Friday, June 02, 2006

Media dan Efek pada Masyarakat

I. MEMAHAMI EFEK MEDIA PADA MASYARAKAT

I. 1. EFEK INDIVIDU DAN EFEK MASYARAKAT

Menjawab pertanyaan tentang efek sosial dari media, bisa jadi semudah mengumpulkan efek media pada individu dalam sejumlah besar orang. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagai contoh, diperkenalkannya televisi di Amerika Serikat tidak memperlihatkan adanya hubungan dengan tingkat kejahatan di kota-kota yang pertama kali memiliki televisi. Walaupun dampak televisi pada kriminalitas baru terlihat 15 tahun kemudian ketika anak-anak yang menonton televisi telah menjadi dewasa.

Demikian pula, pornografi bisa menimbulkan perilaku agresif terhadap wanita, tetapi tidak ada hubungan antara ditayangkannya pornografi dengan kejadian pemerkosaan. Kota-kota yang memiliki tingkat konsumsi televisi yang tinggi justru tingkat kejahatannya rendah, barangkali karena penonton televisi tidak punya banyak kesempatan untuk berjumpa dengan sanak saudaranya atau mereka tidak punya waktu untuk keluar rumah. Bahkan di negara seperti Denmark, dengan aturan pornografi yang lebih longgar dari AS justru jarang terjadi pemerkosaan. Sementara itu eksperimen di laboratorium menunjukkan bahwa orang-orang yang melihat perilaku anti sosial di televisi menunjukkan peningkatan dalam perilaku anti sosialnya.

Dengan kenyataan banyaknya tayangan kejahatan dan seksual di media, kita akan tergiring pada sebuah pertanyaan yang berbunyi : “kenapa hanya terjadi sedikit kejahatan ?”, bukannya : “kenapa begitu banyak ?”. Bagaimana kita menjelaskan hal ini ? Salah satu kemungkinannya adalah eksperimen di lakukan dalam kondisi buatan dan bukan sebenarnya.

Penelitian lapangan dengan populasi yang lebih besar dalam kondisi yang lebih realistis akan memberikan berbagai hasil berupa pola-pola yang lebih kompleks. Dengan kata lain alasan kenapa kita tidak melihat bukti yang jelas dari dampak media pada masyarakat adalah karena dampaknya pada tingkat individu tidak sekuat yang mereka duga.

I. 2. KRITIK SOSIAL

Dalam membahas dampak media pada masyarakat, para ahli cenderung mengabaikan pendekatan kuantitatif dalam penelitian karena mereka menganggap masalah-masalah yang dihadapi terlalu besar, berbagai kekuatan sosial tidak terlihart jelas atau bahkan metode-metode ilmiah yang digunakan terlalu sempit untuk menangkap hubungan antara media dan masyarakat.

Dengan mempertimbangkan secara hati-hati tentang hubungan antara media dan masyarakat, para ahli tersebut bukan hanya harus mampu menggambarkan “apa yang sesungguhnya terjadi”, tetapi juga “apa yang akan terjadi di kemudian hari”. Banyak kritisi sosial memberikan pengertian yang lebih baik tentang dimana kita sekarang dan kekuatan apa yang membawa kita kesini.

Salah satu ahli yang bernama Marshall Mc. Luhan mengatakan bahwa perubahan dalam masyarakat terjadi karena kemampuan membaca yang mendorong ke arah kebudayaan modern dari ilmu pengetahuan. Kritisi lain melihat fenomena yang sama dan mengatakan hal itu diakibatkan determinisme budaya, yaitu budaya sebagai faktor pendorong dan teknologi muncul untuk melayani kebutuhan budaya.

II. MEDIA KOMUNIKASI DAN PERBEDAAN SOSIAL

Salah satu masalah dari para teorisi tentang masyarakat adalah perbedaan antar kelompok-kelompok sosial, seperti ras, jenis kelamin dan kondisi ekonomi. Apa sebenarnya sumber dari perbedaan sosial ? Sejalan dengan bertambah kompleksnya masyarakat, maka pelapisan sosial juga bertambah banyak - semakin terdapat perbedaan dalam kelompok dan kelas-kelas sosial.

Masalahnya, dapatkan media komunikasi mengatasi perbedaan sosial ? Program televisi seperti Sesame Street dan perpustakaan serta sekolah berupaya agar anak-anak memperoleh pendidikan dasar melalui media massa. Telepon dan kemudian internet juga dapat meningkatkan akses informasi bagi mereka yang kurang mampu. Namun, masalahnya, apakah mereka mau.

II. 1. EKONOMI POLITIK

Pada abad ke-19, filsuf politik Karl Marx berpendapat bahwa konflik antar kelas sosial - khususnya konflik antara pemilik alat produksi dan mereka yang bekerja untuknya - ada pada masalah-masalah politik. Masyarakat industri menimbulkan perbedaan sosial.

Walaupun masyarakat industri di masa kini tidak lagi sama dengan keadaan pada jaman Marx, kondisi ekonomi politik menunjukkan bahwa masyarakat miskin tak banyak yang memiliki telepon atau akses internet. Semakin kuat suara kritikus bahwa media massa masih mendukung kepentingan kelompok penguasa dan menyuarakan pandangannya terhadap dunia dan masalah-masalah sosial dalam teknologi komunikasi tetap ditentukan oleh kelas sosial yang lama.

Kemungkinan hubungan antara media massa dan perbedaan sosial dapat digambarkan melalui contoh berikut ini. Jika iklan di media massa mendorong orang untuk beli mobil, sehingga menyebabkan karyawan menganggap dirinya layak membeli mobil, walaupaun ia membenci pekerjaannya, merasa digaji kecil dan merasa lebih suka naik sepeda. Walaupun berita TV menyiarkan pemogokan di pabrik setempat, sang reporter menyampaikannya bagai pertandingan sepak bola, menceritakannya bagai suatu pertandingan - ada pemenang dan ada yang kalah. Tak pernah menyentuh masalah dasar yang diperjuangkan oleh para buruh.

Perkembangan ini mempengaruhi isi media, baik dalam bentuk yang terlihat maupun yang tak terlihat. Para ahli ekonomi politik percaya bahwa tindakan-tindakan tersebut mendorong timbulnya hegemoni kekuasaan yang berpengaruh pada kepentingan rakyat banyak.

II. 2. KESENJANGAN PENGETAHUAN

Pertanyaan tentang apakah media komunikasi berkontribusi pada perbedaan sosial telah menarik minat sejumlah ahli untuk meneliti kesenjangan pengetahuan. Pandangan ini menyebutkan adanya golongan yang memiliki banyak (kaya) informasi dan golongan yang memiliki sedikit (miskin) informasi.

Mereka yang kaya informasi adalah yang berpendidkan tinggi dan memiliki banyak akses informasi seperti perpustakaan dan komputer. Sedangkan yang miskin informasi adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tak memiliki akses informasi - dan biasanya juga miskin secara ekonomi.

Informasi yang diberikan kepada kedua kelompok tersebut dalam masyarakat akan lebih dinikmati oleh mereka yang kaya informasi daripada yang miskin informasi, sehingga semakin memperlebar kesenjangan diantara kedua kelompok tersebut. Dalam banyak studi yang dilakukan, kesenjangan informasi bukan saja ada tetapi semakin diperlebar oleh media, bahkan juga oleh program TV “Sesame Street” yang sesungguhnya diciptakan untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

II. 3. SEBUAH KURIKULUM YANG TERSEMBUNYI ?

Ada yang mengatakan bahwa walaupun kita sudah berusaha menutup kesenjangan pengetahuan dengan menggunakan media komputer yang baru kita masih menanggung resiko berlangsungnya perbedaan sosial. Mungkin pelatihan komputer benar-benar mengisi kurikulum yang tersembunyi yang menekankan nilai-nilai dominan dengan mengajari anak-anak perempuan dan kaum minoritas untuk mematuhi perintah-perintah dan menerima tugas-tugas yang berulang. Pelatihan itu juga mengajarkan para siswa untuk menerima kewenangan yang dipersonifikasikan oleh figur orang dewasa yang menetralkan aplikasi komputer dan memberikan bantuan kepada penggunanya.

Menurut argumen ini, upaya-upaya yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan pengetahuan dengan mengajarkan kemampuan penguasaan komputer pada wanita dan kaum minoritas hanya memperburuk masalah dengan mengkondisikan mereka untuk menerima posisinya dalam suatu sistem ekonomi yang diekploitasi.

Kritikus lain berargumen bahwa media massa konvensional memilki agenda tersembunyi. Sebagian diantaranya berpikir bahwa tujuan mereka bukanlah untuk memberi informasi dan menghibur khalayaknya, tetapi untuk mempromosikan budaya konsumerisme dan materialisme demi kepentingan pemasang iklan / bukan kepentingan rakyat.

II. 4. RAS DAN GENDER

Pola-pola pekerjaan di dalam industri informasi tampaknya mencerminkan kesenjangan ini. Industri yang menciptakan informasi dan yang menciptakan teknologi informasi serta jabatan-jabatan yang menggunakannya sebagian besar didominasi oleh pria kulit putih.

Keadaan ini tidak lebih baik di media komputer. Menurut National Science Foundation, hanya 3% dari spesialis komputer adalah orang Afrika keturunan Afrika. Walaupun wanita seperti Lady Ada Byron Lovelace dan Grace Hopper memainkan peranan penting dalam industri komputer, namun wanita masih sangat tidak terwakili di bidang ilmu komputer. Wanita di dalam profesi komputer pada umumnya menerima bayaran yang lebih rendah daripada rekan prianya, walaupun kesenjangan ini masih lebih kecil dibandingkan dengan profesi lain.

Wanita juga memiliki resiko kehilangan pekerjaan yang lebih besar ketika kantornya menerapkan otomatisasi atau menggunakan robot untuk menggantikan buruhnya.

III. MEDIA KOMUNIKASI DAN KOMUNITAS

Apa dampak yang dimiliki media komunikasi pada hubungan-hubungan komunitas dan interpersonal kita yang paling bernilai dan yang paling intim ? Ketika kita mengalokasikan waktu luang, konsumsi media akan bersaing dengan kehidupan sosial dan komunitas kita dan itu akan semakin menguasai waktu luang kita sejalan dengan bertambahnya usia.

Pemakaian televisi misalnya dapat menurunkan keterlibatan kita pada komunitas dan komunitas maya dalam internet akan menggantikan hubungan tatap muka. Orang juga punya kecenderungan untuk memperlakukan media komunikasi seolah-olah mereka adalah manusia, misalnya berbicara pada televisi dan memberikan nama panggilan pada komputernya. Interaksi semcam ini merupakan substitusi dari hubungan interpersonal yang jelek.

III. 1. DESA YANG GLOBAL

Beberapa pengamat percaya bahwa media komunikasi baru dapat membangun komunitas sebanyak komunitas yang dihancurkannya. Ilmuwan komunikasi dari Kanada, Marshal Mc. Luhan, membuat istilah desa global untuk menggambarkan dalam teknologi komunikasi yang menurut dia tampaknya menarik seluruh dunia bersama-sama ke dalam sebuah kota kecil yang diperantarai secara elektronik. Dia mengatakan hal ini di tahun 1960-an jauh sebelum internet jadi kenyataan. Seorang ilmuwan kontemporer bernama Rhein Gold, melihat World Wide Web sebagai suatu kesempatan untuk membentuk hubungan pribadi yang bermakna yang telah hilang ketika toko-toko berubah menjadi shopping mall.

Dari e-mail ke newsgroup, ke listserves, ke chatrooms, ke multi user role playing games, internet menyajikan sejumlah kesempatan untuk membentuk hubungan sosial secara online dan para pengguna internet mengambil keuntungan dari kesempatan ini. Dengan demikian internet menjadikan komunitas psikologis yang memperluas hubungan kita melintasi waktu dan jarak, lebih mudah terbentuk, bahkan juga untuk menciptakan komunitas maya dari sekelompok orang yang mnegenal satu sama lain hanya melalui jaringan komunikasi.

Namun demikian, apakah komunitas internet sama dengan komunitas sebenarnya ? Semua itu tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan “komunitas”. Salah satu karakteristik penting komunitas, yaitu kemampuan untuk menciptakan dan memberlakukan aturan dan tata krama, tampaknya juga ada dalam chatroom internet atau newsgroup.

Tetapi, hanya situs internet yang memungkinkan penggunanya untuk berkontribusi dan berinteraksi secara langsung antar pemakai akan mampu menciptakan komunitas yang lebih bermakna.

Hubungan melalui internet mungkin lebih unggul dalam beberapa hal daripada interaksi yang alami, karena interaksi tersebut dapat dibentuk melalui pertukaran kebutuhan bersama, bebas dari stigma tertentu seperti ras, jenis kelamin, kelas sosial dan cacat fisik yang menghambat (karena tidak ada perjumpaan langsung).

Mungkin hal ini akan membantu kita semua untuk mengatasi terputusnya hubungan sosial yang didorong oleh sub-urbanisasi (misalnya beralihnya wilayah pemukiman dari Jakarta ke Depok) dan oleh menurunnya keberadaan keluarga besar serta segmentasi yang kita lakukan menjadi begitu banyak pasar sasaran oleh pemasang iklan di media massa.

Selain itu juga ada upaya untuk memperkuat komunitas dunia nyata dengan melapisinya dengan komunitas elektronik yang dapat memfasilitasi dialog publik dan jangkauan lintas hambatan budaya. Sesungguhnya banyak hubungan online akan dilanjutkan dengan pertemuan di dunia nyata.

III. 2. FRAGMENTASI SOSIAL

Kelompok-kelompok sosial dapat megubah dirinya menjadi saluran komunikasi dengan ide-ide baru, dan kelompok tersebut menjadi lebih mampu menyesuaikan budaya untuk kepentingan mereka. Dengan semakin sedikitnya pertukaran informasi, budaya terpecah belah, bangsa dan negara larut dalam kekacauan.

Dalam beberapa hal, tak ada lagi bangsa Amerika, atau bahkan orang Amerika keturunan Asia, keturunan Afrika atau Spanyol, tetapi hanya kelompok-kelompok yang merupakan kumpulan dari budaya yang telah terpecah. Internet mungkin telah mempercepat kecenderungan semacam ini dalam masyarakat moden, dengan menceraikan hubungan sosial dari realitas fisik dan memindahkannya di balik komunitas lokal kita.

III. 3. KEHADIRAN

Sudah tentu ada sesatu yang hilang jika kita menggunakan komunikasi melalui media seperti misalnya televisi atau internet dibandingkan dengan jika kita hadir di tempat kejadian. Kita akan kehilangan nuansa-nuansa non verbal seperti sikap tubuh, ekpresi wajah dan lain-lain yang membantu kita memahami makna kata-kata lebih mendalam. Konsep ini disebut “kehadiran sosial” atau hadir tidaknya isyarat-isyarat sosial yang membantu membawa makna-makna yang tak terlihat.

Hal ini yang membuat media elektronik menjadi sarana yang inferior dalam membangun hubungan antar pribadi. Namun media tersebut masih bermanfaat untuk membina hubungan jarak jauh jika sebelumnya sudah dijalin hubungan dan untuk menyampaikan informasi.

Banyak orang yang lebih menyukai pertemuan tatap muka secara langsung jika ada hal penting yang ingin disampaikan tetapi mereka akan lebih suka megnggunakan telepon untuk mencari informasi.

III. 4. KESEHATAN DAN LINGKUNGAN

Apakah media komunikasi memepengaruhi lingkungan fisik seperti halnya lingkungan sosial bagi masyarakat ? Apabila iklan yang ditampilkan mendorong kita untuk minum alkohol atau merokok atau bahkan makan “junk food” dan menghabiskan terlalu banyak waktu berbaring di sofa maka dapat dikatakan media berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Secara fisik, media cetak juga membawa bahaya bagi kesehatan masyarakat. Kertas yang digunakan untuk mencetak berasal dari pabrik kertas raksasa yang menghabiskan sebagian besar hutan, membuat polusi di sungai-sungai dan di udara. Sebaliknya, media komputer menggunakan teknologi yang lebih sehat dengan mengurangi polusi asap. Penghuni lembah silikon dan lokasi teknologi tinggi lainnya mungkin mengingkari pernyataan ini yaitu bahwa mereka menggunakan larutan yang beracun yang digunakan dalam industri mereka.

Sampah komputer juga merupakan masalah yang besar. Menurut sebuah studi pada tahun 2005 akan terdapat 150 juta sampah komputer, cukup untuk menutupi lahan seluas satu hektar dengan tinggi tumpukan 3,5 mil. Pendaur ulang komputer saat ini mencari komputer yang telah dibuang untuk diambil beberapa material yang masih dapat digunakan dan bernilai, tetapi yang utama adalah meningkatnya kebutuhan komputer yang ramah lingjkungan dan yang pembungkusnya dapat didaur ulang

IV. MEDIA KOMUNIKASI DAN BUDAYA

Semua komunitas selalu memiliki sebuah kebudayaan dalam pengertian bahwa komunitas itu tak dapat berfungsi tanpa aturan-aturan yang disepakati untuk berkomunikasi dan menganut nilai-nilai bersama. Tetapi dapatkah kita mengatakan bahwa “konsep budaya” diterapkan pada hubungan dan persahabatan yang semu dalam internet ? Komunitas dalam internet mungkin memiliki “aturan” seperti kesepakatan untuk tidak menulis e-mail yang tidak sopan atau “nilai-nilai” seperti kepentingan bersama dalam menyalurkan hobi tertentu. Namun bahkan norma-norma yang minimal ini jarang diterapkan.

IV. 1. DETERMINASI TEKNOLOGI

Marshal Mc Luhan mengatakan bahwa teknologi media komunikasi menentukan budaya dalam beberapa hal yang sangat mendasar, gagasan ini terdapat dalam konsepnya “the medium is the message”. Nael Postman berpendapat bahwa komputer mendorong pemikiran dan kebudayaan yang disebutnya “teknopoli” di mana teknologi memiliki kendali yang luas diseluruh aspek kehidupan. Teknopoli merupakan ekses buruk dari teknokrasi dimana metode ilmiah diterapkan untuk peningkatan hidup dan juga, menurut pendapat beberapa orang, menghancurkan kebudayaan.

IV. 2. DETERMINASI BUDAYA

Apakah ini berarti bahwa budaya itu sepenuhnya ada dalam belas kasihan teknologi komunikasi ? Kita memiliki kemampuan untuk mengubahnya menjadi penggunaan baru yang tidak diantisipasi oleh para penanam modal dan pengelola teknologi.

Internet diciptakan sebagai peralatan militer, dikembangkan sebagai media untuk interaksi sosial, tetapi sekarang telah banyak digunakan untuk dunia komersial. Semua ahli terjebak dalam permasalahan budaya versus determinasi teknologi. Beberapa orang berpendapat bahwa media mencerminkan budaya tetapi tidak menciptakannya, atau mengatakan bahwa media adalah menyampaikan simbol-simbol yang kita gunakan untuk membentuk budaya. Pandangan lain adalah bahwa media massa secara potensial melimpahi budaya “sebenarnya” dari masyarakat dengan kepentingan mempertahankan hegemoni kelas.

IV.3. MEDIA MASSA DAN BUDAYA MASSA

Bagaimana media massa membentuk budaya ? Pandangan terhadap hubungan ini senantiasa berubah dari tahun ke tahun. Di awal abad ke-19 Matthew Arnold pimpinan sekolah Inggris mengatakan bahwa budaya adalah mengetahui yang terbaik yang diajarkan di dunia. Pemikir dari Amerika seperti Ralph Waldo Emerson juga berdebat tentang masa sebelum adanya budaya yang tinggi bangsa Eropa. Ia memfokuskan pada budaya yang dibangun di Amerika dan melihat ke masa depan, bukan ke belakang.

V. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI SOSIAL

V.1. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI PENDIDIKAN

Usaha untuk menerapkan perintah dengan memberikan kursus melalui media massa umumnya dikenal sebagai “pendidikan jarak jauh”. Televisi mungkin merupakan sarana belajar jarak jauh yang paling banyak dilakukan untuk mahasiswa dimana mereka mononton dosennya mengajar langsung melalui kaset via sirkuit televisi tertutup atau sistem televisi kabel dari kamar mereka.

Pendidikan jarak jauh memungkinkan siswa untuk mengambil kursus pada banyak lokasi, waktu yang berbeda dan memungkinkan mereka untuk membuat kelompok kecil di komunitas tersendiri.

Trend terakhir belajar jarak jauh adalah mengambil kursus melalui “World Wide Web”. Di sini, pada kursus maya, dapat ditemukan berbagai subjek kursus. Juga adanya “universitas maya” dimana institusi ini tidak mempunyai kampus dan bangunan. Model lain menggunakan media komunikasi internet seperti e-mail, newsgroups dan chatroom untuk menghadiri seminar maya yang mana lebih efektif dari perintah yang konvensional.

V.2. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI POLITIK

Politik adalah wilayah yang lain di mana media massa kadangkala terlihat lebih berkuasa dari pada politik yang sebenarnya. Media massa mempunyai efek penting pada proses politik antara masa pemilihan umum. Media juga berperan dalam memepengaruhi opini pemilih. Juga memuat opini publik setiap hari.

Internet juga melahirkan inspirasi bagi kehidupan politik. Seperti di Santa Monica di mana internet digunakan untuk membuka debat dengan mengundang masyarakat untuk bertukar e-mail dengan anggota dewan. Di sana masyarakatnya cukup kaya dan tersedianya internet gratis di tempat umum seperti perputakaan dan lain-lain. Tetapi internet juga dapat merusak pembicaraan politik. Ini digunakan oleh sekelompok orang-orang yang tidak menyukai pembicaraan terbuka.

Di level yang lebih tinggi, penyebaran tehnologi informasi sangat potensial untuk mencatat dan menyimpan banyak informasi tentang masyarakat, dan kontrol sosial menjadi mutlak serta kepercayaan kedua belah pihak (antara masyarakat dan pemerintah) menjadi penting untuk komunikasi politik.

V.3. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI EKONOMI

Media massa cenderung pada dunia bisnis dan keuangan melalui iklan yang mereka pakai. Iklan melalui media massa membuat konsumen waspada akan adanya alternatif pilihan produk dan penawaran yang spesial yang sangat menolong konsumen mendapatkan harga yang murah. Dalam skala yang lebih luas, iklan membendung, mungkin memperbaiki nilai materialistik pada konsumsi massa, meyakinkan kita bahwa mengkonsumsi banyak barang bukan merupakan kunci kebahagiaan.

Ketika bisnis mulai menggunakan komputer dan media telekomunikasi, kita pasti mengharapkan keuntungan yang besar. Tujuan yang paling penting dari investasi teknologi informasi adalah meningkatkan produktivitas, jumlah produk yang dibuat pekerja, mesin dan sumber lainnya yang dapat menciptakan produk. Seperti contohnya, Computer - Assisted Design / Computer Assisted Manufacturing (CAD/CAM) adalah sistem yang menolong designer memvisualisasikan produk baru di dalam komputer kerjanya. Ini mengurangi kebutuhan akan mahalnya model yang pertama.

Hidup dalam Jaring Informasi

HIDUP DALAM JARING INFORMASI

Oleh: Adeline M.T.

Judul: The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume I: The Rise of the Network Society (1996). Volume II: The Power of Identity (1997). Volume III: End of Millennium (1998)

Penulis: Manuel Castells

Penerbit: Blackwell Publishers

Tebal Vol.I: xxix + 594 hlm,Vol.II: xv + 461 hlm,Vol.III: xv + 448 hlm

Apa yang membuat pergantian milenium begitu spesial? Peramal membayangkan akhir jaman. Futurolog menggambarkan keterkejutan masa depan dan ‘gelombang ketiga’. Programmer meributkan soal digit tahun pada komputer.

Bagi Parto di pemukiman kumuh Jakarta , milenium baru adalah krisis ekonomi dan PHK; uang sekolah melonjak naik sementara si Upik merengek minta burger McDonald dan kakaknya ngotot berdandan gaya artis MTV; penggusuran rumah untuk membangun mal mewah; demo anti-globalisasi dan politisi busuk yang sama ngetopnya dengan Inul. Bagi Tatyana di Zagreb, milenium baru adalah pilihan berat jadi Serbia seperti ibu atau jadi Kroasia seperti bapak; karena negara tak lagi identik dengan bangsa. Bagi Bill Gates, Y2K adalah lahan subur untuk menuai uang dari penjualan piranti lunak baru.

Gejala-gejala ini dipotret sosiolog Manuel Castells dalam The Information Age: Economy, Society and Culture. Ia melihat yang terjadi adalah terpusatnya aktivitas ekonomomi, sosial dan kultural pada sistem informasi dan jaringan global.

Kalangan ilmu sosial tak asing dengan Manuel Castells, salah seorang pendiri cabang ilmu sosiologi urban yang kini mengajar di University of California , Berkeley . Buku pertamanya, La Question Urbaine (1972) diterjemahkan ke dalam 10 bahasa, edisi Inggris The Urban Question terbit 1977. Karya monumental Castells The City and the Grassroot (1983) merupakan studi komparatif terhadap gerakan-gerakan sosial perkotaan dan pengorganisasian masyarakat akar rumput yang didasarkan pada penelitian empiris di Perancis, Spanyol dan Amerika Latin.

Lahir 1942 di Spanyol, Castells belajar hukum dan ekonomi di University of Barcelona . Sebagai aktivis mahasiswa penentang diktator Franco, ia lari ke Paris dan mendapat beasiswa pengungsi politik di Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Sorbonne. Selain PhD dalam sosiologi dari University of Paris, Castells menyandang Doctorat d’Etat dalam Human Science dari Sorbonne serta doktor sosiologi dari University of Madrid. Disertasinya membahas analisa statistik atas lokasi-lokasi strategis perusahaan manufaktur di Paris.

Setelah masalah gerakan akar rumput di perkotaan, minatnya berkembang ke masalah teknologi informasi dan masyarakat. The Information City (1989) merupakan analisa tentang perubahan kota akibat teknologi informasi dan restrukturisasi ekonomi Amerika Serikat. Yang teranyar, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society (2001), menyelam lebih dalam aspek-aspek sosiologis dari internet. Castells menulis lebih dari 20 buku dan 100an artikel dalam berbagai bahasa di samping ikut menulis maupun menyunting 15 buku lain.

Sebagai komentar dan tanggapan atas The Urban Question dan The City and the Grassroot, Stuart Lowe dari University of York menulis Urban Social Movements: The City after Castells (1986). Ulasan kritis Castell tentang media dibahas Nick Stevenson dalam The Transformation of the Media.

Manuel Castells kini tinggal di Berkeley bersama istrinya Emma Kiselyova. Mereka memiliki dua anak dan tiga cucu.

Analisa yang membumi

Trilogi The Information Age merupakan hasil penelitian selama 15 tahun di Eropa, Amerika Latin dan Asia . Volume I The Rise of The Network Society bicara tentang ‘logika jaringan’ (the logic of the Net) yang mendasari masyarakat era informasi. The Power of Identity, menganalisa interaksi jaringan dan diri (self) di tengah krisis dua institusi sentral manusia: keluarga patriarki dan negara-bangsa. End of Millenium merupakan usaha memaknai transformasi historis di akhir abad ke-20. Walau ketiga buku dapat dibaca terpisah, kesimpulan dalam volume III merupakan rangkuman, integrasi antara teori dan observasi yang menghubungkan ketiga buku dalam satu tesis besar.

Analisis Castells sangat empiris. Seperti dikemukakannya (vol.I, hal.27), “ Ada dua tujuan saya menulis trilogi ini. Pertama, membumikan analisa dalam observasi tanpa mereduksi teori menjadi komentar. Kedua, mendifersifikasi secara kultural sumber-sumber observasi dan ide seluasnya.”

Walau sangat hati-hati, mantan aktivis ini menutup observasinya dengan saran tentang apa yang dapat dilakukan. Membaca trilogi The Information Age seperti mengikuti lingkaran analisa sosial, perlu kepekaan refleksi dalam mencerna data-data empiris.

Masyarakat jaringan

Apa yang dimaksud Castells ‘masyarakat jaringan’? Inilah masyarakat di mana fungsi dan proses dominan ditata sekitar jaringan—bisa internet, intranet, jaringan kerjasama berbagai perusahaan, organisasi, negara, hingga jaringan pergaulan. Logika jaringan menentukan dan memodifikasi morfologi sosial, proses produksi, kekuasaan, budaya dan pengalaman keseharian.

Bangkitnya masyarakat jaringan dipicu dan dipacu oleh revolusi teknologi informasi yang diawali dengan teknologi rekayasa mikro: elektronika, komputer dan telekomunikasi. Revolusi teknologi ini mempengaruhi masyarakat dan pola-pola relasi di dalamnya.

Sementara inti globalisasi menurut Castells adalah proses ekonomi. Untuk pertama kalinya sebuah sistem ekonomi—yaitu kapitalisme informasional global—menguasai hampir seluruh planet. Bentuk ekonomi jelas kapitalisme, karena modal memegang peran utama; dan informasional dalam arti sumber-sumber produksi dan kompetisi tergantung pada pengetahuan, informasi dan teknologi. Sifat globalnya menyangkut kapasitas untuk bekerja sebagai satu unit serentak dalam skala planet.

Menjadi dominan apa yang disebutnya perusahaan jaringan (network enterprise), yaitu jaringan yang terbentuk dari beberapa perusahaan, atau beberapa bagian dari beberapa perusahaan, atau sebagian internal dari beberapa perusahaan. Pola kerja jadi fleksibel. Bermunculanlah tenaga kerja waktu longgar (flex-timers)—seperti pekerja tak terikat (freelance), pekerja paruh waktu (part-timer), dan buruh kontrak. Bentuk organisasi perusahaan harus disesuaikan dengan arus modal yang mudah berpindah ke segala penjuru dunia dalam hitungan detik.

Pembagian kerja dalam paradigma informasional tak lagi sesederhana teori Marxis awal, antara buruh dan pemodal. Polarisasi sosial yang terjadi adalah antara produser informasional dengan tenaga kerja generik yang mudah tergantikan. Soal utama ketidakadilan bukan lagi penindasan fisik dan ekonomi, melainkan ekslusi (penyingkiran) sosial terhadap komunitas-komunitas yang tidak mendapat cukup informasi.

Bingkai media

Menjawab ramalan Marshal McLuhan (1962) mengenai munculnya kampung global akibat kesalinghubungan media khususnya televisi, Castells setuju televisi berperan penting dalam masyarakat era informasi—bahkan menjadi jantung kebudayaan (cultural epicenter of society). Budaya televisi, dengan hiburan sebagai supra-ideologi yang santai bak obrolan sehari-hari, menggantikan budaya baca yang seperti esai dengan sifat sistematis berjarak, obyektif, rumit, konseptual, deduktif dan lambat bereaksi. Maka, “Selamat tinggal galaksi Gutenberg, selamat datang galaksi McLuhan!”

Namun media ternyata tidak menjadi ‘media massa ’—di mana pesan yang sama secara sekaligus dipancarkan dari pengirim yang terpusat kepada jutaan pemirsa—seperti ramalan McLuhan. Yang terjadi sekarang adalah integrasi berbagai media komunikasi dalam jaringan interaktif, hypertext dan meta-language yang dapat dipilih-pilih sesuai kemauan pemirsa. Banyaknya stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah, belum lagi situs internet dan berjenis-jenis multimedia menimbulkan kombinasi terpaan media yang sangat beragam antar rumah tangga, bahkan antar individu dalam satu rumah. Seluruh dunia memang terhubung dalam jaring-jaring besar, namun tidak menjadi satu ‘kampung global’.

Bagi masyarakat jaringan yang berdenyut di sekitar media elektronik, realitas sehari-hari adalah realitas virtual; simbol-simbol dan pulsa-pulsa elektromagnetik adalah lingkungan hidup. Selamat datang dalam budaya real virtuality! Dalam jaring-jaring virtualitas kenyataan ini, politik pun mendapat panggung baru. Apa lagi jika bukan media elektronik—dari televisi, radio, koran, internet, hingga telepon selular. Tanpa kemunculan di layar kaca, seorang politisi bukan siapa-siapa—tak beda dengan artis tanpa liputan infotainment.

Dalam masyarakat jaringan, perbedaan waktu lenyap jadi tak berwaktu, timeless time. Ruang material dalam dinamika sosial digantikan oleh apa yang disebutnya ruang aliran, space of flows. Jarak menjadi tak berhingga bagi mereka yang di luar jaringan, namun menjadi nol atau sama sekali tak berjarak bagi anggota jaringan.

Identitas, oh…identitas

Sementara Thomas Meyer menyatakan gejala mengedepannya identitas sebagai Identity Mania (2001), Castells dengan sedikit lebih kalem dan berjarak membahas “kekuatan identitas”, The Power of Identity. Salah satu tesisnya: dalam masyarakat jaringan dengan jarak ruang dan waktu makin kabur, tradisi dan budaya lokal berusaha mempertahankan identitas terhadap terpaan globalisasi.

Gerakan-gerakan sosial politik dan budaya yang bermunculan pada 1980-1990an menurut Castells merupakan wujud kebutuhan manusia era informasi akan identitas dan akar tempatnya berasal. Ia memetakan gerakan-gerakan sosial, politik, lingkungan hidup, feminisme hingga religius secara sistematis, dihubungkan dengan relasi-relasi kekuasaan dalam pembentukan identitas. Ia mengkategorikan tiga macam identitas. Pertama, identitas resmi atau terlegitimasi (legitimizing identity) yang diperkenalkan oleh institusi-institusi dominan masyarakat. Kedua, identitas pembangkang (resistance identity) yang dimulai oleh aktor-aktor sosial dalam posisi direndahkan atau distigmatisasi oleh institusi dominan. Ketiga, identitas yang dicita-citakan (project identity), yaitu identitas baru yang (ingin) dibangun untuk mentransformasi seluruh struktur sosial.

Dengan kerangka tersebut, dibahas beberapa gerakan yang bersifat informasional—menggunakan informasi dan teknologi informasi sebagai landasan gerakannya seperti Zapatista, Patriot atau American Militia, dan Aum Shinrikyo. Selain itu, gerakan lingkungan hidup sejak 1970an, gerakan sosial budaya menyangkut seksualitas seperti feminisme dan homoseksualitas, juga merupakan perlawanan identitas pembangkang terhadap identitas resmi untuk melahirkan identitas baru yang dicita-citakan.

Dan lahirlah…politisi busuk

Jangan kira ‘politisi busuk’ hanya di Indonesia. Membaca ulasan Castells tentang lingkaran setan yang menjerat para politisi dalam skandal, rupanya KKN dan selingkuh politisi dengan pebisnis adalah gejala logis dari politik informasional.

Apa itu politik informasional? Inilah sistem politik yang terbingkai dalam jaringan berbagai jenis media (elektronik) dan tergantung teknologi informasi, di mana sumber kekuasaan adalah proses menghasilkan, memproses dan menyiarkan informasi. Masyarakat mendapat informasi dan membentuk pendapat melalui media elektronik. Partai-partai politik harus menggunakan media untuk mendapat dukungan. Sementara pers punya logika sendiri: berjarak, berimbang, cenderung only bad news is news, dan bisnisnya tergantung pengiklan. Segmen berita berebut pemirsa dan pengiklan dengan hiburan; berita politik bersaing ketat dengan gosip selebriti. Akibatnya, lahir dan berbiaklah ‘politik skandal’, di mana korupsi dan moralitas personal pemimpin mendominasi isi berita.

Tak hanya logika media yang mendorong maraknya politik skandal! Melemahnya sistem politik, termasuk makin kaburnya definisi negara-bangsa seperti tesis Kenichi Ohmae (The End of Nation State, 1995) juga menyuburkan iklim ini. Politisi mengejar posisi eksekutif untuk motivasi yang sama dengan pekerjaan lain: uang, uang dan uang! Baik untuk proyek organisasi maupun personal, untuk menikmati hidup dan menyokong keluarga, maupun untuk membantu kegiatan humanitarian dan sosial.

Skandal menjadi senjata dalam politik informasional. Argumennya begini, bisnis media kian kuat secara teknologi, finansial dan politis. Partai dan kandidat harus melalui media untuk sampai ke masyarakat. Bukan karena media adalah pilar demokrasi keempat, namun karena media adalah medan tempur politik. Politik media sangat mahal—jajak pendapat, iklan, pemasaran, analisa media, hubungan masyarakat, pembuatan citra (image-making), pengolahan informasi—sementara aktor politik selalu kekurangan uang. Maka sumber dana utama adalah kontribusi di bawah meja dari kelompok-kelompok kepentingan dan bisnis. Imbalannya fasilitas dan kemudahan. Inilah matriks korupsi sistemik yang menjadi lingkaran setan: skandal–liputan media–usaha menutup dan membangun citra–korupsi untuk tambahan dana–skandal baru lagi. Lahirlah ‘politisi-politisi busuk’!

Dunia keempat dan premanisme global

End of Millennium mengilustrasikan beberapa proses yang telah dan sedang terjadi seperti krisis statisme dan hancurnya Uni Soviet, fenomena ‘dunia keempat’, ekonomi kriminal global, pembangunan dan krisis di Asia Pasifik, serta unifikasi Eropa.

Ekonomi kapitalisme informasional global menimbulkan tak sedikit dampak sosial. Keterbelahan sosial tetap terjadi dalam masyarakat jaringan, namun bukan sebagai kelas kapitalis dan kelas proletar seperti pada masyarakat industri, melainkan antara pemegang kendali yang masuk jaringan dengan mereka yang terputus dari jaring-jaring global.

Tercipta ‘dunia keempat’, yaitu komunitas miskin tak terdidik yang bisa di mana saja bahkan di negara-negara dunia pertama seperti daerah kumuh di New York, London, Mexico, hingga pemukiman kolong jembatan di Jakarta. Mereka adalah pekerja pabrik sepatu merek internasional di Tangerang yang ‘tak berharga’ bagi perusahaan jaringan, mudah disingkirkan dan proses produksi bagian mereka dipindah ke negara yang harga buruhnya lebih murah. Mereka adalah penghuni kampung-kampung (ghettos) dengan budaya yang tak sejalan dengan budaya masyarakat jaringan, buta teknologi, terputus dari jaringan informasi global. Mereka adalah jutaan korban penggusuran di Jakarta yang tak pernah mendapat informasi tentang hak mereka atas tanah yang telah ditinggali puluhan tahun.

Castells memetakan tiga keterbelahan masyarakat jaringan. Pertama, antara produsen informasional dan ‘tenaga kerja generik’ yang mudah tergantikan. Kedua, eksklusi sosial terhadap mereka yang tak punya akses informasi atau tak tersambung ke jaringan global. Ketiga, antara logika pasar—berupa jaringan global dari aliran-aliran modal—dengan hidup dan pengalaman manusia—keseharian para pekerja.

Bersama mengglobalnya arus modal dan gerakan-gerakan sosial, mengglobal pula kriminalitas. Konferensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Global 1994 memperkirakan nilai perdagangan narkoba global 500 dollar AS pertahun. IMF pada 1999 mensinyalir pencucian uang (money laundering) global 500 milyar hingga 1,5 trilyun dollar AS pertahun.

Fenomena lain, organisasi-organisasi kriminal lokal seperti Mafia Amerika, Mafia Sicilia, Triads Cina, Mafiyas Rusia, dan Yakuza Jepang saling bekerja sama, membentuk aliansi strategis. Dengan demikian tangan-tangan mereka terentang menjangkau seluruh bola dunia. Bidang kerja: perdagangan obat terlarang, senjata, bahan-bahan nuklir, penyelundupan imigran ilegal, perdagangan perempuan dan anak, organ tubuh, dan pencucian uang. Kunci sukses: fleksibilitas dan kecerdikan. Bentuk operasi: jaringan—internal maupun dengan organisasi kriminal lain. Cara memperkuat transaksi: satu, kekerasan; dua, mengajak kerjasama aparat keamanan, hakim, politisi, dan polisi, dengan bayaran tinggi. Aparat yang terlibat setia pada ‘partnernya’ selain karena bayaran tinggi juga karena ancaman. Premanisme pun ikut mengglobal.

Masih adakah harapan untuk demokrasi?

Begitu banyak gerundelan mengenai globalisasi. Dengan dampak berkurangnya kedaulatan negara, mengapa pemerintah negara-negara tetap ngotot mempromosikannya? Ada empat soal: kepentingan strategis negara, konteks ideologis, kepentingan politis kepemimpinan bangsa, dan kepentingan personal orang yang menduduki jabatan (Vol.I, hal.142). Bahwa dunia bisnis dan finansial mengambil alih pemerintahan, Castells tak sependapat dengan para aktivis anti-globalisasi. Menurutnya pemerintah negara-negara memang membutuhkan pelaku-pelaku bisnis, sebab merekalah yang punya pengetahuan untuk survive di dunia ekonomi baru penuh tantangan, the brave new economic world.

Terbingkainya politik dalam media bercampur aduk dengan budaya hiburan menimbulkan ‘kehabisan rasa kasihan’ (compassion fatigue) dan ‘kelelahan akan skandal’ (scandal fatigue). Anggota masyarakat jaringan lelah menyesuaikan diri terhadap tuntutan pekerjaan—sebagai flex-timers dalam network enterprise. Mereka kehilangan semangat dan ketertarikan pada politik dan berita-berita kemanusiaan. Berita tentang Pemilu hanya menambah apatisme, penganiyaan warga miskin Jakarta dan perang di Aceh dalam layar kaca tak lagi bermakna. Sama tak bermaknanya dengan sinetron dan gelar dangdut baik bagi pemirsa di sofa mewah maupun di tikar warung kopi.

Lalu apakah media telah kehilangan kekuatannya sebagai pilar keempat demokrasi atau setidaknya sebagai ruang publik untuk penyebaran informasi? Tidak juga! Sebab media, seperti teknologi, merupakan pisau bermata dua: dapat dipakai mendukung struktur dominan maupun untuk mendobraknya. Sayang, ekonomi politik global cenderung menggunakan media untuk agenda yang pertama.

Di sini sang mantan aktivis tak bisa lagi berjarak. Castells melihat tiga kemungkinan rekonstruksi demokrasi. Pertama, penciptaan kembali politik lokal. Kedua, komunikasi elektronik untuk memperkuat partisipasi politik dan komunikasi horisontal antar-warganegara, termasuk arus informasi sebagai kontrol terhadap pemerintah. Ketiga, penguatan komunitas akar-rumput (grassroots) sebagai penyeimbang dengan internet sebagai alat informasi, komunikasi dan organisasi.

The Information Age: Economy, Society and Culture tak hanya layak baca sebagai paparan sosiologi mengenai era informasi. Sebagai bahan analisa sosial, data dan teori-teori sosial yang dikemukakannya sangat relevan. Bagi praktisi dan pemerhati pers, The Rise of the Network Society dan The Power of Identity bisa disejajarkan dengan karya-karya Marshall McLuhan. Penggiat masyarakat akar rumput dan aktivis gerakan perlu berkaca pada kajian sosiologis ini untuk belajar dari kasus-kasus atau sekadar evaluasi. Sebagai aktivis gerakan sosial dengan jam terbang tinggi, usaha Castells memberi pendasaran teori pada gerakan-gerakan liberatif layak diikuti. Sementara politisi agaknya perlu mencermati lingkaran setan politik skandal agar tak tercebur dan jadi busuk.

Hamparan data empiris dan statistik yang cukup detail dalam trilogi ini cukup berguna, namun dapat pula dilewati untuk langsung membaca teori dan analisa yang disampaikan. Kasus matinya statisme Uni Soviet, krisis Asia Pasifik, marginalisasi Afrika dan analisa mengenai perceraian negara dari bangsa layak disimak. Apalagi buku yang ditulis sebelum Timor merdeka ini telah menunjukkan kemungkinan Indonesia menyusul Yugoslavia.

Secara keseluruhan, Castells mengajak pembaca menyadari transformasi masyarakat yang sedang terjadi. Soal akan dibawa ke mana transformasi ini, merupakan pekerjaan rumah yang wajib kita pikirkan setelah membaca trilogi The Information Age: Economy, Society and Culture.

Jika kembali pada pertanyaan, masih adakah harapan untuk demokrasi? Tampaknya kepercayaan teguh Castells dalam penutup End of Millennium patut kita beri stabilo, “Tak ada kejahatan abadi dalam sifat manusia. Tak ada yang tak dapat diubah dengan kesadaran, niat baik, tindakan sosial, dilengkapi dengan informasi dan didukung legitimasi…”

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here