Thursday, June 25, 2009

Mempertanyakan Agenda Setting Media Televisi


Oleh: Agus Sudibyo
Jika mau jujur, problem media sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana mengisi halaman demi halaman, segmen demi segmen dengan informasi yang harus disajikan secara kontinyu kepada khalayak. Sebab setiap hari ada begitu banyak isu dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan publik. Ruang untuk melaporkan dan mengurai isu maupun peristiwa itu justru yang terbatas. Yang lebih relevans untuk diidentifikasi sebagai problem media adalah bagaimana memilih, memilah dan mengolah luberan isu dan peristiwa itu? Bagaimana media merumuskan strategi pemberitaan di antara begitu banyak obyek pemberitaan ? Seberapa jauh media akan mengangkat satu persoalan, sementara persoalan-persoalan baru bermunculan?
Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Perbincangan soal agenda setting ini, perlu dikemukakan untuk melihat bagaimana kinerja media dalam memberitakan soal-soal Aceh. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan sehubungan dengan persoalan ini. Apakah media menunjukkan konsistensi dalam memberitakan Aceh? Apakah media mempunyai fokus pemberitaan yang jelas, dan sejauhmana fokus tersebut relevans dengan gagasan-gagasan ideal tentang peran media sebagai institusi sosial? Instititut Studi Arus Informasi (ISAI) secara rutin melakukan pemantauan terhadap pemberitaan Aceh sejak 28 Juli 2003. Dengan metode content analysis, coba diindentifikasi kecenderungan-kecenderungan media dalam meliput konflik Aceh. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap pemberitaan media televisi tentang Aceh, pada periode 26 Agustus – 4 September 2003. Media yang dianalisis adalah RCTI, Metro TV, SCTV, Indosiar, TVRI, ANTV, TPI, Trans TV, TV7, dan Lativi. Analisis dilakukan terhadap seluruh item berita pada semua program news pada masing-masing televisi.
Problem Konsistensi
Aceh adalah salah-satu persoalan terbesar yang kita hadapi saat ini. Bukan sekedar persoalan kemungkinan lepasnya satu kawasan dari sebuah negara. Tapi juga sejauhmana kita sebagai bangsa dapat menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan beradab, menegasikan cara-cara kekerasan yang beresiko tinggi terhadap perikemanusiaan, serta menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sejauhmana kita bisa mendudukkan kebebasan pers pada proporsinya? Dan masih banyak aspek yang lain.
Namun agak mengherankan bahwa diskursus Aceh belakangan mulai ditinggalkan. Ketika intensitas perang tak kunjung mereda, perbincangan publik perlahan-lahan mulai bergeser ke masalah-masalah lain. Kompleksitas masalah Aceh tidak lagi mendapatkan perhatian dan fokus yang memadahi.
Sungguh disayangkan bahwa gejala ini justru dimulai oleh media, terutama media televisi. Padahal media televisilah yang notabene sejak akhir April 2003, telah membuat perhatian publik begitu terfokus pada isu-isu Aceh. Lambat-laun, media televisi mulai mengendorkan pemberitaan tentang Aceh. Bisa jadi karena isu Aceh mulai mengalami kejenuhan, sementara di sisi lain muncul isu-isu baru yang lebih aktual. Isu sukhoigate, Bom Marriot, persiapan pemilu 2004, hingga isu kekerasan di STPDN Jatinangor. Tapi sekali lagi, kita bukan sekedar membayangkan media sebagai entitas bisnis, namun juga media sebagai institusi sosial dengan sejumlah tanggung-jawab moral kepada publik.
Pada periode pertama pemantauan (28 Juli – 6 Agustus 2003), total berita media televisi tentang Aceh masih cukup besar, yakni 470 berita. Lalu menurun menjadi 388 item berita pada periode kedua (7-15 Agustus 2003). Penurunan intensitas pemberitaan semakin terasa pada periode pemantauan keempat (26 Agustus – 4 September 2003), dengan total berita sebanyak 268 item. Data ini semakin semakin kontras jika kita bandingkan dengan intensitas pemberitaan soal Aceh pada menjelang dan masa-masa awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Periode Mei-Juni 2003 adalah saat itu periode di mana setiap hari perkembangan konflik di Aceh menjadi headline media massa, dengan intensitas pemberitaan yang sangat tinggi.
Konsistensi juga bisa dilihat dari penempatan berita-berita Aceh pada struktur pemberitaan televisi. Sebanyak 73,9% dari total 268 berita televisi soal Aceh ditempatkan pada segmen tengah. Hanya 19,4 % berita Aceh yang diletakkan pada segmen depan. Temuan ini paralel dengan hasil pemantauan pada periode sebelumnya. Pada periode 28 Juli – 6 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 42,1 %, dan segmen tengah sebanyak 52,6%. Sementara pada periode 7-15 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 14,2 %, dan pada segmen tengah sebanyak 76,3 %.
Apa yang bisa disimpulkan dalam hal ini. Aceh tak lagi menjadi prioritas bagi media televisi. Keberadaannya tergusur oleh isu-isu baru yang lebih aktual. Beberapa stasiun televisi juga mulai mengubah kebijakan redaksionalnya. Media televisi mudah terbuai oleh obyek pemberitaan, sekaligus mudah pula melupakannya. Pemberitaan media televisi soal Aceh, seakan-akan mengalir begitu saja, tanpa muara yang jelas. Sebuah realitas pemberitaan yang tidak menunjukkan adanya strategi atau agenda yang jelas dalam mensikapi masalah-masalah yang terlanjur menjadi sorotan publik, di mana media berperan besar di dalamnya. Suatu hal yang kontraproduktif bagi penyelesaian kasus Aceh, jika pengelola media berpikir bahwa realitas konflik patut mendapatkan prioritas pemberitaan terutama sekali karena konflik selalu menarik perhatian publik. Bukan karena pertimbangan bahwa konflik harus segera diakhiri karena dapat menyebabkan kerugian-kerugian lebih besar pada publik.
Fakta di atas juga sangat riskan bagi kelanjutan penyelesaian kasus Aceh. Semakin menipis perhatian media terhadap Aceh, semakin besar potensi pelanggaran HAM dan segala bentuk abuse of power di sana. Semakin mengecil prioritas media terhadap masalah Aceh, semakin leluasa pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Tanpa ada kontrol yang memadahi dari unsur civil society, publik Serambi Mekkah dibawah bayang-bayang tragedi kemanusiaan yang lebih buruk dan tidak akan berkesudahan dalam waktu dekat.
Fokus Pemberitaan
Selanjutnya, kita bisa melihat fokus yang diberikan oleh televisi terhadap kasus Aceh. Mengamati fokus pemberitaan menjadi sangat penting, karena akan menunjukkan sikap media dalam menghadapi sebuah persoalan. Fokus pemberitaan paling-tidak dapat memberikan indikasi tentang sejauhmana media melihat perang sebagai “problem”, sehingga perlu terus-menerus dipertanyakan urgensinya. Ataukah yang terjadi justru kecenderungan media untuk pertama-tama melihat entitas perang sebagai komoditi. Maka yang menjadi prioritas kemudian adalah bagaimana mengolah momentum perang ini sedikian rupa sehingga dapat menaikkan oplah, rating, atau leverage sebuah media. Fokus pemberitaan, pada titik ekstrim tertentu bisa menjadi perangkat untuk melihat apakah media banyak berperan sebagai conflic intensifier atau conflict deminisher?
Dari tema berita, tidak ada perubahan berarti pada kecenderungan media televisi untuk lebih banyak mengangkat realitas Aceh sebagai melulu “realitas perang”. Berita tentang kekerasan, tentang aksi baku-bunuh yang terjadi di medan perang masih mendominasi berita televisi tentang Aceh. Bisa dibandingkan misalnya dengan berita-berita yang melihat konflik Aceh dari sisi korban atau pengungsi. Sebanyak 51,9% dari total berita yang dianalisis, masih berfokus pada pelaku konflik. Sementara hanya 14,2 % berita yang memberikan fokus kepada korban konflik.
Baku bunuh, kekerasan masih dianggap lebih penting untuk diberitakan daripada kondisi para pengungsi atau korban. Mungkin karena adegan-adegan kekerasan akan dengan cepat memuaskan rasa keingintahuan sebagian dari publik atas perkembangan di Aceh. Mungkin karena adegan-adegan tersebut lebih merangsang penonton untuk menatap layar televisi, sebagaimana aneka rupa kekerasan yang muncul dalam berita-berita kriminal “Buser”, “Patroli”dan lain-lain.
Pada titik ini, dapat dilihat bahwa media televisi belum memberikan kontribusi memadahi terhadap upaya untuk mempertanyakan urgensi perang sebagai solusi bagi persoalan Aceh. Media sesungguhnya dapat memberikan kontribusi signifikans terhadap upaya ini jika mereka memberikan fokus yang lebih besar terhadap sisi-sisi perikemanusiaan dari konflik Aceh. Media televisi belum menggunakan potensinya yang paling besar, yakni menggalang opini publik untuk mempertanyakan kebijakan-kebijakan politik pemerintah, yang katakanlah kontraproduktif dari sisi penegakan HAM di Indonesia.
Kualitas Pemberitaan
Belakangan, sebenarnya muncul harapan agar media dapat meningkatkan kualitas pemberitaannya terhadap kasus Aceh. Muncul kritik dari berbagai pihak atas kinerja pers dalam meliput Aceh. Ada yang mempersoalkan embeddeed journalism yang banyak digunakan media, ada yang mempertanyakan nasionalisme sempit media. Muncul pertanyaan-pertanyaan seputar profesionalisme dan parsialitas media dalam meliput konflik Aceh. Ketika perdebatan tentang masalah ini menyedot perhatian banyak pihak, sebenarnya telah ditemukan titik-pijak untuk memperbaiki kinerja media dalam meliput Aceh. Kritik-kritik yang muncul, bagaimanapun akan menjadi referensi bagi proses peliputan selanjutnya.
Namun ketika harapan itu muncul, kita dihadapkan pada surutnya perhatian media terhadap Aceh. Bahkan ketika perang itu sendiri masih terus berkecamuk, dan intensitas konflik belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Harapan akan perbaikan kualitas liputan itu semakin sulit karena disisi lain muncul problem pada level newsgathering. Media televisi masih membiarkan dirinya sangat tergantung pada sumber-sumber resmi pemerintah. Sebanyak 60,8 % sumber yang dikutip televisi pada periode yang diamati, tup, adalah sumber resmi pemerintah : TNI, Kepolisian, Pemerintah dan DPR. Bandingkan dengan sumber GAM yang hanya 4,1 %, atau sumber tokoh dan warga masyarakat Aceh sebesar 11, 6%. Media masih terus menyuarakan realitas psikologis kaum elit kekuasaan, terutama TNI. Dengan demikian, media sesungguh tetap menghadapi kesulitan untuk melepaskan diri dari kerangka pemberitaan pemerintah. Kerugian terbesar, tentu saja karena media tetap gagal dalam menghadirkan diskusi yang dialogis dan seimbang soal konflik Aceh. Apalagi media di sisi lain juga tidak terjadi perubahan pada lemahnya media televisi dalam memenuhi prinsip-prinsip cover botshide. Sebanyak 51,9% dari 268 total berita yang dianalisis, tidak memenuhi prinsip cover both side. Untuk sesuatu yang paling esensial dalam jurnalisme, dan sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan pun, media televisi tetap lalai.

Ilmu Politik dan Komunikasi

(AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515)

Istilah politik telah lama dikenal. Bahkan beberapa ahli yang menyatakan bahwa politik sama tuanya dengan peradaban manusia. Aristoteles juga pernah menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang berpolitik. Kata kunci penting dalam kajian politik adalah kekuasaan. Dapat dikatakan bahwa unsur utama dalam pembahasan politik adalah apa dan bagaimana manusia mengelola kekuasaan.
Perspektif dasar dalam pembahasan tentang politik adalah usaha untuk mendapatkan, memanfaatkan, mendistribusikan, mengimplementasikan dan mempertahankan kekuasaan kepada manusia yang lain. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana kekuasaan itu sendiri (mengutip Lasswell). Politik adalah proses dan aktivitas sosial manusia untuk mengatur tindakan manusia.
Ilmu politik adalah kajian sistematik, metodis dan rasional yang ingin memahami dan menjelaskan proses-kegiatan serta tindakan individu atau kelompok dalam mendapatkan, memanfaatkan, mendistribusikan, mengimplementasikan dan mempertahankan kekuasaan yang ada. Ilmu ini mau menjelaskan prinsip-prinsip dasar dan bagaimana proses serta tindakan politik bisa dilakukan dalam kehidupan sosial. Proses politik sebagai pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan yang menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama pembuat keputusan.
Ilmu politik sendiri mempunyai empat cabang utama, terutama yang sampai berkembang. Empat cabang tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama adalah filsafat politik. Cabang pertama ini merupakan kajian ilmu politik yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan normatif dalam tindakan politik. Perspektif dasarnya adalah hakikat mendasar dari sebuah proses dan kegiatan politik.
Kedua adalah hubungan internasional. Cabang kedua ilmu politik ini adalah cabang yang mengkaji prinsip dasar dan eksplanasi kompleksitas tatanan dan relasi internasional. Perspektif dasar hubungan internasional adalah proses hubungan yang bersifat internasional. Sifat hubungan ini yang berakibat bahwa hubungan tersebut tidak lagi sederhana tapi penuh dengan kerumitan-kerumitan sendiri.
Ketiga adalah ilmu perbandingan politik. Ilmu perbandingan politik adalah kajian yang mau mengambarkan, menjelaskan dan menganalisa ragam sistem dan proses politik dari sekian banyak negara yang ada di dunia ini.
Keempat adalah ilmu politik dalam negeri atau lokal. Ilmu ini mengkaji keberadaan dan keunikan dari proses politik lokal yang ada dan berkembang sampai sekarang.
Sementara ilmu politik terapan yang berkembang sekarang seperti: politik kemiliteran, politik gender, politik etnis dan sebagainya lebih mau memperlihatkan bahwa ilmu politik sendiri pada dasarnya ilmu yang terbuka untuk berdialog dengan disiplin ilmu yang lain.
Perspektif politik terhadap komunikasi lebih mendasarkan pada asumsi bahwa politik adalah sebuah proses. Politik melibatkan komunikasi. Proses komunikasi dalam ruang lingkup politik menempati posisi yang penting. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi. Dengan kata lain, sejauh mana proses politik menentukan struktur dan pola komunikasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Perspektif ilmu komunikasi terhadap politik. Kerangka yang mengekspresikan atau menyatakan pesan politik tentunya melalui proses komunikasi. Dalam arti tertentu, politik berada dalam domain komunikasi. Proses komunikasi akan menentukan struktur, efektivitas, proses dan aktivitas politik yang ada. Atau dengan kata lain, sejauh mana komunikasi menentukan proses pencarian, mempertahankan dan mendistribusikan pola kekuasaan dalam masyarakat.
Dalam proses politik, komunikasi menjadi alat atau media yang mampu mengalirkan pesan politik (tuntutan dan dukungan) ke kekuasaan untuk diproses. Dalam suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur politik (lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik (partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan) –nya. Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik. Dalam model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada suprastruktur politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya). Sedangkan komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur politik dalam suatu sistem politik.
Dapat dikatakan bahwa ilmu politik merupakan salah satu akar pertama pengembangan ilmu komunikasi. Lasswell sendiri merupakan pakar politik Dapat dikatakan bahwa yang berkembang sebelum disiplin ilmu komunikasi mulai bertumbuh justru komunikasi politik.

Sumber:
Robert E. Goodin, Hans-Dieter Klingemann (Hrsg.), 1996: A New Handbook of Political Science. Oxford / New York u.a.: Oxford University Press

Michael Roskin, Robert L. Cord, James A. Medeiros, and Walter S. Jones, 2007, Political Science: An Introduction (New York: Prentice Hall)

McNair B. 2003. An Introduction to Political Communication, London: Routledge

http://www.askoxford.com/

KOMUNIKASI DI ANTARA LINTASAN ILMU


AG.Eka Wenats Wuryanta

BAGIAN I
Pendahuluan

Ketika ilmu komunikasi berangkat dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan maka tidak mengherankan bahwa ilmu komunikasi dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Ketika manusia niscaya berkomunikasi, sementara kehidupan manusia berada dalam konteks-konteks yang beragam maka komunikasi itu sendiri bersifat kontekstual dan unik (Bradac-Bowers, 1982).
Sejarah komunikasi sendiri sudah berkembang jauh sebelum ilmu tentang komunikasi itu sendiri berkembang. Sejarah retorika Aristoteles memperlihatkan bahwa tindakan komunikasi sudah berkembang pada era Yunani-Romawi. Ketika komunikasi berada di dalam khasanah ilmu pengetahuan, maka ilmu komunikasi yang dikenal sampai sekarang adalah disiplin ilmu yang berumur relatif lebih muda jika dibandingkan dengan sosiologi, biologi, astronomi, fisika bahkan filsafat.
Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, kajian ilmu komunikasi berakar dari ilmu politik (Dahlan, 1990:6). Schramm sendiri mengindikasikan Harold Lasswell sebagai salah satu Perintis Komunikasi modern, adalah juga ahli ilmu politik. Komunikasi waktu itu lebih banyak menelaah masalah propaganda dan opini publik. Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi mulai dilihat sebagai ilmu ketika sosiologi (dimulai oleh P. Lazarsfeld) dan psychologi social (yang dirintis oleh Carl Hovland) memberikan kontribusi terhadap telaah fenomena komunikasi massa waktu itu. Rintisan sosiologi dan psikologi sosial memberikan kontribusi soal perspektif masyarakat yang mendapatkan pengaruh media massa.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam perkembangan ilmu komunikasi maka terdapat tiga bidang ilmu yang memberikan kontribusi konkret terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu politik, ilmu sosial dalam hal ini adalah sosiologi, dan psikologi. Ilmu politik memberikan ruang pertama pada pembahasan propaganda politik berikut pengaruhnya kepada masyarakat. Sosiologi memberikan tempat di mana komunikasi tidak bisa melepaskan diri dari masalah interaksi antar manusia. Psikologi memberikan kajian pelengkap mengenai masalah komunikasi yang berkaitan dengan perilaku psikologis seorang manusia (individu) maupun tindakan masyarakat.
Meski demikian bantuan atau kontribusi ilmu selain yang di atas juga tidak bisa dipungkiri seperti ilmu matematika (yang persis juga dipakai oleh Shannon dalam menjelaskan persoalan mendasar komunikasi), linguistik (yang turut membantu komunikasi dalam mempelajari karakteristik pesan dalam sebuah bahasa), biologi (yang turut membantuk komunikasi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan yang saling terhubung satu sama lain). Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa komunikasi harus dipahami sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Jalinan erat antara komunikasi dengan bidang ilmu di luar komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan disiplin ilmu yang masih berkembang, seturut dengan manusia yang mempunyai kecenderungan berkembang pula.
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, penulis berfokus pada penyelidikan kaitan atau visi perspektif dari 2 bidang ilmu di luar ilmu komunikasi, yaitu filsafat dan matematika dengan ilmu komunikasi itu sendiri. Penulis membagi beberapa bagian penting dari makalah ini. Bagian pertama adalah bagian pendahuluan yang ingin memperlihatkan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu yang multidisipliner dan dengan situasi semacam itulah ilmu dan teori komunikasi masih berkembang sampai sekarang. Bagian kedua adalah terdiri dari 2 sub bagian besar. Sub bagian pertama adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik antara filsafat, matematika dan komunikasi sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Sub bagian kedua adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik tersebut terhadap dua kajian komunikasi, yaitu pemaknaan dan interaksi dalam komunikasi. Sub bagian ketiga adalah eksposisi sejauh mana implikasi teoretis hubungan multiperspektif tersebut dalam perkembangan teori komunikasi.
BAGIAN II

FILSAFAT, MATEMATIKA, ILMU KOMUNIKASI: Lintasan Hubungan
a. Definisi dan Perspektif Dasar
Bagian ini mau membahas hubungan antara filsafat, matematika dengan komunikasi. Yang perlu dipahami dalam bagian ini adalah salah satu atau bagian kecil dari sekian banyak perspektif dari ilmu pengetahuan dalam pembahasan tentang komunikasi. Tapi sebelum masuk pada hubungan timbal balik antara ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut maka penulis ingin meletakkan beberapa hal pokok dari ketiga ilmu tersebut dalam beberapa hal diskusi, yaitu definisi, perspektif dasar, dan konsep pokok.
Pertama, filsafat sebagai disiplin ilmu yang mempunyai sistematika dan logika telah dikembangkan oleh peradaban Yunani sejak abad VI sebelum masehi (Bertens, 1989: 13-26). Kata falsafah atau filsafat merupakan kata serapan bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari philosophy (Inggris), philosophia (Latin), Philosophie (Jerman, Perancis). Kata-kata tersebut diambil dari bahasa Yunani philo dan sophia. Kata ini merupakan gabungan dua kata philein berarti mencintai atau philos berarti persahabatan, cinta dan sophos berarti bijaksana atau Sophia berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah usaha untuk memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Ia juga termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya dan bertujuan untuk memahami (understanding) dan kebijaksanaan (Wisdom). Dengan kata lain, filsafat adalah kajian atau ilmu yang mempelajari, merefleksikan secara kritis, rasional dan radikal realitas untuk mendapatkan kebenaran realitas yang bersifat asali dan mendasar. Perspektif dasar dari ilmu filsafat adalah pemahaman dan refleksi terhadap seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas dapat dilihat secara kritis dan mendasar untuk mendapatkan penjelasan tentang asal usul, tujuan, manfaat dan alasan keberadaan realitas tersebut (Kattsof, 2004: 3-16). Konsep pokok, dengan demikian, dalam filsafat adalah pemahaman, refleksi dan kritis-mendasar.
Kedua, matematika adalah disiplin ilmu tertua yang telah dikembangkan oleh manusia (Borchert, 2006: 20-21). Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan atau mendapatkan akurasi pemahaman masalah atau realitas. Matematika bisa dilihat sebagai proses dan menyediakan perangkat untuk mengukur presisi gejala. Perspektif utama matematika adalah bahwa pengukuran yang tepat seakurat mungkin atas seluruh gejala atau untuk keperluan yang beragam. Dalam perspektif ini, tujuan matematika adalah untuk mendapatkan definisi yang persis dan akurat. Konsep pokok, dengan demikian, dalam matematika adalah pengukuran, akurasi-presisi, randomness.
Ketiga, komunikasi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mulai tumbuh sehabis perang dunia I sampai perang dunia II. Penelitian ilmu komunikasi semakin meningkat pada perang dunia II melalui antara lain Office of War Information Amerika Serikat (Dahlan, 2003). Definisi komunikasi sendiri sangat banyak bahkan Dance dan Larson (dalam Miller, 2005:3) pernah menyatakan terdapat 126 definisi komunikasi. Penulis ingin mengangkat beberapa definisi. Komunikasi adalah keseluruhan prosedur yang mana prosedur tersebut membuat pesan tertentu mempengaruhi yang lain c.one which would inclue the procedures by means of which one mechanism affects another mechanism (Weaver, 1949:3). Carl Hovland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana seorang individu (komunikator) mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi atau mengubah perilaku individu lainnya (Hovland, 1953). Grebner (dalam Miller, 2005: 4) menyatakan bahwa komunikasi adalah interaksi sosial melalui simbol dan sistem pesan. Maka, penulis menyatakan bahwa komunikasi tidak mempunyai definisi tunggal. Komunikasi lebih merupakan proses penyampaian pesan melalui simbol-tanda yang dilakukan secara transaksional antara penyampai pesan dengan para penerima pesan dengan tujuan tertentu (disesuaikan dengan kepentingan komunikator atau komunikasi, vis a vis). Karena definisi yang begitu banyak maka tidak mengherankan apabila dalam konseptualisasi komunikasi terdapat point of convergence dan point of divergence.(Miller, 2005: 5-11).
Definisi umum (point of convergence) dari komunikasi terdiri dari definisi komunikasi sebagai proses, komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional dan komunikasi sebagai sesuatu yang simbolik. Komunikasi sebagai proses adalah pemahaman bahwa titik utama yang menjadi perhatian sekian banyak definisi komunikasi terletak pada proses. Komunikasi sebagai proses menyiratkan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang berkelanjutan, kompleks dan tidak arbitrer (mana suka). Komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional berarti bahwa komunikasi tidak hanya sekedar prosesual dan interaksional melainkan terjadinya intensifikasi hubungan timbal balik antara komunikator, komunikan, pesan, efek dan sebagainya. Komunikasi merupakan sesuatu yang simbolik menyiratkan bahwa ketika komunikasi berproses melalui sesuatu yang transaksional maka hal esensial yang dibutuhkan adalah pemaknaan yang berangkat dari simbol-simbol yang dipakai dalam tindakan komunikasi tersebut. Definisi umum memperlihatkan betapa pun definisi komunikasi tersebar dengan berbagai macam sudut pandang maka setidaknya ada yang menyatukan definisi-definisi tersebut.
Berbeda dengan sudut pandang dalam konteks definisi umum, point of divergence lebih melihat pusaran definisi tersebar dalam beberapa karakteristik. Point pertama adalah poin komunikasi sebagai aktivitas sosial. Point ini merujuk konseptualisasi yang tidak sama tapi berada dalam konteks relasi sosial yang beragam dan mempunyai impak terhadap kehidupan sosial. Konseptualisasi relasi sosial dan komunikasi mengakibatkan bahwa komunikasi mempunyai level sosial dari antar pribadi sampai komunikasi massa, termasuk di dalamnya proses kognitif dalam proses interaksi komunikatif. Point kedua adalah komunikasi berhubungan dengan tindakan komunikatif dan intensionalitas. Poin ini berangkat dari adagium Watzlawick yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa tidak berkomunikasi. Dalam poin ini terdapat pula bahwa perspektif komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perspektif sumber komunikasi melainkan juga sampai pada masalah perpektif penerima, dan perspektif pesan.
Tiga point di atas sebenarnya mau memperlihatkan beberapa hal penting dalam terminologi filsafat, matematika dan ilmu komunikasi itu sendiri. Tentunya tiga point di atas lebih mau dielaborasikan lebih jauh pada bagian selanjutnya.
b. Hubungan Filsafat, Matematika dan Ilmu Komunikasi
Perspektif dasar filsafat adalah pemahaman menyeluruh dan refleksi kritis atas seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas tersebut dapat dilihat secara mendasar untuk mendapatkan makna kebenaran yang lebih mendasar. Sementara itu, matematika mempunyai perspektif dasar sebagai proses atau setidaknya penalaran melalui pengukuran sedemikian rupa mendapatkan hasil yang benar, akurat dan presisi dalam melihat realitas. Dua perspektif di atas mempunyai kesamaan dalam memandang titik tolak realitas dan tujuan akhir masing-masing perspektif, yaitu untuk mendapatkan pemahaman atas kebenaran realitas dalam usaha dalam mengurangi ketidakpastian-ketidakpastian yang melingkupi realitas itu sendiri. Hanya perbedaannya adalah pada soal cara memandang, di mana filsafat mau mencoba memahami realitas sebagai sesuatu yang reflektif dan mendasar dengan segala asumsi dan derajad kepastiannya (Ewing, 2003:14-20). Matematika memahami realitas sebagai sesuatu yang harus bisa dipastikan presisi dan akurasinya (sekaligus menyederhanakan konsep yang mendasari sejumlah besar kompleksitas) karena realitas mempunyai asumsi ketidakpastian.
Berangkat dari persamaan dan perbedaan antara filsafat dan matematika maka filsafat memberikan dasar-dasar penalaran yang benar (logika) yang diperlukan untuk menyusun argumen-argumen yang mempunyai tingkat kejelasan dan akurasi yang bisa dipertanggungjawabkan (Ewing, 2003: 18-19). Matematika sendiri memberikan kepada filsafat rangkaian perangkat atau instrumen yang dipergunakan untuk melakukan sistematisasi rasional atas sebuah realitas, sebut saja dengan perhitungan, ukuran, simbolisasi dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi maka dapat dijelaskan sebagai berikut: perspektif filsafat yang memposisikan sebagai proses tidak kunjung selesai dalam pemahaman yang mendasar atas realitas memberikan warna kepada komunikasi yaitu sejauh mana proses pemahaman mendasar atas realitas (secara ontologis, epistemologis, aksiologis) menentukan bagaimana proses komunikasi dilakukan (mulai dari makna mendalam komunikator sampai makna terdalam dari efek komunikasi). Komunikasi sendiri memberikan peran bagi filsafat dengan sejauh mana serta bagaimana pengolahan dan proses komunikasi atas informasi-informasi yang lengkap, jelas dan argumentatif bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar benar rasional sedemikian rupa mampu masuk pada inti masalah yang paling dasar atau fundamental.
Hubungan perspektif matematika dengan komunikasi dapat dinyatakan sebagai berikut: bahwa perspektif matematika memberikan pengukuran yang akurat pada proses komunikasi yang dilakukan sehingga tindakan komunikasi bisa dilakukan dengan maksimal. Sebaliknya, komunikasi memberikan pendasaran simbolik dan pemaknaan yang bisa digunakan untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan sejumlah besar konsep abstrak yang digunakan dalam matematika. Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang kepada yang lain untuk mendapatkan bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan khusus. Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: mereflesikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika; membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode oral, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar; menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematika; merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argument yang meyakinkan. Secara umum, matematika dalam ruang lingkup komunikasi mencakup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse).
c. Implikasi Relasi Perspektif Filsafat Matematika dengan Ilmu Komunikasi
Dengan konteks di atas maka terdapat relasi langsung dan tidak langsung antara perspektif filsafat, matematika dengan komunikasi sebagai disiplin ilmu. Di satu sisi, perspektif filsafat dan matematika sangat berfokus pada soal proses pemahaman terhadap realitas secara keseluruhan meskipun dengan cara dan metode yang berbeda. Tapi yang jelas adalah bahwa kedua perspektif tersebut menekankan pada proses (yang terlihat secara jelas). Dalam konteks ini, ketika komunikasi dilihat sebagai sebuah proses maka perspektif yang lain pun mengafirmasikannya. Konseptualisasi definisi umum yang menyatakan komunikasi sebagai sebuah proses merupakan kepastian. Penekanan definisi proses sebagai sesuatu yang kompleks, berkelanjutan dan tidak bersifat manasuka juga merupakan karakteristik perspektif filsafat dan matematika. Ini menandakan juga bahwa interaksi pun juga tidak sederhana. Sifat holistik juga terlihat dalam perspektif komunikasi.
Tindak komunikasi tidak hanya dipahami sebagai pecahan-pecahan pengalaman tapi pengalaman secara menyeluruh. Komunikasi sederhana yang berangkat dari interaksi yang sederhana juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks. Dengan demikian, model matematika Shannon atau model Berlo (model SMCR) tidak bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat linear, dan simplistik melainkan harus dilihat secara utuh. Persamaan matematika Shannon dan model Berlo SMCR memuat persamaan yang memperlihatkan proses komunikasi yang utuh.
Apakah memang perspektif matematika dan filsafat hanya berhenti pada masalah prosesual komunikatif? Dari 2 perspektif terdahulu juga memperlihatkan tingkat intensitas hubungan antara refleksi, eksplanasi dan estimasi dengan realitas yang diamati atau dieksplanasi atau diestimasi. Perspektif matematika yang menekankan kejernihan dan akurasi mengandaikan unsur transaksionalitas. Matematika dan filsafat menekankan hubungan dan intensifikasi timbal balik antara subjek dengan objek. Demikian juga halnya ilmu komunikasi. Komunikasi sebagai transaksi. Pandangan ini menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis yang secara berkesinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan atau pesan nonverbal.
Beberapa definisi yang sesuai dengan konsep transaksi:
a. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss: Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
b. Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson: Komunikasi adalah proses memahami danberbagi makna.
c. William I. Gordon : Komunikasi adalah suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.
d. Donald Byker dan Loren J. Anderson: Komunikasi adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.
Dalam konteks selanjutnya, komunikasi dalam definisi transaksional merujuk pada masalah kontekstualitas dalam proses komunikasi. Perspektif filsafat ketika menekankan masalah refleksi dan pemahaman menyeluruh mengandaikan juga masalah kontekstualitas. Proses kebenaran tidak bisa dilihat secara terpisah dan tidak terhubung pada konteks yang menyertainya. Matematika dalam mencari dan berproses melakukan estimasi, penyederhanaan kompleksitas realitas tetap memperhitungkan kontekstualitas supaya persamaan yang dibuat juga tetap bisa disesuaikan dengan faktor atau variabel yang mempengaruhinya.
Perspektif matematika dan filsafat juga berpengaruh pada masalah definisi umum komunikasi sebagai sesuatu yang bersifat simbolik. Perspektif filsafat dan matematika menyiratkan adanya simbol atau tanda yang berhubungan dengan proses pemaknaan dalam sebuah proses komunikasi. Dalam konteks perspektif matematika, penggunaan simbol dalam proses pengkomunikasian realitas dengan tujuan mencari penyederhanaan konsep yang mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi serta mencari pemahaman yang lebih presisi merupakan pengandaian yang tidak bisa dihindarkan. Simbol adalah sesuatu yang secara sengaja digunakan untuk menunjukkan sebuah realitas lainnya. Benda yang ditunjuk oleh seimbol itu adalah apa yang dimaksudkan oleh kelompok sosial tertentu. Ciri utama simbol, menurut Hoebel (1966: 299) adalah kepadatannya. Hoebel menyatakan bahwa dalam satu bentuk atau lainnya, simbol itu selalu bersifat terbuka, ia harus terlihat, terdengar, dirasakan atau dibaui. Simbol-simbol itu memadatkan abstraksi ke dalam objek yang terbatas. Simbol-simbol inilah yang dimaknai oleh para pelaku proses komunikasi, menjadi media pesan dan sebagainya. Ketika simbol berhubungan dengan proses pemaknaan maka simbol selalu bersifat kontekstual.
Dalam perspektif matematika dan komunikasi, simbol digunakan dalam menyampaikan pesan sedemikian perlu diukur untuk mendapatkan proses komunikasi yang maksimal. Dalam perspektif filsafat dan komunikasi, simbol digunakan untuk melakukan pemaknaan mendalam melalui refleksi simbolik.
Definisi khusus tentang komunikasi berdasarkan perspektif matematis dan filosofis lebih dititikberatkan pada masalah sejauh mana pemahaman mendalam reflektif dan ukuran akurasi informasi membentuk komunikasi sebagai aktivitas sosial dan berdimensi intensional. Relasi sosial tentunya akan dipengaruhi sejauh mana seseorang mampu mereduksi ketidakpastian kepada yang lain sehingga membentuk relasi yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah bagaimana cara berkomunikasi dengan yang lain. Tentunya relasi sosial yang mengandaikan tindakan komunikasi yang tepat merujuk bahwa komunikasi selalu bersifat intensional (sadar dan terarah). Sebaliknya, ketika proses komunikasi dilakukan secara tepat, akurat dan jelas maka akan mempengaruhi sejauh mana seseorang secara tepat, akurat dan jelas menentukan sikap sosial (Miller, 2005: 7). Demikian juga halnya, pemahaman yang mendalam atas sebuah realitas akan menentukan bagaimana proses produksi pesan dan pemaknaan pesan bisa dilakukan secara optimal (Miller, 2005:7). Sebaliknya pesan optimal yang jelas akan menentukan pemahaman mendalam atas realitas (perspektif filsafat)
d. Implikasi Telaah Komparasi pada Domain Konseptual Ilmu Komunikasi
Pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa melihat pemaparan komparasi antara filsafat, matematika dan komunikasi. Telah dipahami bersama bahwa perspektif matematika dan perspektif filsafat mempunyai kesamaan dalam melihat proses pemahaman atas realitas (dalam hal ini proses komunikasi berikut gejala-gejalannya), yaitu bahwa kedua perspektif tersebut berusaha melihat proses pemahaman secara menyeluruh sehingga sebuah realitas dapat diambil maknanya.
Dalam kajian ilmu komunikasi pun ketika dihadapkan pada perspektif matematika dan filsafat maka domain konseptual yang terjadi berkembang dalam konteks yang lebih terinci. Terdapat 2 domain utama yang berkembang dalam teori komunikasi terutama yang berkait dengan perspektif matematika dan filsafat. Dua domain utama tersebut adalah domain konsep komunikasi sebagai model transmisi komunikasi dan model konstitutif komunikasi. Craig menyatakan bahwa model transmisi komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan atau proses transfer informasi dari satu ke yang lain. Model konstitutif komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan unsur konstitutif atau mendasar dari sebuah proses sosial itu sendiri. Dalam tataran tertentu perspektif matematika akan banyak berbicara pada domain model transmisi komunikasi. Tuntutan ketepatan informasi, akurasi dan kapabilitas media komunikasi merupakan karakter utama dari proses transmisi komunikasi. Sementara itu perspektif komunikasi banyak lebih berbicara dalam domain komunikasi: model konstitutif komunikasi. Ketika filsafat ingin membawa pada refleksi mendalam dan realitas itu adalah tindakan manusia di mana salah satunya adalah komunikasi maka komunikasi merupakan unsur konstitutif dari manusia itu sendiri. Tapi dengan melihat kompleksitas dan perkembangan ilmu komunikasi maka pembatasan yang jelas antar perspektif baik itu matematis maupun filosofis menjadi tidak ketat.
Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas komunikasi telah berkembang sejak lama sehingga dalam ilmu komunikasi dikenal tradisi-tradisi yang unik. Robert Craig, telah memetakan tujuh (7) bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut sebagai 7 tradisi (dalam Griffin 2000:22-35 dan Miller, 2005:13), yakni :
1. Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni)
Perspektif teoretis komunikasi dalam tradisi ini menyatakan seni praktikal dari wacana yang berkembang. Problem tradisi ini terletak pada eksigensi sosial mengandaikan pertimbangan dan penilaian kolektif. Keistimewaan yang mencirikan tradisi ini adalah bahwa keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik. Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasif. Public speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
2. Tradisi semiotic (komunikasi sebagai proses membagi makna melalui tanda)
Perspektif utama teoritis tradisi ini terletak adanya mediasi intersubjektif melalui tanda-tanda yang dibuat. Permasalahan teoritisnya terletak pada kemungkinan adanya misunderstanding atau gap di antara cara pandang subjektif para pelaku komunikasi. Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tradisi ini lebih memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa makna-makna tertentu kepada khalayak. Sehingga dalam tradisi ini memungkinkan bahwa individu-individu akan memaknai tanda-tanda secara beragam.
3. Tradisi Fenomenologi (Komunikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog)
Perspektif teoritis tradisi ini adalah dialog atau kebersamaan dengan yang lain. Problematika teoritisnya terletak pada ketidakhadiran dan masalah otentisitas relasi antar manusia. Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya menciptakanlingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang. Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni: kecocokan/kesesuaian, hal positif yang tidak bersyarat, pemahaman empatik.
4. Tradisi Cybernetic (komunikasi sebagai pemrosesan informasi)
Perspektif dasar tradisi ini adalah proses informasi. Hanya memang ada beberapa masalah teoritis yang muncul dalam tradisi ini, yaitu noise, overload information, kerusakan dalam sistem komunikasi. Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh ahli matematika, Claude Shannon. Karyanya, The Mathematical Theory Communication yang diterima secara luas sebagai salah satu benih studi komunikasi. Teori ini memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Karyanya berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan. Meski eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi Warren Weaver mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan tentang komunikasi insani (human communication). Jadi dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redundancy, dan sistem.
5. Tradisi Sosio-Psikologi (komunikasi merupakan pengaruh antarpribadi)
Konsep pokok dalam tradisi ini adalah ekspresi, interaksi dan pengaruh. Sementara itu, permasalahan yang timbul di dalam tradisi ini adalah situasi yang menuntuk manipulasi hubungan sebab akibat dari perilaku untuk mencapai hasil yang diinginkan. Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebab-akibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui serangkaian eksperimen. Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan, pendapat(opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).
6. Tradisi Socio Kultural (Komunikasi sebagai penciptaan dan pembuatan realitas sosial)
Premis tradisi ini adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar dari kita beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang telah kita gunakan sejak lahir. Ahli bahasa Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah pelopor tradisi sosio kultural. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan. Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh; terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang. Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa/ grammarnya tersendiri. Contoh: sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi di mana saya dapat menukar uang ini?, maka akan ditulis dalam bahasa Inggris where can I Change some money?
7. Tradisi Kritis (komunikasi adalah refleksi penolakan terhadap wacana yang tidak adil).
Tiga asumsi dasar tradisi kritis: Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi.
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan sebutan Frankfurt School. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis. Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, di mana komunikasi menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan focus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Pemikirannya disebut dengan teori kritis. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika.
Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era berikutnya.
Beberapa tradisi di atas dinyatakan untuk melihat sejauh mana tradisi tersebut memuat beberapa karakteristik utama dalam proses komunikasi. Permasalahannya adalah bahwa komunikasi tidak hanya difragmentasikan dalam beberapa disiplin ilmu dan perspektif tapi juga dikarakterisasikan dengan level yang tinggi dari studi multidisipliner apalagi ketika studi multidisipliner tersebut ditinjau dalam beberapa asosiasi profesional. Pada bagian atau isu ini lebih didasarkan pada masalah bagaimana konteks-konteks perkembangan teknologi komunikasi, fokus penelitian dalam ilmu komunikasi tambah berkembang pesat (Miller, 2005: 14-16).
e. Implikasi Perspektif Filsafat dan Matematika dalam Kajian Pemaknaan dan Interaksi dalam Komunikasi
Bagian pertama, penulis ingin menguraikan sejauh mana pengaruh perspektif matematika dalam proses interaksi dan pemaknaan komunikasi. Perspektif matematika adalah perspektif presisi dan ukuran. Dalam konteks pemaknaan dan interaksi komunikasi maka dapat dikatakan bahwa matematika membantu proses komunikasi secara optimal.
Hal pertama yang perlu dibicarakan adalah bahwa pemaknaan dalam konteks komunikasi merupakan konsep yang abstrak. Kata makna dalam komunikasi berhubungan dengan konsep komunikasi itu sendiri. Karakteristik utama makna dalam proses pemaknaan adalah kebersamaan.Makna dalam konsep komunikasi mencakup lebih daripada penafsiran atau pemahaman individu. Makna mencakup banyak pemahaman. Aspek kebersamaan dan pemahaman inilah yang menyatakan bhwa makna berhubungan dengan masalah communality of meaning. Dalam proses kebersamaan atau in common, penting untuk mendapatkan informasi yang jelas agar pesan yang ditangkap ditafsirkan sama. Berarti, pesan harus sampai tanpa harus dihalangi oleh beberapa hambatan. Entropi dalam informasi harus minimal. Kita perlu berasumsi bahwa semua tujuan komunikasi adalah mengatasi ketidakpastian (uncertainty). Teori yang dikembangkan Shannon dan Weaver menyederhanakan persoalan komunikasi ini dengan memakai pemikiran-pemikiran probabilitas (kemungkinan).
Jika kita melakukan undian dengan melempar sebuah uang logam, hasil undian itu dianggap bernilai satu bit informasi karena mengandung dua kemungkinan dan setiap kemungkinan mengandung nilai 0,5 alias sama besar dari segi kesempatan undian. Dari pemikiran dasar yang sederhana ini, Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai entropy.
Melalui pernyataan-pernyataan matematis, Shannon (dan lalu juga Weaver) menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding.
Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal tertentu.
Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Kritik terhadap teori mereka datang dari kaum yang mencoba mengaitkan informasi dengan makna dan kandungan nilai sosial-budaya di dalam informasi. Sampai sekarang, perdebatan tentang apakah informasi adalah sesuatu yang kuantitatif atau kualitatif masih terus berlangsung. Ada yang mencoba mengambil kebaikan dari kedua pihak dengan mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang berwujud dan sekaligus bersifat abstrak.
Hal kedua yang perlu didiskusikan adalah masalah interaksi dalam perspektif matematika adalah komunikasi yang terukur dan pasti melibatkan rangkaian interaksi antar subjek yang terkandung dalam proses tersebut. Perspektif matematika merujuk bahwa proses interaksi sosial berangkat dari kejelasan dan akurasi informasi sosial di mana setiap individu saling berinteraksi satu sama lain.
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan. Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial.
Bagian kedua bagian ini akan lebih membahas bagaimana perspektif filsafat berpengaruh pada kajian pemaknaan dan interaksi komunikatif. mempunyai hubungan yang erat dengan komunikasi baik secara praktek maupun komunikasi sebagai disiplin ilmu. Sumbangan filsafat untuk komunikasi adalah dalam logika. Aristoteles menyatakan bahwa roh utama dari retorika adalah logika. Logika adalah prinsip penalaran manusia. Logika diekspresikan melalui retorika (Craig, 1999).
Pada sisi lain, filsafat memberikan pendasaran filosofis kepada komunikasi sebagai sebuah ilmu. Pendasaran ilmiah dan rasional melalui ontologi, epistemologi dan aksiologi memberikan arah dalam perkembangan komunikasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, beberapa aliran pokok filsafat analitik (filsafat yang lebih berhubungan dengan logika bahasa) memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu komunikasi. Filsafat analitik sendiri berangkat dari asumsi-asumsi fenomenologi, hermeneutika, filsafat eksistensialisme. Analisis bahasa dan beberapa tradisi pokok dalam ilmu komunikasi berangkat dari tradisi filsafat idealisme, fenomenologi, hermeneutika. Kalau melihat model tradisi komunikasi yang ditawarkan oleh Robert Craig maka setidaknya ada empat tradisi yang mempunyai akar dari filsafat, yaitu retorika, fenomenologi, semiotika dan kritis (Griffin, 2000; Littlejohn, 2008).
Kajian pemaknaan dalam perspektif filsafat tidak bisa dipisahkan dengan tradisi filsafat yang bersumber dari semiotika dan hermeneutika. Pemaknaan tidak bisa dipisahkan dengan masalah penafsiran. Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Hermeneutika kritis di sisi lain menawarkan pengungkapan kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas.
Kajian interaksi yang mempunyai akar filsafat lebih banyak disandarkan pada kajian fenomenologi yang dikembangkan dalam tradisi interaksionisme simbolik dan menyatakan adanya kebersamaan yang diandaikan dalam praktik komunikasi (Griffin, 2000).
f. Eksplorasi Teori Komunikasi tentang Interaksi dan Pemaknaan (keterkaitan dengan perspektif matematika dan filsafat)
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa teori besar yang merujuk pada kajian interaksi dan pemaknaan (berikut keterkaitannya dengan matematika dan filsafat)
1. Teori Informasi
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial. Beberapa pandangan (persepsi) pokok mengenai teori informasi:
Pilihan dan Ketidakpastian
Informasi menurut teori informasi eksis dalam bentuk jumlah. Manusia dalam teori ini dipandang aktif dalam sistem sosial. Aktif dalam arti bahwa manusia sebagai unsur dalam sistem sosial berperan secara aktif melakukan pilihan-pilihan dari populasi selama interaksi sosial berlangsung. Memilih adalah salah satu karakteristik yang memisahkan manusia sebagai suatu spesies yang unik di antara dunia hewan. Manusia melakukan pemilihan terhadap populasi informasi yang eksis secara kuantitatif itu. Tujuan pilihan ini adalah mengurangi jumlah ketidakpastian. Proses mencari dan menggunakan informasi untuk mengurangi ketidakpastian merupakan karakteristik komunikasi manusia yang alamiah, tidak terelakkan meskipun tidak dijalankan secara sadar.
Redudansi dan Kendala
Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga prilaku pengolahan-informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Apabila urutan perilaku atau peristiwa tertentu terjadi berulangkali, maka urutan itu dapat dikatakan memerlihatkan keteraturan kejadian pada tingkat atau probabilitas tertentu. Apabila tingkat urutan itu mencapai probabilitas yang cukup, kita dapat dapat membedakan urutan itu sebagai suatu pola yang dapat dikenal. Teori informasi memandang bahwa makin redudan suatu urutan peristiwa, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung peristiwa itu.
Perspektif pragmatik tidak memandang perilaku manusia sebagai produk atau efek tindakan komunikatif, melainkan sama. Pandang inilah juga yang menyebabkan adanya diskrepansi (kesenjangan) antara perpspektif psikologis dan perspektif pragmatisme. Titik pandang yang menimbulkan kesenjangan adalah kesenjangan antara sikap dan perilaku individu dalam komunikasi manusia. Tetapi hal ini tidak ditemukan di dalam perspektif pragmatik karena memang perspektif ini hanya berfokus pada sistem sosial. Fokus perspektif pragmatik tidak terjun ke hirarki terbawah dan melakukan penelitian mikroskops; yakni, fokusnya tidak pada individu sebagai perorangan akan tetapi pada sistem sosialnya\minimal terdiri dari dua orang atau lebih. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat sistem sosial, maka sub-sistem yang terkecil adalah individu. Namun demikian bahwa sikap dan perilaku merupakan subsistem individu itu sendiri, tetap saja perspektif pragmatik tidak berfokus ke sana.
Berikut akan kita lihat bagaimana teori sistem umum dan teori informasi bekerja secara konseptual dalam penelitian ilmu komunikasi. Karena perspektif pragmatis memandang komunikasi manusia sebagai sistem yang memerlukan eksistensi sistem sosial yang di dalamnya teradi komunikasi manusia, maka persepsi kita tentang komunikasi betul-betul fokus hanya pada aktivitas komunikasi manusia. Konseptualisasinya adalah komunikasi sebagai aktivitas manusia.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa komunikasi berbeda dengan piranti keras komunikasi seperti alat telekomunikasi atau media massa. Yang disebut terakhir ini hanya instrumen komunikasi manusia dan bukan merupakan bagian integral studi komunikasi manusia. Jadi, aktivitas manusialah yang memiliki peran aktif dalam sistem sosial, bukan alat-alat komunikasi itu. Hal ini berarti bahwa dalam sistem sosial itu, konseptualisasi komunikasi memusatkan perhatian pada pengolahan informasi pada tingkat sistem dan tidak pada subsistem (individu).
Selain konseptualisasi komunikasi manusia secara sistem sosial, koseptualisasi itu juga berlangsung secara perilaku (perilaku yang bukan subsistem individu). Fokusnya adalah organisasi hirarki sistem memainkan peranan. Terdapat tiga tingkatan sistemik dalam hal ini, yakni subsistem, sistem, dan suprasistem.
Yang terakhir dari konseptualisasi ini adalah pola-pola interaksi yang berurutan. Urutan aktivitas komunikasi manusia (antara partisipan) menunjukkan pengelompokan unsur-unsur ke dalam pola yang telah dikenal atau dapat dikenal. Tanpa adanya pola itu, struktur interaksi tidak dapat dikenal.
2. Teori Pemaknaan Gadamer
Teori hermeneutika ini dikembangkan oleh Hans Georg Gadamer ( Littlejohn, 2008: 135-136). Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks. Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika.

Daftar Pustaka
Bertens, Kees, 1990, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Ewing, AC, 2003. Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miller, Katherine. 2005. Communication Theories: Perspectives, Processes And Contexts. Chicago:McGraw Hill.
Griffin, EM. 2000. A First Look at Communication Theory. Chicago:McGraw Hill
Littlejohn. S,. 2008. Theories of Human Communication. New York:Thomson
Shannon and Weaver, 1949. The Mathematical Theory of Communication. Urbana:The University of Illinois Press
Rogers, Everett, 1997. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Fisher, Aubrey, 1978, Perspectives on Human Communication. Boston:McGraw Hill
Craig, Robert, 2007. Theorizing Communication. London:Sage Publication
Schramm, Wilbur, Ferment in The Field. Journal of Communication volume 33 Number 3.

FENOMENA QUICK COUNT DAN KOMUNIKASI POLITIK:

Gelombang demokratisasi, paska reformasi politik 1998, telah merubah lanskap komunikasi politik Indonesia menjadi relative lebih bebas. Sistem demokrasi menjadikan pemilu sebagai sarana mekanisme pengambilan keputusan politik oleh warga negara, dimana partai atau kandidat politik dipilih langsung. Di dalam sistem demokrasi, media massa merupakan agensi demokrasi (a democratic agency). Sistem politik demokrasi dan media massa tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Media massa menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam proses demokratisasi.
Dalam beberapa blog atau catatan beberapa pengamat tertentu, akhir-akhir ini banyak tokoh politik yang berlomba-lomba berkampanye dalam balutan iklan. Entah membonceng kaum lain untuk diperjuangkan atau membonceng momentum tertentu. Dalam segi yang normatif, hal ini tentu saja sah. Walaupun efektivitasnya agak diragukan karena perilaku menonton televisi sekarang ini adalah selalu memindah channel kala jeda iklan tiba.
Di Indonesia pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru, praktek komunikasi politik atau kampanye pemilu sudah mulai menggunakan media sebagai saluran utama kampanye politik, khususnya televisi atau media cetak. Majalah Cakram (edisi 2008), mencatat berdasarkan penelitian lembaga survei AC Nielsen Media Research Indonesia, total belanja iklan politik selama Januari hingga Juni 2008 mencapai Rp 769 miliar. Sedangkan, belanja iklan secara umum pada rentang waktu yang sama adalah Rp 19,6 triliun atau naik 24 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp 15,8 triliun. Peningkatan belanja iklan itu awalnya disumbangkan oleh dua produk, yakni telekomunikasi (Rp 1,9 triliun) dan otomotif (Rp 850 miliar. Namun, media periklanan politik turut memberi kontribusi dengan nilai Rp 769 miliar. Ini merupakan sebuah perubahan besar (a big political change), sebab selama penyelenggaraan pemilu di masa Orde Baru, media dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Menurut David T. Hill & Krishna Sen (2005), di massa Orde Baru, Semua materi kampanye yang akan disiarkan atau didesiminasikan oleh media harus disetujui oleh Panitia Naskah Kampanye Pemilu dan harus disampaikan kepada Menteri Penerangan Harmoko (p.79). Pada era Orde Baru tersebut, media tidak memiliki kekuatan (powerless) dalam mempengaruhi partisipasi elektoral, sebab pola partisipasi elektoral pemilih dimobilisir atau digerakan oleh pemerintah.
Selanjutnya pada Pemilu 2004, pemilu kedua, komunikasi politik partai atau kandidat mulai mengadopsi konsep “Americanization”. Dennis Kavanagh (1997) mengatakan bahwa istilah ‘amerikanisasi’ digunakan untuk menjelaskan proses yang menunjukan banyaknya aktivitas politik yang terkait dengan media (the media-related activities) dan ketergantungan politisi pada komunikator profesional (professional communicators). Konsep ini pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat dan diikuti oleh negara-negara lainnya.
Dedy N. Hidayat (2004) mengatakan, dalam artikelnya Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu, yaitu: “Di Tanah Air, benih-benih tumbuhnya industri kampanye pemilu, atau bisnis the selling of the president, kini kian jelas.....” . Ia juga menegaskan dalam pemilu dipengaruhi oleh sejumlah kecenderungan global dalam kampanye pemilu. Kecenderungan tersebut pertama, peran televisi dalam kampanye kian meningkat, dimana aktivitas berkampanye kian banyak direkayasa dan dikemas agar sesuai format televisi. Ini berimplikasi pada porsi dana kampanye untuk iklan politik di televisi pun juga terus meningkat. Kedua, kian meningkatnya keterlibatan para electioneer profesional dari luar partai (Thurber dan Nelson, 2000), dan itu semakin menggeser peran para "amatir" dari kalangan kader partai sendiri (Johnson, 2000). Dan ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000). Analisis Hidayat tersebut menjadi kenyataan dimana Soesilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kala sebagai calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu Presiden 2004. Terutama yang berkaitan dengan isu III, tentu saja yang menangguk keuntungan adalah pengelola media massa. Tetapi jangan juga dilupakan perusahaan periklanan dan konsultan politik. Ada beberapa nama yang sering muncul sebagai perusahaan periklanan spesialis iklan politik antara lain Fox Indonesia milik Rizal Mallarangeng yang didirikan 1 Februari 2008 lalu, disebut pula Hotline Advertising yang menangani iklan SBY dan Demokrat pada Pemilu tahun 2004 lalu.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, khususnya pemilu presiden, menjadi menarik untuk membicarakan wacana tentang media dan partisipasi elektoral pemilih, apalagi saat ini perkembangan media sudah begitu massif dan banyak sekali ragamnya –termasuk penggunaan media baru (new media). Ini menunjukan bahwa sudah tidak ada lagi batasan komunikasi politik di dalam proses pemilu di Indonesia. Akankah ketidakterbatasan komunikasi politik tersebut mampu mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas partisipasi elektoral pemilih. Pertanyaan tersebut bersumber dari pemikiran tentang proses penyelenggaraan pemilu yang partisipatif kemungkinan besar akan mampu merubah bentuk demokrasi prosedural, menjadi demokrasi substantif. Demokrasi substantif akan mampu mewujudkan tujuan pemilu itu sendiri yaitu sebagai sarana penyaluran kedaulatan rakyat, dimana para politisi yang terpilih akan mampu meningkatkan kesejahteraan atau mengaktualisasikan hak-hak politik rakyat. Terwujudnya demokrasi substantif mensyarakatkan adanya well informed electors, pemilih yang memiliki informasi yang cukup tentang pengetahuan elektoral dan profil partai atau kandidat. Hanya melalui media lah, pemilih jenis tersebut akan bisa dibentuk, sebab media mendiseminasikan informasi atau analisis elektoral sebagai sumber pengetahuan pemilih.
Perkembangan dalam ilmu politik tidak bergerak dalam kesendiriannya. Perkembangan masyarakat dan dinamika sosial membuat bahwa ilmu politik harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial baru yang tentunya lebih kompleks dan dinamis. Ilmu politik telah mencapai taraf tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaman yang semakin kompleks. Salah satu yang berkembang luas, terutama dalam bidang ilmu politik, adalah strategi baru dalam pemenangan pemilihan umum. Strategi berkelanjutan dalam kampanye memaksa bahwa kampanye tidak hanya dilihat sebagai strategi jangka pendek melainkan juga bersifat jangka panjang. Citra partai atau aktor politik dapat efektif ditanamkan apabil partai atau aktor politik terus menerus melakukan aktivitas yang baik di mata masyarakat. Tentunya evaluasi politis tidak ditentukan dalam perspektif politikus melainkan dari perspektif masyarakat. Dengan demikian, permasalahan politik tidak jauh berbeda dengan masalah persepsi.
Interaksi sosial politik dalam era kontemporer bersifat dinamis. Maka interaksi dinamis dalam konteks sosial politik memunculkan suasana ketidakpastian, interaksi yang tidak linear, dan tingginya tingkat partisipasi sosial dalam proses pengambilan keputusan politik (Goorhuis, 2000). Dalam situasi tersebut maka diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam konteks ilmu politik. Pendekatan yang trans-disiplin dan multi-disiplin menjadi keniscyaan yang harus diambil oleh ilmu politik.
Dalam era lama, hubungan politik antara partai politik dengan konstituen merupakan hubungan satu arah yang dikatakan hanya bermanfaat bagi partai politik. Era demokratisasi mengubah dari hubungan parpol dengan konstituen yang bersifat satu arah menjadi hubungan yang lebih relasional. Hubungan relasional ini berkembang sampai sekarang ketika memahami hubungan antara parpol dengan konstituen. Hubungan mereka seperti layaknya hubungan antara perusahaan jasa dengan konsumennya. Konstituen adalah konsumen, sementara parpol atau aktor politik sebagai perusahaan jasa. Partai atau aktor politik menawarkan jasa penyelesaian masalah sosial politik para konstituennya. Hubungan relasional ini juga masuk dalam bidang atau ranah politik. Selain bahwa sifat relasional antara parpol atau aktor politik dengan konstituennya, permasalahan sekarang adalah juga bagaimana parpol atau aktor politik juga membangun interaksi yang intensif dan berkelanjutan dengan konstituen atau bahkan dengan masyarakat secara luas. Prinsip di atas memperlihatkan persamaan gejala antara aktivitas politik dengan aktivitas pemasaran. Dalam konteks inilah maka terdapatlah fenomena quick count sebagai salah satu cara pemahaman cepat bagaimana persepsi khalayak terhadap pelaku atau isu politik tertentu.
Survei opini publik (survei) ataupun quick count adalah bagian dari proses demokrasi. Keduanya mampu mengontrol efek negatif dari penyelenggaraan pemilu. Survei yang diumumkan menjelang pemilu dapat dijadikan patokan untuk mengamati terjadinya politik uang. Kendati memiliki sifat yang rentan, opini publik dipercaya tak dapat berubah secara drastis dalam waktu singkat tanpa intervensi tertentu. Politik uang adalah salah satu bentuk intervensi yang paling berpengaruh.
QUICK COUNT memang lagi menjadi buah bibir di masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa metode quick countlah yang membuat perpecahan dan kerusuhan antarpendukung kandidat atau partisipan partai. Tetapi sebagian lagi menganggap bahwa quick count membuat proses pemilihan menjadi lebih objektif bahkan ada yang memanfaatkan metode ini untuk membangun isu dan kampanye terselubung kandidat atau partai tertentu. Namun hasil quick count terkadang berbeda dengan perhitungan manual yang dilakukan oleh KPU. Lalu, mana yang paling akurat? Mungkin pertanyaan ini sering diperdebatkan di masyarakat. Perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik horizontal antarpendukung di grass root, bahkan bisa banyak jatuh korban karena masing-masing pendukung mengklaim jagonya (salah satu partai atau pasangan) yang menang. Kita tentu ingat, Pilkada Maluku Utara, Sumatera Selatan dan terakhir adalah Jawa Timur. Hasil quick count yang secara langsung disiarkan di beberapa stasiun televisi, ternyata berbeda dengan hasil perhitungan cepat. Quick count adalah perhitungan secara cepat hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Perhitungan dengan metode ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan metode manual.
Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Sehingga, meski quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI yang juga dipakai KPU serta hasil manual sebagai hasil final, sangat kritis. Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis” atau menjadikan politik sebagai budaya massa dan budaya hiburan layaknya infotainment, melihat hasil quick count boleh-boleh saja.
Dari perspektif ilmiah, masyarakat disodori proses fakta statistik yang ditayangkan berbagai media bahwa kajian akademisi dalam QUICK COUNT ternyata dapat dipercaya kebenarannya dan sahih. Meski terdapat perbedaan angka antara perhitungan manual KPU dengan hasil Quick Count, namun secara ilmiah margin yang demikian hasilnya itu sudah memberi gambaran ke depan bahwa lembaga-lembaga survey Quick Count tersebut bisa diandalkan dan dipercaya kredibilitas keilmuannya.
Opini publik dapat digali lewat berbagai cara. Dalam demokrasi salah satu cara sistematis adalah lewat jajak pendapat umum. Namun, jelas opini publik tidak bisa direduksi ke dalam jajak itu. Bahkan, ada yang berpendapat, jajak pendapat bisa memberikan kesan menyesatkan tentang opini publik dalam hubungannya dengan demokrasi. Opini elite politik dan elite kelompok kepentingan dalam masyarakat juga bagian dari opini publik, dan biasanya tidak cukup tergali oleh jajak, padahal mereka sangat menentukan kebijakan publik. Margolis (1984), misalnya, yakin bahwa jajak pendapat bukan cara yang optimal mengukur opini publik yang berkaitan dengan masalah sosial dan politik. Perilaku nyata kelompok-kelompok dalam masyarakat, menurut Margolis, seperti partisipasi politik in-konvensional (demonstrasi, mogok, penandatanganan petisi, dengar pendapat dengan pejabat publik lebih mencerminkan opini publik daripada pengakuan verbal seperti diungkapkan lewat jajak.

Industri Citra dan Setting Agenda dalam Komunikasi Politik

Pola komunikasi politik modern telah berkembang secara dramatis. Perkembangan demi perkembangan telah memperlihatkan bahwa komunikasi politik tidak berhenti di era tahun 80-an, melainkan terus berkembang bersamaan dengan dinamika politik modern. Demikian juga apabila kita mengamati perkembangan politik dan model komunikasi politik di Indonesia. Salah satu teman saya yang juga ingin menjadi pengamat politik yang handal, memberikan komentar mengenai gejala komunikasi politik kontemporer Indonesia. Gungun Heryanto dalam kupasannya menyebutkan:
"....Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini, segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009. Berbagai manuver, intrik, managemen konflik serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan memanas. Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye, menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004, memberi kesempatan para kandidat baik capres, caleg maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tuna kuasa tanpa literasi politik yang memadai.

Data-data (Majalah Cakram, 2008) berikut bisa dipakai untuk menggambarkan pernyataan di atas bahwa sekarang kompetisi iklan politik telah menjadi gejala yang nampak secara jelas. Pada pemilu 2004, PDIP paling banyak mengeluarkan dana iklan, yaitu sekitar Rp 39,258 miliar. Selanjutnya, diikuti Partai Golkar (Rp21,725 miliar), Partai Karya Peduli Bangsa (Rp6,858 miliar), Partai Amanat Nasional (Rp6,854 miliar), Partai Demokrat (Rp6,257 miliar). Dalam daftar sepuluh besar parpol terbesar yang mengeluarkan dana iklan di media juga terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan, PKS, PKB, Partai Bintang Reformasi dan Partai Persatuan Daerah. Sedangkan di urutan bawah belanja iklan parpol di media tercatat, Partai Buruh Sosial Demokrat (Rp76,06 juta), Partai PNUI (Rp158,48 juta), Partai Pelopor (Rp. 169,995 miliar) dan Partai Merdeka (Rp. 206,92 miliar). Televisi adalah media yang paling banyak menelan dana iklan parpol, yaitu sekitar Rp. 75,434 miliar. Selanjutnya diikuti media cetak (Rp. 35,184 miliar) dan radio (Rp. 2,163 miliar).
Menjelang pemilu 2009, iklan sosok Ketua Umum Gerindra Mayjen (purn) Prabowo Subianto, Ketua Umum Hanura Jenderal (purn) Wiranto, dan yang yang terbaru muncul adalah iklan Partai Demokrat dengan SBY sebagai ikonnya serta PKS dengan tema: Menuju Indonesia Bersih dan Peduli, tak pelak membuat masyarakat dihadapkan pada begitu banyak visi-misi partai yang semuanya memberikan harapan kepada masyarakat.
Sampai dengan saat ini, iklan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berada pada posisi terdepan. Dalam sehari iklan SB bisa tayang 180 kali. Padahal iklan pada jam-jam utama (prime time) bertarif sekitar Rp 20 juta per slot (30 detik) sekali tayang. Sedangkan biaya iklan berdurasi 60 detik bisa mencapai Rp 7,2 miliar per hari. Sampai dengan saat ini sudah berpuluh kali iklan tersebut ditayangkan. Itu belum termasuk spanduk-spanduk atau billboard yang terdapat di daerah-daerah.
Berdasarkan penelitian lembaga survei AC Nielsen Media Research Indonesia, total belanja iklan politik selama Januari hingga Juni 2008 mencapai Rp 769 miliar. Sedangkan, belanja iklan secara umum pada rentang waktu yang sama adalah Rp 19,6 triliun atau naik 24 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp 15,8 triliun. Peningkatan belanja iklan itu awalnya disumbangkan oleh dua produk, yakni telekomunikasi (Rp 1,9 triliun) dan otomotif (Rp 850 miliar. Namun, iklan politik turut memberi kontribusi dengan nilai Rp 769 miliar.
Media surat kabar atau koran masih menjadi pilihan favorit bagi pemasang iklan sehingga pertumbuhannya masih tertinggi, yakni 38 persen. Disusul majalah (24 persen) dan televisi (17 persen). Sedangkan dari segi pendapatan, televisi masih mendapat perolehan uang tertinggi, mencapai Rp 12 triliun, lalu koran sebesar Rp 6,7 triliun dan majalah hanya sebesar Rp 4 triliun.
Tentu saja yang menangguk keuntungan adalah pengelola media massa. Tetapi jangan juga dilupakan perusahaan periklanan dan konsultan politik. Ada beberapa nama yang sering muncul sebagai perusahaan periklanan spesialis iklan politik antara lain Fox Indonesia milik Rizal Mallarangeng yang didirikan 1 Februari 2008, disebut pula Hotline Advertising yang menangani iklan SBY dan Demokrat pada Pemilu tahun 2004 lalu.
Dengan deretan data di atas, terlihat bahwa para pelaku dan para manajer kampanye partai politik memperlihatkan kepercayaan kepada media massa. Meski sebenarnya, ada beberapa teori yang memang mengatakan bahwa kampanye di media massa, apapun itu bentuknya berdampak sangat kecil terhadap preferensi pemilih.
Dari sebuah penelitian oleh Lazarfeld dan Menzel, ada kesimpulan bahwa “orang lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antar pribadinya dalam menentukan keputusan politiknya dari pada dipengaruhi oleh hubungan politiknya daripada dipengaruhi oleh media massa”. (2003:120) Seorang tokoh komunikasi politik, Klapper, mengatakan bahwa “pemberitaan kampanye atau berita-berita yang terkait dengan pasangan calon sebenarnya tidak akan mengubah pilihan pemilih. Pemberitaan mengenai pasangan calon dan kegiatan kampanye mereka berguna untuk memperteguh keyakinan bukan mengubah pilihan. Klapper mengatakan dalam kampanye politik lewat media massa, orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya 10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung dalam arti orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan awalnya sebelum pandangannya berubah.” (1999:94)
Berkaitan dengan pernyataan di atas maka, jika mau jujur, permasalahan media sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana mengisi halaman demi halaman, segmen demi segmen dengan informasi yang harus disajikan secara berkelanjutan kepada khalayak. Sebab setiap hari ada begitu banyak isu dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan publik. Ruang untuk melaporkan dan mengurai isu maupun peristiwa itu justru yang terbatas. Yang lebih relevan untuk diidentifikasi sebagai masalah media adalah bagaimana memilih, memilah dan mengolah luberan isu dan peristiwa itu (dalam hal ini para pelaku politik atau institusi politik) ? Bagaimana media merumuskan strategi pemberitaan di antara begitu banyak obyek pemberitaan atau lebih khusus adalah objek iklan politik ? Seberapa jauh media akan mengangkat satu persoalan, sementara persoalan-persoalan baru bermunculan?
Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa (Littlejohn, 2008:293-294). Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Berkembangnya opini publik dalam sebuah tatanan masyarakat tidak terlepas dari peran media massa. Harus disadari media massa sebagai salah satu pilar (estate) negara juga mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik (Schutson, 1999). Agenda yang lazim disebut agenda media ini harus dilihat sebagai sebab, mengapa sebuah kasus di-blow up di media massa. Banyak media berpendapat, pemberitaan kepada khalayak itu didasari oleh ”hak untuk tahu” bagi masyarakat.
Seiring dengan kebebasan pers yang kini sudah dirasakan media massa Indonesia, kita cuma berharap bahwa media massa dapat berlaku profesional. Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus benar-benar dilandasi agenda media untuk melayani ”hak untuk tahu” masyarakat (Lichtenberg, 1990: 102-136) . Mencermati agenda media di Indonesia, kita harus melihat media sebagai kekuatan yang tidak mungkin berpihak pada siapa pun. Hal ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral value). Walaupun adalah suatu kenyataan bahwa sistem bebas nilai (neutral value) itu akan selalu bersinggungan dengan permainan politik, bahkan di negara dan masyarakat paling demokratis sekalipun.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah pernyataan yang melandasi dan menjadi titik tolak refleksi ini.

Titik tolak refleksi perspektif komunikasi dan politik adalah wilayah kekuasaan. Permasalahan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dimanfaatkan adalah pola yang jamak terjadi dalam politik. Mengutip Gungun Heryanto lagi: Politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang mengiurkan setiap orang. Tak bisa dimungkiri, Bangsa Indonesia yang sudah bersepakat untuk belajar demokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang mengalami gegap gempita dan euporia pesta demokrasi. Bak permainan baru yang sedang digemari, energi masyarakat, banyak yang tersedot ke dalam rivalitas politik yang kian mengharu biru. Pilkada digelar dimana-mana, riuh rendah dukungan dan penolakan terhadap kandidat terpilih, seolah menjadi penanda paling nyata bahwa wilayah permainan dan rivalitas politik tak lagi tersentral di Jakarta. Melalui Pilkada langsung, hasrat politik sekian banyak orang dapat tersalurkan. Tentu, setelah mereka mampu bertarung dengan kandidat lain di sebuah era industri citra. Pertarungan yang masih didominasi oleh politik citra atau politik yang berporos pada popularitas kandidat di tengah massa pemilih.
Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar.
Hampir tak ada satu pun komponen-komponen sistem politik yang dapat meniadakan hubungan saling menguntungkan antara politisi dengan industri citra politik. Komponen seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan dan pelaksanaan aturan dibentuk dan dilaksanakan melalui akses terhadap industri citra. Di antara industri citra yang sangat menonjol dewasa ini adalah industri media massa.
Kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengkonstruksi realitas". Ini menandakan bahwa pola politik memang berkaitan dengan pola komunikasi, apalagi yang berkaitan dengan pencitraan politik dengan menggunakan media komunikasi.

Studi Agenda Setting
Studi efek media dengan pendekatan agenda setting sudah dimulai pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Baran, 2000:299-303). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk menelaah, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publik.
Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Everett Rogers (dalam Littlejohn, 2008), berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing dan priming agenda media; maupun on going process dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan realitas yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan berhubungan atau tidak berhubungan dengan kepentingan kelompok responden.


Warna Agenda Setting
Berbicara perspektif teori agenda setting sebenarnya merupakan model efek moderat . Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan media memberikan cues tentang mana isu yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Iklan politik di media massa (seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Para pengiklan iklan politik yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut perspektif teori agenda setting, media massa menyaring artikel, berita, iklan atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, produser iklan politik bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi.
Merujuk pada pendapat Gamson dan Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan iklan politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan beberapa hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan iklan di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur iklan politik yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan iklan politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Iklan politik dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Iklan politik di media sangat dibatasi dengan waktu yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung dianggap tokoh politik penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks iklan politik di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan persuasi dalam iklan politik “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima rangkaian dan rentetan pesan-pesan. Pada umumnya persuasi kalau menggunakan model ini bersifat linier dan satu arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian iklan politik melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan iklan dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir khalayak.
Perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu tersebut. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa.

Warna Iklan Politik dalam Media Massa
Iklan politik semakin banyak menghiasi media massa kita. Perang iklan pun sudah dan sedang terjadi. Umumnya iklan dimaksud diisi oleh partai-partai politik, kandidat bakal calon presiden, dan para calon legislatif. Model dan modusnya pun bervariasi. Tetapi kebanyakan bermuatan sebatas pencitraan diri agar dipilih dan didukung rakyat pada saat pemilu nanti.
Hal itu terlihat dari isi iklan. Partai pemerintah dengan gagah menyodorkan keberhasilan pemerintah sebagai wajah dari iklan politiknya. Sementara partai-partai oposisi tampil dengan cemohan atas serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai kurang pro rakyat. Di lain pihak, ada juga model iklan yang juga menampilkan sosok pahlawan yang kadar kepahlawanannya masih diperdebatkan oleh publik. Materi iklan pun menjadi pergunjingan politik. Iklan yang pada dasarnya ditujukan untuk menambahkan rasa simpatik dari masyarakat pemilih, justru menabur sinisme.
Memang iklan punya cara pandang dan pendekatan tersendiri. Dan cara pandang itu hanya dimiliki oleh sipembuatnya. Namun jangan lupa ketika iklan sudah ditawarkan ke publik, sejatinya sudah menjadi milik publik. Rakyat pun bebas menyampaikan pujian dan juga kritik kepadanya. Umpan balik berupa kecintaan serta kebencian bisa saja terjadi dalam ranah yang sama. Iklan yang baik terlihat dari apakah pesan yang disampaikan olehnya tersampaikan dengan lugas dan jelas.
Dalam kaca mata komunikasi politik, iklan adalah suatu cara untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran kepada masyarakat. Maka iklan politik semestinya berisi visi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat yang jika dipilih dan dipercaya untuk mengemban amanah dan kekuasaan, akan dijalankan dengan baik. Dari serangkaian iklan politik tersebut, satu hal yang kita catat bahwa muatannya belum memiliki substansi yang jelas, selain “memaksakan” kehendak. Padahal, iklan tersebut diharapkan sebagai wahana pendidikan politik dengan menyodorkan serangkai pedoman kebijakan. Bukan sekedar slogan dan pernyataan serampangan semata. Iklan semestinya mencerdaskan dan mengundang rasa simpatik.
Iklan tentu saja dibutuhkan sebagai media komunikasi antara partai dengan rakyat. Iklan merupakan bahagian dari kampanye. Namun iklan dimaksud hendaknya ditata dengan bijak, terkait dengan visi dan misi partai berikut kandidatnya. Sebab siapa yang memiliki visi yang jelas, serta dibarengi dengan program-program yang rasional akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Berdasarkan data dari AC Nielsen yang dirilis Media Indonesia (1/12/2008) tentang pengeluaran partai politik untuk iklan dapat disimpulkan, iklan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan dukungan terhadap partai politik. Sebagai catatan, iklan politik tidak selalu berhasil meningkatkan dukungan terhadap suatu partai. Contohnya, PAN, pada Mei dan Juni, gagal mendongkrak dukungan. Hasil survei LSI, April-Juni 2008 dukungan terhadap PAN hanya naik dari 4,0 persen menjadi 4.5 persen.
Yang menarik diperhatikan adalah pengeluaran iklan Gerindra dan PD. Pada Juni lalu, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar. Peningkatan pengeluaran iklan ini ternyata diikuti peningkatan popularitas dan dukungan yang memuaskan.
Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November. Hasil survei Cirus Surveyors Group pada November menunjukkan, dukungan terhadap Gerindra meningkat jika dibandingkan Juni lalu, menjadi sekitar 5,5 persen. Jadi, ada korelasi antara perolehan dukungan Gerindra dan pengeluaran iklan. Begitu juga dengan PD. Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober). Peningkatan pengeluaran iklan diikuti peningkatan dukungan terhadap PD.
Berdasarkan survei LSI, sejak Pemilu 2004, dukungan terhadap PD mencapai titik terendah pada April dan Juni 2008, yaitu di kisaran 9,0 persen. Namun, dari Juni hingga September 2008, dukungan terhadap PD meningkat menjadi 12 persen. Ini sejalan meningkatnya pengeluaran iklan PD pada Agustus dan September. Dukungan terhadap PD kembali meningkat menjadi sekitar 17 persen (November) dan berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah pengeluaran iklan PD pada bulan Oktober.
Data di atas adalah data kuantitatif belanja iklan di media yang berkorelasi dengan dukungan publik. Sementara dalam hal isi maka dapat dipaparkan sebagai berikut: Pada pandangan awam, audiens akan berpendapat bahwa visi calon presiden pada film iklan adalah realitas dasar dari apa yang berada di benak komunikator. Namun, di sisi yang lain fenomena komunikasi seperti ini menyisakan pertanyaan pada aspek pencitraan realitas yang tersimulasi. Sebab, ketika film iklan itu menjadi wacana dari keseharian publik di depan televisi dan ditayangkan berulang-ulang kali, maka ia membantu membentuk simulasi atas realitas substansinya. Penonton tidak pernah merasakan secara langsung apakah memang benar calon presiden tersebut melakukan seperti hal yang ditunjukkan tersebut. Dan ketika penonton tidak mampu menikmati itu sebagai objek langsung, maka film iklan dan televisi membuatnya bisa dinikmati oleh jutaan penonton pada saat yang bersamaan, sebab ia disimulasikan.
Iklan Wiranto yang memakan nasi aking bersama sebuah keluarga miskin misalnya adalah sebuah simulasi realitas bahwa Wiranto peduli dengan rakyat miskin. Film iklan tersebut hanya merepresentasikan sikap Wiranto secara visual (memakan, senyuman dan gerakan tangan), bukan seluruhnya terjadi pada tataran di dunia nyata.
Demikian juga iklan Rizal Mallarangeng yang direpresentasikan berada di tengah-tengah rakyat di berbagai daerah di Nusantara adalah upaya simulasi atas realitas yang sebagian darinya belum pernah terjadi. Apa yang terjadi adalah penciptaan ‘realitas’ atau agenda setting baru, di mana seolah-olah ia hadir sebagai realitas yang benar-benar real. Ada kesan ketergesaan atas eksistensi seseorang di antara orang lain yang hendak membawa perubahan yang benar-benar nyata.
Sebagian besar isi pesan dari tema iklan politik menyangkut aspek-aspek kemiskinan, pengangguran, daya beli rakyat, kebutuhan pokok rakyat luas, keadilan hukum, keamanan, dan kesatuan-persatuan bangsa. Sementara pada sisi program, tema utama iklan juga cenderung bervariasi. Ada yang berjanji untuk mengembangkan rasa cinta pada produk sendiri, membela petani, penyediaan lapangan kerja, harga bahan pokok yang murah.
Alasan mengapa isi pesan tertentu disampaikan adalah karena dua hal. Pertama, ekstrim karena kebijakan pemerintah sampai saat kini belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat. Tak ada satupun sisi dari keberhasilan pemerintah diungkapkan. Sementara bentuk yang kedua adalah iklan yang menonjolkan keberhasilan kebijakan pemerintah yang menyangkut persentase penurunan jumlah penduduk miskin, jumlah penganggur yang menurun, atau iklan yang bertema anti korupsi dan keberhasilan dalam keamanan.
Bagaimana dengan tampilan atau kemasan iklan? Berbeda dengan isi tema dan program yang sifatnya relatif masih umum dan penuh janji, tampilan atau kemasan iklan cukup beragam. Begitu pula frekuensinya. Ada yang menampilkan hampir setiap hari dan ada juga yang seminggu sekalipun tidak. Tetapi waktu tayangan hampir semuanya sama yakni ketika waktu prima dimana hampir semua segmen pemirsa menonton televisi. Terbanyak ditayangkan ketika momen laporan berita dan hiburan. Tampilannya, mulai dari yang penuh warna, eksotis, dan gegap gempita sampai ke yang sangat moderat dan warna yang pucat pasi. Ada yang tidak jelas isi pesannya, monoton, kurang greget, serta jauh dari eksotik apalagi estetika.
Yang jelas periklanan politik menjelang pemilu 2009 jauh lebih semarak ketimbang pemilu tahun 2004. Suasana kompetisi untuk merebut pemilih semakin tinggi intensitasnya. Semua penuh dengan janji warna-warni. Program-program ditawarkan untuk membangun bangsa ini. Namun pertanyaannya apakah sudah dipikirkan dan disiapkan strategi dan taktik pencapaiannya? Bagaimana menggalang dana pembangunan untuk itu? Bagaimana strategi kebijakan moneter dan fiskalnya? Bagaimana dalam waktu relatif singkat ini mereka menyiapkan pilihan konsep mengatasi akibat krisis finansial global terhadap perekonomian rakyat? Ternyata tak satu pun partai yang beriklan menawarkannya secara utuh.

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here