribusikan pola kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam proses politik, komunikasi menjadi alat atau media yang mampu mengalirkan pesan politik (tuntutan dan dukungan) ke kekuasaan untuk diproses. Dalam suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur politik (lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik (partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan) –nya. Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik. Dalam model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada suprastruktur politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya). Sedangkan komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur politik dalam suatu sistem politik.
Dapat dikatakan bahwa ilmu politik merupakan salah satu akar pertama pengembangan ilmu komunikasi. Lasswell sendiri merupakan pakar politik Dapat dikatakan bahwa yang berkembang sebelum disiplin ilmu komunikasi mulai bertumbuh justru komunikasi politik.

Sumber:
Robert E. Goodin, Hans-Dieter Klingemann (Hrsg.), 1996: A New Handbook of Political Science. Oxford / New York u.a.: Oxford University Press

Michael Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros, and Walter S. Jones, 2007, Political Science: An Introduction (New York: Prentice Hall)

McNair B. 2003. An Introduction to Political Communication, London: Routledge

http://www.askoxford.com/

KOMUNIKASI DI ANTARA LINTASAN ILMU


AG.Eka Wenats Wuryanta

BAGIAN I
Pendahuluan

Ketika ilmu komunikasi berangkat dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan maka tidak mengherankan bahwa ilmu komunikasi dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Ketika manusia niscaya berkomunikasi, sementara kehidupan manusia berada dalam konteks-konteks yang beragam maka komunikasi itu sendiri bersifat kontekstual dan unik (Bradac-Bowers, 1982).
Sejarah komunikasi sendiri sudah berkembang jauh sebelum ilmu tentang komunikasi itu sendiri berkembang. Sejarah retorika Aristoteles memperlihatkan bahwa tindakan komunikasi sudah berkembang pada era Yunani-Romawi. Ketika komunikasi berada di dalam khasanah ilmu pengetahuan, maka ilmu komunikasi yang dikenal sampai sekarang adalah disiplin ilmu yang berumur relatif lebih muda jika dibandingkan dengan sosiologi, biologi, astronomi, fisika bahkan filsafat.
Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, kajian ilmu komunikasi berakar dari ilmu politik (Dahlan, 1990:6). Schramm sendiri mengindikasikan Harold Lasswell sebagai salah satu Perintis Komunikasi modern, adalah juga ahli ilmu politik. Komunikasi waktu itu lebih banyak menelaah masalah propaganda dan opini publik. Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi mulai dilihat sebagai ilmu ketika sosiologi (dimulai oleh P. Lazarsfeld) dan psychologi social (yang dirintis oleh Carl Hovland) memberikan kontribusi terhadap telaah fenomena komunikasi massa waktu itu. Rintisan sosiologi dan psikologi sosial memberikan kontribusi soal perspektif masyarakat yang mendapatkan pengaruh media massa.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam perkembangan ilmu komunikasi maka terdapat tiga bidang ilmu yang memberikan kontribusi konkret terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu politik, ilmu sosial dalam hal ini adalah sosiologi, dan psikologi. Ilmu politik memberikan ruang pertama pada pembahasan propaganda politik berikut pengaruhnya kepada masyarakat. Sosiologi memberikan tempat di mana komunikasi tidak bisa melepaskan diri dari masalah interaksi antar manusia. Psikologi memberikan kajian pelengkap mengenai masalah komunikasi yang berkaitan dengan perilaku psikologis seorang manusia (individu) maupun tindakan masyarakat.
Meski demikian bantuan atau kontribusi ilmu selain yang di atas juga tidak bisa dipungkiri seperti ilmu matematika (yang persis juga dipakai oleh Shannon dalam menjelaskan persoalan mendasar komunikasi), linguistik (yang turut membantu komunikasi dalam mempelajari karakteristik pesan dalam sebuah bahasa), biologi (yang turut membantuk komunikasi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan yang saling terhubung satu sama lain). Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa komunikasi harus dipahami sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Jalinan erat antara komunikasi dengan bidang ilmu di luar komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan disiplin ilmu yang masih berkembang, seturut dengan manusia yang mempunyai kecenderungan berkembang pula.
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, penulis berfokus pada penyelidikan kaitan atau visi perspektif dari 2 bidang ilmu di luar ilmu komunikasi, yaitu filsafat dan matematika dengan ilmu komunikasi itu sendiri. Penulis membagi beberapa bagian penting dari makalah ini. Bagian pertama adalah bagian pendahuluan yang ingin memperlihatkan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu yang multidisipliner dan dengan situasi semacam itulah ilmu dan teori komunikasi masih berkembang sampai sekarang. Bagian kedua adalah terdiri dari 2 sub bagian besar. Sub bagian pertama adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik antara filsafat, matematika dan komunikasi sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Sub bagian kedua adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik tersebut terhadap dua kajian komunikasi, yaitu pemaknaan dan interaksi dalam komunikasi. Sub bagian ketiga adalah eksposisi sejauh mana implikasi teoretis hubungan multiperspektif tersebut dalam perkembangan teori komunikasi.
BAGIAN II

FILSAFAT, MATEMATIKA, ILMU KOMUNIKASI: Lintasan Hubungan
a. Definisi dan Perspektif Dasar
Bagian ini mau membahas hubungan antara filsafat, matematika dengan komunikasi. Yang perlu dipahami dalam bagian ini adalah salah satu atau bagian kecil dari sekian banyak perspektif dari ilmu pengetahuan dalam pembahasan tentang komunikasi. Tapi sebelum masuk pada hubungan timbal balik antara ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut maka penulis ingin meletakkan beberapa hal pokok dari ketiga ilmu tersebut dalam beberapa hal diskusi, yaitu definisi, perspektif dasar, dan konsep pokok.
Pertama, filsafat sebagai disiplin ilmu yang mempunyai sistematika dan logika telah dikembangkan oleh peradaban Yunani sejak abad VI sebelum masehi (Bertens, 1989: 13-26). Kata falsafah atau filsafat merupakan kata serapan bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari philosophy (Inggris), philosophia (Latin), Philosophie (Jerman, Perancis). Kata-kata tersebut diambil dari bahasa Yunani philo dan sophia. Kata ini merupakan gabungan dua kata philein berarti mencintai atau philos berarti persahabatan, cinta dan sophos berarti bijaksana atau Sophia berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah usaha untuk memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Ia juga termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya dan bertujuan untuk memahami (understanding) dan kebijaksanaan (Wisdom). Dengan kata lain, filsafat adalah kajian atau ilmu yang mempelajari, merefleksikan secara kritis, rasional dan radikal realitas untuk mendapatkan kebenaran realitas yang bersifat asali dan mendasar. Perspektif dasar dari ilmu filsafat adalah pemahaman dan refleksi terhadap seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas dapat dilihat secara kritis dan mendasar untuk mendapatkan penjelasan tentang asal usul, tujuan, manfaat dan alasan keberadaan realitas tersebut (Kattsof, 2004: 3-16). Konsep pokok, dengan demikian, dalam filsafat adalah pemahaman, refleksi dan kritis-mendasar.
Kedua, matematika adalah disiplin ilmu tertua yang telah dikembangkan oleh manusia (Borchert, 2006: 20-21). Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan atau mendapatkan akurasi pemahaman masalah atau realitas. Matematika bisa dilihat sebagai proses dan menyediakan perangkat untuk mengukur presisi gejala. Perspektif utama matematika adalah bahwa pengukuran yang tepat seakurat mungkin atas seluruh gejala atau untuk keperluan yang beragam. Dalam perspektif ini, tujuan matematika adalah untuk mendapatkan definisi yang persis dan akurat. Konsep pokok, dengan demikian, dalam matematika adalah pengukuran, akurasi-presisi, randomness.
Ketiga, komunikasi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mulai tumbuh sehabis perang dunia I sampai perang dunia II. Penelitian ilmu komunikasi semakin meningkat pada perang dunia II melalui antara lain Office of War Information Amerika Serikat (Dahlan, 2003). Definisi komunikasi sendiri sangat banyak bahkan Dance dan Larson (dalam Miller, 2005:3) pernah menyatakan terdapat 126 definisi komunikasi. Penulis ingin mengangkat beberapa definisi. Komunikasi adalah keseluruhan prosedur yang mana prosedur tersebut membuat pesan tertentu mempengaruhi yang lain c.one which would inclue the procedures by means of which one mechanism affects another mechanism (Weaver, 1949:3). Carl Hovland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana seorang individu (komunikator) mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi atau mengubah perilaku individu lainnya (Hovland, 1953). Grebner (dalam Miller, 2005: 4) menyatakan bahwa komunikasi adalah interaksi sosial melalui simbol dan sistem pesan. Maka, penulis menyatakan bahwa komunikasi tidak mempunyai definisi tunggal. Komunikasi lebih merupakan proses penyampaian pesan melalui simbol-tanda yang dilakukan secara transaksional antara penyampai pesan dengan para penerima pesan dengan tujuan tertentu (disesuaikan dengan kepentingan komunikator atau komunikasi, vis a vis). Karena definisi yang begitu banyak maka tidak mengherankan apabila dalam konseptualisasi komunikasi terdapat point of convergence dan point of divergence.(Miller, 2005: 5-11).
Definisi umum (point of convergence) dari komunikasi terdiri dari definisi komunikasi sebagai proses, komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional dan komunikasi sebagai sesuatu yang simbolik. Komunikasi sebagai proses adalah pemahaman bahwa titik utama yang menjadi perhatian sekian banyak definisi komunikasi terletak pada proses. Komunikasi sebagai proses menyiratkan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang berkelanjutan, kompleks dan tidak arbitrer (mana suka). Komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional berarti bahwa komunikasi tidak hanya sekedar prosesual dan interaksional melainkan terjadinya intensifikasi hubungan timbal balik antara komunikator, komunikan, pesan, efek dan sebagainya. Komunikasi merupakan sesuatu yang simbolik menyiratkan bahwa ketika komunikasi berproses melalui sesuatu yang transaksional maka hal esensial yang dibutuhkan adalah pemaknaan yang berangkat dari simbol-simbol yang dipakai dalam tindakan komunikasi tersebut. Definisi umum memperlihatkan betapa pun definisi komunikasi tersebar dengan berbagai macam sudut pandang maka setidaknya ada yang menyatukan definisi-definisi tersebut.
Berbeda dengan sudut pandang dalam konteks definisi umum, point of divergence lebih melihat pusaran definisi tersebar dalam beberapa karakteristik. Point pertama adalah poin komunikasi sebagai aktivitas sosial. Point ini merujuk konseptualisasi yang tidak sama tapi berada dalam konteks relasi sosial yang beragam dan mempunyai impak terhadap kehidupan sosial. Konseptualisasi relasi sosial dan komunikasi mengakibatkan bahwa komunikasi mempunyai level sosial dari antar pribadi sampai komunikasi massa, termasuk di dalamnya proses kognitif dalam proses interaksi komunikatif. Point kedua adalah komunikasi berhubungan dengan tindakan komunikatif dan intensionalitas. Poin ini berangkat dari adagium Watzlawick yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa tidak berkomunikasi. Dalam poin ini terdapat pula bahwa perspektif komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perspektif sumber komunikasi melainkan juga sampai pada masalah perpektif penerima, dan perspektif pesan.
Tiga point di atas sebenarnya mau memperlihatkan beberapa hal penting dalam terminologi filsafat, matematika dan ilmu komunikasi itu sendiri. Tentunya tiga point di atas lebih mau dielaborasikan lebih jauh pada bagian selanjutnya.
b. Hubungan Filsafat, Matematika dan Ilmu Komunikasi
Perspektif dasar filsafat adalah pemahaman menyeluruh dan refleksi kritis atas seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas tersebut dapat dilihat secara mendasar untuk mendapatkan makna kebenaran yang lebih mendasar. Sementara itu, matematika mempunyai perspektif dasar sebagai proses atau setidaknya penalaran melalui pengukuran sedemikian rupa mendapatkan hasil yang benar, akurat dan presisi dalam melihat realitas. Dua perspektif di atas mempunyai kesamaan dalam memandang titik tolak realitas dan tujuan akhir masing-masing perspektif, yaitu untuk mendapatkan pemahaman atas kebenaran realitas dalam usaha dalam mengurangi ketidakpastian-ketidakpastian yang melingkupi realitas itu sendiri. Hanya perbedaannya adalah pada soal cara memandang, di mana filsafat mau mencoba memahami realitas sebagai sesuatu yang reflektif dan mendasar dengan segala asumsi dan derajad kepastiannya (Ewing, 2003:14-20). Matematika memahami realitas sebagai sesuatu yang harus bisa dipastikan presisi dan akurasinya (sekaligus menyederhanakan konsep yang mendasari sejumlah besar kompleksitas) karena realitas mempunyai asumsi ketidakpastian.
Berangkat dari persamaan dan perbedaan antara filsafat dan matematika maka filsafat memberikan dasar-dasar penalaran yang benar (logika) yang diperlukan untuk menyusun argumen-argumen yang mempunyai tingkat kejelasan dan akurasi yang bisa dipertanggungjawabkan (Ewing, 2003: 18-19). Matematika sendiri memberikan kepada filsafat rangkaian perangkat atau instrumen yang dipergunakan untuk melakukan sistematisasi rasional atas sebuah realitas, sebut saja dengan perhitungan, ukuran, simbolisasi dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi maka dapat dijelaskan sebagai berikut: perspektif filsafat yang memposisikan sebagai proses tidak kunjung selesai dalam pemahaman yang mendasar atas realitas memberikan warna kepada komunikasi yaitu sejauh mana proses pemahaman mendasar atas realitas (secara ontologis, epistemologis, aksiologis) menentukan bagaimana proses komunikasi dilakukan (mulai dari makna mendalam komunikator sampai makna terdalam dari efek komunikasi). Komunikasi sendiri memberikan peran bagi filsafat dengan sejauh mana serta bagaimana pengolahan dan proses komunikasi atas informasi-informasi yang lengkap, jelas dan argumentatif bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar benar rasional sedemikian rupa mampu masuk pada inti masalah yang paling dasar atau fundamental.
Hubungan perspektif matematika dengan komunikasi dapat dinyatakan sebagai berikut: bahwa perspektif matematika memberikan pengukuran yang akurat pada proses komunikasi yang dilakukan sehingga tindakan komunikasi bisa dilakukan dengan maksimal. Sebaliknya, komunikasi memberikan pendasaran simbolik dan pemaknaan yang bisa digunakan untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan sejumlah besar konsep abstrak yang digunakan dalam matematika. Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang kepada yang lain untuk mendapatkan bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan khusus. Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: mereflesikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika; membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode oral, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar; menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematika; merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argument yang meyakinkan. Secara umum, matematika dalam ruang lingkup komunikasi mencakup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse).
c. Implikasi Relasi Perspektif Filsafat Matematika dengan Ilmu Komunikasi
Dengan konteks di atas maka terdapat relasi langsung dan tidak langsung antara perspektif filsafat, matematika dengan komunikasi sebagai disiplin ilmu. Di satu sisi, perspektif filsafat dan matematika sangat berfokus pada soal proses pemahaman terhadap realitas secara keseluruhan meskipun dengan cara dan metode yang berbeda. Tapi yang jelas adalah bahwa kedua perspektif tersebut menekankan pada proses (yang terlihat secara jelas). Dalam konteks ini, ketika komunikasi dilihat sebagai sebuah proses maka perspektif yang lain pun mengafirmasikannya. Konseptualisasi definisi umum yang menyatakan komunikasi sebagai sebuah proses merupakan kepastian. Penekanan definisi proses sebagai sesuatu yang kompleks, berkelanjutan dan tidak bersifat manasuka juga merupakan karakteristik perspektif filsafat dan matematika. Ini menandakan juga bahwa interaksi pun juga tidak sederhana. Sifat holistik juga terlihat dalam perspektif komunikasi.
Tindak komunikasi tidak hanya dipahami sebagai pecahan-pecahan pengalaman tapi pengalaman secara menyeluruh. Komunikasi sederhana yang berangkat dari interaksi yang sederhana juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks. Dengan demikian, model matematika Shannon atau model Berlo (model SMCR) tidak bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat linear, dan simplistik melainkan harus dilihat secara utuh. Persamaan matematika Shannon dan model Berlo SMCR memuat persamaan yang memperlihatkan proses komunikasi yang utuh.
Apakah memang perspektif matematika dan filsafat hanya berhenti pada masalah prosesual komunikatif? Dari 2 perspektif terdahulu juga memperlihatkan tingkat intensitas hubungan antara refleksi, eksplanasi dan estimasi dengan realitas yang diamati atau dieksplanasi atau diestimasi. Perspektif matematika yang menekankan kejernihan dan akurasi mengandaikan unsur transaksionalitas. Matematika dan filsafat menekankan hubungan dan intensifikasi timbal balik antara subjek dengan objek. Demikian juga halnya ilmu komunikasi. Komunikasi sebagai transaksi. Pandangan ini menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis yang secara berkesinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan atau pesan nonverbal.
Beberapa definisi yang sesuai dengan konsep transaksi:
a. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss: Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
b. Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson: Komunikasi adalah proses memahami danberbagi makna.
c. William I. Gordon : Komunikasi adalah suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.
d. Donald Byker dan Loren J. Anderson: Komunikasi adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.
Dalam konteks selanjutnya, komunikasi dalam definisi transaksional merujuk pada masalah kontekstualitas dalam proses komunikasi. Perspektif filsafat ketika menekankan masalah refleksi dan pemahaman menyeluruh mengandaikan juga masalah kontekstualitas. Proses kebenaran tidak bisa dilihat secara terpisah dan tidak terhubung pada konteks yang menyertainya. Matematika dalam mencari dan berproses melakukan estimasi, penyederhanaan kompleksitas realitas tetap memperhitungkan kontekstualitas supaya persamaan yang dibuat juga tetap bisa disesuaikan dengan faktor atau variabel yang mempengaruhinya.
Perspektif matematika dan filsafat juga berpengaruh pada masalah definisi umum komunikasi sebagai sesuatu yang bersifat simbolik. Perspektif filsafat dan matematika menyiratkan adanya simbol atau tanda yang berhubungan dengan proses pemaknaan dalam sebuah proses komunikasi. Dalam konteks perspektif matematika, penggunaan simbol dalam proses pengkomunikasian realitas dengan tujuan mencari penyederhanaan konsep yang mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi serta mencari pemahaman yang lebih presisi merupakan pengandaian yang tidak bisa dihindarkan. Simbol adalah sesuatu yang secara sengaja digunakan untuk menunjukkan sebuah realitas lainnya. Benda yang ditunjuk oleh seimbol itu adalah apa yang dimaksudkan oleh kelompok sosial tertentu. Ciri utama simbol, menurut Hoebel (1966: 299) adalah kepadatannya. Hoebel menyatakan bahwa dalam satu bentuk atau lainnya, simbol itu selalu bersifat terbuka, ia harus terlihat, terdengar, dirasakan atau dibaui. Simbol-simbol itu memadatkan abstraksi ke dalam objek yang terbatas. Simbol-simbol inilah yang dimaknai oleh para pelaku proses komunikasi, menjadi media pesan dan sebagainya. Ketika simbol berhubungan dengan proses pemaknaan maka simbol selalu bersifat kontekstual.
Dalam perspektif matematika dan komunikasi, simbol digunakan dalam menyampaikan pesan sedemikian perlu diukur untuk mendapatkan proses komunikasi yang maksimal. Dalam perspektif filsafat dan komunikasi, simbol digunakan untuk melakukan pemaknaan mendalam melalui refleksi simbolik.
Definisi khusus tentang komunikasi berdasarkan perspektif matematis dan filosofis lebih dititikberatkan pada masalah sejauh mana pemahaman mendalam reflektif dan ukuran akurasi informasi membentuk komunikasi sebagai aktivitas sosial dan berdimensi intensional. Relasi sosial tentunya akan dipengaruhi sejauh mana seseorang mampu mereduksi ketidakpastian kepada yang lain sehingga membentuk relasi yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah bagaimana cara berkomunikasi dengan yang lain. Tentunya relasi sosial yang mengandaikan tindakan komunikasi yang tepat merujuk bahwa komunikasi selalu bersifat intensional (sadar dan terarah). Sebaliknya, ketika proses komunikasi dilakukan secara tepat, akurat dan jelas maka akan mempengaruhi sejauh mana seseorang secara tepat, akurat dan jelas menentukan sikap sosial (Miller, 2005: 7). Demikian juga halnya, pemahaman yang mendalam atas sebuah realitas akan menentukan bagaimana proses produksi pesan dan pemaknaan pesan bisa dilakukan secara optimal (Miller, 2005:7). Sebaliknya pesan optimal yang jelas akan menentukan pemahaman mendalam atas realitas (perspektif filsafat)
d. Implikasi Telaah Komparasi pada Domain Konseptual Ilmu Komunikasi
Pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa melihat pemaparan komparasi antara filsafat, matematika dan komunikasi. Telah dipahami bersama bahwa perspektif matematika dan perspektif filsafat mempunyai kesamaan dalam melihat proses pemahaman atas realitas (dalam hal ini proses komunikasi berikut gejala-gejalannya), yaitu bahwa kedua perspektif tersebut berusaha melihat proses pemahaman secara menyeluruh sehingga sebuah realitas dapat diambil maknanya.
Dalam kajian ilmu komunikasi pun ketika dihadapkan pada perspektif matematika dan filsafat maka domain konseptual yang terjadi berkembang dalam konteks yang lebih terinci. Terdapat 2 domain utama yang berkembang dalam teori komunikasi terutama yang berkait dengan perspektif matematika dan filsafat. Dua domain utama tersebut adalah domain konsep komunikasi sebagai model transmisi komunikasi dan model konstitutif komunikasi. Craig menyatakan bahwa model transmisi komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan atau proses transfer informasi dari satu ke yang lain. Model konstitutif komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan unsur konstitutif atau mendasar dari sebuah proses sosial itu sendiri. Dalam tataran tertentu perspektif matematika akan banyak berbicara pada domain model transmisi komunikasi. Tuntutan ketepatan informasi, akurasi dan kapabilitas media komunikasi merupakan karakter utama dari proses transmisi komunikasi. Sementara itu perspektif komunikasi banyak lebih berbicara dalam domain komunikasi: model konstitutif komunikasi. Ketika filsafat ingin membawa pada refleksi mendalam dan realitas itu adalah tindakan manusia di mana salah satunya adalah komunikasi maka komunikasi merupakan unsur konstitutif dari manusia itu sendiri. Tapi dengan melihat kompleksitas dan perkembangan ilmu komunikasi maka pembatasan yang jelas antar perspektif baik itu matematis maupun filosofis menjadi tidak ketat.
Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas komunikasi telah berkembang sejak lama sehingga dalam ilmu komunikasi dikenal tradisi-tradisi yang unik. Robert Craig, telah memetakan tujuh (7) bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut sebagai 7 tradisi (dalam Griffin 2000:22-35 dan Miller, 2005:13), yakni :
1. Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni)
Perspektif teoretis komunikasi dalam tradisi ini menyatakan seni praktikal dari wacana yang berkembang. Problem tradisi ini terletak pada eksigensi sosial mengandaikan pertimbangan dan penilaian kolektif. Keistimewaan yang mencirikan tradisi ini adalah bahwa keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik. Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasif. Public speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
2. Tradisi semiotic (komunikasi sebagai proses membagi makna melalui tanda)
Perspektif utama teoritis tradisi ini terletak adanya mediasi intersubjektif melalui tanda-tanda yang dibuat. Permasalahan teoritisnya terletak pada kemungkinan adanya misunderstanding atau gap di antara cara pandang subjektif para pelaku komunikasi. Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tradisi ini lebih memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa makna-makna tertentu kepada khalayak. Sehingga dalam tradisi ini memungkinkan bahwa individu-individu akan memaknai tanda-tanda secara beragam.
3. Tradisi Fenomenologi (Komunikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog)
Perspektif teoritis tradisi ini adalah dialog atau kebersamaan dengan yang lain. Problematika teoritisnya terletak pada ketidakhadiran dan masalah otentisitas relasi antar manusia. Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya menciptakanlingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang. Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni: kecocokan/kesesuaian, hal positif yang tidak bersyarat, pemahaman empatik.
4. Tradisi Cybernetic (komunikasi sebagai pemrosesan informasi)
Perspektif dasar tradisi ini adalah proses informasi. Hanya memang ada beberapa masalah teoritis yang muncul dalam tradisi ini, yaitu noise, overload information, kerusakan dalam sistem komunikasi. Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh ahli matematika, Claude Shannon. Karyanya, The Mathematical Theory Communication yang diterima secara luas sebagai salah satu benih studi komunikasi. Teori ini memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Karyanya berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan. Meski eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi Warren Weaver mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan tentang komunikasi insani (human communication). Jadi dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redundancy, dan sistem.
5. Tradisi Sosio-Psikologi (komunikasi merupakan pengaruh antarpribadi)
Konsep pokok dalam tradisi ini adalah ekspresi, interaksi dan pengaruh. Sementara itu, permasalahan yang timbul di dalam tradisi ini adalah situasi yang menuntuk manipulasi hubungan sebab akibat dari perilaku untuk mencapai hasil yang diinginkan. Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebab-akibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui serangkaian eksperimen. Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan, pendapat(opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).
6. Tradisi Socio Kultural (Komunikasi sebagai penciptaan dan pembuatan realitas sosial)
Premis tradisi ini adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar dari kita beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang telah kita gunakan sejak lahir. Ahli bahasa Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah pelopor tradisi sosio kultural. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan. Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh; terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang. Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa/ grammarnya tersendiri. Contoh: sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi di mana saya dapat menukar uang ini?, maka akan ditulis dalam bahasa Inggris where can I Change some money?
7. Tradisi Kritis (komunikasi adalah refleksi penolakan terhadap wacana yang tidak adil).
Tiga asumsi dasar tradisi kritis: Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi.
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan sebutan Frankfurt School. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis. Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, di mana komunikasi menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan focus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Pemikirannya disebut dengan teori kritis. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika.
Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era berikutnya.
Beberapa tradisi di atas dinyatakan untuk melihat sejauh mana tradisi tersebut memuat beberapa karakteristik utama dalam proses komunikasi. Permasalahannya adalah bahwa komunikasi tidak hanya difragmentasikan dalam beberapa disiplin ilmu dan perspektif tapi juga dikarakterisasikan dengan level yang tinggi dari studi multidisipliner apalagi ketika studi multidisipliner tersebut ditinjau dalam beberapa asosiasi profesional. Pada bagian atau isu ini lebih didasarkan pada masalah bagaimana konteks-konteks perkembangan teknologi komunikasi, fokus penelitian dalam ilmu komunikasi tambah berkembang pesat (Miller, 2005: 14-16).
e. Implikasi Perspektif Filsafat dan Matematika dalam Kajian Pemaknaan dan Interaksi dalam Komunikasi
Bagian pertama, penulis ingin menguraikan sejauh mana pengaruh perspektif matematika dalam proses interaksi dan pemaknaan komunikasi. Perspektif matematika adalah perspektif presisi dan ukuran. Dalam konteks pemaknaan dan interaksi komunikasi maka dapat dikatakan bahwa matematika membantu proses komunikasi secara optimal.
Hal pertama yang perlu dibicarakan adalah bahwa pemaknaan dalam konteks komunikasi merupakan konsep yang abstrak. Kata makna dalam komunikasi berhubungan dengan konsep komunikasi itu sendiri. Karakteristik utama makna dalam proses pemaknaan adalah kebersamaan.Makna dalam konsep komunikasi mencakup lebih daripada penafsiran atau pemahaman individu. Makna mencakup banyak pemahaman. Aspek kebersamaan dan pemahaman inilah yang menyatakan bhwa makna berhubungan dengan masalah communality of meaning. Dalam proses kebersamaan atau in common, penting untuk mendapatkan informasi yang jelas agar pesan yang ditangkap ditafsirkan sama. Berarti, pesan harus sampai tanpa harus dihalangi oleh beberapa hambatan. Entropi dalam informasi harus minimal. Kita perlu berasumsi bahwa semua tujuan komunikasi adalah mengatasi ketidakpastian (uncertainty). Teori yang dikembangkan Shannon dan Weaver menyederhanakan persoalan komunikasi ini dengan memakai pemikiran-pemikiran probabilitas (kemungkinan).
Jika kita melakukan undian dengan melempar sebuah uang logam, hasil undian itu dianggap bernilai satu bit informasi karena mengandung dua kemungkinan dan setiap kemungkinan mengandung nilai 0,5 alias sama besar dari segi kesempatan undian. Dari pemikiran dasar yang sederhana ini, Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai entropy.
Melalui pernyataan-pernyataan matematis, Shannon (dan lalu juga Weaver) menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding.
Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal tertentu.
Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Kritik terhadap teori mereka datang dari kaum yang mencoba mengaitkan informasi dengan makna dan kandungan nilai sosial-budaya di dalam informasi. Sampai sekarang, perdebatan tentang apakah informasi adalah sesuatu yang kuantitatif atau kualitatif masih terus berlangsung. Ada yang mencoba mengambil kebaikan dari kedua pihak dengan mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang berwujud dan sekaligus bersifat abstrak.
Hal kedua yang perlu didiskusikan adalah masalah interaksi dalam perspektif matematika adalah komunikasi yang terukur dan pasti melibatkan rangkaian interaksi antar subjek yang terkandung dalam proses tersebut. Perspektif matematika merujuk bahwa proses interaksi sosial berangkat dari kejelasan dan akurasi informasi sosial di mana setiap individu saling berinteraksi satu sama lain.
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan. Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial.
Bagian kedua bagian ini akan lebih membahas bagaimana perspektif filsafat berpengaruh pada kajian pemaknaan dan interaksi komunikatif. mempunyai hubungan yang erat dengan komunikasi baik secara praktek maupun komunikasi sebagai disiplin ilmu. Sumbangan filsafat untuk komunikasi adalah dalam logika. Aristoteles menyatakan bahwa roh utama dari retorika adalah logika. Logika adalah prinsip penalaran manusia. Logika diekspresikan melalui retorika (Craig, 1999).
Pada sisi lain, filsafat memberikan pendasaran filosofis kepada komunikasi sebagai sebuah ilmu. Pendasaran ilmiah dan rasional melalui ontologi, epistemologi dan aksiologi memberikan arah dalam perkembangan komunikasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, beberapa aliran pokok filsafat analitik (filsafat yang lebih berhubungan dengan logika bahasa) memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu komunikasi. Filsafat analitik sendiri berangkat dari asumsi-asumsi fenomenologi, hermeneutika, filsafat eksistensialisme. Analisis bahasa dan beberapa tradisi pokok dalam ilmu komunikasi berangkat dari tradisi filsafat idealisme, fenomenologi, hermeneutika. Kalau melihat model tradisi komunikasi yang ditawarkan oleh Robert Craig maka setidaknya ada empat tradisi yang mempunyai akar dari filsafat, yaitu retorika, fenomenologi, semiotika dan kritis (Griffin, 2000; Littlejohn, 2008).
Kajian pemaknaan dalam perspektif filsafat tidak bisa dipisahkan dengan tradisi filsafat yang bersumber dari semiotika dan hermeneutika. Pemaknaan tidak bisa dipisahkan dengan masalah penafsiran. Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Hermeneutika kritis di sisi lain menawarkan pengungkapan kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas.
Kajian interaksi yang mempunyai akar filsafat lebih banyak disandarkan pada kajian fenomenologi yang dikembangkan dalam tradisi interaksionisme simbolik dan menyatakan adanya kebersamaan yang diandaikan dalam praktik komunikasi (Griffin, 2000).
f. Eksplorasi Teori Komunikasi tentang Interaksi dan Pemaknaan (keterkaitan dengan perspektif matematika dan filsafat)
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa teori besar yang merujuk pada kajian interaksi dan pemaknaan (berikut keterkaitannya dengan matematika dan filsafat)
1. Teori Informasi
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial. Beberapa pandangan (persepsi) pokok mengenai teori informasi:
Pilihan dan Ketidakpastian
Informasi menurut teori informasi eksis dalam bentuk jumlah. Manusia dalam teori ini dipandang aktif dalam sistem sosial. Aktif dalam arti bahwa manusia sebagai unsur dalam sistem sosial berperan secara aktif melakukan pilihan-pilihan dari populasi selama interaksi sosial berlangsung. Memilih adalah salah satu karakteristik yang memisahkan manusia sebagai suatu spesies yang unik di antara dunia hewan. Manusia melakukan pemilihan terhadap populasi informasi yang eksis secara kuantitatif itu. Tujuan pilihan ini adalah mengurangi jumlah ketidakpastian. Proses mencari dan menggunakan informasi untuk mengurangi ketidakpastian merupakan karakteristik komunikasi manusia yang alamiah, tidak terelakkan meskipun tidak dijalankan secara sadar.
Redudansi dan Kendala
Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga prilaku pengolahan-informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Apabila urutan perilaku atau peristiwa tertentu terjadi berulangkali, maka urutan itu dapat dikatakan memerlihatkan keteraturan kejadian pada tingkat atau probabilitas tertentu. Apabila tingkat urutan itu mencapai probabilitas yang cukup, kita dapat dapat membedakan urutan itu sebagai suatu pola yang dapat dikenal. Teori informasi memandang bahwa makin redudan suatu urutan peristiwa, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung peristiwa itu.
Perspektif pragmatik tidak memandang perilaku manusia sebagai produk atau efek tindakan komunikatif, melainkan sama. Pandang inilah juga yang menyebabkan adanya diskrepansi (kesenjangan) antara perpspektif psikologis dan perspektif pragmatisme. Titik pandang yang menimbulkan kesenjangan adalah kesenjangan antara sikap dan perilaku individu dalam komunikasi manusia. Tetapi hal ini tidak ditemukan di dalam perspektif pragmatik karena memang perspektif ini hanya berfokus pada sistem sosial. Fokus perspektif pragmatik tidak terjun ke hirarki terbawah dan melakukan penelitian mikroskops; yakni, fokusnya tidak pada individu sebagai perorangan akan tetapi pada sistem sosialnya\minimal terdiri dari dua orang atau lebih. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat sistem sosial, maka sub-sistem yang terkecil adalah individu. Namun demikian bahwa sikap dan perilaku merupakan subsistem individu itu sendiri, tetap saja perspektif pragmatik tidak berfokus ke sana.
Berikut akan kita lihat bagaimana teori sistem umum dan teori informasi bekerja secara konseptual dalam penelitian ilmu komunikasi. Karena perspektif pragmatis memandang komunikasi manusia sebagai sistem yang memerlukan eksistensi sistem sosial yang di dalamnya teradi komunikasi manusia, maka persepsi kita tentang komunikasi betul-betul fokus hanya pada aktivitas komunikasi manusia. Konseptualisasinya adalah komunikasi sebagai aktivitas manusia.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa komunikasi berbeda dengan piranti keras komunikasi seperti alat telekomunikasi atau media massa. Yang disebut terakhir ini hanya instrumen komunikasi manusia dan bukan merupakan bagian integral studi komunikasi manusia. Jadi, aktivitas manusialah yang memiliki peran aktif dalam sistem sosial, bukan alat-alat komunikasi itu. Hal ini berarti bahwa dalam sistem sosial itu, konseptualisasi komunikasi memusatkan perhatian pada pengolahan informasi pada tingkat sistem dan tidak pada subsistem (individu).
Selain konseptualisasi komunikasi manusia secara sistem sosial, koseptualisasi itu juga berlangsung secara perilaku (perilaku yang bukan subsistem individu). Fokusnya adalah organisasi hirarki sistem memainkan peranan. Terdapat tiga tingkatan sistemik dalam hal ini, yakni subsistem, sistem, dan suprasistem.
Yang terakhir dari konseptualisasi ini adalah pola-pola interaksi yang berurutan. Urutan aktivitas komunikasi manusia (antara partisipan) menunjukkan pengelompokan unsur-unsur ke dalam pola yang telah dikenal atau dapat dikenal. Tanpa adanya pola itu, struktur interaksi tidak dapat dikenal.
2. Teori Pemaknaan Gadamer
Teori hermeneutika ini dikembangkan oleh Hans Georg Gadamer ( Littlejohn, 2008: 135-136). Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks. Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika.

Daftar Pustaka
Bertens, Kees, 1990, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Ewing, AC, 2003. Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miller, Katherine. 2005. Communication Theories: Perspectives, Processes And Contexts. Chicago:McGraw Hill.
Griffin, EM. 2000. A First Look at Communication Theory. Chicago:McGraw Hill
Littlejohn. S,. 2008. Theories of Human Communication. New York:Thomson
Shannon and Weaver, 1949. The Mathematical Theory of Communication. Urbana:The University of Illinois Press
Rogers, Everett, 1997. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Fisher, Aubrey, 1978, Perspectives on Human Communication. Boston:McGraw Hill
Craig, Robert, 2007. Theorizing Communication. London:Sage Publication
Schramm, Wilbur, Ferment in The Field. Journal of Communication volume 33 Number 3.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here