Tuesday, July 03, 2012

Media Baru dan Praktik Seksual Interaktif: Kajian terhadap Situs www.omegle.com


Penulis: Reni Oktari Oemar
Berbicara tentang media baru, akan ada banyak cerita yang tiada habisnya. Media baru akan selalu baru, penuh dengan pro dan kontra. Seperti halnya media-media lain, media baru juga menuai dukungan dan celaan dikarenakan dampak yang ia bawa, dampak baik dan dampak buruk. Para pendukung menyebutkan bahwa media baru dapat memberi tempat pada kebebasan personal, mereduksi hierarki sosial,  menambah waktu luang, dan meningkatkan kualitas dari interaksi sosial dan komunikasiSedangkan di sisi lain, para pengkritik  mengungkapkan kekhawatiran mereka atas berkembang dan melebarnya ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi, pengangguran akibat mekanisasi, media baru dijadikan cara baru negara dan korporasi melakukan pengawasan, serta kelebihan informasi dan ketidak-dampaktifannya terkait dengan makna dan konteks. Diluar dari semua pro dan kontra tersebut, media baru harus dipahami secara bijak dari berbagai perspektif.
            Dalam tulisan ini, penulis hendak mengungkapkan gagasan mengenai penggunaan media baru dalam interaksi sosial. Lingkup tulisan difokuskan pada kajian terhadap situs yang menyediakan layanan chatting yaitu www.omegle.com. Selanjutnya ............

Monday, June 04, 2012

Analisa Struktural Program Televisi Nasional

Program yang sukses terjadi atas kombinasi antara struktur dan konten dari suatu program tayangan. Untuk itu, program tayangan perlu memperhatikan attention span demi kenyamanan penonton.Attention span  merupakan cara stasiun televisi khususnya tim produksi program dalam menciptakan daya tarik untuk mengajak pemirsanya agar bertahan menyaksikan acara tersebut beserta konten komersialnya. ..........(silakan klik link untuk lebih lanjut Analisa Struktural Program Televisi)

Tinjauan Etik terhadap Film yang Ditujukan untuk Generasi Muda


Istilah etika memiliki banyak definisi. Salah satu definisi etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens K. , 1997, hal. 6). Secara singkat, etika diartikan sebagai baik atau buruk dari suatu hal. Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa etika mirip dengan moral.
Dalam dunia modern situasi etis memiliki tiga ciri (Bertens K. , 1997, hal. 31). Yang pertama adalah adanya pluralisme moral, yaitu keadaan dimana terdapat banyak etika yang dianut masyarakat sebagai konsekuensi atas kemajemukannya. Yang kedua adalah timbul banyak masalah etis baru yang dulu tak terduga, misalnya hadirnya teknologi internet membawa konsekuensi pada bertambahnya jenis masalah etis yang ada. Sedangkan yang terakhir adalah dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu kepedulian etis yang universal, yang bisa jadi merupakan suatu petunjuk bahwa masyarakat modern telah memiliki kesadaran etis.
Media sebagai bagian dari kehidupan masyarakat juga termasuk ke dalam ranah yang diatur oleh etika. Apalagi terkait ciri di atas, perkembangan media yang dinamis menimbulkan celah bagi munculnya masalah etis baru. Sehingga didapati istilah etika media dalam cabang filsafat komunikasi. Etika media adalah cabang pencarian filosofis untuk membantu jurnalis dan insan media lain dalam menentukan bagaimana bersikap dalam pekerjaan mereka (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 5). Jadi, etika media, seperti di bidang lain, merupakan pedoman bagi para insan media dalam berkarya.
Dalam buku Ethics in Media Communications (Day, 2006) terdapat tiga cabang etika, yaitu metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Metaetika berkaitan dengan kajian karakteristik atau sifat etika. Metaetika membahas hal-hal yang mendasar seperti istilah-istilah abstrak, misalnya baik, benar, keadilan, dan kejujuran. Selanjutnya, yaitu etika normatif, membahas mengenai pengembangan teori-teori, aturan, dan prinsip umum kewajiban moral. Etika normatif menyediakan pondasi bagi pengambilan keputusan etis dalam dunia yang yang sebenarnya. Beberapa larangan dalam masyarakat seperti larangan berbohong, menyontek, dan mencuri datang dari kepedulian kita terhadap etika normatif. Dan yang terakhir, etika terapan, merupakan cabang penyelesaian masalah dari filsafat moral. Tugas etika terapan ini adalah untuk menggunakan pengetahuan yang didapat dari metaetika serta prinsip dan aturan umur dari etika normatif dalam membahas isu serta kasus konkrit etis tertentu.
Dalam mempelajari etika, terdapat tiga megateori yang dijadikan pendekatan utama. Yang pertama adalah megateori deontologis. Deontologi berhubungan dengan kewajiban, dengan mengikuti aturan formalistis, prinsip, atau maksim. Megateori teleologis mengatakan bahwa orang yang mencoba memutuskan apa yang dilakukan mencoba memprediksi konsekuensi yang ada jika A dilakukan daripada B.  Sedangkan beberapa subteori yang tidak termauk ke dalam keduanya dianaungi oleh megateori subyektif yang menekankan bahwa etika bersumber dari diri sendiri, termasuk keasadaran (conscience) (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 7).
Tinjauan etis pada makalah ini berangkat dari megateori teleologis. Megateori teleologis berawal dari tokoh John Stuart Mill yang memformulasikan teori utilitarianisme, yaitu yang bertujuan “to bring the greatest happiness (or pleasure) to the greatest number” (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 8). Dalam teori ini, suatu tindakan dipandang etis apabila tindakan tersebut membawa kebahagiaan bagi jumlah orang yang paling banyak. Semakin banyak jumlah orang yang bahagia atas suatu tindakan, maka semakin etis tindakan tersebut. Begitupula sebaliknya.
Definisi di atas diperjelas dengan kutipan berikut:
‘The Encyclopia of Ethics says utilitarianism holds tahat human conduct should promote the interests or welfare of those affected (Lyon, 2001). A shorthand definition is that utilitarianism insists the right action is that which benefits the greatest number of people or harms the least number of people. This utilitarian approach has a fundamental justification: The theory seems democratic.’ (Black & Roberts, 2011, hal. 317)
Jadi yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan suatu tindakan adalah orang-orang yang terpengaruh. Pilihannya ada dua: menguntungkan paling banyak orang atau membahayakan paling sedikit orang. Jadi teori ini nampak demokratis.
Etika utilitarian berbeda dengan Machiavellian ethics yang memiliki aksioma “the end justifies the means”. Etika ini tidak sepragmatis Machiavellian ethics karena menekankan pada “the importance of means and ends”. Dalam hal ini berarti ada syarat lain selain akibat, yaitu dimensi cara. “The ends would justify the means if the ends were the greatest happiness for the greatest number” (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 11).
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, etika utilitarian identik dengan demokrasi. Oleh karena itu etika ini sering dipakai di banyak negara, terutama yang menganut demokrasi. Apalagi dalam politik, walaupun terkadang pada praktiknya yang terjadi adalah etika pragmatis seperti Machiavellian, namun secara ideal, utilitarian inilah yang sering digunakan. Seperti yang dijelaskan dalam kutipan berikut:
‘Utilitarian ethics works hand-in-glove with the democratic process. The best way to maximize human satisfaction is for everybody to exercise their own preference. In facts, Mill’s on Liberty (1859/1975), written two years before Utilitarianism (1861/1979), is the Bible of democratic politics, arguing for the greatest possible liberty, limited only by harm to others’ (Cheney, May, & Munshi, 2011, hal. 191).
Dalam perkembangannya, penerapan etika tidak hanya dibutuhkan teori. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, etika memiliki tiga cabang. Dalam pengejawantahannya, cabang etika terapan muncul sebagai pedoman praktis dalam bertindak dan memutuskan suatu hal. Etika terapan yang sering juga disebut etika profesi ini banyak dijumpai di berbagai bidang dan ilmu. Termasuk dalam komunikasi. namun dalam komunikasi etika terapan diturunkan lagi dalam cabang-cabang profesi yang berkaitan dengan komunikasi.
Nama etika terapan harus dimengerti konteks historisnya. Nama ini mau menunjukkan orientasi praktis etika sekarang, bertentangan dengan kecondongannya yang serba teoretis dulu. Ciri etika terapan sekarang antara lain terdapat: hubungan timbal balik antara teori dan praktek; tekanan pada keterbukaan komunikasi, dialog; serta usaha multidisipliner (Bertens K., 2003, hal. 47-48).
Dalam pembahasan mengenai film yang ditujukan untuk generasi muda, terdapat beberapa perundangan yang bisa dijadikan dasar etika terapan. Khusus untuk konteks film horor Indonesia, terdapat dua perundangan yang sering dijadikan pedoman dalam menilai suatu film etis atau tidak. Penilaian ini biasanya dikaitkan pada konten mesum yang sering mengisi beberapa adegan dalam film horor. Berikut beberapa pasal yang berkaitan dengan pembahasan kali ini yang diambil dari Undang-undang Perfilman dan Undang-undang Pornografi.

UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: 
  1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
  2. menonjolkan pornografi;
  3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
  4. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
  5. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
  6. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 45
Masyarakat berhak:
  1. memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
  2. memilih dan menikmati film yang bermutu;
  3. menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman;
  4. memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film; dan
  5. mengembangkan perfilman.
Pasal 48
Setiap insan perfilman berkewajiban:
  1. memenuhi standar kompetensi dalam bidang perfilman;
  2. melaksanakan pekerjaan secara profesional;
  3. melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
  4. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 50
  1. Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
    1. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
    2. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam kegiatan perfilman.
  2. Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:
    1. memiliki kompetensi dan sertifikat usaha dalam bidang perfilman;
    2. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika,moral, kesusilaan, dan budaya bangsa dalam usaha perfilman; dan
    3. membuat dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra kerja yang dibuat secara tertulis.

UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1)      Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4
1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.

CONTOH KASUS
Industri perfilman Indonesia mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Industri ini sempat terpuruk sekitar tahun 1998-2001. Di tahun 1998 yang merupakan tanda masuknya Indonesia ke dalam era reformasi, tercatat hanya 11 judul film yang diproduksi oleh sineas dalam negeri. Jumlah ini kian menyusut pada tahun 1999, 2000, dan 2001. Secara berurutan, jumlah judul film yang diproduksi pada tiga tahun tersebut adalah 10, 6, dan 4 judul (PPPI, 2010, hal. 101).
Dunia perfilman Indonesia mulai bangkit sejak awal dekade lalu. Dimulai sejak munculnya film musikal “Petualangan Sherina” besutan sutradara Riri Riza di tahun 2000 yang dibintangi Sherina Munaf serta beberapa artis kawakan. Sejak itu banyak film Indonesia muncul dan menghiasi bioskop di Indonesia dengan berbagai macam genre. Salah satu genre film yang cukup bisa bertahan selama beberapa tahun adalah genre horor. Dari data sepuluh film terlaris 2011, tujuh dari sepuluh film tersebut adalah film horor (Film Indonesia, 2011).
Di Indonesia, film dengan genre horor telah hadir sejak dulu. Ada dua film yang sering dijadikan tonggak film horor di Indonesia, yaitu Tengkorak Hidoep (1941) karya Tan Tjoei Hock dan Lisa karya M. Shariefuddin yang diproduksi tahun 1971. Setelah itu, di tahun 1970-an film horor banyak bermunculan, seperti Beranak dalam Kubur (1971) yang menceritakan hantu perempuan yang bangkit dari kubur demi membalas dendam pada kakak yang membunuhnya untuk menguasai perkebunan milik keluarga dan film Ratu Ular (1972), menceritakan seorang janda cantik kaya yang memiliki perjanjian dengan setan. Film Beranak dalam Kubur bahkan menandai kelahiran “sang ratu” abadi film horor Indonesia, Suzanna, yang kemudian merajai dunia horor di Indonesia era tahun 70-80an (Rusdiarti, 2009).
Saat ini, film horor masih tetap menjadi industri yang bertahan. Dalam artikel “Selamat Datang di Republik Hantu” (Kompas, 25 Maret 2007) tercatat data film-film horor yang diproduksi dan diedarkan tahun 2006-2007 yang secara meyakinkan mampu meraup penonton lebih dari 500 ribu orang. Tidak mengherankan film horor menjadi andalan bagi para produser karena cukup cost effective dan cepat menghasilkan untung.
Di Indonesia, film horor selalu lebih dekat kepada pasar ketimbang mutu atau pencapaian artistik (Firdaus, 2008). Film horor di Indonesia sering dianggap asal diproduksi untuk mencari untung. Sebuah laporan Majalah Tempo yang ditulis Seno Joko Suyono dan Dwi Arjanto pada tahun 2003 pernah dengan sinis “meledek” sejumlah film horor Indonesia yang, alih-alih membikin takut jika ditonton, membuat geli dan dipenuhi unsur-unsur yang menjengkelkan (Firdaus, 2008). Kritik bisanya mencakup logika cerita yang ganjil, “pandangan dunia” hitam-putih yang naif, adegan-adegan aneh, dan akting yang pas-pasan.
Untuk menutupi kekurangan dalam hal cerita atau logika, seks adalah ramuan yang dianggap pas dalam film horor. Sejak tahun 1970-an, seks telah mulai dikenal sebagai bumbu. Dosisnya lama-lama meningkat, dan pada akhirnya justru menjadi menu utama. Logika cerita dan akting akhirnya dijadikan soal nomor sekian. Demikianlah, kita akhirnya menemukan “trilogi” Nyi Blorong-nya Suzanna tahun 1980-an yang dibumbui seks, dilanjutkan dengan sejumlah film horor-seks lain, dan mencapai heboh tatkala Yurike Prastika tampil dalam Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989). Film yang bukan hanya hangat tapi panas itu akhirnya ditarik dari peredaran karena protes keras sejumlah kalangan (Firdaus, 2008).
Memang ada perbedaan dalam film-film horor Indonesia saat ini yang tidak lagi tergantung pada legenda-legenda tradisional, seperti Nyai Roro Kidul atau Nyi Blorong. Sebagian besar film malah menghadirkan karakter-karakter remaja dan lingkungan perkotaan yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh film horor Indonesia. Namun bumbu seks tetap menjadi ramuan andalan dalam hampir setiap film horor. Karl Heider dalam bukunya Indonesian Cinema. National Culture On Screen (1991: 44) menyatakan bahwa film horor Indonesia pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya menjadi formula ampuh yang membuat film-film horor Indonesia digemari penontonnya. Tampaknya formula itu masih digunakan di beberapa film horor baru, hanya saja untuk tema religi sedikit berkurang (Rusdiarti, 2009). Film-film hantu yang cenderung mengeksploitasi tubuh perempuan dan seks dapat ditemukan dalam film Tiren (2008), Tali Pocong Perawan (2008), Hantu Budeg (2009), Hantu Jamu Gendong (2009), dan Pocong Kamar Sebelah (2009), Paku Kuntilanak (2009), Diperkosa Setan (2011), dan lain-lain.
Film-film yang kini dikenal dengan sebutan film ‘horor-seks’ alias ‘horor mesum’ ini makin sering diproduksi. Yang menjadi permasalahan adalah film tersebut seringkali ditujukan kepada remaja. Dari latar cerita hingga pemain kebanyakan adalah remaja dan kaum muda. Pada kenyataan di lapangan pun, penonton film-film semacam ini juga banyak terdiri dari remaja. Dari pengamatan terhadap film Pelet Kuntilanak di sebuah bioskop di kawan Depok, terlihat bahwa sekitar 90% penonton yang masuk ke dalamnya adalah remaja. Yang mengejutkan adalah sekitar 70% dari penonton tersebut adalah perempuan.
Materi seks dalam film horor bisa ditelusuri dengan mudah hanya lewat poster dan trailer film tersebut. Gambar perempuan dengan pakaian minim sering menghiasi dinding-dinding bioskop yang memutar film semacam ini. Belum lagi trailer yang berisi cuplikan adegan-degan yang mengisyaratkan kegiatan seks. Kebanyakan adegan seks yang diceritakan adalah seks di luar ikatan pernikahan, entah dengan manusia maupun makhluk halus yang menjadi obyek film tersebut.
Nina Mutmainnah Armando dalam artikel berjudul “Film Horor Seks untuk Remaja, PR untuk Orangtua” dalam majalah Ummi edisi Mei 2011 menilai bahwa yang sebenarnya ingin dijual film-film semacam ini adalah seks. Beliau menyebutkan bahwa dalam industri hiburan berlaku pakem sex sells, yaitu seks merupakan materi yang menjual. Namun jika film ini disebut sebagai ‘film seks’, tentu saja akan menimbulkan reaksi di masyarakat, karena sebutan semacam ini melanggar norma kesusilaan.
Di sisi lain, data dari Nielsen menunjukkan bahwa penonton film bioskop di Indonesia dari kalangan anak muda mengalami pengingkatan dari tahun ke tahun. Dari kuartal kedua tahun 2005 hingga tahun 2009, penonton usia belasan jumlahnya terus meningkat secara konstan dengan kisaran peningkatan sebesar 1-2% per tahun. Hal ini tentu menjadi permasalahan baru, ternyata seiring dengan meningkatnya jumlah film horor seks di Indonesia, terjadi pula peningkatan jumlah penonton dari kalangan anak muda.

Film Horor Mesum dan Pornografi
‘Pleasure becomes, in pornography debates, a matter of crucial ethical import as it is the only ‘product’ that is assumed to be certain to issue from the production of porn, and it is not the product that can be put to good utilitarian or social use’ (Downing & Saxton, 2010, hal. 79).
Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik. Mesum, cabul, atau tidak senonoh dipahami sebagai sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas (Haryatmoko, 2007, hal. 93).
Ada yang perlu digarisbawahi dari pengertian di atas, yaitu kata-kata ‘representasi eksplisit’. Disini bisa diartikan bahwa harus ada bentuk yang jelas menggambarkan atau menjelaskan hal ini secara tersurat. Pengertian ini sedikit berbeda dengan pengertian dalam pasal 1 Undang-undang Pornografi yang tidak mencantumkan kata-kata semacam itu. Namun pasal ini menekankan pentingnya peran media dalam mengkategorikan suatu konten sebagai sebuah pornografi atau bukan.
Dalam kasus film horor mesum, beberapa adegan sekilas terkesan ‘porno’. Namun beberapa pihak yang berkepentingan dalam hal ini beralasan bahwa adegan tersebut tidak secara eksplisit menggambarkan adegan-adegan mesum. Beberapa konten seperti suara erangan bisa diklaim sebagai sesuatu yang tidak eksplisit menunjukkan suatu tindakan yang masuk dalam kategori pornografi.
Oleh karena itu, akan terasa sulit dan rumit untuk melakukan tinjauan etis terhadap pornografi dalam film. Hal ini juga dikarenakan pornografi itu sendiri tidak cocok diletakkan dalam kegunaan sosial. Dalam perspektif utilitarian, pornografi dimoderasi dengan pengaturan distribusi agar kebahagiaan tetap dimiliki paling banyak jumlah orang dan bahaya bagi sekecil-kecilnya jumlah orang.

Menyoal Representasi
Representasi tubuh manusia, termasuk dalam film, telah menstimulasi serangkaian debat mengenai batasan gambar tubuh manusia yang diterima (Baldwin, Longhurst, McCracken, Ogborn, & Smith, 2004). Hal ini menjadi sorotan yang cukup banyak dalam kajian mengenai film horor mesum. Beberapa adegan seringkali menunjukkan representasi tubuh manusia dengan balutan busana yang minim. Beberapa adegan bahkan mengesankan ketelanjangan, seperti sosotan kamera dari belakang yang menunjukkan punggung sampai pinggang tanpa busana sehelai pun. Dalam perdebatannya, pihak dari film tidak mau diklaim berlebihan dalam menyorot bagian tubuh tertentu yang bagi sebagian orang telah masuk ke dalam batasan gambar tubuh yang boleh diperlihatkan. Apalagi batasan pornografi yang diterapkan melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi longgar dalam menilai apakah suatu konten termasuk pronografi atau bukan. Padahal jelas-jelas ada pasal yang menekankan kewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Memakai bikini dan pakaian minim lain dan ditunjukkan ke muka umum bagi sebagian masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan asusila dan tidak sesuai dengan budaya bangsa.
Selain itu, representasi perempuan dalam media diiringi dengan stereotip yang merusak persepsi diri perempuan dan membatasi peran sosial mereka (Thornham, 1998, hal. 213). Dalan film-film semacam ini perempuan sering ditampilkan denagn balutan busana yang minim dan kesan telanjang. Film seperti Diperkosa Setan berkali-kali menampilkan adegan pesta yang menampilkan para wanita berbalut pakaian renang alias bikini. Hal ini dapat merusak persepsi perempuan hingga perempuan dianggap sebagai sosok yang murahan, cabul, suka menggoda, dan tidak senonoh.
Mengenai representasi perempuan ini, beberapa kajian tentang film horor mesum juga memfokuskan analisisnya pada hal ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, representasi tubuh dalam film horor mesum dapat dinilai tidak mewakili representasi masyarakat secara keseluruhan. Dan pihak yang sering direpresentasikan dengan balutan busana semacam ini tidak lain adalah perempuan.
Yang menjadi sorotan adalah ketika representasi tubuh manusia, khususnya perempuan, dalam film horor mesum tidak mewakili keseluruhan nilai dan budaya yang dianut masyarakat. Hal ini tidak dapat memberi kebahagiaan bagi paling banyak orang mengingat Indonesia didominasi oleh masyarakat yang menganut budaya ketimuran.
Apalagi jika mengingat konsumen film-film ini adalah remaja. Karakteristik remaja yang labil dan penuh rasa keingintahuan sangat sensitif terhadap hal-hal semacam ini. Ketika perempuan direpresentasikan seperti tadi, maka tak heran remaja putri banyak yang mengikuti gaya berbusana dan bergaul para tokoh di film tersebut.

Ketika Uang Berbicara
Bisnis film adalah sesuatu yang beresiko (Albaran, 1996, hal. 124). Bagaimana tidak, untuk pembuatan satu film saja tidak hanya dibutuhkan puluh bahkan ratus juta, melainkan sudah pada satuan milyar rupiah. Jumlah sebesar itu belum digaransi dengan jumlah penonton. Dengan kata lain ada kemungkinan jumlah tersebut tidak kembali bahkan merugi jika pada kenyataannya di pasaran film tersebut sepi penonton.
Mengapa film horor mesum dipilih? Tak lain karena ada dimensi ekonomis yang mendukungnya. Setiap rumah produksi yang ingin bertahan hidup tentu harus memproduksi film. Dari segi biaya produksi, film semacam ini mungkin hanya membutuhkan biaya sekitar satu dua milyar rupiah. Jauh berbeda bila dibandingkan dengan biaya film sekelas Laskar Pelangi yang bisa menghabiskan dana sekitar delapan milyar rupiah. Biaya ini dapat ditekan karena efisiensi sana-sini. Dari skenario, biasanya film semacam ini tidak membutuhkan skenario yang orisinil karena cerita biasanya itu-itu saja. Selain itu alur tidak perlu begitu rumit karena akan terdapat banyak improvisasi yang ditujukan untuk menciptakan suasana mencekam. Dari segi latar tempat juga bisa diefisienkan. Latar kehidupan renaja perkotaan yang berkisar di tempat-tempat seperti kampus/sekolah, rumah, rumah kos, maupun tempat tempat hiburan dapat dengan mudah disewa karena proses riset dan perizinan yang tidak begitu memakan biaya. Yang penting adalah efek grafis yang suram dan gelap. Begitu pula dengan pemain film yang biasanya itu-itu saja. Sesekali pemain utama berganti, sengaja mendatangkan artis kontroversial seperti Maria Ozawa dan Rin Sakuragi yang memiliki rekam jejak sebagai bintang film porno. Dan lebih dari itu semua, film semacam ini selalu laku di pasaran. Entah karena bumbu mesum atau karena tidak ada pilihan lain, belum jelas benar alasannya.
Eksploitasi pasar dalam hal ini bisa saja terjadi. Pasar anak muda yang cenderung meningkat tiap tahunnya dimanfaatkan. Dengan psikografis yang biasanya adalah movie goer dan gampang penasaran dengan hal baru, mereka dilihat sebagai pasar yang potensial. Ibarat disuguhkan apapun mereka mau dan malah penasaran, keadaan semacam ini mendukung berlangsungnya industri film semacam ini. Padahal film semacam ini tidak layak dikonsumsi karena dapat mengancam moralitas generasi muda. Apalagi masa remaja merupakan masa-masa pencarian jati diri dan pembentukan karakter. Apa jadinya bila mereka diempa dengan film yang isinya hanya percintaan dan seks belaka.

Film sebagai Media Propaganda
Sejak dulu pada masa-masa pasca kemerdekaan, film telah dijadikan alat untuk membangun ideologi. Film memliki karakateristik sebagai alat propaganda yang dipercaya sejak dulu. Misalnya ketika pasca kemerdekaan, film dibuat untuk membangun persatuan dengan menanamkan nasionalisme. Pun ketika Orde Baru, film dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Mungkin masih terang dalam ingatan bagaimana film G30S/PKI sukses menjadi alat mebangun ideologi anti komunis.
Kepercayaan akan film semacam itu nampaknya juga masih bertahan hingga sekarang. Film dijadikan sebuah alat propaganda. Bukan lagi menyoal bangsa, melainkan ideologi global yang sedang merajalela, yaitu hedonisme dan konsumerisme. Kehidupan seks bebas kini menjadi tontonan yang biasa. Gaya berpakaian a la Barat juga bukan barang baru, bahkan kini sudah diterapkan banyak remaja.
Meski diklaim membawa pesan moral yang bagus, namun yang ditonjolkan justru kemasannya yang mengancam moral. Mengaku ingin memberi efek jera namun yang diulang-ulang justru adegan yang menimbulkan rasa penasaran bahkan kecanduan. Kalaupun berakhir dengan penyelesaian, namun itu hanya sebagian kecil dari alur film yang ada. Porsi terbesarnya diserap oleh konten-konten immoral dan membahayakan karakter remaja.
Mungkin benar adanya bahwa moralitas media saat ini mandek pada tingkat kebiasaan (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 6). Media mengkonstruksi film-film semacam ini sebagai produk budaya yang biasa dan etis ditampilkan, sehingga bukannya menjadi makin bermoral, media seperti film justru makin terperosok dalam etika subyektif yang bukan berasal dari kesadaran, tapi lebih kepada keuntungan pribadi dan materi.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kecenderungan hadirnya konten seks dalam film horor saat ini nampaknya perlu mendapat perhatian serius. Walaupun bukanlah hal baru, namun kecenderungan ini berbeda. Kalau diamat-amati, sebenarnya kondisinya berbalik, bukan film horor dibumbui seks, melainkan film-film seks yang dibungkus dengan horor. Parahnya, beberapa rumah produksi dengan pertimbangan ekonomi lebih memilih memproduksi, meminjam istilah Garin Nugroho, film “esek-esek” dengan alasan selera pasar. Konten semacam ini tidak etis karena tidak memberi kebahagiaan bagi paling banyak jumalah orang.
Padahal pangsa pasar film semacam ini banyak diisi oleh remaja, disertai peningkatannya tiap tahun. Remaja sebagai bagian dari masyarakat yang masih labil dan dalam masa pembangunan karakter dan jati diri perlu dilindungi dari hal-hal yang mengancam moralitas. Industri film semacam ini memperlakukan remaja sebagai pangsa pasar dengan tidak etis karena terus dieksploitasi.
Film semacam ini bukannya memberi kebahagiaan malah membahayakan banyak jumlah orang, dalam hal ini remaja sebagai pihak yang dipengaruhi. Etika terapan yang tersirat dalam perundangan nyatanya tak mampu banyak bicara. Karena kelemahan kata-kata yang multiinterpretatif maupun ketidakjelasannya.
Sebagai rekomendasi, diperlukan evaluasi terhadap undang-undang sebagai wujud etika terapan sehingga dapat memenuhi fungsinya dengan efektif, yaitu sebagai pedoman praktis insan perfilman. Selain itu, penting kiranya untuk memberikan pendidikan literasi media, baik di lingkup keluarga maupun pendidikan, agar generasi muda tumbuh menjadi generasi yang kritis dalam mengkonsumsi media dan terhindar dari bahaya kerusakan moral.

Daftar Pustaka


Albaran, A. B. (1996). Media Economics. Iowa: Iowa State University Press.
Armando, N. M. (2011, Mei). Film Horor Seks untuk Remaja, PR untuk Orangtua. Majalah Ummi , hal. 66-67.
Baldwin, E., Longhurst, B., McCracken, S., Ogborn, M., & Smith, G. (2004). Introducing Cultural Studies (Revised 1st Edition ed.). Harlow: Pearson Education.
Bertens, K. (1997). Etika. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. (2003). Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika. Yogyakarta: Kanisius.
Black, J., & Roberts, C. (2011). Doing Ethics in Media. New York: Routledge.
Cheney, G., May, S., & Munshi, D. (2011). The Handbook of Communication Ethics. New York: Routledge.
Day, L. A. (2006). Ethics in Media Communications: Cases and Controversies. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
Downing, L., & Saxton, L. (2010). Film and Ethics: Foreclosed Encounters. New York: Routledge.
Film Indonesia. (2011, Mei). Data Penonton. Dipetik Mei 18, 2011, dari Film Indonesia: http://filmindonesia.or.id/
Firdaus, H. (2008, Oktober 18). Suzanna: Sebuah Obituari. Dipetik Mei 18, 2011, dari Rumah Mimpi: http://rumahmimpi.net
Gordon, D., Kittross, J. M., Merill, J. C., & Reuss, C. (1999). Controversies in Media Ethics. Massachusetts: Longman.
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
PPPI. (2010). Indonesia Media Index. Jakarta: PPPI.
Rusdiarti, S. R. (2009). Film Horor Indonesia: Dinamika Genre. Dipetik Mei 18, 2011, dari Web Dosen Universitas Indonesia: http://staff.ui.ac.id/
Thornham, S. (1998). Feminist Media and Film Theory. Dalam S. Jackson, & J. Jones (Penyunt.), Contemporary Feminist Theory (hal. 213). New York: New York University Press.


Confidentiality and the Public Interest


The Principle of Confidentiality
Prinsip dari sebuah keyakinan di dalam media massa lebih menekankan pada tugas atau kewajiban bagi praktisi media untuk tidak memberi sumber nama pada sebuah informasi. Namun, bagaimanapun opsi atau pilihan ini tidak satu-satunya menjadi pilihan yang absolut karena masih ada cara lain untuk mewujudkan prinsip dari sebuah keyakinan. Bagi para filosofis, keyakinan merupakan sebuah kewajiban yang juga harus didukung oleh hal lainnya agar dapat memperkuat sebuah pertimbangan. Bagi praktisi media yang harus memastikan sesuatu, masalah mengenai sebuah keyakinan masih akan semakin larut atau tidak berujung di dalam setiap situasi yang ada, karena keyakinan atau sebuah keterusterangan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh publik dari praktisi media. Namun tentu saja, ide-ide tersebut tidak sama atau tidak eksklusif satu sama lain karena sebuah janji dari keyakinan untuk narasumber yang dapat memimpin sebuah kejujuran dalam mengungkap kasus korupsi atau tindakan ilegal lainnya masih dilindungi.

Gagasan dari sebuah keyakinan bagaimanapun berangkat di luar jangkauan pengawasan untuk narasumber. Kadang perusahaan atau organisasi berita harus memastikan atau memutuskan apakah narasumbernya perlu untuk dirahasiakan atau tidak kepada publik.

Praktisi media adalah mereka yang berada dalam formasi atau organisasi bisnis, dimana praktisi media tidak dapat menahan untuk mengungkap sebuah kerahasiaan. Ada waktunya ketika wilayah dari opini publik tidak diberi hak atau judul sebagai informasi yang akan dipublikasikan karena takut menganggu atau menyebabkan hal yang lain menjadi hangat untuk diperbincangkan. Sebenarnya bentuk keyakinan dalam hubungan sosial merupakan sesuatu yang telah kita pelajari sejak awal kita hidup.

Untuk bisa mendapatkan hubungan yang dapat dipercaya, biasanya akan terbentuk melalui tiga keadaan. Pertama, terdapat express promises seperti seorang reporter yang benar-benar berjanji untuk merahasiakan narasumbernya. Kedua, keyakinan dalam sebuah hubungan bisa didapatkan melalui loyalitas, apakah individu atau organisasi karena dengan adanya loyalitas dapat mempengaruhi atau mendorong dan mengarahkan sebuah moral agent. Ketiga, diakui secara hukum. Pada umumnya masyarakat akan bertekad bahwa beberapa hubungan akan menjadi sangat penting ketika mereka berhak atau layak untuk memperoleh proteksi yang legal atau sah secara hukum.

The Justification for Confidentiality
Prinsip dari sebuah keyakinan telah membawa tuntutan selama beberapa tahun. Sebagai publik yang hidup dipenuhi dengan banyak informasi, namun dalam hal atau segala macam yang menyangkut pengetahuan masih belum bisa terpuaskan. Walaupun di dalam buku the ethicist Sissela Bok in "The Limits of Confidentiality" terdapat beberapa perkiraan justifikasi atau alasan atau pembenaran untuk mengukuhkan sebuah kepercayaan. Pertama, fokus terhadap autonomy manusia dalam hal pengamanan informasi personal dan pengetahuan. Kemampuan untuk menjaga rahasia dan untuk memberikan informasi kepada orang lain secara selektif dapat memberikan sebuah sense atau rasa dari kekuatan seseorang dalam hal mempengaruhi sesuatu. Namun faktanya, banyak penyangkalan yang terjadi dalam hal kerahasiaan, kesimpulannya adalah konflik bisa melebihi kekuatan, kekuatan bisa datang melalui arus informasi.

Keterbukaan menjadi hal penting yang bisa berperan menjadi counter-balanced yang bertentangan dengan kecenderungan sifat pemerintah dan institusi lainnya dalam hal mengontrol informasi yang negatif dan sensitif. Oleh karena itu, media sebaiknya memiliki anggota yang bersih agar dapat mempertanyakan penyembunyian kebijakan terhadap lebih dari beberapa anggota masyarakat misalnya terhadap ilmuwan sosial.

Sumber berita adalah mereka akan memaksakan sense mereka sebagai sebuah autonomy (atau sebuah kekuatan) ketika channel yang mereka memiliki menjadi sumber informasi yang diyakini atau dipercayai oleh reporter. Hal ini menjadi konsep yang penting bagi jurnalis karena sumber yang anonymous bisa bersikap dengan berbagai macam motivasi. Alasan kedua, keyakinan adalah suatu pembuktian sebuah perasaan pada kepercayan di antara individu dalam kehidupan sosial. Kepercayaan, menepati janji, dan loyal merupakan tiang atau fondasi terbentuknya sebuah keyakinan, serta hal ini merupakan bentuk perlawanan dalam melindungi nilai bagi hal yang ketiga yang akan muncul sebagai celah untuk menyembunyikan kepercayaan. Reporter adalah orang yang mendesak untuk mengungkapkan sebuah keterusterangan dari kontak hubungan sosial dalam situasi yang sensitif. Keyakinan juga perlu untuk mencegah timbulnya masalah yang baru, dan pada akhirnya keyakinan akan melayani social utility manusia.

Seeking Disclosure: The Moral Position of the Actor
Sebuah motivasi dapat membantu mengevaluasi dimana pada saat tersebut terdapat alasan dalam mengungkapkan sesuatu. Posisi moral dari institusi media juga sering menjadi isu ketika mencari dan memberikan informasi yang terpercaya. Dari sudut pandang informasi, media paling tidak, layak menjadi dasar moral ketika mereka memberikan informasi yang sensitif karena mereka mempercayai bahwa informasi tersebut memiliki nilai berita.

Referensi:
Day, L.A. Ethics in Media Communications: Cases and Controversies. Wadsworth, 2003

Sunday, March 25, 2012

Capitalism for Dumb Liberals !!!

The Present Situation of Social Philosophy and the Tasks of an Institute for Social Research

Although social philosophy may be at the center of the broader interest in philosophy, its status is no better than that of most contemporary philosophical or fundamental intellectual efforts. No substantive conceptual configuration of social philosophy could assert a claim to general validity. In light of the current intellectual situation, in which traditional disciplinary boundaries have been called into question and will remain unclear for the foreseeable future, it does not appear timely to attempt to delineate conclusively the various areas of research. Nonetheless, the general conceptions that one connects with social philosophy can be put concisely. Its ultimate aim is the philosophical interpretation of the vicissitudes of human fate – the fate of humans not as mere individuals, however, but as members of a community. It is thus above all concerned with phenomena that can only be understood in the context of human social life: with the state, law, economy, religion – in short, with the entire material and intellectual culture of humanity. Understood in this way, social philosophy grew into a decisive philosophical task in the course of the development of classical German idealism. The most compelling aspects of the Hegelian system are the supreme achievements of that type of social philosophy. This is not to say that philosophy before Hegel had not been concerned with matters of social philosophy; to the contrary, Kant’s major works contain philosophical theories concerning the knowledge of law, of art, and of religion. But this social philosophy was rooted in the philosophy of the isolated subject [Einzelpersonlichkeit]; those spheres of being were understood as projections [Entwürfe] of the autonomous person. Kant made the closed unity of the rational subject into the exclusive source of the constitutive principles of each cultural sphere; the essence and the organization of culture were to be made comprehensible solely on the basis of the dynamics of the individual, the fundamental modes of activity of the spontaneous ego. Even if the autonomous subject could hardly be equated with the empirical individual in Kant’s philosophy, one was nonetheless supposed to be able to investigate all possible culturally creative factors in the mind of each individual rational being. Overarching structures of being which could only belong to a supraindividual whole, which could only be discovered in the social totality, and to which we must subordinate ourselves, do not exist in this conception. To assert their existence would be considered dogmatic, and action oriented to them would be considered heteronomous. In the Metaphysical Principles of Virtue, Kant writes of the moral subject that a person “is subject to no laws other than those that it gives to itself (either alone or at least together with others).”

Critical Theory and Its Epistemology

Critical Theory has a narrow and a broad meaning in philosophy and in the history of the social sciences. “Critical Theory” in the narrow sense designates several generations of German philosophers and social theorists in the Western European Marxist tradition known as the Frankfurt School. According to these theorists, a “critical” theory may be distinguished from a “traditional” theory according to a specific practical purpose: a theory is critical to the extent that it seeks human emancipation, “to liberate human beings from the circumstances that enslave them” (Horkheimer 1982, 244). Because such theories aim to explain and transform all the circumstances that enslave human beings, many “critical theories” in the broader sense have been developed. They have emerged in connection with the many social movements that identify varied dimensions of the domination of human beings in modern societies. In both the broad and the narrow senses, however, a critical theory provides the descriptive and normative bases for social inquiry aimed at decreasing domination and increasing freedom in all their forms.

Critical Theory in the narrow sense has had many different aspects and quite distinct historical phases that cross several generations, from the effective start of the Institute of the Institute for Social Research in the years 1929–1930, which saw the arrival of the Frankfurt School philosophers and an inaugural lecture by Horkheimer, to the present. Its distinctiveness as a philosophical approach that extends to ethics, political philosophy, and the philosophy of history is most apparent when considered in light of the history of the philosophy of the social sciences. Critical Theorists have long sought to distinguish their aims, methods, theories, and forms of explanation from standard understandings in both the natural and the social sciences. Instead, they have claimed that social inquiry ought to combine rather than separate the poles of philosophy and the social sciences: explanation and understanding, structure and agency, regularity and normativity. Such an approach, Critical Theorists argue, permits their enterprise to be practical in a distinctively moral (rather than instrumental) sense. They do not merely seek to provide the means to achieve some independent goal, but rather (as in Horkheimer's famous definition mentioned above) seek “human emancipation” in circumstances of domination and oppression. This normative task cannot be accomplished apart from the interplay between philosophy and social science through interdisciplinary empirical social research (Horkheimer 1993). While Critical Theory is often thought of narrowly as referring to the Frankfurt School that begins with Horkheimer and Adorno and stretches to Marcuse and Habermas, any philosophical approach with similar practical aims could be called a “critical theory,” including feminism, critical race theory, and some forms of post-colonial criticism. In the following, Critical Theory when capitalized refers only to the Frankfurt School. All other uses of the term are meant in the broader sense and thus not capitalized. When used in the singular, “a critical theory” is not capitalized, even when the theory is developed by members of the Frankfurt School in the context of their overall project of Critical Theory.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here