(AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515)
Bagian ini, Baran menguraikan perubahan dan perkembangan media massa setelah perang dunia II yang memaksa kita harus mereformulasikan kembali makna komunikasi massa di dalam masyarakat. Konteks luas dalam pembahasan ini adalah kemunculan televisi sebagai media massa baru. Tentunya, konteks ini dilihat sebagai proses komunikasi kepada khalayak melalui proses katharsis, teori pembelajaran sosial, teori kognitif sosial, perilaku agresif dan efek priming.
Media baru sering dipersalahkan sebagai hal yang menyulitkan masyarakat. Meski sudah ada penelitian mengenai efek terbatas dari media tetap saja media berpengaruh signifikan terhadap sistem nilai masyarakat. Maka tidak mengherankan apabila Baran berfokus pada bab ini pada masalah kekerasan dan anak.
Kekerasan dan Anak
Akhir perang dunia II tidak serta menghancurkan secara fisik kondisi global, tetap ada perkembangan yang signifikan terjadi. Kemunculan televisi sebagai media medium suara dan gambar menampakkan perkembangan teknologi yang tidak main-main. Di Amerika sendiri, perubahan sosial masyarakat tidak terletak sekedar pada perpindahan cara hidup tapi lebih dari itu membawa manusia yang lain dalam situasi perpindahan industri dalam skala yang besar. Modernisasi masyarakat diikuti juga dengan modernisasi media massa yang ada. Tapi yang harus diperlihatkan adalah bahwa konsekuensi modernitas yang berkembang di Amerika juga membuahkan permasalahan sosial terutama yang berhubungan dengan kejahatan dan kekerasan. Grafik kenaikan kualitas kejahatan dan kekerasan cenderung bergerak secara drastis. Terjadi perbedaan sikap dan tindakan generasi muda dibandingkan dengan struktur sosial masyarakat pada waktu itu. Terjadinya perbedaan atau gap generasi ini semakin dipicu dengan perkembangan media massa waktu itu. Pengaruh pendidikan generasi muda berpindah dari lingkungan keluarga berubah masuk dalam lingkungan sekolah dan media massa. Pengaruh media massa menjadi sasaran kritik yang menyatakan bahwa kemerosotan dan permasalahan sosial yang timbul. Meski demikian, pengaruh langsung televisi terhadap kekerasan tidak jelas atau tidak memadai untuk dilihat secara menyeluruh.
Beberapa Teori Media yang Berkembang
Beberapa penelitian menyatakan korelasi antara tindakan menonton kekerasan dengan perilaku agresif, terutama penonton berat (heavy viewer). Tapi permasalahannya adalah memang penelitian di atas bisa ditarik dalam keseluruhan. Masih terdapat perdebatan mengenai hal di atas, terutama ketika penelitian tersebut memakai konteks yang berlainan.
Teori pertama yang perlu dipertimbangkan dalam konteks ini adalah teori katharsis. Katharsis atau sublimasi dinyatakan sebagai ide berkembang melalui atau lewat medium. Menonton kekerasan dalam media menggantikan perilaku nyata dari perilaku agresif yang didemonstrasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Teori pembelajaran sosial memperlihatkan pengaruh kemampuan observatif manusia dalam kehidupan. Teori ini berkembang dalam ranah ilmu psikologi. Pertanyaannya adalah seberapa besar khalayak belajar dari media massa? Teori pembelajaran sosial menempatkan bahwa pengaruh dari keberadaan media massa untuk mempengaruhi khalayak, dijelaskan bahwa effek yang dimunculkan misalnya di televisi cenderung menjadi santapan segar bagi para pemirsanya. Masyarakat cenderung akan mengikuti pengaruh yang dimunculkan media, seperti pola hidup bahkan sampai kepada jalannya sebuah pemikiran dan sikap. Proses pembelajaran dimulai dari imitasi, identifikasi. Teori pembelajaran sosial terus berkembang dan memberikan kontribusi konkret mengenai efek media massa terhadap khalayak. Teori ini berhubungan dengan teori kognisi sosial yang juga berlaku dalam konteks komunikasi massa modern.
Perilaku agresif yang tercermin dalam media massa terutama yang menyebarkan tindakan kekerasan. Orang yang melihat kekerasan yang memakai media biasanya meyakini kekerasan yang lebih tinggi. Hanya memang perilaku agresif dalam media biasanya mendapatkan konteks dramatis dalam produksinya. Permainan dramatisasi perilaku agresif memperlihatkan secara tajam.
Perilaku agresif dengan efek priming mengupayakan beberapa spesifikasi teori kognitif sosial yang berkembang pada waktu itu, terutama ketika media massa mempengaruhi anak-anak. Konsep khalayak muda terutama anak-anak yang dipahami sebagai khalayak aktif memberikan tawaran bahwa meski efek media berkurang, penonton tetap dipengaruhi oleh media dalam seluruh tindakan sosial mereka. Implikasi teori kognitif sosial berbicara dalam penelitian ini.
Perkembangan sistem teori pada era 50-an dan 60-an mendorong para teoritisi dalam memahami media massa melampaui perkara sederhana dan model linear dalam proses komunikasi massa. Konsep yang dikembangkan oleh perekayasa komunikasi diaplikasikan atau diterapkan dalam sistem media massa.
Kajian sistem sendiri terdiri set bagian yang terhubung sedemikian rupa perubahan dalam satu sistem berpengaruh pada sistem yang lain. Teori sistem memperbolehkan pengembangan yang menyatakan ketersaling-tergantungan antara bagian dalam sistem itu sendiri, regulasi diri, dan sistem orientasi hasil yang diperlukan. Kondisi awal sistem ini terdiri dari awal dan asumsi matematis dalam proses komunikasi. Model lain yang berkembang adalah model sederhana. Teori sistem mengijinkan sistem visualisasi tertutup dan terbuka. Aplikasi teori sistem pada komunikasi massa, meski timbul pertanyaan-pertanyaan dalam era rekonsiderasi pada paradigma efek terbatas.Catatan Kritis
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, 'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama.
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.