Sunday, April 19, 2015

Segara Larung dan Kritik Teater: Antara Penilaian Estetik dan Kegenitan Intelektual

Tulisan ini berangkat dari beberapa diskursus yang membahas dan menilai pementasan Segara Larung yang dilakonkan oleh Teater Kafha Paramadina. Beberapa penilaian, kritik dilemparkan seperti SEGARA LARUNG: NARASI SERAMPANGAN ATAS PROBLEM NELAYAN dan SEGARA-LARUNG: SAMUDRA, DAN SEGALA KEMUNGKINAN-KEMUNGKINANNYA ..... ada banyak hal yang bisa didiskusikan karena dalam sebuah kritik teater, segala hal bisa dilihat, termasuk prosedur kritik itu sendiri. Tulisan ini lebih merupakan kritik dari sebuah kritik. 

Gejala pendirian dan pematangan teater modern di Indonesia adalah fenomena reklamasi identitas. Teater dipilih sebagai arena kreasi identitas, lebih sebagai kebutuhan personal untuk menguruk dan memadatkan fondasi identitas. Profesionalitas bukan satu-satunya tujuan kulminasi terpenting apalagi kalau teater tersebut berbasis di kampus.

Teater adalah altar penggalian atau pendalaman identitas personal, di mana pengorbanan pribadi dan kedaruratan fasilitas justru jadi jalan ritual untuk pemadatan biografi dari sekian pelaku-pelakunya. Jelas, ini tipe pandangan yang diromantisir, dan kesimpulan yang secara eksplisit emosional. Tapi, optimisme para pekerja teater modern di Indonesia adalah hasil dari internalisasi emosi. Internalisasi emosi inilah yang justru melahirkan moral berkreasi yang liat, tandas, terinisiasi, meski tidak seluruhnya menghasilkan inovasi pertunjukan estetis atau peluapan kreasi sosial yang tidak tercerabut dari akar sosial kemasyarakatan.

Kreativitas estetik teater modern di Indonesia (terutama teater berbasis kampus) bersumber dari energi biografis yang terus digandakan. Perjuangan artistik adalah medan pergulatan identitas itu sendiri. Kreasi teater adalah eksplorasi sekunder kreatornya. Karena itu, dapur kimiawi teater cenderung juga merefleksikan dapur identitas para penggiatnya.

Alur perjalanan kreativitas teater di Indonesia tidak dibangun oleh institusi formal teater, tetapi berbasis pada hasil-hasil sublimatif dan bahkan laten dari kreativitas persona. Biografi teater modern adalah biografi sejumlah persona. Persona itu adalah individu-individu yang memproses sendiri ritual teatrikal-nya, untuk kemudian membangun energi kimiawi dalam lingkaran internal komunitas kreatifnya. Itu sebabnya konsep-konsep kreatif di dunia teater selalu berkumpar pada keunikan dan ekspresi konsep-konsep personal, sebuah self-confession dari dapur biografisnya; dan bukan dimanifestokan dalam bentuk konseptualisasi akademis, yang argumentatif, logis dan sistemik.

Dapur biografis dapat dipahami sebagai hasil pertalian dan transformasi kesadaran persona dengan alam sosialnya. Alam sosial adalah ruang perpindahan dan penyatuan pengalaman sekaligus. Karya-karya teater modern di Indonesia merupakan pilihan adaptif dari proses migrasi dan reintegrasi tersebut. Teater ekspresionis Arifin-Kecil, berisi kesadaran pelintas antara Islam substantif dan proses reintegrasinya dengan narasi urban Jakarta. Putu- dengan teater Mandirinya, menemukan estetika Putu, lewat reintegrasi bahasa piktografik wayang, vokalisasi Bali dan diksi oral komunitas trotoar Jakarta, sepanjang proses migrasi eksistensial Putu, dari Bali, Yogya, lalu berakhir dan bersandar di Jakarta. Yudi- dengan Teater Garasi, melakukan keterputusan migrasi  atas praksis teater populis Yogya— memilih prinsip amnesia terhadap determinasi dan beban budaya masa lalu—untuk menemukan koridor penyatuan dengan ranah estetika global. Mariyo dengan Teater Kafha, melakukan migrasi kader dan eksperimentatif atas budaya Indonesia tanpa harus dibebani dengan penelitian yang ketat atas isu dan wacana pakem sebuah gejala yang dipotretnya. Dan ini terlihat dalam dua kali pementasan Segara Larung di hadapan publik.

Bukan Sekedar me-reka Estetika
Proses estetika teater seperti contoh-contoh di atas adalah proses alkemi teater yang bekerja dalam dapur biografis masing-masing kreatornya. Kreasi teater bukan hanya soal melakukan rekayasa artistik untuk membuat ‘pertunjukan yang bagus’. Kata ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ menjadi terminologi yang terlampau simplistik dalam membaca praktik teater sebagai proses migrasi ini. Sebab klasifikasi kelas ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’ adalah kategori kualifikasi untuk kerja profesi. Teater modern di Indonesia dan di Paramadina secara khusus bukan profesi, tapi sebuah kerja alkemis di wilayah dapur identitas personal. Bagi para kreatornya, teater kemudian lebih dihayati sebagai medan empatis, bukan regularitas teknis. Aku dalam teater bukan aku-singular objektif. Aku dalam teater adalah multi-aku, pulang-pergi antara migrasi dan reintegrasi, untuk menemukan identitas sublimnya.

Dalam konteks membaca paradigma kreasi teater seperti di atas, narasi kritik tertantang untuk menunjukkan sensitivitas penerimaan dan pemaknaannya, dengan cara menunjukkan bahwa: di belakang setiap kreasi teknis teater, sebenarnya melekat pula kreasi sublimasi lain, yang bekerja di luar kategori pencapaian ‘bagus’ dan ‘tidak bagus’. Kreasi sublimatif ini adalah wilayah ritual biografis kreatornya, yaitu peristiwa interface antar sang multi-aku dalam diri, di mana kepercayaan atas penemuan adaptif dan self-confession akan lebih berperan daripada pencapaian kesempurnaan teknis semata.

Kerja kritik teater harus lebih mampu menangkap nilai dari kreasi sublimasi ini, yang biasanya muncul implisit di bawah realitas teknis pertunjukan. Kreasi sublimatif ini menjadi lebih penting dikuak dan dipahami karena dalam relasi sosial dalam sebuah teater, intensitas ritual dari proses reklamasi biografis kreatornya dapat lebih terbaca. Proses reklamasi adalah denyut dari dunia multi-aku, dunia migrasi dan reintegrasi, yang tengah membangun koneksi-koneksi alkemisnya terhadap medan biosfir sosial yang diserap kreator. Dari relasi-relasi seperti itulah, idiom-idiom estetika personal dibangun. Malhamang-Bandar Jakarta, berada dalam koneksi alkemis dengan perahu-perahu kayu Tanjung Priok. Gundono-Suket, mendapatkan kembali nutrisi estetik yang melimpah dari kekenyalan memori pastoralnya, yang lekat dengan imaji rumput dan tanah. Mariyo dengan teaternya bekerja secara laten pada wilayah penafsiran semena atas makna bahasa sebagai sebuah permainan, yang terwujud dalam penokohan, plot dan adegan …..terutama di Segara Larung.

Untuk dapat memahami sumber-sumber alkemis yang menjadi fondasi dari kreasi sublimatif teater seperti di atas, narasi kritik harus dapat membangun kekuatan empatis dari tulisan. Kritik empatis sebagai bentuk penjelajahan terhadap kreasi sublimatif teater bukan cara untuk mengorbankan atau menumpulkan kekuatan diskursif tulisan, lalu menggantinya dengan ungkapan-ungkapan euphemistis. Empati justru merupakan ketajaman lebih lanjut dari panah diskursif.

Jika diskursus cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan pemaksaan-pemerkosaan opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan bahasanya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan. Narasi kritik adalah pendulum yang terus mengikhtiarkan gerak skriptural untuk makin melebarkan rentang semantiknya.

Kritik bukan perumusan amanat kritikus, lewat usaha klasifikasi atas nilai-nilai kreatif seni. Kritik adalah tulisan alkemis, di mana pengalaman reseptif yang dibangun kritikus, sekaligus menunjukkan kualitas interpose kritikus, dalam upayanya untuk terus membaca peristiwa teater dalam dua jejak alkemisnya, yakni antara kreasi teknis dan kreasi sublimatif teater. Dengan kata lain, kritik alkemis adalah hasil pembacaan silang yang makin intensif dan sensitif antara realitas Aku-teknis dan kehadiran senyawanya, yaitu Multi-aku sublimatif. Atau antara kehadiran si kaki di front-stage dan migrasi jejak-majemuknya di wilayah back-stage. Jika tidak demikian maka kritik teater tidak lebih dari hanya sekedar pameran kata – bahasa intelektual yang justru tercerabut dari ontology teater itu sendiri. Jadi, itu hanya genit belaka !

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here