Friday, March 24, 2006

Perempuan dan Konstruksi Media

PEREMPUAN DAN KONSTRUKSI MEDIA

(Studi Framing Media Rubrik “Nah Ini Dia”

Harian Pos Kota Jakarta)

Latar Belakang Masalah

Selama ini pers memegang peranan yang sangat besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat termasuk dalam bidang seksual. Eksploitasi melalui pers, baik terang-terangan dan vulgar maupun yang halus artistik, dalam kehidupan masyarakat modern terlihat jelas.

Menurut Wina Armada, saat ini masih banyak perusahaan pers yang menganggap penyajian seks merupakan unsur terpenting yang dapat membuat produk pers laku dan dibaca. Karena itu mereka mengandalkan seks sebagai dasar produknya. Tentu saja pers dinilai sulit menghindar dari penyajian cabul dan setengah cabul atau menyerempet soal cabul. 1

Selama ini, perempuan yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak memperoleh kesempatan untuk mengungkapkan apa yang mereka alami secara gamblang. Surat kabar Indonesia seolah-olah tidak berempati pada mereka. Lebih dari itu surat kabar Indonesia bahkan memberitakan kejadian yang menimpa mereka untuk hiburan buat pembaca.2

Dilihat dari pelecehan dan kekerasan seksual ada kesan bahwa surat kabar lebih suka menonjolkan hal-hal sensasional dari pada alasan dan motif yang sesungguhnya dari pelecehan dan kekerasan seksual. Surat kabar sangat sering memberitakan adegan pelecehan dan kekerasan seksual tanpa berusaha mengaitkannnya dengan kondisi objektif masyarakat, dan memberi tips bagaimana menghindarinya.

Seksploitation merupakan sebutan dari kaum feminis yang menunjukkan betapa tidak adilnya kalangan media karena mengeksploitasi perempuan dengan menginjak-nginjak martabatnya, demi menaikkan tiras surat kabar atau majalah. Dalam hal ini sangat jelas bahwa perempuan dieksploitasi untuk kepentingan komersil. Kalangan media cetak selalu membela diri, dengan menyatakan bahwa pembaca mau membacanya, dan kalangan perempuan sendiri senang pula membaca berita-berita tentang kaumnya.3

Perempuan sebagai objek media massa merupakan kenyataan ketidakadilan gender yang dialami perempuan dalam masyarakat. Menurut Myra Diarsi akar ketidakadilan gender berkaitan dengan budaya patriarki. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa laki-laki menjadi subjek dengan kekuatannya, dan perempuan sebagai objek yang lemah dan dipojokkan. 4

Gender merupakan pelabelan yang pada kenyataannya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila tidak ada pemberitaan yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi. Menurut Ana Nadhya Abrar, wartawan Indonesia lebih memiliki sensitifities gender dalam memahami masalah yang dihadapi perempuan. Citra perempuan dalam pandangan pers Indonesia masih rendah, karena kebijakan keredaksian yang ternyata terkalahkan oleh kebijakan pemasaran yaitu segmentasi, konstribusi iklan dan keinginan pembaca. 5

Pos Kota salah satu surat kabar dengan oplah terbesar (200ribu-300ribu eksemplar/hari), dan sangat populer terutama di kalangan masyarakat menengah kebawah di Jakarta. Didirikan surat kabar ini diharapkan bisa memenuhi informasi akurat mengenai berita-berita yang dibutuhkan khalayaknya, dengan tujuan untuk mencerdaskan masyarakat lapisan bawah dengan membawa fungsi sebagai penerangan, pendidikan dan memberikan hiburan yang sehat.

Keterlibatan perempuan pada redaksi Pos Kota sangat minim. Justru keterlibatan lelaki dalam redaksi sangat dominan. Hal ini ditandai dengan jumlah wartawan perempuan hanya ada 6 orang saja. Sementara wartawan lelaki berjumlah 50 orang.

Salah satu andalan rubrik dalam Pos Kota adalah rubrik Nah Ini Dia, yang setiap hari hadir di pojok kanan bawah halaman pertama surat kabar Pos Kota. Rubrik ini disajikan Pos Kota sejak tahun 1985 dan ditulis oleh seorang lelaki yang bernama H. Gunarso TS. Menu utama dalam rubrik tersebut adalah berita dari berbagai daerah di Indonesia yang memang merupakan fakta yang pernah terjadi, yang kemudian dikemas redaksi Pos Kota dengan gaya bercanda, yang sarat dengan istilah atau ungkapan yang menonjolkan aspek seks 6, dan sangat berkesan bersifat melecehkan .

Rubrik Nah Ini Dia mencoba untuk memberikan konstruksi berbagai berita tentang nasib perempuan, yang mengenaskan, memprihatinkan, dibumbui berbagai opini tambahan, yang kemudian dikemas menjadi cerita lucu. Tampilan semacam ini berpotensi menjadikan pembaca yang terus menerus dijejali cerita dengan pengungkapan serupa, menjadi tidak sensitif terhadap masalah kaum perempuan.


Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka penelitian ini akan memusatkan pokok permasalahan yang dapat dinyatakan dengan bagaimana Pos Kota menyatakan konstruksi sosial terhadap perempuan , terutama dalam rubrik ‘Nah Ini Dia’?


Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan bagaimana Pos Kota mengonstruksi perempuan dalam rubrik Nah Ini Dia maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konstruksi perempuan dalam rubrik ‘Nah Ini Dia’ pada harian Pos Kota?


1.4 Signifikansi Penelitian

1.4.1 Signifikansi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya bidang jurnalistik tentang konstruksi realitas sosial yang dilakukan media melalui framing.

1.4.2 Signifikansi Praktis

Memberikan konstribusi pada media massa tentang pentingnya kesadaran gender dalam pemberitaan mengenai pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.


KERANGKA PEMIKIRAN


2.1 Konstruksi Realitas Sosial

Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Of Construction Reality . Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi dibentuk dan di konstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwujud ganda/prural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu. 7

Lebih lanjut gagasan Berger mengenai konteks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat bagaimana wartawan mengonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya.

Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika ini.8

Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan memandang realitas tapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu mempengaruhi cara media massa tersebut mengonstruksi reallitas.9

Menurut Hamad, karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidak berlebihan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. 10

Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, walaupun realitas faktanya sama. Hal mengonstruksikan realitas fakta ini tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi pada politik media itu. Salah satu cara yang bisa dipahami atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas berita adalah dengan framing. 11

Menurut Eriyanto, terdapat dua penekanan karakteristik penting pada pembuatan konstruksi realitas. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan konstruksi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. 12

Kedua karakteristik ini menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana cara makna tersebut ditampilkan, sebab dalam penekanan tersebut produksi pesan tidak dipandang sebagai “mirror reality“ yang hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya.

Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.13

Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan muncul di benak khalayak. Bahasa yang dipakai media, ternyata mampu mempengaruhi cara melafalkan (pronounciation), tata bahasa (grammar), susunan kalimat (syntax), perluasan dan modifikasi perbendaharaan kata, dan akhirnya mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language) dan makna (meaning).

Menurut De Fleur dan Ball-Rokeach, ada berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna, antara lain : mengembangkan kata-kata baku beserta makna asosiasinya; memperluas makna dan istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama serta istilah dengan makna baru; serta memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. 14

Dengan begitu, penggunaan bahasa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. 15

2.2 Peran Media Di Tengah Kekuatan Sosial

Pembentukan konstruksi realitas pada media massa sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya. Gebner menggambarkan pola komunikasi massa dalam situasi yang tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari berbagai “kekuatan“ luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), pakar, institusi lainnya dan khalayak. Gebner menulis:

Meskipun secara analisis berbeda, pada kenyataannya tidak ada satupun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Semua kekuatan tersebut berbaur, tumpang tindih, dan saling mendesak,…….

Akumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya. 16


Gambar berikut ini menggambarkan peran organisasi media beserta komponennya sebagai penentu dalam situasi yang ditandai oleh adanya berbagai kendala, tuntutan, serta sekian banyak pendayagunaan kekuasaan dan pengaruh.


Gambar 1.1

Organisasi Media di tengah kekuatan sosial17

Hubungan organisasi media dengan klien, pemilik dan pemasok. Pengamatan atas permasalahan ini akan menyajikan dua pandangan yang sangat bertentangan: Apakah media harus sepenuhnya mengabdikan diri kepada kepentingan negara atau kelas kapitalis, atau apakah mereka harus diidentifikasi sebagai kelompok yang menjalankan profesi bebas yang berupaya untuk mencapai tujuan komunikasi yang ideal untuk menanggulangi berbagai hambatan material atau pemberi dana. Tidak ada satupun dari keduanya yang merupakan situasi tipikal. 18 Lebih lanjut menurut Mc Quail, situasi demikian dimodifikasi dan diimbangi oleh beberapa faktor lain, yang dapat diringkaskan sebagai berikut :

  1. Sumber dana, baik publik maupun pribadi, dapat juga mempunyai tujuan-tujuan yang tidak untuk mencari untung atau tujuan-tujuan profesional.

  2. Kebanyakan media yang berorientasi pasar memiliki berbagai sumber dana, dari penanam modal, pemasang iklan, konsumen, dan kadang kala pula subsidi dari masyarakat. Jika media berhasil menarik publik, maka media pun mampu menarik keuntungan finansial lainnya.

  3. Media publik mempunyai posisi yang berbeda-beda tetapi bisa memperoleh pengaruh melalui mekanisme politik, walaupun biasanya tidak melupakan untuk memuaskan publik mereka sampai batas-batas tertentu yang bisa dilihat.

Hubungan organisasi media dengan sumber berita. Dalam hubungan ini media harus melakukan seleksi terhadap begitu banyak bahan untuk dapat dimasukkan ke saluran yang mempunyai kapasitas terbatas. Sementara itu, pola hubungan antar penyeleksi (selektor) dengan sumber sangat bervariasi, sehingga peran yang berkaitan pun demikian pula adanya. 19Lebih lanjut menurut Mc Quail, beberapa situasi utama dari hal-hal seperti ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :

  1. Kontak berkesinambungan dengan orang “dalam“ yang mengetahui banyak informasi dan para ahli mengenai berbagai berita.

  2. Kontak berkesinambungan seperti itu juga diupayakan oleh mereka yang mungkin menjadi sumber berita itu sendiri, dengan maksud untuk memupuk hubungan baik dengan pihak-pihak yang mungkin akan memberikan manfaat.

  3. Pengamatan langsung dan pengumpulan informasi yang melaporkan peristiwa sehari-hari, juga merupakan sumber bagi media berita.

  4. Memanfaatkan pelayanan badan pemasok berita, terutama badan pemasok berita nasional maupun internasional, agen-agen berita film, pertukaran program televisi juga berbagai badan yang menangani kegiatan para seniman, pengarang atau penulis.

Hubungan organisasi media dengan khalayak. Dalam hubungan ini publik memang merupakan klien dan sumber pengaruh paling penting dalam lingkungan setiap organisasi media. Namun banyak penelitian memperlihatkan kecenderungan banyaknya komunikator massa tidak menganggap publik terlalu penting padahal pihak manajemen selalu mengikuti eratnya angka penjualan dan tingkat penawaran publik.20

Fergusen juga melaporkan adanya sikap agak angkuh dari para redaktur wanita terhadap pembaca mereka. Mungkin pula masalah itu bersumber dari kenyataan bahwa komunikator massa harus memberikan pelayanan profesional dan menjual produk pada waktu yang bersamaan. Sedangkan kriteria dominan yang seringkali diinginkan oleh pihak organisasi adalah meningkatnya angka penjualan. Menurut Fergusen, para redaktur media komersial semua berpendapat bahwa keberhasilan profesional harus dibuktikan dengan meningkatnya sirkulasi dan pendapatan dari iklan.

Hubungan organisasi media dengan kelompok penekan, pemerintah, dan tekanan sosial politik, dalam hubungan ini mereka merupakan kekuatan sosial budaya yang mempengaruhi organisasi media. Tekanan untuk menuliskan suatu berita oleh kepentingan sosial politik cukup tinggi.

Hubungan antara organisasi media dan kekuatan-kekuatan sosial ini tergantung pada tujuan utama dari organisasi media. Tujuan-tujuan utama dari organisasi media khususnya surat kabar menurut Tunstall terbagi menjadi dua, yaitu sasaran-berpendapatan (revenue goal) dan sasaran-tidak-berpendapatan (non- revenue goal). 21

Sasaran-tidak-berpendapatan mengandung pengertian tujuan yang tanpa aspek keuangan langsung; percakapan prestise; penerapan pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat, dan mencapai tujuan moral tertentu. sasaran-berpendapatan terbagi dua, yaitu sasaran yang bersumber pada pemasang iklan dan berasal dari penjualan. Berbagai isi dan kebijakan pers berkaitan dengan variasi sasaran yang disebutkan tadi.

Selanjutnya Tunstall menyatakan bahwa bilamana terjadi konflik sasaran dalam surat kabar, maka sasaran target khalayak (penyenangkan khalayak demi meningkatkan sirkulasi) dapat berfungsi sebagai “sasaran koalisi“ kebanyakan orang menyikapi sasaran tersebut. Kesadaran akan kenyataan bahwa media memang memiliki sasaran gabungan sangatlah penting. Dengan demikian, kita dapat memahami media dalam konteks sosialisme dengan beberapa tekanannya.

2.3 Unsur Berita

Media dalam menghadirkan kontruksi realitas pada pembacanya seharusnyalah menarik perhatian. Unsur yang bisa menarik perhatian khalayak disebut dengan unsur berita. Ahli jurnalistik menyebutkan unsur-unsur berita adalah22 :

  1. Aktualitas/Timelines : berita baru yang masih hangat menarik perhatian pembaca daripada yang sudah basi. Oleh karena itu, aktualitas menjadi nilai berita utama yang harus dijaga.

  2. Kedekatan/Proximity : kedekatan secara emosi dan fisik akan membuat berita menarik perhatian pembacanya.

  3. Tokok public/Prominence : peristiwa diseputar tokoh idola, panutan dan pemimpin masyarakat selalu menarik, karena dengan ketokohannya mereka telah menjadi publik.

  4. Konflik/Conflict : Kontroversi antar tokoh, peristiwa perang, bentrokan, peristiwa kriminal sangat menarik perhatian pembaca.

  5. Kemanusiaan/Human Interest : berita-berita yang menyentuh rasa kemanusiaan seperti pengungsi dan kelaparan sangat bernilai untuk semua orang. Selain dengan menggugah empati, juga membangun sikap simpatik.

  6. Sensaional/Unique : Keanehan, keganjilan dan hal-hal yang spektakuler dalam kehidupan manusia, selain memiliki unsur hiburan dapat juga memberikan dorongan prestasi sekaligus penyadaran dalam dinamika kehidupan.

  7. Seks : seks merupakan unsur berita yang sangat diminati oleh khalayak pembacanya, seks membuat produk pers dicari dan dibaca orang.

2.5 Media Dan Gender

Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender.

Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke yang lain dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial.23


Tabel 1.1

Perbedaan seks dan Gender24

SEKS

Gender

Tidak bisa berubah

Bisa berubah

Tidak bisa dipertukarkan

Bisa dipertukarkan

Berlaku dimana saja

Bergantung budaya

Berlaku bagi kelas dan warna kulit apa saja

Berbeda antar kelas dengan kelas lainnya

Di tentukan oleh Tuhan atau kodrat

Bukan kodrat Tuhan tetapi buatan manusia


Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender. 25

Lebih lanjut menurut Mansour Fakih ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, diantaranya marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang atau lebih banyak, serta sosialisasi ideologi peran gender.

Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemeresan terhadap wanita dalam masyarakat, apakah itu di tempat kerja atau pun dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar baik oleh perempuan atau pun laki dalam mengubah keadaan tersebut.

Rosemary Thong dalam feminist Through A Comprehensive Instroduction, menunjukkan beberapa perspektif feminis yang berkembang di dunia antara lain : feminis liberal, feminis Marxis, feminis radikal, feminis psikologis, feminis sosial, feminis eksistensialis dan feminis post modern.26

Feminis liberal, memberikan penekanan pada terjadinya subordinasi perempuan di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk dalam lingkungan publik .

Feminisme marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu yang disengaja, melainkan akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalis.

Feminisme radikal, lebih memberikan perhatian pada permasalahan reproduksi dan seksualitas kaum perempuan. Asumsi yang dibangun adalah bahwa patriarki, yaitu sistem kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat yang lebih memberikan posisi dominan pada lak-laki, menyebabkan keterbelakangan perempuan. Oleh karena itu sistem patriaki tidak saja harus dirombak tetapi juga harus dicabut hingga akarnya.

Feminisme psikoanalisis bertitik awal dari teori freud yang menyatakan seksualitas merupakan unsur krusial dalam pengembangan relasi gender. Menurut Freud, seksualitas perempuan dan lelaki berbeda, perbedaan ini berakar pada psikis mereka yang disebabkan perbedaan biologis.

Feminisme Sosialis, memandang kapitalisme dan patriaki merupakan ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan terhadap perempuan. Perspektif feminis sosial memandang media sebagai instrumen dalam menyampaikan steoriotipe, patriakal dan nilai-nilai hegemoni mengenai wanita dan feminitas. Media berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, menurut perspektif ini media menampilkan kapitalisme dan skema patriaki yang dianggap sebagai sistem yang paling menarik dan tersedia.

Atas dasar berbagai ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu digugat oleh kaum feminis, perlu kesetaraan gender dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk media massa harus berprespektif gender dalam menyebarluaskan pemberitaannya.

Menurut Nur Imam Subono, jurnalisme berprespektif gender dapat diartikan: Sebagai kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan menggugat secara terus-menerus, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar, dan tabloid) maupun media elekronik (seperti dalam televisi dan radio) adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. 27

Pentingnya jurnalis dan institusi media yang mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu : 28

Pertama. Kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proposinal serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan.

Kedua. Media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi watchdog bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya perempuan akhirnya menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan.

Ketiga. Kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarki dan kapitalisme dengan dominasi laki–laki di dalamnya. Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek namun berperan aktif sebagai subjek.

Keempat. Perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran publik dalam ruang publik.

Diskursus jurnalistik harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan.

Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikap–sikap yang emansipatoris, kritis, non eksploitatif , non diskriminatif, demokratis, tetap proposional, dengan tidak meninggalkan kaidah–kaidah dasar jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan, namun juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender.29

Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai, karena pada peluang yang sama media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.30

2.6 Proses Framing

Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, meskipun realitas faktanya sama. Pengonstruksian fakta tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi politik media. Salah satu cara yang dipakai atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas adalah dengan framing.

Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisa teks media. Analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi.31

Robert N. Entman, seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media, mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal seperti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.32

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak.33 Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.

Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok (di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi dan simplifikasi. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.34

Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana persfektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut.

Gamson dan Modigliani, peneliti yang konsisten mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.35

Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan–muatan di balik suatu isu atau peristiwa.

Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita.36

Formula Gamson dan Modigliani menitikberatkan penelitian pada penggunaan bahasa yang dipakai media secara mikro. Formula ini dalam meneliti bahasa melalui dua perangkat, diantaranya pertama, perangkat framing yang terdiri dari methapors, catchphrases, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, perangkat penalaran yang terdiri dari roots, appeals to principle, consequences. Bahasa sangat mempengaruhi konsep framing, karena melalui framing akan ada hal tertentu yang ditonjolkan dan akan ada yang dikaburkan oleh media dalam membentuk realitas media.

Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat mempengaruhi frame berita yang akan diproduksinya. Frame yang diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang pendidikan wartawan sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga proses framing dalam organisasi media menurut George Junus Adit Jondro. Proses tersebut :37

  1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya.

  2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberikan.

  3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.

2.7 Efek Framing

Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek. Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh media, bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Berdasarkan penyederhanaan atas kompleksnya realitas yang disajikan media, menimbulkan efek framing, yaitu:38

Pertama. Framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai.

Kedua. Framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita.

Ketiga. Framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.

METODOLOGI


3.1 Sifat Penelitian

Penelitian yang digunakan penulis bersifat eksplanatif, yaitu suatu penelitian yang bertitik tolak pada pertayaan dasar ‘mengapa’. Kita tidak akan puas bila hanya mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi ingin juga mengetahui mengapa bisa terjadi.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing, untuk melihat bagaimana media mengonstruksi realitas. Metode ini akan menganalisa perangkat-perangkat retoris teks rubrik berdasarkan formula Gamson dan Modigliani. Dalam tahap ini analisa framing akan mengidentifikasi perangkat retoris yang terdapat dalam isi teks rubrik Nah Ini Dia, lalu menentukan frame dan mencari tahu tendensi dari frame tersebut.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan ada dua yaitu:

Data primer, yang diperoleh penulis dari rubrik Nah Ini Dia yang dimuat Pos Kota selama bulan Juli 2004, penulis kemudian memilahnya hanya yang menyangkut perempuan, mengenai masalah pemerkosaan, perselingkuhan dan pelecehan seksual. Dan dari wawancara dengan penulis rubrik Nah Ini Dia.

Data sekunder, data pendukung penulis dari bacaan-bacaan, dan digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini.

3.4 Fokus Penelitian

Unit analisis dalam penelitian ini adalah teks rubrik Nah Ini Dia, dengan masalah yang berlainan pembahasan mengambil tiga kasus yang berbeda. Melihat dari sisi objek penelitian, penulis ingin mengetahui bagaimana Pos Kota membingkai kasus kejahatan penipuan terhadap perempuan pada teks Nah Ini Dia edisi 4 Juli 2004, kasus pemerkosaan terhadap perempuan pada teks Nah Ini Dia edisi 7 Juli 2004, dan kasus perselingkuhan pada teks Nah Ini Dia edisi 13 Juni 2004.

3.5 Teknik Analisis

Teknik analisa dalam penelitian menggunakan formula framing menurut Gamson dan Modigliani. 39 Sebelumnya penulis memulai dengan menyeleksi isu mengenai permasalahan perempuan yang terdapat dalam teks Nah Ini Dia. Setelah menentukan tiga isu tersebut, satu per satu isu akan dimasukkan dalam perangkat framing yang kemudian dianalisa.

Penulis memilih analisis framing formula Gamson dan Modigliani dalam penelitian ini, karena penulis yakin formula ini bila dibandingkan dengan formula framing yang lain dapat melihat pengonstruksian makna peristiwa yang berkaitan dengan objek penelitian.

Selain itu formula framing ini dapat membantu peneliti lebih sensitif untuk melihat bahasa secara mikro melalui perangkat-perangkat dalam framing Gamson dan Modigliani. Penyajian rubrik ini dikemas dengan berbagai macam opini tambahan oleh punulis rubrik. Dengan kalimat-kalimat yang menonjolkan istilah-istilah yang menuju pada penggambaran citra perempuan, dan didukung dengan gambar berupa karikatur. Berdasarkan hal ini penulis menentukan formula Gamson dan Modigliani paling sesuai digunakan dalam penelitian ini.

Formula framing Robert N. Entman tidak sesuai digunakan dalam penelitian ini karena formula Entman meneliti bahasa secara makro. Dengan memfokuskan penelitian pada pendefinisian masalah, sumber atau penyebab masalah, membuat keputusan moral dan menekankan penyelesaian.

Formula framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, tidak juga sesuai digunakan dalam penelitian ini, karena perangkat framing yang mereka sajikan meneliti media melalui struktur bahasa yang digunakan dalam mengonstruksi realitas.

Perangkat framing Pan dan Kosicki diantaranya menghadirkan sintaksis, skrip, tematik, retoris. Sintaksis adalah bagaimana wartawan menyusun fakta, unit yang diamati diantaranya headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, peryataan, penutup. Skrip adalah cara wartawan mengisahkan fakta, unit yang diamati kelengkapan berita 5W+1H. Tematik adalah cara wartawan menulis fakta, unit yang diamati diantaranya paragraph, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat. Retoris adalah cara wartawan menekankan fakta, unit yang diamati diantaranya kata, idiom, gambar/foto, grafik.

Formula framing Murray Edelman juga tidak sesuai digunakan dalam penelitian ini karena, perangkat framing ini mensejajarkan dengan kategori. Realitas yang kompleks disederhanakan dengan kategori tertentu yang menolong seseorang dalam memahami realitas. Kategori menurut Edelman bukanlah mengambarkan realitas, melainkan menunjukkan pada apa dan siapa yang diuntungkan, dan apa atau siapa yang dirugikan.




Daftar Pustaka



Apa itu gender ?. International Labour Organization Indonesia. 1999.


Armada, S.A Wina. Menggugat Kemerdekaan Pers. Jakarta: Sinar Harapan. 1993.


Aripurnami, Sita dan Dhakidae, Daniel. Media dan Gender: Perspektif Gender Atas Industri Surat Kabar Indonesia. Yogyakarta: LP3Y. 1999.


Eryanto. Analisis Framing: Konstruksi,Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS. 2002.


Fakih, Mansour. Analisis Gender Dan Tranformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996.


Hamad, Ibnu. Agus Sudibyo. Muhammad Qodari. Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama Di Media Massa. Jakarta: ISAI. 2001.


Ibrahim, Idi Subandi. Hanif Suranto, Yasraf Amir Pialang. Wanita Dan Media: Pemberitaan Isu Pelecehan Dan Kekerasan Seksual Dalam Surat Kabar Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1998.


Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. 1996.


----------------------- and Sven Windahl,. Communication Models: For The Study Of Mass Communication. Newyork: Longman Publishing. 1993.


Masduki. Jurnalistik RadioYogyakarta: LkiS. 2001.


Nugroho, Bimo. Eriyanto. F. Surdias. Poltik Media Mengemas Berita. Jakarta: ISAI. 1999.


Rakhmat, Jalaluddin. Metode Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2000.


Shoemaker, Pamela J. dan Reese, Stephen D. Mediating The Message: Theories of Influence on Mass Media Content. New York and London: Longman Publishing Group. 1991.


Siregar, Ashadi. Rondang Pasaribu. Ismay Prihastuti. Eksplorasi Gender Di Ranah Jurnalisme. Yogyakarta: LP3Y. 2002.


Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2002.

Sunarto. Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak. Semarang: Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta Ford Foundation.2002


Lain-lain:

American Journal Of Sociology. Vol. 95. No. 1.1989. William A Gamson, and Andre Modigliani. Media Discourse And Public opinion On Nuclear Power: A Constructionist Appoach.


Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Madha. Volume 7. No.3, Maret 2004. Ana Nadhya Abrar. Tantangan Dalam Mengwujudkan Kesetaraan Gender Dalam Pers Di Indonesia.


Jurnal MWCC. edisi 10 April-Mei 2001. Mulyanti Syas.“Nah Ini Dia” Yang Melecehkan Wanita.


Jurnal Pantau. Jakarta: ISAI. Edisi 6 Oktober–November 1999. Ibnu Hamad. Media Massa Dan Konstruksi Realitas.


Jurnal Perempuan. No.28. 2003. Nur Iman Subono. Menuju Jurnalisme Yang Berperspektif Gender.


Jurnal Of Communication. Robert N. Entman. Framing: Toward Claryfication Of A Fractured

Menjual Mitos Menyesatkan, Kompas Senin 16 April 2001

Shinta Laksmi. Politik Pemberitaan dalam Wacana Habibie dan Megawati Sebagai Calon Presiden Selama Sidang Umum MPR (1-20 Oktober 1999) (kasus Republlika dan kompas). (Skripsi FISIP UI 2000)

1 Wina Armada S.A, Menggugat Kemerdekaan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 1993

2 Anan Nadhya Abrar,Wanita Dan Media: Pemberitaan Isu Pelecehan Dan Kekerasan Seksual Dalam Surat Kabar Indonesia, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, hal.164

3 Djafar H. Assegaf, Wanita Dan Media: Kode Etik Jurnalistik Dan Martabat Wanita. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, hal.193

4 Menjual Mitos Menyesatkan, Kompas Senin 16 April 2001 hal.32

5 Ana Nadhya Abrar, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Volume 7, No.3, Maret 2004

6 Jurnal MWCC, Ibid hal.3

7 Eryanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta 2002, hal.15

8 Eryanto, ibid hal.17

9 Ibnu Hamad, Media Massa Dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI, 6 Oktober–November 1999. hal.55

10 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002, hal.98

11 Bimo Nugroho, Eriyanto, F. Surdias, Poltik Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta, 1999, hal.1

12 Eriyanto, op.cit., hal.40

13 Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Muhammad Qodari, Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama Di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001, hal.69

14 Ibid, hal. 70

15 Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Muhammad Qodari, Op.Cit.

16 Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Jakarta, 1996, hal.141

17 Denis Mc Quail dan Sven Windahl, Communication Models, For The Study Of Mass Communication, Longman Publishing, Newyork, 1993, hal.161

18 Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, op.cit, hal.153

19Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Ibid, hal.155

20 Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Ibid, hal.160

21Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Ibid, hal.144

22 Masduki, Jurnalistik Radio, LkiS, Yogyakarta, 2001, hal. 23

23 Apa Itu Gender, International Labour Organization, 1999, hal.14

24 Ibid , hal 15

25 Mansour Fakih, Analisa Gender Dan Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996, hal.12

26 Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak, Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta Ford Foundation, Semarang,2002

27 Nur Iman Subono, Menuju Jurnalisme Yang Berperspektif Gender, Jurnal Perempuan, No.28, 2003, hal. 59.

28 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender Di Ranah Jurnalisme ,LP3Y, Galang Printika, Yogyakarta, 2002, hal.219

29 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, op.cit., hal.222

30 Ibid, hal 223

31 Alex Sobur, op. cit, hal.161

32 Robert N. Entman, Framing: Toward Claryfication Of A Fractured Paradigma, Jurnal Of Communication, hal.43

33 Robert N. Entman ibid hal.53

34 Eriyanto, Analisis Framing LKiS, Yogyakarta, op.cit, hal.187

35 Eryanto, Ibid, hal.224

36 Eriyanto , Ibid hal.225

37 Alex Sobur, op.cit, hal.165

38 Eryanto, op. cit, hal. 139

39 Willim A. Gamson and Andre Modigliani, Media Discourse And Public opinion On Nuclear Power: AConstructionist Appoach, American Journal Of Sociology, Vol. 95, No. 1,1989, hal 2. Dikutip dari Shinta Laksmi, Politik Pemberitaan Dalam Wacana Habibie dan Megawati Sebagai Calon Presiden Selama Sidang Umum MPR (1-20 Oktober 1999) (kasus Republlika dan kompas). (Skripsi FISIP UI 2000)

Thursday, March 23, 2006

Critical Media Theory

Critical Media Theory

By Douglas Kellner

The arguments from the critical position have a fairly broad range. Here are six positions:

1. The conspiracy theory

The minds of the populace are being manipulated deliberately by the owners of the mass media on behalf of the capitalist cause -- in the interests of profit above all. These theorists are also often known as functionalists; they tend to see social and political power as top-down and manipulative.

2. The dominance theory

The people who run the media, and the people who control business and government, have the same ends, values and socialization, and their values are reflected in the way the mass media are structured (driven by advertising revenue, for instance, thus geared toward entertainment and sensationalism) and in the content of the mass media, from the perspective of the news shows to the ideology of the prime-time dramas. Basically this can be seen as a hegemonic or class theory.

3. The homogenization theory

The media function to mainstream society, to erode independent thought and action and to render everyone more and more the same.

4. The political economy theory

The very nature of capitalism drives the economic, political and communication systems towards injustice. The emphasis is necessarily on control of the market place, including the control of labour, on profits as the only goal, and on the centralization of power in the hands of the holders of capital; to control labour one controls, among other things, information and ideas. Political economy theory tends to be based in marxist thought, and marxist thought has, in the last several decades, had a much more complex understanding of the workings of social and communication systems than do the functionalist theorists.

5. The commodification theory

Capitalism tends to turn all objects, work and relationships into commodities, things that can be bought, sold, valued; as such it totally transforms our understandings of ourselves and of our relations to others and to society. We become privatized individuals in a world of status and exchange value. In the meantime the real value of goods is replaced by their 'sign' value, or status value.

6. The erosion of rationality theory

The mass media, driven by advertising, appeal to the sensational, to images, to our dreams, and in doing so create a sense of a false world in which commodities purchase happiness and in which social problems are resolved on the level of emotion and the individual; at the same time we are rendered passive and reactive people who are pleased to be entertained, thereby making us less competent members of a democracy, as a democracy calls for an informed, rational populace.


Some problems with the critical media theory perspective

1. rarely accounts for audience meanings

2. very 'strong effects' model, denying any sense of audience resistance (or critical intelligence)

3. often does not establish just how media may shape and influence perception and behavior (see 9 below)

4. assumes that influence = attitude change = behaviour change

5. tends too often to proceed as if mass mediated communication were the only hegemonic force

6. tends to oversimplify the process of the production of the media

7. does not establish that the claims it makes are empirically or historically valid

8. diminishes the positive contributions of mass media to social and political awareness

9. by failing to make the connection between societal and system forces, on the one hand, and the immediate effects of meidia on people, it looks like conspiracy theory rather than explanation:

from Harms and Kellner, Toward A Critical Theory of Advertising:

One persistent problem, however, has plagued critical media studies and blunted its potential impact on cultural studies and public policy.

Very rarely have critical studies of advertising and mass communications adequately articulated the linkage between the macro political economic structure of mass media and the micro mass communication forms and techniques so as to reveal both the socio-economic functions of advertising and the ways that ads actually shape and influence perception and behavior which reproduce the existing social system.

The failure to clearly and comprehensively articulate this linkage has often generated an implicit "conspiracy theory" suggesting that a few elites in control of the mass media consciously conspire to manipulate culture and consciousness.

This deficiency has plagued critical analyses of advertising and communications which have generally failed to explain how mass communications in general, and advertising in particular, can exercise the power and impact that critical theorists suggest.


Some Constraints on Critical Strong Effects Theory

1. the media just have weaker effects than more concrete, immediate institutions and relationships do

2. legislative constraints

3. media professionals' values and goals

4. audience interest

5. the 'power elite' may be less unified in values and practice than critical media theory suggests

6. demand characteristics of the media themselves


Some Strengths of Critical Media Theory

1. big business and government do work together

2. profit is the bottom line most of the time

3. the mass media are controlled to a large extent by the big business and government

4. we do get lied to

5. much of the mass media is unimaginative, sensationalist, and slanted towards the interests of the powerful

6. critical media theory teaches us to seek out and act against the abuse of power

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here