Friday, April 28, 2006

Iklan ! Sihir Industri Kapitalisme


Tulisan: Teuku Kemal Fasya

Kehadiran iklan begitu mengguncang sekarang! Ia bukan hanya sekedar promosi sebuah produk, tetapi telah menjadi sebuah sistem ide yang memiliki nilai-nilainya sendiri secara otonom. Iklan menjelma menjadi sebuah ideologi di abad modern. Apa yang kita rasakan sebagai “citra baru” dari produk-produk seperti Coca-Cola, Marlboro, atau Kentucky Fried Chicken tidak dapat dipisahkan dari jasa iklan, yang membangun selera ekstra. Iklan membawa kita pada suatu suasana yang dibangun pada momen tertentu dalam ingatan kita lewat bahasa puitis.

Kita boleh menyangkal dengan berbagai pembelaan dan motivasi politis bahwa kita membeli barang tertentu bukan karena iklan. Tetapi apa yang disebut Gadamer dengan tersisipnya “makna ketiga” dalam sistem ingatan seseorang sedikit banyak mesti hadir di saat seseorang menemukan barang yang pernah diiklankan. Rasa bersalah yang timbul setelah kita membeli barang, kalaupun ternyata tidak sesuai dengan “rekayasa imajinasi”, hanya melahirkan sikap sublimasi pada diri sendiri, dan bukan pada barang - apalagi pada “liciknya” pengaruh sihir yang dibangun iklan. Pada era modern seperti sekarang, seseorang tidak mungkin berada dalam vacuum idea saat melihat barang yang akan dibelinya. Iklan memiliki semacam alat sensor, bisa berupa tafsir, dugaan, propaganda liris, ataupun tuduhan terhadap barang tertentu.

Pusar Kajian

Dalam tulisan Advertising as the Magic System Raymond Williams melihat bahwa iklan sebagai fenomena budaya dalam konteks modern harus dipahami ulang karena peranannya sebagai ideologi cukup mencengkeram. Untuk memahami perkembangan periklanan, sekaligus menangkap kekuatan makna yang “bersinar-sinar” seperti terlihat dewasa ini, orang sebaiknya menelusuri sejarah budaya iklan itu sendiri. Lebih lanjut, orang dapat mulai menyesuaikan diri dengan fungsi-fungsi kontemporer yang dihasilkan dengan sangat subtil dan imajinatif oleh iklan sehingga terasa seolah-olah tanpa agresivitas dan paksaan. Williams memperlihatkan bahwa turbulensi kebudayaan yang menjadi corong kepentingan kapitalisme dalam sistem perdagangan barang hanya menggunakan sihir iklan untuk fungsi penandaan nilai komoditas. Ini sebuah ciri bahwa kepentingan produksi budaya kapitalisme hanya untuk sebuah politik konsumsi pasif, tidak eksploratif, apalagi kreatif.

Williams mencatat bahwa periklanan berusia setua umur masyarakat sendiri. Sejak masa Yunani Kuno pengumuman telah ditulis pada lembaran papirus dan dipancang di dinding kota dengan tujuan promosi ide, misalnya, ketika terjadi perdebatan Socrates di pengadilan (Apologia) sebelum kematiannya. Pada masa Romawi Kuno seruan untuk hadir di suatu acara ditempelkan di tembok-tembok pengumuman kota Roma, seperti undangan melihat pertempuran berdarah para gladiator di coloseum. Pesan-pesan seperti ini menjadi semacam “ritual kecil” yang dapat dengan cepat dikerjakan, dan sangat cepat pula dilupakan.

Dari sekedar proses khusus untuk menarik perhatian dan memberi informasi iklan berkembang pesat menjadi sistem penyampaian informasi komersial pun pemberian saran-saran dan harapan yang terlembaga secara baik. Dalam sejarah masyarakat Inggris penyebaran informasi yang lebih terorganisir dimulai pada abad ke 17 sejalan dengan perkembangan buku-buku berita, merkuri, dan surat kabar. Laju pertumbuhan surat kabar dari 1690-an juga membuat volume periklanan bertambah. Sebagian besar masih diklasifikasi menurut jenis dalam seksi reguler koran atau majalah, dan ada pula yang diberi ilustrasi. Bahan-bahan yang diiklankan tergantung pada apa yang dibutuhkan atau ditawarkan ke publik, seperti penjualan komoditi di toko-toko tertentu, pelayanan personal, pengumuman publikasi buku-buku, detil tentang pembantu yang melarikan diri, sampai penjualan kuda atau anjing.

Revolusi industri, sekaligus hubungannya dengan revolusi komunikasi, secara fundamental mengubah sifat dasar iklan. Lahirnya perusahaan dengan produksi skala besar membutuhkan strategi penjualan yang berbeda. Hadirnya media massa cetak yang membutuhkan iklan sebagai sumber pemasukan terbesarnya menjadi cukup penting. Perusahaan penerbitan berita umum pun, seperti Times dan News of the World, berkembang pesat, apalagi dengan diberikannya keringanan pajak. Pada 1855 pajak periklanan dan biaya meterai dihapuskan sehingga sirkulasi surat kabar dan produksi iklan meluas.

Depresi terbesar dalam dunia periklanan akibat kejatuhan harga barang yang luar biasa terjadi pada periode 1875 hingga 1890-an. Bencana ini menjadi titik tolak baru untuk mereorganisir industri kepemilikan menjadi lebih besar dan mengkombinasikannya dengan keinginan pertumbuhan pangsa yang lebih besar pula. Hal itu dimaksudkan agar dapat mengkontrol pasar jika sewaktu-waktu mengalami depresi dan kegoncangan finansial secara luas. Saat itulah bisnis iklan tidak hanya menjadi bisnis tempelan, namun berubah menjadi bisnis baru yang mengambil tempat cukup penting di bidang produksi dan digunakan setiap pemilik modal untuk meningkatkan rangking produksi.

Dalam seratus tahun terakhir, iklan telah berkembang dari sekedar pengumuman pelayanan toko dan seni memikat yang dilakukan pemasok barang pinggiran menjadi organisasi bisnis raksasa para kapitalis. Ia menguasai seluruh lapisan komunikasi di media massa cetak dan elektronik sehingga keduanya tidak dapat hidup tanpa iklan. Iklan telah menjadi sistem jual tanpa batas negara pun jenis-jenis usaha dan penawaran. Ia juga menjadi alat pengaruh di wilayah politik, merembes dan mendikte nilai-nilai yang dianut masyarakat. Iklan mengambil alih seluruh sistem komunikasi masyarakat dan akhirnya hanya tersedia sebuah lorong sempit untuk memahami masyarakat, yaitu lewat iklan!

Iklan telah menjadi kegilaan yang tidak relevan lagi di abad modern. Minuman bir tidaklah cukup sebagai sebuah minuman tanpa ada janji bahwa dengan meminum bir kita akan kelihatan lebih jantan, tangguh, dan bersahabat. Sederetan janji-janji yang tidak relevan lagi dengan khasiat dan manfaat barang ditebar. Inilah yang disebut Williams sebagai puncak kegagalan idealitas nilai dan makna yang ada dalam masyarakat. Masyarakat kita sekarang merupakan masyarakat yang tergantung pada barang. Sistem periklanan menjadi sihir yang terorganisir dengan upaya pengaburan fungsi dan penyodoran ilusi kebebasan memilih barang. Seluruh bujuk rayu, cumbuan, dan saran yang disajikan dengan sangat subtil telah mengesankan iklan hanya sebagai alat penawaran yang manusiawi dalam mengkomunikasikan kepentingan penawaran, bukan sebagai instrumen represi kebebasan manusia.

Apresiasi

Williams tidak menjelaskan dengan eksplisit kecuali membuat demarkasi, semacam peringatan bagi manusia agar tidak terjebak dalam keadaan genting akibat daya destruksi yang dibangun iklan. Sejarah budaya tersebut memberi pelajaran bagaimana mayoritas masyarakat tidak mampu mengontrol hasil produksi yang hanya dikuasai sekelompok kecil pemilik modal. Ia juga tidak mengulas lebih panjang peran ideologi iklan dalam melahirkan budaya baru, tapi hanya menjelaskan efek-efek yang ditimbulkan dalam budaya ekonomi. Tidak terlihat upaya dekonstruksi – seperti yang diinginkan Derrida misalnya, dalam mencari “titik-titik buta” yang dapat kita pelajari bersama.

Mengikuti perspektif Derrida, dengan melihat secara khusus teks-teks yang digunakan dalam iklan misalnya, kita dapat membangun kesimpulan filosofis tentang kedudukan bahasa dalam iklan sebagai ideologi atau sistem gagasan. Bahasa di dalam iklan berdiri sebagai sesuatu yang hanya eksotik dibaca dan didengar. Seolah-olah kata-kata tsb. memberi kita ide dan visi baru yang membuat kita tidak puas dengan cara berfikir lama. Namun kata-kata yang hadir terkesan artifisial dibandingkan dengan yang secara substansial dibutuhkan manusia. Dalam iklan-iklan di Indonesia misalnya, slogan seperti ”Bukan Basa-Basi”, “Pas Susunya”, atau “Selembut kasih ibu” kalau kita keluarkan dari konteksnya menjadi kata-kata hambar makna. Hanya dengan tampilan yang berulang-ulang, terutama secara visual, orang baru tersengat oleh daya sihir kata-kata ini, suka atau tidak suka.

Modernisasi di satu sisi melahirkan budaya yang hanya pantas untuk dinikmati sebagai penghiburan, bukan budaya yang memiliki wawasan penalaran. Namun, ini kadang bisa menjadi berkah. Dalam pemikiran Umberto Eco, semangat klasik yang melulu mengharuskan kita takzim dan serius melihat sebuah repertoar teatrikal atau simponi musik klasik tidak selalu tepat bagi masyarakat sekarang. Banyak yang menganggap bahwa budaya iklan adalah budaya rendahan dan kacangan. Namun apakah ini bermasalah? Budaya yang selama ini dianggap “tinggi” lebih banyak mengenang kejayaan romantik masa lalu dan kemenangan para aristokrat, atau budaya yang dipelajari di universitas dengan dasar ilmiah yang sangat ketat, sehingga kadang kala sulit untuk memahami dan mempelajarinya. Padahal generasi sekarang sudah mulai jengah dengan “kebenaran” yang terkandung dalam kebudayan tinggi. Generasi muda mulai menantang karakter “antik” dalam budaya massa. Mereka justru menemukan dirinya dalam konser musik rock atau dalam sirkuit olah raga otomotif.

Berkaitan dengan iklan - yang dapat dianggap sebagai budaya massa - seharusnya tetap ditempatkan sebagai budaya alternatif, bukan sebagai lawan yang akan mencekik, seolah-olah seluruh kehidupan kita tergadaikan di sana.

Budaya Iklan?!

Ditarik lebih jauh dari apa yang dimaksud dengan budaya iklan, ada pemahaman lain yang tidak seekstrim pernyataan Williams. Dari keseluruhan aspek yang secara intrinsik dimiliki budaya iklan sebenarnya ada sisipan bernilai di sana, yaitu kreativitas konsumen. Kritik dan kekhawatiran akan budaya iklan muncul dengan asumsi konsumen memiliki keterbatasan dalam menilai iklan, sehingga muncul budaya pendangkalan baru, budaya konsumtif yang pasif.

Konsumen bukanlah agen tunggal yang tidak kreatif. Konsumen terlibat dalam proses mengkonsumsi iklan, terlibat juga dalam proses penciptaan kreatif dengan tebar gosip atau pernyataan yang termuat di media massa. Dengan kata lain konsumen juga memproduksi signifikansi baru, beraktifitas terus-menerus dalam produksi makna. Makna yang ditangkap konsumen dari promotional culture disebarkan menjadi lebih kompleks, lebih konotatif, lebih retoris bahkan lebih liris daripada ide atau konsep iklan itu sendiri.

Memang dalam beberapa hal, kita dapat mengatakan bahwa konsumen tercengkeram oleh upaya peniruan. Namun tiruan ini bukanlah seperti hasil fotokopi dari mesin laser. Iklan menawarkan, konsumen dapat mengapropriasi penawaran tersebut, bahkan membuat penawaran baru. Dalam pemikiran ideal, sebenarnya setiap orang mesti memanfaatkan ruang yang ada untuk menawarkan sesuatu yang menjadi identitas dirinya.

Komoditi yang diiklankan memiliki objek keinginan yang membangun momen imajinasi konsumen. Momen imajinasi inilah yang membuat kita merasa begitu dekat dan bisa membangun komunikasi awal dengan produsen. Alhasil, kita dapat menerima komoditi tersebut tanpa resiko, sekaligus menggamit citra sosial yang diembannya. Prinsip-prinsip rangsangan ini membuat sesuatu seakan-akan begitu hidup.

Produsen iklan juga harus melakukan riset mendalam di tengah corak keinginan masyarakat yang menjadi sasaran komoditinya. Iklan harus mampu menggairahkan hidup masyarakat dengan imajinasi yang tepat. Sodoran iklan dewasa ini seolah-olah mengetahui betul apa yang kita maui, dan memberikan apa yang kita impikan. Kontak dengan calon pembeli atau peminat pun dibangun dengan berbagai jalur baik yang humanis maupun mekanis.

Perhatikan, misalnya, salah satu iklan rokok yang tampilan visualnya sama sekali tidak memperlihatkan seseorang yang sedang merokok. Iklan itu menggambarkan seorang eksekutif yang duduk di pinggir pantai dengan pakaian formal langsung menceburkan diri dalam laut membantu seorang nelayan yang sedang bermasalah dengan perahunya. Slogan yang diluncurkan pun cukup bermakna: “Menembus Batas”. Maka imej yang tampak adalah sikap setia kawan yang mampu melewati batas-batas status sosial dan rela membantu tanpa pamrih. Dilihat dalam konteks Indonesia sekarang - dengan perbedaan antara kelompok kaya dan miskin - iklan ini menjadi begitu “mulia” oleh pesan ganda yang ditawarkan.

Yang perlu disadari dari promotional culture adalah sifat demokratisnya, yang masih menyediakan ruang bagi siapa saja untuk mempertimbangkan penawaran yang dilakukan. Setiap orang bisa menolak dan bisa menerima. Bahkan setiap orang punya kesempatan untuk mengiklankan apa saja yang dapat menjadi objek keinginan bagi orang lain.

Teuku Kemal Fasya, mahasiswa magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here