Friday, December 22, 2006

Perilaku anti sosial: Tayangan Misteri, Seks dan Kekerasan

Pembuka Wacana

Sekarang ini sedang terjadi revolusi yang luar biasa menarik, mencengangkan dan sekaligus menantang bagi manusia. Revolusi ini menarik karena revolusi ini membawa perubahan terhadap pola dan struktur proses komunikasi manusia. Revolusi ini juga mencengangkan karena dari revolusi tumbuh dan berkembang teknologi informasi manusia yang pada akhirnya mampu untuk melampaui batasan ruang dan waktu. Revolusi ini juga menantang karena revolusi ini juga membawa pengaruh “tidak sehat” terhadap manusia yang gagap dan rakus “gelojoh” terhadap pola-pola kemudahan teknis yang ditawarkan oleh revolusi ini.

Ada revolusi yang sedang berlangsung dan dialami oleh umat manusia. Revolusi tersebut disebut dengan revolusi komunikasi. Revolusi komunikasi semakin berkembang dalam suatu asumsi bahwa komunikasi menjadi unsur yang vital dalam kehidupan manusia (Rogers, 1986; Naisbitt, 2001; Straubhaar, 2002).

Ketika informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat, maka masyarakat mulai “mau tidak mau” membuka diri pada media massa dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi.

Hanya masalah sering terjadi perkembangan teknologi komunikasi massa justru jatuh pada permasalahan konten atau isi media yang kadang tidak mendidik. Konten atau isi media yang kurang edukatif tersebut muncul dalam bentuk isi kekerasan, seks dan misteri. Tayangan kekerasan, seks dan misteri pada suatu waktu menjadi primadona industri media massa di Indonesia.

Media yang seharusnya menjadi sarana informasi bagi masyarakat untuk menambah pengetahuan baik di luar mau pun didalam, justru sebaliknya. Media terkadang mengabaikan peraturan yang berlaku dalam menyiarkan program-programnya, terutama anjuran yang dikeluarkan oleh KPI. Hal ini disebabkan karena media hanya mencari keuntungan semata, sehingga media tidak memperdulikan lagi apakah program-program tersebut (terutama yang berisi kandungan kekerasan, seks dan misteri akan berdampak buruk atau baik bagi para konsumennya.

Perilaku anti sosial, terutama yang tercermin dalam tayangan yang bersifat kekerasan, seksual dan misteri sudah menjadi hal yang sangat mendasar di masyarakat. Hal ini harus diperbaiki secepatnya baik dari pemerintah, media massa itu sendiri, dan lembaga-lembaga independen lainnya. Tetapi dalam hal ini media, pemilik media dan para awak media harus memiliki peranan yang sangat besar atas timbulnya perilaku anti sosial di masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan khalayak maka seharusnya sebagai konsumen harus bisa memilih tayangan yang bermanfaat bagi mereka dan yang tidak merusak norma-norma yang berlaku. Para konsumen media (dalam hal ini penonton media) harus lebih aktif dalam mengkritisi isi atau konten media, yang menayangkan program-program yang berdampak buruk, seperti : membuat para konsumen menjadi konsumtif, program kekerasan atau kriminalitas, menghalalkan seks bebas dan sebagainya. Kritik media akan mempengaruhi dan mendorong pemerintah untuk mempertegas lagi peraturan atau undang-undang yang berlaku dalam penyiaran (media).

Latar Belakang

Dewasa ini pengaruh media (cetak dan non-cetak) sangat menentukan perilaku para pembaca serta penontonnya. Hal ini, menjadi persoalan yang sangat mendasar sekali untuk perkembangan generasi selanjutnya, karena media merupakan sarana yang sangat mudah sekali untuk mempengaruhi tingkah laku dan sikap kita pada umumnya.

Banyaknya pengaruh serta perilaku luar yang disiarkan maupun di publikasikan oleh media tanpa saringan atau filter, dan hal ini membuat terkikisnya nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam wilayah tertentu.

Pembahasan

1. Pengaruh media terhadap sikap antisosial.

Pada bulan September 1974, NBC menyiarkan “Born Innocent” yang melukiskan kehidupan seorang gadis asrama panti asuhan. Drama tersebut meliputi kisah tentang seorang gadis muda yang diperkosa oleh 4 orang wanita penghuni asrama tersebut dengan menggunakan alat penyedot saluran air. selanjutnya, beberapa hari kemudian seorang gadis berusia 9 tahun di California di serang oleh 4 anak muda dan diperkosa. Pemerkosa mengakui terangsang setelah melihat drama “born innocent”.

Pada tahun 2005, majalah Playboy edisi Indonesia mulai terbit. Penerbitan majalah hiburan laki-laki ini mengakibatkan protes di kalangan tertentu masyarakat Indonesia. Banyak edisi majalah hiburan pria Indonesia seperti FHM, Popular, Lipstik terbit di Indonesia. Pernah marak juga di televisi (hampir semua televisi Indonesia menyiarkan program acara berbau “hantu”)

Kasus-kasus tersebut diatas sering digunakan untuk menuduh media menggunakan kekuatanya untuk mempengaruhi tingkah laku anti-sosial para pembaca dan penonton. Hal ini dapat memicu penonton untuk mengkritik dan menimbulkan kemarahan terhadap media. Banyak media kita yang berisi/menyiarkan mengenai norma social, tanpa cerita mengenai kejahatan, kekerasan, minuman keras, dsb.

2. Media dan tanggung jawab moral

Karena media sangat tinggi jangkauannya dan sangat berpengaruh, untuk itu memakan waktu antara masyarakat dan posisi moral. Secara luas ada 3 kategori mengenai media dan tingkah laku anti social antara lain :

1. Sikap anti sosial para praktisi yang berhubungan dalam kewajiban para

professional.

2. Tugas media hanya sebagai pelengkap terhadap tingkah laku anti sosial

3. Konflik yang terjadi antara tanggung jawab professional dan tingkah laku anti sosial dalam kehidupan pribadi para praktisi media.

3. Sikap anti-sosial dan kewajiban media

Praktisi media adalah sebagai penjaga dan jembatan antara media dan publik, untuk alasan tersebut mereka menghindari perintah untuk menyiarkan perilaku anti sosial di media. Bagaimana pun juga keadaan ini merupakan suatu kelemahan bagi para praktisi media terhadap moral dan hukum. Meskipun masih ada sedikit keraguan yang diharapkan , terkadang para audience mengirimkan pesan yang salah mengenai sikap anti sosial tersebut. Pertama-tama , kekerasan hukum menjadi bagian dalam tugas seorang reporter. Apabila seorang wartawan mencerminkan publik, seharusnya mereka lebih memperhatikan keinginan publiknya. Selain itu, apabila para pelaku kekerasan beranggapan bahwa hal itu adalah biasa, hal itu akan merusak tatanan hukum yang ada.

4. Media sebagai pelengkap terhadap sikap anti sosial

Karena pengaruh media dapat menembus publik umum, karena itu media sering kali disalahkan sebagai kaki tangan untuk mempengaruhi public atas perilaku anti sosial. Menghadapi kritik tersebut media berusaha untuk lebih memperhatikan hal-hal yang dapat merusak perilaku seseorang yaitu dengan membuat beberapa acuan dan aturan yang membuat media menjadi lebih berkembang dan lebih baik.

Issue yang layak yang tergabung dalam tugas media yang juga mempengaruhi perilaku anti sosial, termasuk dalam 3 fungsi mass media yaitu :

1. berita / news

2. hiburan / entertainment

3. iklan

Berita kriminal, kekerasan dan tragedi kemanusian merupakan bagian yang sangat penting untuk seorang peliput berita atau wartawan. Beberapa publik tertarik untuk mempelajari mengenai perilaku anti sosial dari melihat berita di TV maupun membaca dari Koran atau majalah. Contoh : ada beberapa bukti yang di beritakan antara lain; meningkatnya kasus bunuh diri.

Seorang wartawan dalam menuliskan berita harus berdasarkan pendapat umum, sehingga mendapatkan keseimbangan antara berita yang dibutuhkan oleh public terhadap tanggung jawab sosial. Kelayakan issue dalam jurnalistik untuk menangani tingkah laku anti sosial, terdapat dalam 3 kategories yaitu :

1. masalah kecerobohan atau kelalaian berita, dahulu dalam menyiarkan berita kriminal maupun demonstrasi, media TV kurang berpotensi untuk menyiarkannya, tetapi sekarang media sudah lebih berkembang dan dapat menyiarkan berita tersebut dengan baik.

2. wartawan media sering dijadikan sebagai pelengkap terhadap perilaku anti sosial untuk pekerjaan tertentu dimana pekerjaan wartawan merupakan suatu kewajiban dalam menyampaikan berita yang berkualitas kepada publik. Karena komitmen utama seorang wartawan adalah kejujuran dan objective dalam menyampaikan berita, dan terkadang wartawan percaya bahwa kebebasan dan memiliki sikap yang tidak terpengaruh merupakan tindakan yang sangat bijaksana.

3. Melibatkan wartawan media sebagai pelengkap untuk perilaku anti sosial adalah sesuatu hal yang sangat terlalu terhadap wibawa hukum. Beberapa gabungan terjadi ketika para wartawan sepakat atas kebebasan dan sikap tidak terpengaruh menjadi satu kesatuan dalam hukum yang berlaku.

Hiburan atau entertainment apakah tayangan kekerasan di Televisi dan film yang dapat menambah perilaku yang agresif terhadap anak-anak ?. Apakah program kriminal merupakan suatu kontribusi untuk pertumbuhan kriminal rate di masyarakat ? Apakah budaya obat-obatan / narkotika diminati dalam drama prime time ? Dapatkan film di TV tentang kasus bunuh diri dapat mempengaruhi pertumbuhan remaja yang memilih kehidupannya sendiri?

Hal tersebut di atas hanya sebagian dari pertanyaan yang layak didalam dunia hiburan. Melalui kepercayaan mereka pada semua bentuk konflik yang diperankan melalui karakter yang kejam / dingin, dialog yang bagus, special effect, dan situasi yang dramatis, media hiburan menyampaikan pelajaran yang penting dengan mempertimbangkan hal-hal yang bermanfaat dan perilaku anti sosial.

Media khususnya televisi pernah di kritik oleh publik karena perhatian media yang terus menerus terhadap kekerasan. Selain itu ada diantaranya film-film yang menceritakan tentang kekerasan seperti contoh ; Shakespeare’s, Julius Caesar, Hamlet, and Macbeth. Untuk itu, program acara untuk anak-anak seharusnya dibedakan dengan program yang ditayangkan untuk orang dewasa.

5. Konflik antara perilaku personal dan professional

Didalam membedakan antara perilaku moral pribadi para praktisi media dan yang bukan media, seperti memisahkan publik dengan kehidupan pribadinya. Televisi merupakan alat utama yang digunakan untuk menyiarkan berita apabila ada terjadi konflik atau kekerasan di dalam masyarakat umum. Maka stasiun televisi hendaknya lebih sadar akan hal tersebut, karena jangan sampai hal tersebut digunakan hanya untuk suatu kepentingan yang dapat merugikan kredibilitas media massa khususnya televisi.

KESIMPULAN

Saat ini para konsumen (masyarakat) sangat mudah untuk mendapatkan informasi dari media (cetak – non cetak), karena media mengemas setiap informasi (berita, hiburan, iklan, dsb) dengan menampilkan hal-hal yang dapat membuat para konsumennya untuk mengikuti perilaku atau pun gaya yang mereka tampilkan, baik itu hal positif maupun negatif. Sehingga acara tersebut lebih mengarah terhadap para konsumen untuk lebih konsumtif , dan mengikuti perilaku mereka yang lebih menjurus kearah perilaku anti sosial , seperti kekerasan, perkosaan, pornografi, sikap yang mengejek terhadap orang lain, dll.

Pergeseran nilai-nilai agama serta moral sudah menjadi momok bagi masyarakat kita, dan media merupakan salah satu penyebab utama dalam hal ini. Para pengusaha di media seperti menutup mata atas perilaku anti sosial yang terjadi di masyarakat kita, karena mereka ( para pengusaha ) hanya mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya (uang). Seharusnya pemerintah harus lebih memperhatikan atas gejala-gejala perilaku anti sosial yang timbul dimasyarakat, dengan membuat undang-undang yang lebih tegas dan tidak hanya menguntungkan para pengusaha media saja. karena generasi muda adalah masa depan bangsa untuk itu pemerintah harus mengambil langka-langkah yang lebih konkrit untuk menghadapi hal ini. Selain itu, pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga independent untuk mengawasi dan mengontrol media, agar tidak keluar dari jalur dalam menayangkan setiap program-program mereka.

Apabila semua pihak memiliki kesadaran untuk lebih memperhatikan masa depan bangsa ini, sehingga akan tercipta keseimbangan dalam masyarakat kita (media , pemerintah dan masyarakat), Perilaku anti sosial di masyarakat dapat kita tekan.

Priming - Framing - Agenda Setting ?

Wacana Pembuka

Kajian ilmu komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi dalam tataran praksisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan. Itulah sebabnya juga, komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan begitu saja dengan dimensi manusia.

Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses dan bidang ilmu komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup penting pada kehidupan manusia sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan manusia, komunikasi massa memainkan peranan penting bagi perubahan dan dinamika sosial manusia. Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia. Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Sebuah contoh kasus yang menarik untuk ditelaah adalah pemberitaan skandal seks yang dilakukan oleh oknum DPR dengan penyanyi dangdut yang sempat menggoncang dan mengundang wacana moralitas politik di Indonesia. Berita yang berkembang adalah bahwa oknum anggota DPR yang berinisial YZ telah terekam kegiatan seksualnya bersama seorang perempuan. Gambar yang menjadi gunjingan terekam dari gambar dengan bantuan kamera handphone yang kebetulan dipakai untuk “mengabadikan” peristiwa intim tersebut. Pemberitaan yang berkembang dalam masyarakat adalah bahwa penetrasi kegagalan moralitas sampai di kalangan elite terhormat semacam anggota parlemen Indonesia. Pemberitaan tersebut mempunyai dampak politik moral yang sangat memalukan. Ditambah lagi bahwa YZ adalah ketua bidang kerohanian dalam sebuah partai besar, dalam hal ini Golkar. Sebuah kontradiksi ketika seorang pejabat politik dengan atribut ketua bidang kerohanian akhirnya jatuh pada masalah dekadensi moral dalam hal ini skandal seks murahan.

Dalam konteks pemberitaan ini terjadi proses rekonstruksi realitas sosial dalam hal masalah skandal seks anggota DPR dan itu semua dibeberkan kepada publik serta menjadi wacana publik yang hangat. Beberapa media massa sempat menjadi berita skandal seks ini menjadi “headline” koran atau media tersebut. Ketika media massa memuat dan membuat berita skandal seks tersebut menjadi headline tentu saja mempunyai dampak kognitif di kalangan masyarakat. Setidaknya, masyarakat tahu mengenai perilaku seksual para anggota DPR. Sebuah permasalahan tabu dan intim tapi ternyata akhirnya mencuat menjadi agenda pembicaraan masyarakat. Dapat dikatakan, masyarakat mempunyai penilaian terhadap para anggota parlemen yang “katanya” terhormat tersebut.

Konsep agenda setting

Penjelasan di atas mau mengatakan bahwa ternyata ada hubungan antara media massa, dampak yang diakibatkan dengan para khalayaknya. Media massa setidaknya menjadi sumber komunikasi. Dampak media massa lebih dilihat sebagai dampak kognitif kepada masyarakat. Khalayak sendiri merupakan komunikan yang mengkonsumsi hasil rekonstruksi realitas yang dibikin oleh media massa. Media massa pemberitaan diyakini oleh banyak orang (termasuk banyak pembuat keutusan) sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya (Severin, 2005: 266). Dengan kata lain, bahwa media massa mempunyai potensi untuk mempengaruhi opini atau agenda publik melalui proses priming dan framing yang dilakukan oleh media massa dalam hal ini pemberitaan yang dibuat. Pemberitaan adalah hasil atau output dari agenda yang dibuat oleh para awak media. Tentu saja, terdapat interaksi antara media massa dengan publiknya terlebih dahulu. Agenda media yang diterjemahkan oleh para redaksi dan wartawan tersebut “disuntikkan” kepada khalayak yang pada akhirnya sedemikian rupa membentuk agenda publik.

Konsep Priming

Konsep Priming pada dasarnya konsep yang dikembangkan oleh tradisi cognitive neoassociation (Bryant, 2002: 89). Tradisi dan perspektif psikologi sosial ini berada dalam lingkaran teori kognitif dalam konteks ilmu komunikasi. Priming adalah proses di mana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005: 271).

Proses priming menegaskan pola dan terminologi kunci bahwa penonjolan dan penekanan isu mempunyai hubungan sebab akibat dengan standar penilaian publik dan perhatian publik terhadap isu tertentu. Dalam kasus skandal seks anggota DPR terlihat adanya penonjolan atau penekanan isu tentang perilaku moral dan etika politik yang mau dikembangkan oleh media massa. Selain penekanan dan perhatian terhadap isu tertentu terdapat variabel-variabel krusial dalam konsep priming, yaitu kadar isu (isu abstrak dan isu konkret; isu skandal seks dapat dikategorikan sebagai isu konkret), pola eksposure atau terpaan (dalam beberapa hari memang beberapa media massa memasang pemberitaan skandal seks DPR sebagai berita utama), pembentukan teknis agenda setting dan penelusuran orientasi yang dipunyai oleh khalayak.

Proses dan Efek Framing

Skandal seks DPR, ketika menjadi materi pemberitaan, hasil pengembangan dan pembangunan sekumpulan idea para wartawan atau redaksi. Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, meskipun realitas faktanya sama. Pengonstruksian fakta tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi politik media. Salah satu cara yang dipakai atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas adalah dengan framing. Analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi.

Robert N. Entman, seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media, mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal seperti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.

Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok (headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi dan simplifikasi. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.

Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut.

Gamson dan Modigliani, peneliti yang konsisten mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan (Eriyanto, 2002:217-287). Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.

Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan–muatan di balik suatu isu atau peristiwa.

Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita.

Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat mempengaruhi frame berita yang akan diproduksinya. Frame yang diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang pendidikan wartawan sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga proses framing dalam organisasi media. Proses tersebut :

1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya.

2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberikan.

3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.

Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek. Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh media, bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Berdasarkan penyederhanaan atas kompleksnya realitas yang disajikan media, menimbulkan efek framing, yaitu: Pertama. Framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua. Framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga. Framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.

Friday, December 01, 2006

Terorisme – Culture of Fear dan Komodifikasi Media Massa

oleh: AG. Eka Wenats Wuryanta

Pembuka Wacana

Semenjak peristiwa peledakan Menara WTC di New York beberapa tahun yang lalu, berita-berita tentang terorisme menjadi salah satu komoditas utama di media massa seluruh dunia. Belum lagi dengan peristiwa-peristiwa teror yang terjadi di seantero dunia. Pernyataan perang Presiden Amerika Serikat terhadap teroris dengan segala aktivitas terorisme menjadi bahan berita yang mengisi sekian head-line berita media Internasional (seperti yang dilakukan oleh CNN, BBC, ABC) maupun nasional. Perang-perang lokal yang terjadi di belahan bumi menjadi bahan atau materi berita yang semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berita-berita tentang perampok bersenjata yang tidak jarang memakan korban telah menjadi bagian integral bagi media massa untuk menaikkan oplah media, baik media cetak maupun media elektronik. Banyak korban kekerasan dan peristiwa yang bersifat destruktif menjadi ladang panen yang siap dipanen bermanfaat untuk memperbanyak kuantitas profit ekonomi para pemilik modal media massa kontemporer. Bukan saja berita yang bersifat langsung dan keras yang laku di pasaran tapi juga berita-berita kelaparan, kemiskinan, ketidakberdayaan masyarakat dalam “teror-teror” simbolik yang dikembangkan di media massa.

Kajian ilmu komunikasi menjadi sangat menarik ketika komunikasi pada tingkat praksisnya menyentuh aspek kemanusiaan. Tentu saja, aspek kemanusiaan tersebut meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, ideologi, psikologi dan kebudayaan manusia itu sendiri (Littlejohn, 2002).

Dalam proses perkembangan kebudayaan manusia, komunikasi massa menjadi proses komunikasi yang mempunyai tingkat pengaruh yang cukup signifikan pada kehidupan sehari-hari.

Berita, dalam konteks komunikasi massa yang berkembang sampai sekarang, selalu muncul dalam benak dan pikiran manusia. Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita bukan adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Diskusi I: Culture of Fear + Ideologi Politik Kekerasan = TERORISME

Perjalanan sejarah manusia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kekerasan. Dapat dikatakan bahwa sejarah manusia merupakan sejarah tontonan yang penuh dengan tindak kekerasan. Kekerasan terbentuk dari brutalitas, perampokan, perkosaan, tawuran, mutilasi, sadisme, bahkan penghilangan paksa. Tesis empirik dari sejarah kekerasan manusia ini – yang sarat dengan ketidaknyamanan ontologis merupakan kontradiksi dengan jaminan kenyamanan ontologis, seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens tentang globalisasi.

Proses dehumanisasi sampai ke taraf yang paling primitif ini terjadi pada skala pelaku individual, etnis, antar agama bahkan sampai taraf antar kelas (lih. Pembantaian suku tutsi di Rwanda). Dehumanisasi yang berujud budaya rasa takut merupakan deaktualisasi atau impotensi kemampuan manusiawi yang hendak dibangun dalam peradaban modern melalui komunikasi modern yang rasional dan penuh dengan harapan terjadinya dialog peradaban.

Alih-alih, sistematika kekerasan dikurangi - dalam perkembangan selanjutnya kekerasan telah bertransformasi menjadi sistematika politik kekerasan. Ideologi politik yang mengembangkan “trade off” atas pengembangan hak asasi manusia merupakan bagian sejarah yang faktual dialami oleh masyarakat Indonesia. Kekerasan ekonomi yang dipenuhi dengan pola penggusuran paksa dan perampokan terstruktur dalam bentuk korupsi dengan dalih stabilitas dan prestise ekonomi nasional. Kekerasan budaya yang membentuk pola interpretasi tunggal terhadap fenomena seni menggerus interpretasi personal dan semakin memarginalisasi ruang kebebasan potensi estetik manusiawi. Politik kekerasan sebagai bentuk manifestasi kefrustasian sosial menjadi latah dilakukan dan biasa untuk dilakukan. Pola-pola politik kekerasan ini membentuk atmosfer ketakutan yang massif atas nama stabilitas politik, keamanan dan demokrasi.

Dalam perspektif di atas, saya ingin meletakkan makna terorisme dalam pengertian yang bisa didiskusikan secara mendalam. Ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan dalam kerangka pengembangan diskursus atau wacana tentang terorisme.

Pertama, terorisme sebagai ontologisme eksistensi manusia. Pertimbangan pertama ini berangkat bahwa sangatlah naif apabila kita mengartikan terorisme sebagai usaha bela diri dari segala ketidakadilan. Terorisme merupakan permasalahan eksistensial manusia mengenai bagaimana manusia ber”ada”. Pada dasarnya, manusia mengalami ketidaknyamanan ontologis bahwa mereka mempunyai keterbatasan dalam hidup. Sifat kesementaraan ini menimbulkan ketidakpastian dalam mengisi kehidupan. Terjadi gap pemaknaan antara ada untuk diri, ada bersama orang lain dan ada bersama untuk bersama mati (lihat pandangan Heidegger mengenai masalah being manusiawi).

Manusia modern terperangkap dalam gugusan citra yang ingin melampaui keterbatasannya. Citra kontemporer yang dibangun oleh media massa turut mempengaruhi mind-set mengenai kekuatan, kekuasaan, superioritas. Masalahnya, citra-citra tersebut serta merta membentuk citra kekerasan sebagai pola hidup yang harus dilalui (pandangan Charles Darwin tentang survival of the fittest). Lebih ironi lagi adalah bahwa citra kekerasan tersebut mengejar tuntutan untuk membentuk mesin kekerasan untuk menjamin keberlangsungan dan penguasaan atas nilai yang citrawi tersebut. Akhirnya tidaklah mengherankan apabila Amerika dengan mesin perang dan ekonomi mencoba untuk menterjemahkan hal tersebut.

Indonesia mengalami sebuah era perubahan sosial politik yang cukup mendasar. Kehidupan demokrasi yang sempat stagnan pada masa Orde Baru, mulai menunjukkan gairah kehidupan yang sebenarnya. Salah satu indikator yang menunjukkan sejauh mana demokrasi mulai bernafas dengan lega adalah indikator kebebasan pers atau media yang pada waktu Orde Baru mengalami pemasungan yang luar biasa. Kekuatan media yang seharusnya menjadi kontrol sosial dan politik justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bagian hegemoni negara yang sedemikian kuat. Tidak mengherankan apabila media massa pada waktu itu menjadi state apparatus, yang artinya bahwa media massa justru menjadi corong kebijakan otoriterianisme yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh rejim Orde Baru.

Situasi sebagian besar media massa Orde Baru yang sempat menjadi state apparatus tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme di Indonesia pada khususnya atau dunia pada umumnya (Hidayat, Dedy. N., 2000, hal. 129-133). Tapi kenyataan bahwa industri media massa Orde Baru yang dipengaruhi oleh sistem politik-ekonomi yang berkembang saat itu, tetap kita tidak bisa menutup kenyataan bahwa media massa di Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem kapitalisme media massa global pada waktu itu.

Ketika Indonesia mengalami perubahan sosial politik, rupanya imbas perubahan sosial yang terjadi juga dialami oleh industri media massa di Indonesia. Proses transisi demokrasi di Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri. Penguatan peran media dalam kehidupan sosial semakin dirasakan sebagai faktor positif perubahan sosial di Indonesia. Meskipun, penguatan peran dan aktivitas media setelah “lengsernya” Soeharto juga mempunyai dampak negatif. Tapi yang jelas, telah terjadi perubahan iklim ketidakbebasan menjadi kebebasan yang sempat “dirayakan” oleh para pelaku industri media di Indonesia.

Masalahnya, dari sekian perubahan sosial politik dalam negeri yang sempat mengubah iklim kebebasan media, Indonesia sebagai bagian global juga terkait dan dipengaruhi oleh kemajuan serta modernisasi sistem komunikasi dunia. Perkembangan atau revolusi informasi yang menyeluruh, radikal, drastis dan menyentuh seluruh dimensi kemanusiaan terasakan oleh manusia Indonesia juga oleh pelaku media massa Indonesia.

Perubahan yang signifikan dalam bidang komunikasi-informasi global yang berpengaruh pada perubahan sosial manusia Indonesia menjadi salah satu alasan pengajuan pertanyaan kritis: sejauh mana dan bagaimana revolusi komunikasi-informasi atau globalisasi media massa memberikan dampak yang berarti bagi perubahan sosial-budaya-ekonomi-politik masyarakat Indonesia ?

DAMPAK GLOBALISASI MEDIA

Kalau kita tarik garis umum dampak globalisasi media pada tata sosial masyarakat Indonesia pada khususnya, maka dapat ditemukan garis positif atau konstruktif serta garis negatif atau destruktif. Garis positif atau lebih tepat akibat konstruktif fenomena globalisasi media massa di Indonesia adalah perubahan sosial politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral sistem komunikasi sosial masyarakat. Sementara itu, garis negatif dalam arti dampak buruk dari globalisasi media dapat juga dilihat dari fenomena masyarakat yang semakin konsumeristis, apatis, individualistis dan sebagainya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa globalisasi media massa juga memicu kerusakan etika atau moral kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

Beberapa dampak negatif yang perlu dieksplorasi dalam diskusi ini adalah: pertama, gejala globalisasi media massa membuka kondisi dunia yang borderless world. Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam sistem, pola dan budaya komunikasi dunia dan Indonesia pada khususnya. Masalahnya terjadi paradoks yang muncul di dalam gejala ini, yaitu ketika dunia dan globalisme memicu penyeragaman cara, sistem komunikasi umat manusia, di situ juga terjadi budaya tanding dalam bentuk tren nasionalisme, primordialisme, lokalisme kebudayaan. Ini artinya dalam globalisasi, termasuk di dalamnya globalisasi media massa, terjadi tarik ulur kecenderungan holisme-kolektivistik dengan tendensi parsialisme-individualistik manusia. Masing-masing sikap tidak seluruhnya buruk, karena terjadi penyebaran pesan global yang positif misalnya globalisasi gerak demokrasi atau gerak penyebaran tata nilai agama (BBC World - CNN sempat dijuluki sebagai salah satu juru bicara tata demokrasi baru). Tapi juga tidak seluruhnya baik, karena globalisasi informasi global sempat menjadi benih-benih perilaku kekerasan, separatisme atau regionalisme yang berlebihan (rentetan kerusuhan di Ambon dan pengerahan massa Laskar Jihad disinyalir karena diprovokasi pemberitaan di beberapa media Jakarta yang bertiras nasional).

Kedua, kebijakan media global. Setidaknya ada dua dimensi dalam kebijakan media global, yaitu kebijakan internal (editorial) yang bersifat horizontal dan kebijakan politik-ideologi pelaku media yang bersifat vertikal. Dalam perkembangan kapitalisme global tidak jarang kedua dimensi tersebut saling bertabrakan kepentingan. Tarik ulur kebijakan politik-ideologi yang dipunyai oleh pelaku media terkait dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pada saatnya, kebijakan-kebijakan publik tersebut saling silang dengan kepentingan dan kebijakan pelaku media dalam konteks industri media yang mereka buat. Perbenturan kepentingan antara kebijakan internal dan eksternal yang ada dalam konteks budaya komunikasi di Indonesia rupanya juga mempengaruhi bagaimana prinsip kebebasan pers harus dimaknai.

Memang, kebebasan media massa global menjadi salah satu tolok ukur bagaimana demokrasi harus dibangun. Tapi, kebebasan yang dipahami dalam konteks perspektif ekonomi politik tetap harus diletakkan dalam konstelasi alur atau jalinan kekuasaan yang mendistribusikan, memproduksi dan mengkonsumsi seluruh produk media sebagai output kebudayaan sosial. Artinya, dengan konteks Indonesia, apakah memang kebebasan media massa di sini dilihat sebagai komoditas perluasan globalisasi yang sedang berlangsung atau kebebasan media massa merupakan raison d’etre demokratisasi di Indonesia ?

Ketiga, globalisasi media massa semakin memperlebar jurang perbedaan atau kepincangan arus informasi yang terjadi antara negara-negara maju di satu pihak dengan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di lain pihak. Kehadiran suatu media terutama di Indonesia bisa menjadi indikator yang kuat terbentuknya sistem sosial yang terbuka dan demokratis. Tapi kehadiran media global di dalam media Indonesia juga menimbulkan masalah. Seperti pada karakter pembentukan media massa di negara berkembang pada umumnya, secara luas dapat kita sistem kepemilikan, pola produksi dan kebijakan internal yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem kepemilikan, pola produksi dan industri media di negara-negara maju. Inilah yang pada akhirnya akan membuat kepincangan arus informasi yang didominasi oleh media global.

Tahapan konsentrasi sistem kepemilikan, pola produksi dan distribusi, kebijakan internal media global (yang sering diwakili oleh media negara maju) akan menimbulkan tekanan yang berupa potensi teknologi baru dan konsentrasi ekonomi yang semakin memusat pada pelaku media besar (Graham-Golding, dalam Curran-Gurevitch “Mass Media and Society, 1991: pp.15-30). Lihat bagaimana Metro TV merujuk media besar CNN untuk liputan peristiwa WTC 11 September 2001 atau Indosiar yang merujuk VOA TV, atau beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan radio lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.

Tahapan konsentrasi dominasi sistem komunikasi global ini melahirkan apa yang dinamakan dengan imperialisme budaya global. Setidaknya dalam refleksi ilmiah, fenomena imperialisme budaya terutama yang sekarang kita alami mempunyai dua sifat yang saling terkait satu sama lain. Yang pertama soal sifat satu-arah dari aliran media internasional, di mana aliran besar dipasok dari ciri, visi, opini produk media negara maju. Sementara sifat yang lain terlihat bahwa proses pengaruh dalam sejumlah kecil negara berkembang memperhitungkan substansi pengaruh media internasional.

Keempat, timbulnya masalah bagaimana sistem sosial dan hukum nasional mewadahi berbagai ragam kepentingan yang masuk dan terpenetrasi secara ideal maupun nilai yang ditawarkan oleh media global. Artinya bahwa informasi pasar global yang diwujudkan dalam ide-ide komunikasi sosial masuk ke negara-negara berkembang tanpa melalui sensor yang diperlukan. Konsekuensi logis globalisasi yang bersifat borderless society mengakibatkan penetrasi tanpa batas tanpa perlu mengindahkan kedaulatan negara, masyarakat, dan individu.

Kelima, akibat point keempat dapat terlihat dengan munculnya berbagai masalah terutama pada masalah etis produksi, distribusi dan konsumsi isi media yang berisi tentang bagaimana hak privasi dapat dilindungi ketika hak tersebut berbenturan dengan hak publik untuk mengetahui. Ini berarti bahwa dampak negatif dari globalisasi media tidak hanya berhenti pada tataran sosial-kolektif tapi juga pada tataran individual.

Keenam, munculnya masalah sumber manusia yang menjadi pelaku media. Ketika media global masuk ke sebuah negara, dalam hal ini Indonesia, tentu saja standarisasi sumber daya manusia juga harus disesuaikan dengan ukuran internasional. Dalam hal ini, kita harus mengakui bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam bidang media masih memprihatinkan. Masalahnya adalah ketika masalah SDM ini mencuat sebagai masalah global dapat kita tarik garis lurus lalu bagaimana kualitas isi pemberitaan. Ketika kualitas isi media lokal masih memprihatinkan, maka pertanyaan kritis lainnya adalah apakah memang media massa kita masih bisa dipercaya ? Lebih baik percaya dengan media global yang sudah diketahui kualitas SDM dibandingkan dengan kualitas wartawan, reporter, kameramen, produser media yang ada dan hidup di Indonesia. Hal ini nantinya akan berpengaruh dengan soal prioritas nilai persaingan yang harus dihadapi oleh para pelaku media di Indonesia.

DISKUSI MASALAH DAMPAK GLOBALISASI MEDIA

Pola Interaksi Globalisasi Media

Dari beberapa point menyolok dari dampak globalisasi media yang dialami oleh negara berkembang dan Indonesia pada khususnya, terlihat ada beberapa pemikiran yang perlu dipertegas lagi supaya bisa dicari dan dieksplorasi lebih dalam lagi.

Pertama soal perspektif ekonomi politik yang melingkupi soal media di Indonesia. Perspektif ekonomi politik media di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman kita terhadap proses relasi sosial khususnya hubungan kekuasaan yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada (Mosko, 1996). Dalam konteks bidang komunikasi di Indonesia maka sumberdaya yang berupa relasi koran, buku, audiens, pelaku bisnis media, pemerintah merupakan jalinan atau rangkaian produksi, distribusi dan konsumsi media di Indonesia. Rangkaian kekuasaan politik yang berarti kekuasaan untuk mengontrol dan rangkaian kekuasaan ekonomi yang berarti kekuasaan untuk tetap survive dalam hidup bersama. Dengan demikian rangkaian produksi, distribusi, konsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh hubungan yang melibatkan pelaku media, pemodal media (kapitalis media), dan negara sebagai penguasa dalam arti politis.

Persoalan yang menyangkut industri dan pasar media di Indonesia merupakan hubungan yang saling mengandaikan dengan tetap mengambil pola kapitalisme global sebagai sistem besar yang mengatur hubungan tersebut. Globalisasi media di Indonesia dalam sejarahnya yang panjang tetap tidak bisa dipisahkan dengan pola hubungan yang bersifat saling silang atau tarik ulur kepentingan antara pihak pelaku-pengelola media di mana di dalamnya ada aspek kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial pada masyarakat; pihak pemodal yang di dalamnya aspek orientasi pada keuntungan dan pihak negara di mana di dalamnya ada kewajiban serta hak pengaturan, kontrol-pembinaan media massa yang berkembang di Indonesia (Hidayat, Dedy. N., 2000; Dhakidae, 1991).

Hubungan tarik ulur pelaku ekonomi politik media Indonesia tidak bisa memisahkan diri dari konstelasi perkembangan teknologi dan dinamika kapitalisme global. Artinya, para pelaku ekonomi politik media Indonesia sangat diwarnai oleh pendekatan dinamis pembangunan bangsa sebagai wacana dan praksis publik. Padahal pembangunan sebagai wacana dan praksis publik Indonesia sampai sekarang masih berorientasi dengan bagaimana pembangunan menghasilkan pertumbuhan. Wacana dan praksis pertumbuhan dalam era modernitas diwakili secara gemilang oleh sistem ekonomi dan sosial kapitalisme lanjut yang bersifat neo-liberalistik.

Titik refleksi dan kaitan pemahaman atas pernyataan di atas adalah kondisi dan situasi globalisasi media diwarnai dengan soal konteks yang lebih sempit, yaitu bahwa globalisasi media di Indonesia ditunjang dengan kebijakan publik dan politik yang berkembang sampai sekarang. Bahwa Indonesia masih harus membentuk dirinya dalam situasi yang terus bertumbuh. Pertumbuhan Indonesia didukung dengan praksis ekonomi kapitalis global.

Tapi di lain pihak, terlihat bahwa media massa global sangat mewarnai perkembangan media di Indonesia Setidaknya bahwa media Indonesia sedikit banyak berwarna seragam dengan pola globalisasi yang berkembang Indonesia. Lepas apakah memang ada persoalan interplay­ antara globalisasi dengan proses lokal, kita melihat bahwa pola hubungan politik ekonomi global saling berjalan timbal balik dan saling tergantung sama lain, saling mentransformasikan nilai guna media di hadapan masyarakat (berbagai berita politik, ekonomi, gosip selebritis yang bisa diubah menjadi komoditas ekonomi yang laris), konsentrasi media secara horizontal, vertikal dan perusahan multinasional, misalnya Indosiar dalam Salim Group merupakan salah satu diversifikasi horizontal, vertikal dari kekuatan ekonomi pasar yang dikembangkan oleh Om Liem, kelompok Kompas-Gramedia yang mempunyai beberapa majalah, tabloid, koran-termasuk di dalam koran daerah, hotel, toko serba ada, tour travel agent, radio sonora, TV7 (Mosko, 1996; -Giddens, 1999).

Tentu saja contoh di atas adalah salah dua contoh yang bisa dikemukakan, masih ada banyak contoh yang bisa dilihat. Masalahnya adalah ketika proses globalisasi merambah masyarakat Indonesia tetap ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat.

Revolusi Media Global yang Harus Ditata

Ketika globalisasi media berikut revolusi industri media global merambah Indonesia, harga wajar yang harus dibayar masyakat dan sistem sosial Indonesia adalah ketergantungan pola komunikasi (Indonesia semakin tergantung dalam seluruh warna produksi media berikut asas filosofi dalam produksi dan distribusi media), imperialisme dan hegemoni informasi serta ketidakmampuan media masyarakat mengangkat ruang publik yang seharusnya menjadi media alternatif bagi aspirasi rakyat.

Adagium yang perlu disadari adalah bahwa harga yang harus dibayar tersebut mempunyai dua mata. Mata positif dalam arti bahwa harga tersebut tetap memberikan kontribusi yang baik bagi perubahan sosial di Indonesia. Mata negatif dalam arti bahwa harga tersebut justru menjerumuskan sistem sosial termasuk di dalamnya media massa Indonesia dalam lingkaran mesin besar kapitalisme yang bisa membuat sistem sosial berikut individu-individu masyarakat semakin “terasing” dengan budaya dan aspirasi kebenaran yang mau dicapai oleh manusia Indonesia.

Oleh sebab itu, revolusi dan globalisasi media perlu diatur dan dikontrol agar seluruh pemain, baik itu pelaku media, pemodal, masyarakat maupun negara tetap menjadi pihak-pihak yang proporsisional memainkan hak dan kewajibannya.

Dampak Globalisasi Media terhadap Hukum Nasional

Patut yang menjadi pertimbangan dalam soal bagaimana sistem ekonomi politik media yang di dalamnya mempunyai dinamika globalisasi media bisa diatur; adalah bahwa globalisasi media tidak bisa dikatakan bebas nilai dan bebas kepentingan, entah itu kepentingan ekonomi atau kepentingan politik. Masalah hukum atau penataan aturan main dalam media selalu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah budaya politik (berkaitan dengan demikian pada masalah kekuasaan dan kontrol), soal budaya (berkaitan dengan demikian pada masalah simbolisasi-komodifikasi-spasialisasi-strukturisasi) serta masalah perekonomian nasional (Muis, A., 2001: pp. 97-116).

Pengalaman Indonesia selama ini menyatakan bahwa hukum selalu berada di bawah kekuasaan politik. Hal ini mengakibatkan bahwa sering kali hukum Indonesia belum mampu menjadi alat yang adil bagi masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya. Impotensi hukum di hadapan masalah politik jelas akan menjadikan hukum semakin lemah di hadapan derasnya laju globalisasi informasi yang sering bersifat anti negara, anti individu, anti masyarakat, anti norma dan sebagainya.

Kenyataan di atas memperlihatkan betapa ketika kita mempunyai sistem hukum yang positif tapi tetap saja ketika sistem hukum tersebut berhadapan dengan masalah-masalah baru terutama dalam bidang komunikasi, gagaplah sistem hukum Indonesia (lihat saja pelanggaran dengan menggunakan internet atau media massa nir-kabel yang belum ditampung secara positif dalam hukum Indonesia, atau pelanggaran privasi individu sehingga gambar tubuh atau kepalanya bisa dimanipulasi sehingga menjadi gambar yang tidak senonoh, atau beberapa televisi yang menayangkan film-film dewasa pada waktu jam anak-anak masih bangun, atau konsep tabloid cetak porno yang secara sewenang-wenang bisa memberikan gambar semi-vulgar pada siapa saja yang melihat, termasuk pada anak-anak di bawah usia). Ini berarti memang hukum nasional di satu sisi kuat ketika dia bisa dipergunakan untuk kepentingan politik praktis. Tapi di sisi lain, terlihat hukum Indonesia masih “loyo” menanggapi fenomena globalisasi media. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa membangun regulasi yang bisa mengantisipasi dan mengontrol dampak negatif yang dihasilkan oleh globalisasi media ?

KOMUNIKASI TEROR = TEROR KOMUNIKASI

Akhir-akhir ini kalau mau diakui terjadi proses ketakutan atau kekuatiran yang menghinggapi benak masyarakat Indonesia. Rangkaian berita dan informasi yang melukiskan teror lalu lalang dan ditayangkan oleh media massa baik secara nasional maupun secara lokal.

Kita masih mengingat rangkaian kecelakaan fisik beberapa alat transpotasi massal, seperti kecelakaan pesawat terbang Mandala Air di Medan, kecelakaan kereta api dan beberapa kecelakaan minor kendaraan di Jakarta atau di daerah lainnya.

Kita masih sering melihat horor politik dengan cara kekerasan yang diperlihatkan dalam seluruh proses pemilihan umum kepala daerah. Ketidakpuasan dan amuk massa menjadi tontonan biasa dalam berita-berita politik. Korban politik tidak hanya dilihat sebagai korban politis tapi sudah mewujud dalam korban-korban fisis yang mengeluarkan darah dan kesakitan. Politik, emosi, darah dan kekerasan merupakan lingkaran yang seakan-akan jamak diperlihatkan dalam drama politik Indonesia.

Sekarang kita masih terteror dengan rangkaian korban akibat penyebaran virus flu burung. Informasi yang mengkuatirkan kalau tidak mau disebut menakutkan menyatakan bahwa penyebaran penyakit flu burung sampai tahap antisipasi pandemi. Informasi yang mengkuatirkan tersebut semakin ditambah dengan citra konstruksi media massa yang menyatakan belum adanya langkah signifikan dari pemerintah untuk setidaknya menangani flu burung secara komprehensif.

Rangkaian kekuatiran dan kecemasan masyarakat semakin terakumulasi dengan rangkaian wacana kenaikan harga BBM yang diikuti dengan rangkaian ancaman pemogokan dan demonstrasi penolakan kenaikan harga bahan bakar tersebut. Eskalasi kontroversi politik di kalangan elite pun tak terhindarkan dengan berbagai macam manuver politik yang dilakukan oleh para pejabat dan mantan pejabat republik ini.

Belum lagi dampak kenaikan BBM sudah membayang pada setiap benak keluarga Indonesia, setidaknya kenaikan BBM khususnya premium, yang disinyalir oleh detik.com, bisa mencapai harga Rp 4,000/lt. Kenaikan harga BBM jelas akan diikuti dengan kenaikan sejumlah harga bahan pokok (9 bahan pokok) masyarakat, kenaikan harga produksi barang dan jasa, kenaikan tarif angkutan kota atau antar kota, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan tarif air minum. Kita bisa membayangkan efek domino kenaikan harga BBM yang terjadi.

Terlihat sudah rangkaian kenaikan dan horor ekonomi sosial di depan mata. Dan itu semua tersaji di depan kita. Berbagai wacana komunikasi dikemukakan oleh para elite politik, ahli komunikasi, pakar ekonomi tentang apa yang terjadi di Indonesia. Tapi tetap saja kesan dan citra akhir yang ditangkap oleh masyarakat justru semakin jauhnya masyarakat dari soal kesejahteraan.

***

Horor sosial mencekam yang direkam dan dikonstruksi dalam proses komunikasi, terutama pada minggu dan bulan terakhir ini memperlihatkan kegalauan dan kegagalan sistem komunikasi yang sehat dan yang seharusnya dibangun oleh masyarakat Indonesia kontemporer. Sebenarnya masyarakat dan negara mempunyai potensi untuk mengembangkan sistem komunikasi yang sehat. Tapi kenyataan memperlihatkan komunikasi yang terbangun sekarang justru komunikasi sosial yang membangkitkan aura ketakutan dan kekuatiran baik secara psikologis dan fisik. Inilah komunikasi teror. Komunikasi yang dibangun dan menstimulasi respons ketakutan dan kengerian terhadap hal yang dihadapi dalam hidup sehari-hari.

Ada beberapa catatan kritis untuk mengomentari masalah dan kejadian-kejadian sosial akhir-akhir ini. Pertama, berkembangnya komunikasi ala pedagang-saudagar di mana transaksi ekonomi sosial masyarakat masuk dalam pola pengambilan keputusan publik. Komunikasi ala pedagang jelas hanya diatur melalui logika banal untung dan rugi, survive atau tidak. Logika libido keinginan ekonomi mereduksi kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang kurang beruntung

Thursday, October 05, 2006

Media Control

by:

Noam Chomsky
Massachusetts Institute of Technology

...Let me begin by counter-posing two different conceptions of democracy. One conception of democracy has it that a democratic society is one in which the public has the means to participate in some meaningful way in the management of their own affairs and the means of information are open and free....

An alternative conception of democracy is that the public must be barred from managing of their own affairs and the means of information must be kept narrowly and rigidly controlled. That may sound like an odd conception of democracy, but it's important to understand that it is the prevailing conception....

Early History of Propaganda

...[The Wilson administration] established a government propaganda commission, called the Creel Commission, which succeeded, within six months, in turning a pacifist population into a hysterical, war-mongering population which wanted to destroy everything German, tear the Germans limb from limb, go to war and save the world.

That was a major achievement, and it led to a further achievement. Right at that time and after the war the same techniques were used to whip up a hysterical Red Scare, as it was called, which succeeded pretty much in destroying unions and eliminating such dangerous problems as freedom of the press and freedom of political thought. There was very strong support from the media, from the business establishment, which in fact organized, pushed much of this work, and it was in general a great success.

Among those who participated actively and enthusiastically were the progressive intellectuals, people of the John Dewey circle, who took great pride, as you can see from their own writings at the time, in having shown that what they called the "more intelligent members of the community," namely themselves, were able to drive a reluctant population into a war by terrifying them and eliciting jingoist fanaticism. The means that were used were extensive. For example, there was a good deal of fabrication of atrocities by the Huns, Belgian babies with their arms torn off, all sorts of awful things that you still read in history books. They were all invented by the British propaganda ministry, whose own committment at the time, as they put it in their secret deliberations, was "to control the thought of the world." But more crucially they wanted to control the thought of the more intelligent members of the community in the U.S., who would then disseminate the propaganda that they were concocting and convert the pacifist country to wartime hysteria. That worked. It worked very well. And it taught a lesson: State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect. It was a lesson learned by Hitler and many others, and it has been pursued to this day.

Spectator Democracy

...Walter Lippman, who was the dean of American journalists, a major foreign and domestic policy critic and also a major theorist of liberal democracy...argued that what he called a "revolution in the art of democracy," could be used to "manufacture consent," that is, to bring about agreement on the part of the public for things that they didn't want by the new techniques of propaganda....

...He argued that in a properly-functioning democracy there are classes of citizens. There is first of all the class of citizens who have to take some active role in running general affairs. That's the specialized class. They are the people who analyze, execute, make decisions, and run things in the political, economic, and ideological systems. That's a small percentage of the population... Those others, who are out of the small group, the big majority of the population, they are what Lippman called "the bewildered herd." We have to protect ourselves from the trampling and rage of the bewildered herd...

...So we need something to tame the bewildered herd, and that something is this new revolution in the art of democracy: the "manufacture of consent." The media, the schools, and popular culture have to be divided. For the political class and the decision makers have to give them some tolerable sense of reality, although they also have to instill the proper beliefs. Just remember, there is an unstated premise here. The unstated premise -- and even the responsible men have to disguise this from themselves -- has to do with the question of how they get into the position where they have the authority to make decisions. The way they do that, of course, is by serving people with real power. The people with real power are the ones who own the society, which is a pretty narrow group. If the specialized class can come along and say, I can serve your interests, then they'll be part of the executive group. You've got to keep that quiet. That means they have to have instilled in them the beliefs and doctrines that will serve the interests of private power. Unless they can master that skill, they're not part of the specialized class. They have to be deeply indoctrinated in the values and interests of private power and the state-corporate nexus that represents it. If they can get through that, then they can be part of the specialized class. The rest of the bewildered herd just have to be basically distracted. Turn their attention to something else....

...In what is nowadays called a totalitarian state, then a military state, it's easy. You just hold a bludgeon over their heads, and if they get out of line you smash them over the head. But as society has become more free and democratic, you lose that capacity. Therefore you have to turn to the techniques of propaganda. The logic is clear. Propaganda is to democracy what the bludgeon is to a totalitarian state....

Public Relations

The U.S. pioneered the public relations industry. Its committment was to "control the public mind," as its leaders put it. They learned a lot from the successes of the Creel Commission and the success in creating the Red Scare and its aftermath. The public relations industry underwent a huge expansion at that time. It succeeded for some time in creating almost total subordination of the public to business rule through the 1920s....

Public relations is a huge industry. They're spending by now something on the order of a billion dollars a year. All along its committment was to controlling the public mind....

...The corporate executive and the guy who cleans the floor all have the same interests. We can all work together and work for Americanism in harmony, liking each other. That was essentially the message. A huge amount of effort was put into presenting it. This is, after all, the business community, so they control the media and have massive resources... Mobilizing community opinion in favor of vapid, empty concepts like Americanism. Who can be against that? Or, to bring it up to date, "Support our troops." Who can be against that? Or yellow ribbons. Who can be against that?... The point of public relations slogans like "Support our troops" is that they don't mean anything. They mean as much as whether you support the people in Iowa. Of course, there was an issue. The issue was, Do you support our policy? But you don't want people to think about the issue. That's the whole point of good propaganda. You want to create a slogan that nobody's going to be against, and everybody's going to be for, because nobody knows what it means, because it doesn't mean anything, but its crucial value is that it diverts your attention....

That's all very effective. It runs right up to today. And of course it is carefully thought out. The people in the public relations industry aren't there for the fun of it. They're doing work. They're trying to instill the right values. In fact, they have a conception of what democracy ought to be: It ought to be a system in which the specialized class is trained to work in the service of the masters, the people who own the society. The rest of the population ought to be deprived of any form of organization, because organization just causes trouble. They ought to be sitting alone in front of the TV and having drilled into their heads the message, which says, the only value in life is to have more commodities or live like that rich middle class family you're watching and to have nice values like harmony and Americanism. That's all there is in life. You may think in your own head that there's got to be something more in life than this, but since you're watching the tube alone you assume, I must be crazy, because that's all that's going on over there....

So that's the ideal. Great efforts are made in trying to achieve that ideal. Obviously, there is a certain conception behind it. The conception of democracy is the one that I mentioned. The bewildered herd is a problem. We've got to prevent their rage and trampling. We've got to distract them. They should be watching the Superbowl or sitcoms or violent movies. Every once in a while you call on them to chant meaningless slogans like "Support our troops." You've got to keep them pretty scared, because unless they're properly scared and frightened of all kinds of devils that are going to destroy them from outside or inside or somewhere, they may start to think, which is very dangerous, because they're not competent to think. Therefore it's important to distract them and marginalize them.

Engineering Opinion

It is also necessary to whip up the population in support of foreign adventures. Usually the population is pacifist, just like they were during the First World War. The public sees no reason to get involved in foreign adventures, killing, and torture. So you have to whip them up. And to whip them up you have to frighten them....

To a certain extent then, that ideal was achieved, but never completely. There are institutions which it has as yet been impossible to destroy. The churches, for example, still exist. A large part of the dissident activity in the U.S. comes out of the churches, for the simple reason that they're there. So when you go to a European country and give a political talk, it may very likely be in the union hall. Here that won't happen, because unions first of all barely exist, and if they do exist they're not political organizations. But the churches do exist, and therefore you often give a talk in a church. Central American solidarity work mostly grew out of the churches, mainly because they exist.

The bewildered herd never gets properly tamed, so this is a constant battle. In the 1930s they arose again and were put down. In the 1960s there was another wave of dissidence. There was a name for that. It was called by the specialized class "the crisis of democracy." Democracy was regarded as entering into a crisis in the 1960s. The crisis was that large segments of the population were becoming organized and active and trying to participate in the political arena. Here we come back to these two conceptions of democracy. By the dictionary definition, that's an advance in democracy. By the prevailing conception that's a problem, a crisis that has to be overcome. The population has to be driven back to the apathy, obedience and passivity that is their proper state. We therefore have to do something to overcome the crisis. Efforts were made to achieve that. It hasn't worked. The crisis of democracy is still alive and well, fortunately, but not very effective in changing policy. But it is effective in changing opinion, contrary to what a lot of people believe. Great efforts were made after the 1960s to try to reverse and overcome this malady. It was called the "Vietnam Syndrome." The Vietnam Syndrome, a term that began to come up around 1970, has actually been defined on occasion. The Reaganite intellectual Norman Podhoretz defined it as "the sickly inhibitions against the use of military force." There were these sickly inhibitions against violence on the part of a large part of the public. People just didn't understand why we should go around torturing people and killing people and carpet bombing them. It's very dangerous for a population to be overcome by these sickly inhibitions, as Goebbels understood, because then there's a limit on foreign adventures. It's necessary, as the Washington Post put it the other day, rather proudly, to "instill in people respect for the martial virtues." That's important. If you want to have a violent society that uses force around the world to achieve the ends of its own domestic elite, it's necessary to have a proper appreciation of the martial virtues and none of these sickly inhibitions about using violence. So that's the Vietnam Syndrome. It's necessary to overcome that one.

Representation as Reality

It's also necessary to completely falsify history... There has been a huge effort since the Vietnam war to reconstruct the history of that. Too many people began to understand what was really going on. Including plenty of soldiers and a lot of young people who were involved with the peace movement and others. That was bad. It was necessary to rearrange those bad thoughts and to restore some form of sanity, namely, a recognition that whatever we do is noble and right. If we're bombing South Vietnam, that's because we're defending South Vietnam against somebody, namely the South Vietnamese, since nobody else was there. It's what the Kennedy intellectuals called "defense against internal aggression in South Vietnam." That was the phrase that Adlai Stevenson used. It was necessary to make that the official and well understood picture. That's worked pretty well. When you have total control over the media and the educational system and scholarship is conformist, you can get that across... The picture of the world that's presented to the public has only the remotest relation to reality. The truth of the matter is buried under edifice after edifice of lies. It's all been a marvelous success from this point of view in deterring the threat of democracy, achieved under conditions of freedom, which is extremely interesting. It's not like a totalitarian state, where it's done by force. These achievements are under conditions of freedom. If we want to understand our own society, we'll have to think about these facts. They are important facts, important for those who care about what kind of society they live in.

Dissident Culture

Despite all of this, the dissident culture survived. It's grown quite a lot since the 1960s. In the 1960s the dissident culture first of all was extremely slow in developing. There was no protest against the Indochina war until years after the U.S. had started bombing South Vietnam. When it did grow it was a very narrow dissident movement, mostly students and young people. By the 1970s that had changed considerably. Major popular movements had developed... In the 1980s there was an even greater expansion to the solidarity movements, which is something very new and important in the history of at least American, and maybe even world dissidence. These were movements that not only protested but actually involved themselves, often intimately, in the lives of suffering people elsewhere. They learned a great deal from it and had quite a civilizing effect on mainstream America. All of this has made a very large difference....

These are all signs of the civilizing effect, despite all the propaganda, despite all the efforts to control thought and manufacture consent. Nevertheless, people are acquiring an ability and a willingness to think things through. Skepticism about power has grown, and attitudes have changed on many, many issues. It's kind of slow, maybe even glacial, but perceptible and important. Whether it's fast enough to make a significant difference in what happens in the world is another question... Organization has its effects. It means that you discover that you're not alone. Others have the same thoughts that you do. You can reinforce your thoughts and learn more about what you think and believe. These are very informal movements, not like membership organizations, just a mood that involves interactions among people. It has a very noticeable effect. That's the danger of democracy: If organizations can develop, if people are no longer just glued to the tube, you may have all these funny thoughts arising in their heads, sickly inhibitions against the use of military force. That has to be overcome, but it hasn't been overcome.

Parade of Enemies

...There is a very characteristic development going on in the U.S. now. It's not the first country in the world that's done this. There are growing domestic social and economic problems, in fact, maybe catastrophes. Nobody in power has any intention of doing anything about them. If you look at the domestic programs of the administrations of the last ten years -- I include here the Democratic opposition -- there's really no serious proposal about what to do about the severe problems of health, education, homelessness, joblessness, crime, soaring criminal population, jails, deterioration in the inner cities -- the whole raft of problems. You all know about them and they're all getting worse... In such circumstances you've got to divert the bewildered herd, because if they start noticing this they may not like it, since they're the ones suffering from it. Just having them watch the Superbowl and the sitcoms may not be enough. You have to whip them up into fear of enemies. In the 1930s Hitler whipped them into fear of the Jews and Gypsies. You had to crush them to defend yourselves. We have our ways, too. Over the last ten years, every year or two, some major monster is constructed that we have to defend ourselves against. There used to be one that was always available: the Russians. But they're losing their attractiveness as an enemy, and it's getting harder and harder to use that one, so some new ones have to be conjured up... So it was international terrorists and narco-traffickers and crazed Arabs and Saddam Hussein, the new Hitler, is going to conquer the world. They've got to keep coming up, one after another. You frighten the population, terrorize them, intimidate them so that they're too afraid to travel and cower in fear. Then you have a magnificent victory over Grenada, Panama, or some other defenseless Third World army that you can pulverize before you ever bother to look at them -- which is just what happened. That gives relief. We were saved at the last minute. That's one of the ways in which you can keep the bewildered herd from paying attention to what's really going on around them, keep them diverted and controlled....

Selective Perception

...[In May of 1987,] the surviving members of the Human Rights Group of El Salvador -- the leaders had been killed -- were arrested and tortured, including Herbert Anaya, who was the director. They were sent to a prison -- La Esperanza (hope) Prison. While they were in prison they continued their human rights work. They were lawyers, they continued taking affidavits. There were 432 prisoners in that prison. They got signed affidavits from 430 of them in which they described, under oath, the torture that they had received: Electrical torture and other atrocities, including, in one case, torture by a North American U.S. major in uniform, who is described in some detail. This is an unusually explicit and comprehensive testimony, probably unique in its detail about what's going on in a torture chamber. This 160-page report of the prisoners' sworn testimony was sneaked out of prison, along with a videotape which was taken showing people testifying in prison about their torture. It was distributed by the Marin County Interfaith Task Force. The national press refused to cover it. The TV stations refused to run it. There was an article in the local Marin County Newspaper, the San Francisco Examiner, and I think that's all. No one else would touch it. This was a time when there were more than a few "light-headed and cold-blooded Western intellectuals" who were singing the praises of Jose Napoleon Duarte and of Ronald Reagan. Anaya was not the subject of any tributes. He didn't get on Human Rights Day. He wasn't appointed to anything. He was released in a prisoner exchange and then assassinated, apparently by the U.S.-backed security forces. Very little information about that ever appeared. The media never asked whether exposure of the atrocities -- instead of sitting on them and silencing them -- might have saved his life.

[...]

...In February, right in the middle of the bombing campaign, the government of Lebanon requested Israel to observe U.N. Security Resolution 425, which called on it to withdraw immediately and unconditionally from Lebanon. That resolution dates from March 1978. There have since been two subsequent resolutions calling for immediate and unconditional withdrawal of Israel from Lebanon. Of course it doesn't observe them because the U.S. backs it in maintaining that occupation. Meanwhile southern Lebanon is terrorized. There are big torture-chambers with horrifying things going on. It's used as a base for attacking other parts of Lebanon. In the course of these thirteen years Lebanon was invaded, the city of Beirut was bombed, about 20,000 people were killed, about 80% of them civilians, hospitals were destroyed, and more terror, looting, and robbery was inflicted. All fine, the U.S. backed it. That's just one case. You didn't see anything in the media about it or any discussion about whether Israel and the U.S. should observe U.N. Security Council Resolution 425 or any of the other resolutions... That's just one case. There are much worse ones. The Indonesian invasion of East Timor knocked off about 200,000 people. They all look minor by that one. That was strongly backed by the U.S. and is still going on with major U.S. diplomatic and military support....

The Gulf War

That tells you how a well-functioning propaganda system works. People can believe that when we use force against Iraq and Kuwait it's because we really observe the principle that illegal occupation and human rights abuses should be met by force. They don't see what it would mean if those principles were applied to U.S. behavior. That's a success of propaganda of quite a spectacular type.

[...]

Let's take the question of the reasons for the war. Reasons were offered for the war. The reasons are: Aggressors cannot be rewarded and aggression must be reversed by the quick resort to violence. That was the reason for the war. There was basically no other reason advanced. Can that possibly be the reason for the war? Does the U.S. uphold those principles, that aggressors cannot be rewarded and that aggression must be reversed by a quick resort to violence?... Has the U.S. opposed its own aggression in Panama and insisted on bombing Washington to reverse it? When the South African occupation of Namibia was declared illegal in 1969, did the U.S. impose sanctions on food and medicine? Did it go to war? Did it bomb Capetown? No, it carried out twenty years of "quiet diplomacy." It wasn't very pretty during those twenty years. In the years of the Reagan-Bush administration alone, about a million-and-a-half people were killed by South Africa just in the surrounding countries. Forget what was happening in South Africa and Namibia. Somehow that didn't sear our sensitive souls. We continued with "quiet diplomacy" and ended up with ample reward for the aggressors. They were given the major port in Namibia and plenty of advantages that took into account their security concerns. Where is this principle that we uphold?... No reason was given for going to war. None. No reason was given for going to war that could not be refuted by a literate teenager in about two minutes. That again is the hallmark of a totalitarian culture. It ought to frighten us, that we are so deeply totalitarian that we can be driven to war without any reason being given for it and without anybody noticing it or caring. It's a very striking fact.

[...]

...The fact of the matter is, this [Iraq] was a Third World country with a peasant army. It is now being conceded that there was a ton of disinformation about the fortifications, the chemical weapons, etc. But did you find anybody who pointed it out? Virtually nobody. That's typical. Notice that this was done one year after exactly the same thing was done with Manuel Noriega. Manuel Noriega is a minor thug by comparison with George Bush's friend Saddam Hussein or George Bush's other friends in Beijing, or George Bush himself, for that matter. In comparison with them, Manuel Noriega is a pretty minor thug. Bad, but not a world class thug of the kind we like. He was turned into a creature larger than life. He was going to destroy us, leading the narco-traffickers. We had to quickly move in and smash him, killing a couple hundred or maybe thousand people, restoring to power the tiny, maybe eight percent white oligarchy, and putting U.S. military officers in control at every level of the political system. We had to do all those things because, after all, we had to save ourselves or we were going to be destroyed by this monster. One year later the same thing was done by Saddam Hussein. Did anybody point it out? Did anybody point out what had happened or why? You'll have to look pretty far for that.

Notice that this is not all that different from what the Creel Commission did in 1916--1917, when within six months it had turned a pacifistic population into raving hysterics who wanted to destroy everything German to save ourselves from Huns who were tearing the arms off Belgian babes. The techniques are maybe more sophisticated, with television and lots of money going into it, but it's pretty traditional. I think the issue, to come back to my original comment, is not simply disinformation and the Gulf crisis. The issue is much broader. It's whether we want to live in a free society or whether we want to live under what amounts to a form of self-imposed totalitarianism, with the bewildered herd marginalized, directed elsewhere, terrified, screaming patriotic slogans, fearing for their lives and admiring with awe the leader who saved them from destruction while the educated masses goose-step on command, repeat the slogans they're supposed to repeat, the society deteriorates at home, we end up serving as a mercenary enforcer state, hoping that others are going to pay us to smash up the world. Those are the choices. That's the choice that you have to face. The answer to those questions is very much in the hands of people exactly like you and me.

Alternative Press Review -- Your Guide Beyond the Mainstream

THE ALTERNATIVE PRESS is beginning to burst out of its ghetto and confront mainstream readers around the world.... The combination of new print technologies, new radical social currents and the looming crisis of our collective boredom, has spawned thousands of new publications.... But who can keep up with this explosion? The Alternative Press Review can be your window on the world of the radical press.

Subscriptions: 1 year (4 issues) -- $14. Make check or money order payable to C.A.L. and mail to: C.A.L. Press, P.O. Box 1446, Columbia, MO 65205-1446, U.S.A. (add $6 for first class delivery).

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here