Wednesday, April 05, 2006

Post-Marxist Society ?

“POST-MARXIST SOCIETY”:

mungkinkah berkembang di Indonesia ?

Post-Marxisme sebagai sebuah pemikiran telah menjadi gerakan intelektual menyusul kemenangan praksis dan pemikiran neo-liberalisme serta memudarnya semangat reformasi di kalangan pekerja. Ruang politik publik yang ditinggalkan oleh kaum reformis kiri kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok agamawan fundamentalis dan tradisional (setidaknya aliran Pantekosta dan “pemerintahan” Vatikan). Padahal di masa lalu ruangan ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis, politisi kerakyatan dan aktivis gereja yang berafiliasi pada ajaran teologi pembebasan. Ruang kosong yang tadinya diisi oleh kaum kiri radikal kini diganti oleh intelektual politik atau setidaknya oleh perserikatan-perserikatan publik modern, misalnya serikat buruh, kelompok miskin kota.

Situasi perubahan hegemoni ideologi dari kiri radikal menjadi kiri tengah yang cenderung pragmatis ini tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan situasi politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi global yang sedang terjadi. Perdebatan antara sosialisme dan liberalisme, antara kiri dan kanan menjadi sangat relatif atau bahkan tidak menjadi signifikan lagi. Pernyataan Anthony Giddens yang mau mencoba menyempurnakan bangun ilmu sosial yang merefleksikan situasi global mempunyai implikasi yang tidak sedikit bagi perdebatan Marxisme pada khususnya dan Sosialisme pada umumnya.

Kenyataan globalisasi yang mentransfigurasikan ruang dan waktu dengan kekuatan teknologi informasi membuat manusia juga sedikitnya tidak dipengaruhi oleh dimensi kesejarahan. Ketika manusia dicoba untuk dilepas dari dimensi kesejarahan, maka apakah masih diperlukan ideologi yang de facto selalu mengacu pada pengalaman post factum ? Apakah dengan demikian (meminjam istilah Francis Fukuyama dan Samuel Huntington) sekarang ini adalah tanda waktu yang jelas untuk mengatakan terjadi “kematian ideologis” yang dipicu oleh kekuatan budaya global ? Kalau memang terjadi “kematian ideologis” lalu apakah ada sistem pemikiran yang kurang lebih masih bisa merepresentasikan pengalaman manusia tanpa harus dibatasi oleh kekuatan dominasi gender, budaya, ras, sosial dan lainnya ?

Perkembangan pemikiran post-marxist tidak terlepas dari perkembangan yang ada. Tapi masalahnya apakah memang trend post-marxist ini memang mau mengulangi sejarah filsafat yang memunculkan post-strukturalisme ilmu sosial atas aliran strukturalisme yang sudah ada ? Atau meniru trend pasca modernitas dalam grand naratives-nya Marxisme ? Tentu saja hal itu masih harus dikaji secara lebih mendalam.

Beberapa komponen diskursus pemikiran post-marxist yang sempat dicatat adalah pertama, wacana kegagalan sosialisme dan ideologi sosialisme yang berbasiskan pemikiran Karl Marx. Kegagalan ideologi sosial berikut Marxisme dalam dunia global adalah karena ideologi sosial yang diyakini sampai sekarang sekedar representasi dominasi satu sistem pemikiran, entah dengan bias gender entah dengan bias ras.

Kedua, marxisme sebagai sebuah ideologi secara epistemologis memang bersifat reduksionistis, terutama dengan pandangan tentang kelas sosial. Globalisasi telah mengubah tatanan kelas sosial dan refleksi sosial atas kelas dalam pemikiran Marx menjadi sangat picik dan reduksionis. Hal yang terpenting dalam pembangunan sosial mendatang dan teraktualisasikan adalah pembangunan dan pengembangan kebudayaan serta mempunyai basis pada perbedaan identitas (ras, gender/seks, etnis dsb)

Ketiga, perkembangan civil-society tetap relevan untuk menggantikan peran negara yang cenderung korup dan bertendensi untuk melakukan trade-off atas kebebasan dan demokrasi. Di tambah lagi nation-state dalam era teknologi informasi telah kehilangan batas-batas konvensionalnya (K. Ohmae, 1999). Di tambah lagi dengan fakta bahwa negara-bangsa dengan alasan luhur dan tidak, telah menjadi aktor intelektual bagi munculnya tindak kekerasan (violence).

Keempat, perjuangan kiri tradisional sering berakhir menjadi pemerintahan yang korup dan berakibat pada kemunculan rezim yang tidak kalah otoriter yang pada akhirnya akan mengsubordinasikan civil-society. Perjuangan lokal dengan isu domestik adalah agenda perubahan yang lebih demokratis dan efisien. Tentu saja perjuangan lokal dengan isu yang terdesentralisasikan tetap dimanfaatkan untuk memberikan tekanan pada pimpinan nasional dan internasional.

Kelima, perubahan revolusioner belum tentu akan membuahkan perubahan yang mendasar, justru revolusi akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Maka pilihan lainnya adalah berjuang dengan membangun konsolidasi dan transisi demokratis dengan jalan pemilihan umum.

Keenam, solidaritas atas basis kelas adalah bagian dari emosi masa lalu, yang merefleksikan politik dan realitas masa lalu. Kelas menjadi tidak signifikan. Bentuk yang masih ada adalah fragmentasi penduduk daerah di mana kelompok (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan swa-sembada dan interdependensi untuk melangsungkan kehidupan berdasarkan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritaa adalah fenomena persilangan kelas. Solidaritas adalah gestur kemanusiaan belaka.

Ketujuh, kematian imperalisme tradisional. Ekonomi global yang terjadi sekarang adalah ekonomi yang mengembangkan kesalingtergantungan. Dunia yang berkembang adalah dunia yang saling bekerja sama dan bekerja secara internasional dalam usaha dinamika kapital, teknologi dan kebudayaan

Dari ketujuh fragmen diskursus post-marxist tersebut terlihat usaha untuk mengatasi perdebatan klasik antara pemikiran Karl Marx dan teman-temannya dengan pemikiran Adam Smith, John Locke dan teman-temannya. Dalam masyarakat dunia global yang sekarang terjadi rekonsiderasi pemikiran sosial untuk bisa mengantisipasi high-consequence risk-nya dunia teknologi, kapital/pasar, tata etika global dan asumsi run away world-nya Giddens. Oleh sebab itu masih harus ada diskusi yang lebih mendalam atas tema ini:

1. Trend post-marxist ini, sebuah trend intelektual saja atau memang sebuah pemikiran yang mempunyai dasar pemikiran yang kokoh ? Apa rasionalismenya ? Di mana karakter epistemologis sosialnya ?

2. Apa yang sesungguhnya menjadi raison d’etre post-marxis ini ? Sebuah keprihatinan atas akibat perubahan sosial dalam dunia global atau usaha penafsiran baru tradisi marxisme yang sudah tidak bisa diaktualisasikan lagi ? Dengan dasar hak intelektual apa rasionalisasi post-marxis ini harus dikembangkan ?

3. Apakah bentuk masyarakat modern dan global sekarang memang membutuhkan a new ideology yang mewakili kegelisahan sosial mereka dalam kehidupan kesehariannya ? Atau meminjam pernyataan Jurgen Habermas: apakah memang masyarakat perlu mengembangkan die neue Unübersichtlichkeit ? Ketika marxisme tradisional tidak lagi bisa menampung perkembangan global yang dipenuhi oleh ketidakpastian, ketakterdugaan dan ketidakjelasan, lalu sistem pemikiran post-marxist bisa memberikan kontribusi apa ?

4. Kalau masyarakat selalu dipenuhi dengan ketidakjelasan, ketakterdugaan dan ketidakpastian, sistem sosial macam apa yang harus dibangun: solidaritaskah, kerakyatankah, stateless society, masyarakat full-kompromi, civil society ?

5. Apa yang bisa disumbangkan oleh pemikiran sosialisme kontemporer dalam pengembangan wacana masyarakat yang harus semakin humane, sosial, saling mendukung ?

6. Bentuk-bentuk konkret macam apa yang bisa disumbangkan oleh mereka yang percaya pada sosialisme pada masyarakat yang semakin jamak meski di sana-sini ada juga primordialisme, dinamis tapi tetap saja ada masyarakat yang apatis dan ahistoris, konsumeris meski tetap saja ada masyarakat yang selektif, liberal tapi juga ada yang begitu fundamentalis ? Dalam paradoksal-paradoksal macam ini, isi moral apa yang bisa dididikkan kepada manusia muda mengantisipasi perkembangan budaya yang semakin deras, massif dan instan.

The Indonesian Killings 1965-1966

The Indonesian Killings 1965-1966:
Studies from Java and Bali

Robert Cribb (editor)

Centre of Southeast Asian Studies, Monash University 1990
A book review by Danny Yee - © 1993 http://dannyreviews.com/
One of history's biggest massacres ever took place in Indonesia in 1965/66, when around half a million people were killed in the suppression of the Communist Party of Indonesia (PKI). The Indonesian Killings is not a formal history of that event, but a fairly eclectic collection of writings on to the subject, both academic analyses and first hand accounts. Since no systematic account of the killings has been written, however, this volume is a good starting point for anyone interested in one of the most important events in modern Indonesian history.

Kaca Ajaib dan Civil Society

KACA AJAIB DAN CIVIL SOCIETY:

opini visi media televisi komunitas

dalam konteks otonomi daerah di Indonesia

PENGANTAR

Salah satu produk modernitas dalam bidang komunikasi adalah perkembangan kaca ajaib yang bisa bersuara dan bergambar, yang kemudian disebut televisi. Televisi dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi terbukti memikat manusia dengan gambar dan suara yang dihasilkannya. Produk imaji atau citra yang direkayasa ternyata membentuk perubahan persepsi manusia terhadap kenyataan itu sendiri. Dalam televisi, persepsi bisa dibentuk dan dicipta sesuai dengan pola gambaran dan persepsi yang ditawarkan oleh para produsen siaran televisi. Itulah sebabnya, dalam perkembangan media, televisi memberikan kontribusi dramatis terhadap pola komunikasi manusia.

Tidak terlepas dari terpaan perkembangan teknologi komunikasi global, perkembangan sosial politik di Indonesia tidak bisa memisahkan diri dari pengaruh televisi. Berbagai perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran sosial televisi. Hal ini mengartikulasikan kontribusi signifikan televisi dalam perubahan sosial - seakan memverifikasi teori klasik tahun 40-an; yaitu teori serba media yang menyatakan bahwa media massa mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi masyrakat, bukan saja dalam membentuk opini dan sikap tetapi juga dalam memicu terjadi gerakan sosial (DeFleur, 1970; McQuail, 1966; McCombs dan Shaw, 1972; Noelle-Neuman, 1984). Televisi pada titik tertentu menyumbangkan diseminasi dan edukasi nilai sosial baru bagi masyarakat Indonesia.

Soal pembangunan nasional sampai kejatuhan sebuah rezim otoriterianistis dapat dilihat dan dibentuk dalam gambaran yang dimuat dalam sebentuk teknologi tabung bergambar, yang pada akhirnya mempunyai dampak yang berskala nasional bahkan internasional. Dapat dikatakan televisi menjadi jendela perubahan sosial di Indonesia.

Dalam situasi yang lebih kontemporer dan isu paling hangat di Indonesia, kita sebagai masyarakat perlu mengkaji lebih dalam dan kritis peran serta dampak televisi kepada masyarakat yang sedang berubah dan bergerak kepada sistem sosial yang lebih demokratis. Sejauh mana televisi masih memainkan peran dan bersifat visioner dalam pengembangan demokratisasi di Indonesia ? Dalam bentuk ideal mana televisi bisa dikomodifikasikan sebagai perangkat efektif pembentukan ranah publik yang kritis, rasional dan dewasa ? Bagaimana kita bisa mengembangkan sistem pertelevisian yang berkonteks lokal sehingga mendorong pemberdayaan masyarakat sipil yang semakin kompleks ?

MEDIA MASSA DAN DEMOKRATISASI

Adagium pengaruh media massa pada masyarakat menyatakan, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro, bahwa media massa mempunyai dampak yang tidak kecil bagi masyarakat. Dampak yang sangat rentan atas pengaruh media massa bagi masyarakat adalah dampak kepada sistem sosial yang dipunyai oleh sebuah sistem masyarakat (Baran, 2000). Hal ini menampakkan adanya korelasi tak terbantah antara media massa yang menghasilkan sistem nilai tertentu dengan proses pemaknaan hidup sosial masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan media massa, nampak bahwa media massa memainkan peranan penting membentuk pranata sosial baru ketika terjadi kemampatan tradisionalisasi masyarakat. Pertama, revolusi mesin cetak memicu perkembangan kapitalisme baru yang dikembangkan setelah revolusi industri. Produksi massal dan distribusi politik ekonomi yang cukup penting bagi masyarakat pada waktu terdorong dengan adanya media cetak, yang kebanyakan pada waktu diwujudkan dalam bentuk surat kabar, sebagai sarana informasi perkembangan dinamika sosial masyarakat. Data memperlihatkan bahwa perkembangan surat kabar pada abad XIX dapat dikatakan sebagai hal yang menonjol, terutama bagi sejarah pers. Meski tidak tertutup kemungkinan dampak surat kabar kontemporer di kemudian hari selalu berkutat pada masalah profesionalisme dan sensasionalisme budaya.

Kedua, penemuan radio dan “kotak bicara” yang pada akhirnya disebut dengan telepon mendorong perluasan sistem nilai sosial yang tidak lagi dibatasi dengan ruang dan keterbatasan ruang. Ruang publik dan privat yang tadinya sangat terbatas menjadi ditarik dalam batasan ruang yang lebih longgar. Ini berarti dampak radio dan telepon tidak hanya berhenti pada soal relativisme ruang saja tapi juga pada soal relativisme nilai masyarakat terhadap ruang dan waktu.

Ketiga, penemuan televisi yang didahului dengan penemuan telepon, telegraf, fotografi dan rekaman suara telah membawa pada sensasi sosial yang tidak ditemukan pada teknologi terdahulu. Sensasi sosial televisi ini pada waktu tertentu telah mendorong perubahan yang dramatis pada sistem sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan sosial politik yang dipunyai oleh sebuah masyarakat. Setidaknya ada beberapa sensasi imaji sosial yang dibentuk oleh televisi, yaitu proses pembedaan antara fakta dan imajinasi - isi televisi yang tidak lagi dibatasi oleh waktu - dimensi waktu televisi yang semakin bisa mengakselerasi makna kekinian sebuah peristiwa sosial - derajad objektivitas yang relatif tinggi - derajad intimitas televisi pada para audiensnya dan kejelasan watak yang mau ditawarkan oleh televisi pada setiap tokoh yang diekspos (Ellis, 1982).

Dari sekedar perkembangan tiga fenomena dalam teknologi komunikasi, terlihat bahwa media massa memainkan peranan yang sangat krusial dalam perkembangan sosial politik, ekonomi masyarakat, terlebih pada soal demokratisasi sosial dan budaya. Setidaknya media massa memainkan peranan kunci untuk mendesentralisasi kekuasaan politik dan sosial, opini atas kekuasaan dan kekuatan, penyediaan sebuah wilayah di mana masyarakat tidak lagi didominasi oleh paradigma kebenaran sosial yang bersifat manipulatif dan monopolistik, karena masyarakat ditempatkan pada situasi untuk mudah memperoleh akses informasi yang cukup memadai untuk mengadakan opini alternatif. Atau dengan kata lain denga merujuk pendapat Jurgen Habermas (1989), media massa telah membentuk wilayah yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara piranti kekuasaan dalam hal ini negara dengan para anggota warga.

Tentu saja memang ketika kita berbicara dengan media massa dengan demokratisasi, kita harus juga memperhatikan faktor ekonomi politik yang melingkupi keberadaan media massa dalam sebuah masyarakat. Selain bahwa media massa mampu menjadi unsur keempat yang melengkapi Trias Politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi hubungan yang bersifat interplay antara media massa, masyarakat itu sendiri (diwakili oleh pasar) dan negara sebagai penjamin (Giddens, 2000). Tapi fakta tersebut tidak mengurangi makna bahwa media massa berperan positif dalam proses demokratisasi masyarakat.

Keragaman pendapat publik, alterasi kebijakan publik, pengembangan nilai akuntabilitas keputusan sosial, penganekaragaman budaya massa, selera konsumen, gerak dinamis pasar, peran cukup intervensi negara telah menciptakan proses demokrasi sosial yang lebih sehat dan rasional.

DINAMIKA RANAH PUBLIK DAN TELEVISI DI INDONESIA

Setelah kita mengetahui permasalahan mendasar peran media massa pada umumnya, dan televisi pada khususnya, maka kita akan melihat secara sekilas secara kritis bagaimana peran media massa terutama televisi bagi pengembangan ranah publik dan civil society di Indonesia.

Yang membedakan perkembangan gerakan civil society di Indonesia dengan tradisi barat, sebagaimana yang mau dikembangkan oleh Habermas adalah perbedaan makna dan fungsi media massa. Bagi Habermas, ranah publik tercipta ketika atau ruang publik yang bebas. Fungsi media dalam hal ini televisi adalah menjembatani dan menjaga wacana bebas bagi publik. Warga negara bebas untuk ikut serta terlibat dalam wacana realitas sosial untuk mengawasi pasar dan negara. Ranah publik dipergunakan televisi untuk diseminasi dan menginformasikan fakta empirik yang dibutuhkan bagi pemenuhan dan penentuan sikap warga, baik secara sosial, ekonomi, budaya bahkan sikap politik.

Praktek diskursus bebas dan rasional dalam tradisi Indonesia, jika menggunakan pendekatan kultur asli Indonesia bisa dilihat pada model diskursus yang ada pada masyarakat Minang. Model “Lapau” mempunyai kemiripan dengan konsep “wacana bebas” sebagaimana dimaksud oleh Habermas. Tradisi Lapau yang menjadi ajang obrolan keluarga bisa menjadi ajang kepentingan publik untuk menciptakan diskursus masalah sosial yang lebih besar. Tentu saja substansi isi ranah publik dalam pengembangan civil society - dalam bahasa modern - tetap sama meski dalam tradisi dan cara yang berbeda. Substansi yang harus tetap dijaga adalah substansi masyarakat warga yang dikarakterisasikan pada proses kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan.

Setidaknya pengembangan ranah publik di Indonesia dalam konteks pertelevisian juga tidak bisa menghilangkan faktor-faktor substansial bagi pengembangan civil society di Indonesia. Setidaknya juga dalam perkembangan sejarah televisi di Indonesia terdapat proses pengembangan ranah publik meski kita harus jujur pula bahwa pengembangan ranah publik yang dimaksud belum maksimal sesuai dengan cita-cita ideal.

Pertelevisian Indonesia baru dimulai pada tahun 1960-an, di mana terdapat satu stasiun televisi yang terpusat di Jakarta. Seluruh proses informasi yang terjadi dalam televisi Indonesia masih dalam kerangka stasiun televisi publik. TVRI mempunyai kriteria awal yang sehat. Artinya TVRI bisa dijadikan sarana untuk “menjalin persatuan dan kesatuan”. Teknologi satelit Palapa semakin mengokohkan peran TVRI sebagai stasiun televisi yang bisa mudah dan cepat diakses oleh penduduk Indonesia. Dalam perjalanan dinamisnya, TVRI juga sempat menjadi “agak komersial” - dengan adanya iklan sampai tahun 1982- ketika tuntutan ekonomi menjadi tuntutan tak terelakkan dari sebuah industri media.

Cita-cita awal TVRI yang mampu menjadi sarana komunikasi efektif dinamika sosial masyarakat rupanya ditangkap oleh Orde Baru, yang pada akhirnya memanfaatkan teknologi televisi menjadi alat propaganda. TVRI yang seharusnya menjadi media dan jembatan antara warga dengan pemerintah, sedikit demi sedikit, bergeser perannya menjadi state apparatus yang dihegemoni oleh dominasi informasi pemerintah. Dengan seluruh kebijakan protektif, TVRI justru dikerdilkan sebagai televisi pemerintah yang mempunyai derajad dinamika sosial yang rendah (Ade Armando, 2000).

Arus perkembangan televisi yang menuntut keragaman, desakan kebutuhan informasi, dan dinamisasi kehidupan sosial kultural, memaksa pemerintah untuk mulai mengijinkan tumbuhan stasiun-stasiun televisi baru. Kebijakan praktek kebebasan pers dalam dunia pertelevisian mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sampai sekarang beberapa televisi swasta telah muncul dari RCTI, SCTV, TPI, AnTeve, Indosiar, MetroTV, TV7, LaTivi, Global TV, Trans TV dan menyusul beberapa stasiun TV yang belum mengudara tapi sudah mengantongi perijinan.

Perubahan di atas mempunyai point bahwa dalam pertumbuhan televisi di Indonesia masalah ranah publik telah menjadi isu utama. Di satu pihak, swasta telah berani membuka “kran” informasi yang beragam bagi masyarakat. Meski di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, bahwa swasta memainkan konspirasi sistem ekonomi politik kapitalisme dalam proses keragaman televisi di Indonesia.

Keragaman informasi budaya, sosial-ekonomi dan politik telah menjadi agenda utama kebebasan media yang diwakili oleh televisi. Pada saat itu pula, dampak terpaan televisi juga tidak bisa dipungkiri. Akibat positif dari televisi di Indonesia memperlihatkan bahwa kualitas demokrasi dan pengembangan ranah publik yang sesuai dengan tradisi demokrasi Indonesia didorong dalam bentuk pembelajaran visi sosial politik yang rasional. Setidaknya televisi memberikan “pencerahan-pencerahan” yang signifikan bagi pembangunan karakter berbangsa. Warga diperkenalkan dengan pola interaktif dalam televisi sehingga peran warga mulai menampakkan wujudnya yang paling sehat dan kritis. Tapi di lain pihak, televisi-televisi di Indonesia tidak bisa dipungkiri juga memberikan pengaruh yang negatif bagi pembentukan karakter sosial yang berkepribadian nasional. Pola hidup konsumer yang ditunjukkan dalam dunia sinetron mengaburkan kebenaran soal fakta dan dunia impian, perluasan kultur populer yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme global dengan berbagai macam implikasinya, soal pengaruh perilaku kekerasan dan seks bebas yang diekspos oleh televisi.

Kita melihat adanya pengaruh positif dan negatif televisi Indonesia bagi pengembangan ranah publik dan civil society di Indonesia (Dedy N. Hidayat, 2000). Sebuah tantangan klasik bagi televisi di Indonesia, apakah memang dunia televisi di Indonesia tidak bisa otono dan independen dengan kekuatan sistem sosial ekonomi dan politik global serta nasional pada khususnya ? Sering kita melihat adanya trade off yang memang harus dipilih bagi kelangsungan hidup industri televisi di Indonesia.

Jika dalam konteks pengembangan civil society, masih relevankah kita membicarakan soal rating, sistem kepemilikan silang antar media yang terjadi pada perusahaan-perusahaan media besar - seperti kelompok Kompas-Gramedia dan pembagian kue aset iklan yang harus dibagi oleh setiap stasiun televisi ? Bukankah dengan demikian masyarakat konsumen tidak ditempatkan sebagai subjek perubahan sosial tapi justru menjadi masyarakat yang pasif dan mudah dimanipulasi meski manipulasi tersebut ditutupi dengan jargon-jargon demokrasi ? Atau dalam konteks pengembangan civil society, masih relevankah kita membicarakan revitalisasi peran negara untuk menjadi regulator efektif dalam seluruh proses kepenyiaran televisi yang mencakup isi atau kebijakan editorial redaksi televisi yang bersangkutan ?

Proses pertelevisian Indonesia menandai jalan derasnya arus masuk sistem informasi yang melanda masyarakat Indonesia. Tapi masalahnya apakah derasnya arus informasi yang ditandai dengan keragaman teknologi televisi - sampai pengembangan televisi kabel, digital dan satelit (Straubhar, 2002) - yang dinikmati oleh warga selalu ekuivalen dengan pengembangan ranah publik di Indonesia ?

TELEVISI KOMUNITAS DI INDONESIA: Kemungkinan atau Mimpi ?

Dengan mengakomodasi perubahan sosial politik Indonesia yang mengarah pada soal desentralisasi dan otonomi daerah, maka kita perlu mengelaborasi beberapa alternatif yang bisa dikembangkan pada proses pengembangan televisi komunitas di Indonesia.

Soal desentralisasi aspek sosial ekonomi dan politik di Indonesia menyiratkan proses pemberdayaan dan pembagian kekuasaan ranah publik yang dikelola secara dewasa dan demokratis. Muara desentralisasi dan otonomi daerah sebetulnya mengembalikan kembali semangat keterlibatan sosial ekonomi kultur dan politik masyarakat. Setidaknya dinamika desentralisasi sosial ini mengarah pada soal demokrasi yang partisipatoris pada para warganya. Ini berarti bahwa desentralisasi politik dan otonomi daerah yang menjadi idea demokrasi di Indonesia menyiratkan pengembalian dan pemaksimalan proses produksi, konsumsi dan distribusi lokal untuk kepentingan pembangunan lokal dan nasional.

Dalam konteks semacam itulah televisi komunitas diharapkan menjadi lahan baru penyemaian proses ranah publik yang lebih membumi. Dalam arti, televisi komunitas akhirnya menjadi sarana efektif untuk mendorong proses sosial lokal yang mempunyai karakteristik yang berbeda pada setiap daerah atau komunitas yang ada. Televisi komunitas menjadi jembatan kontrol dan informasi yang tepat bagi negara dan pasar. Aspirasi komunitas di setiap level warga dapat tertampung seara langsung di penyiaran komunitas. Dalam konteks ini, munculnya televisi komunitas dapat memperkuat potensi warga. Dengan demikian, setiap daerah atau komunitas bisa membuat program televisi yang mengakar pada tradisi daerahnya sendiri.

Tradisi Lapau di Sumatera Barat bisa diadopsi sebagai model pengembangan televisi komunitas. Televisi komunitas sebetulnya menjadi sarana “obrolan” yang mempunyai kosa kata, tata bahasa, semiotik yang sesuai dengan kultur setempat.

Dalam bentuk yang sangat kasar dapat dikatakan bahwa sebetulnya motor penggerak televisi komunitas adalah lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai sumber daya manusia yang cukup memadai. Dalam proses “crash program”, setiap universitas yang mempunyai fakultas ilmu komunikasi diharapkan menjadi motor penggerak pembentukan televisi komunitas. Tentu saja kapasitas dan isi televisi komunitas dalam hal ini menitikberatkan pada soal edukasi sosial politik dan kultur yang diperlukan oleh masyarakat.

Dalam pengembangan visi televisi komunitas, tentu dapat dirinci dalam berbagai perspektif yang perlu dipertimbangkan. Paper ini mau mengajukan beberapa konsiderasi yang mungkin perlu didiskusikan lebih mendalam lagi

Pertama, pembentukan stasiun-stasiun televisi komunitas yang independen. Artinya stasiun ini tidak mempunyai afiliasi dengan jaringan kepenyiaran lainnya. Jadi murni dikelola oleh modal swadaya dan swamandiri masyarakat atau komunitas itu sendiri. Stasiun independen ini membeli program dari pelayanan sindikasi kepenyiaran tanpa harus terikat di dalamnya. Stasiun independen ini juga menjual iklan pada spot iklan lokal, regional maupun nasional (Straubhar, 2002). Biasanya saluran UHF dipunyai oleh stasiun independen sementara saluran VHF dimiliki oleh jaringan stasiun yang lebih besar. Kiranya pemerintah daerah atau pihak-pihak swasta independen yang mempunyai kekuatan modal yang memadai untuk mengelola televisi komunitas bisa menjadi tulang punggung komunikasi politik di daerahnya masing-masing.

Kedua, pembentukan stasiun televisi publik non komersial bisa menjadi cikal bakal pembentukan stasiun televisi yang bersifat komutatif. Stasiun ini dibagi dalam stasiun televisi komunitas yang dibiayai oleh negara dan swasta. Artinya televisi komunitas ini tidak akan menarik iklan tapi menyediakan paket siaran televisi yang bersifat non profit. Keberadaan seperti saluran semacam “Discovery” yang mengeksplorasi kekayaan budaya masyarakat merupakan lahan tak habis-habisnya bagi sebuah paket televisi atau saluran semacam “planet animal” yang mengeksplorasi kekayaan fauna daerah bisa menjadi daya tarik yang tetap tinggi. Biasanya lembaga swadaya masyarakat dan universitas-universitas bisa menjadi pelopor adanya stasiun televisi non komersial.

Ketiga, pengembangan makna teknologi dan distribusi lokal sebagai aset utama televisi komunitas. Artinya bahwa pengembangan makna teknologi dan distribusi lokal ini berkaitan dengan soal regulasi media televisi komunitas yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Soal pembagian frekuensi televisi (baik yang VHF maupun UHF) selalu saja menjadi masalah komersialisasi. Kehendak yang baik untuk mengembangkan masyarakat tentu akan membuat pemerintah untuk selalu “bermurah” terhadap kemajuan daerah tanpa harus merasa terancam dengan adanya siaran televisi alternatif, dalam hal ini televisi komunitas. Masalahnya sampai sekarang, Indonesia masih berkesan setengah-setengah dalam pengembangan potensi “udara” dalam diri masyarakat.

Bila dalam hal “udara” pemerintah masih berkesan setengah-setengah, maka perlu dipikirkan sebuah pengembangan televisi komunitas yang memakai teknologi kabel yang saling menghubungkan antar rumah atau daerah komunitas yang bersangkutan. Televisi kabel ini dikembangkan untuk mengimbangi teknologi informasi terutama internet yang pada saat nantikan akan memakai teknologi fiber optic dan satelit.

Beberapa hal di atas tentu saja membutuhkan kesiapan sumber daya manusia, modal dan teknologi yang memadai. Televisi komunitas dapat dikatakan sebagai proyek kecil, murah atau sederhana. Tapi substansi di dalam “kaca ajaib” itu mempunyai kandungan yang luar biasa besarnya. Sudah waktunya Indonesia untuk mengembangkan prinsip-prinsip civil society untuk mendukung transformasi sosial pada perubahan sikap, nilai dan kesadaran kritis warga negara. Televisi komunitas juga mendorong terbangunnya nilai pluralisme pada warga negara.

Ruang cerdas dalam televisi komunitas berangkat dari kekuatan warga yang memang pluralis. Bukankah itu yang sedang dan perlu dikembangkan oleh masyarakat Indonesia ?

KEPUSTAKAAN

Baran, Stanley J., 2000, Mass Communication Theory: Foundation, Ferment and Future, New York:Wadsworth

Boyd-Barret, Oliver, (eds), 1995, Approach to Media: A Reader, New York:St. Martin Press

Burns, Danny, 1994, The Politics of Decentralisation: Revitalizing Local Democracy, London:Macmillian

Curran and Gurevitch (eds), 1991, Mass Media and Society, London:Edward Arnold.

Feintuck, Mike, 1998, Media Regulation, Public Interest, and The Law, London:Edinburg University Press

Giddens, Anthony, 2000, Sociology, Cambridge:Polity Press

Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama

Lichtenberg, Judith, 1990, Democracy and The Mass Media, London:Cambridge

Muis, A., 2001, Indonesia di Era Dunia Maya: Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Bandung

Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, London:Sage Publications

Newcomb, Horace, 2000, Television: The Critical Reading, Oxford:Oxford University Press

Schiller, Herbert, 1997, “Whose New International Economics and Information Order”, in Golding, Peter (eds), The Political Economy of The Media, Brookfield:Edward Elgar Publishing.

Straubhar, 2002, Media Now: Communication Media in the Information Age, New York:Wadsworth

Webster, Franck, 1995, Theories of The Information Society, London:Routledge

Teknologi, Media dan Globalisasi (konteks Indonesia)

TEKNOLOGI, MEDIA DAN GLOBALISASI

PENGANTAR

Sekarang ini sedang terjadi revolusi yang luar biasa menarik, mencengangkan dan sekaligus menantang bagi manusia. Revolusi ini menarik karena revolusi ini membawa perubahan terhadap pola dan struktur proses komunikasi manusia. Revolusi ini juga mencengangkan karena dari revolusi tumbuh dan berkembang teknologi informasi manusia yang pada akhirnya mampu untuk melampaui batasan ruang dan waktu. Revolusi ini juga menantang karena revolusi ini juga membawa pengaruh “tidak sehat” terhadap manusia yang gagap dan rakus “gelojoh” terhadap pola-pola kemudahan teknis yang ditawarkan oleh revolusi ini.

Ada revolusi yang sedang berlangsung dan dialami oleh umat manusia. Revolusi tersebut disebut dengan revolusi komunikasi. Revolusi komunikasi ini mengikuti jejak langkah revolusi sebelumnya, yaitu revolusi pertanian (revolusi paradigma nomadik ke arah hidup menetap), revolusi Perancis (revolusi paradigma sosial politik) dan revolusi industri (revolusi mekanika dan dinamisasi kapitalisme industrial). Revolusi komunikasi semakin berkembang dalam suatu asumsi bahwa komunikasi menjadi unsur yang vital dalam kehidupan manusia (Rogers, 1986; Naisbitt, 2001; Straubhaar, 2002).

Ketika informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat, maka masyarakat mulai “mau tidak mau” membuka diri pada media massa dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi, jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi.

Dengan mengukur perkembangan komunikasi dari pengaruh pra-lisan, tradisi lisan, tulisan, cetakan, media massa dan akhirnya telematika dapat disimak bahwa bagaimana lambannya gerakan proses kebudayaan komunikasi tersebut pada proses awalnya, tapi kemudian terakselerasi secara cepat dan massif pada era belakangan ini (Asa Briggs, 2002).

Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi informasi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses massifikasi informasi terletak ketika hasil teknologi membantu mengubah pola komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi informasi tanpa batas. Dengan demikian, pada dasarnya teknologi bersifat baik. Maka tidak mengherankan apabila terjadi perubahan dari media massa tradisional menjadi media massa baru. Pada akhirnya media baru dalam konteks teknologi dan globalisasi mengalami perubahan yang sedemikian kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam industri dan teknologi media komunikasi.

Makalah ini mau mencoba membahas dinamika hubungan antara teknologi, kebudayaan, keberadaan media massa dan globalisasi sebagai titik pijak dinamika menyolok dari revolusi komunikasi. Oleh sebab ini, penulis membagi makalah ini dalam tiga hal pembahasan besar. Pembahasan pertama adalah soal pemahaman dan persepsi teknologi secara umum. Kedua, penulis hendak mendiskusikan hubungan antara berbagai dimensi ekonomi dengan dinamika perkembangan teknologi komunikasi. Bagian ketiga, penulis mencoba mendiskusikan lebih lanjut industrialisasi dan teknologi komunikasi dengan struktur globalisasi sekarang berikut relevansinya di Indonesia.

PERSEPSI - KONSEP POKOK TEKNOLOGI

Anthony Giddens pernah menyatakan bahwa modernitas yang dikarakteristikan dengan kemajuan teknologi sudah menjadi kondisi yang tak terelakkan (Giddens 2001). Manusia sebagai subjek bisa dan mempunyai kemampuan untuk membuat teknologi, tapi pada satu titik tertentu manusia tidak bisa lagi mengontrol kemajuan teknologi. Teknologi sebagai entitas dinamis tidak bisa dikendalikan, termasuk ketika teknologi masuk mendorong perkembangan sistem informasi masyarakat.

Persepsi pertama yang mungkin harus kita perhatikan adalah persepsi pemahaman makna teknologi itu sendiri. Artinya, teknologi kiranya harus dilihat sebagai suatu keseluruhan kegiatan manusia. Ini berarti ketika kita melihat teknologi sebagai hanya sekedar barang buatan maka pemahaman tersebut adalah pemahaman yang dangkal. Teknologi setidaknya mempunyai aspek yang saling berhubungan, yaitu aspek teknis (mencakup pengetahun, kemampuan teknis, pola kerja berikut seluruh aktivitasnya), aspek organisasional (mencakup aktivitas ekonomi dan industri, aktivitas profesional, pemakai dan konsumen; di mana teknologi dilihat sebagai satu sistem dinamis), dan aspek kultural (mencakup tujuan teknologi, nilai - kode etik dan kreativitas) [Pacey, 1983].

Ciri pokok teknologi adalah bahwa teknologi selalu memuat dua faktor penting, yaitu efisiensi dan tujuan yang jelas. Efisiensi menyangkut konsepsi yang menunjukkan perbandingan terbaik antara suatu kerja dengan hasil yang didapatkan.

Teknologi sebagai kegiatan manusia yang bertujuan yang jelas artinya kegiatan manusia itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, atau mengatasi kesulitan tertentu. Tapi meskipun demikian, tetap diakui bahwa teknologi merupakan suatu perpanjangan tangan manusia (McLuhan, 1996; Naisbitt, 2001). Teknologi pada dasarnya memberikan tawaran nilai, yaitu bahwa pekerjaan manusia justru semakin terbantu dengan kehadiran teknologi. Dapat dikatakan bahwa teknologi pada suatu titik merupakan usaha manusia untuk membentuk dunia menurut persepsi dan pemahamannya. Dengan demikian, teknologi merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Kebudayaan teknik ini lebih merupakan sistem kebudayaan yang membuat “alam kedua” setelah lingkungan di mana manusia terlempar.

Persepsi kedua yang mungkin harus dilihat lebih jauh adalah posisi teknologi dalam kebudayaan manusia. Adagium yang disepakati adalah bahwa teknologi adalah keseluruhan kegiatan manusia yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Ketika definisi teknologi memakai definisi di atas maka sebetulnya ada titik tertentu yang bisa menyatakan bahwa teknologi bisa dikatakan sebagai sebuah kebudayaan. Ketika teknologi dilihat sebagai suatu keseluruhan baik aspek nilai, organisasi dan objek material maka dapat dikatakan teknologi adalah kebudayaan -atau bisa dikatakan lagi- kebudayaan adalah teknologi. Namun di lain pihak, kita juga dapat mengatakan bahwa teknologi merupakan salah satu bagian dari kebudayaan. Memang hal ini membawa masalah tersendiri, tentang bagaimana kita harus memaknai teknologi.

Persepsi ketiga adalah beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres atau kemajuan manusia. Dinamisasi efisiensi dan tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan sistem progres dalam teknologi (Pacey, 13-34). Efisiensi industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.

Tingkat kemajuan atau perkembangan teknologi diharapkan semakin mempermudah kerja manusia. Artinya, keyakinan progres teknologi semakin menempatkan manusia sebagai penikmat hasil teknologi tanpa perlu mempertanyakan kembali bagaimana proses hasil teknologi itu.

Meski teknologi selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik, efisien, lebih murah, lebih mudah kepada manusia, tetap saja teknologi belum mampu menjawab misteri dalam seluruh proses penemuannya. Tingkat sofistikasi teknologi dan kebutuhan manusia juga membutuhkan tingkat keahlian (Pacey, 35-57). Tuntutan teknologi yang begitu canggih adalah kemampuan manusia yang tidak hanya memakainya tapi sekaligus membuat atau mereproduksi teknologi itu sendiri.

TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN STRUKTUR INDUSTRI EKONOMI BARU

Dalam bagian terdahulu, kita telah melihat beberapa kerangka konsep dan asumsi-asumsi yang perlu disepakati terlebih dahulu sebelum kita masuk dalam persoalan teknologi komunikasi. Beberapa asumsi dan persepsi di atas juga diberlakukan dalam teknologi komunikasi. Teknologi dalam masyarakat industri memampukan media massa untuk mengadakan pemusatan dan berubah menjadi media yang mampu menampung dan memampatkan sejumlah besar informasi dan kemudian didistribusikan secara massal atau individual secara serempak dan cepat (Rogers, 1986:2-6). Teknologi komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan proses industrialisasi. Seluruh alasan ekonomi dalam industri mendapatkan alat untuk semakin memantapkan posisi ekonomi dalam teknologi (Albaran, 1996).

Di satu pihak, teknologi membuat landasan ekonomi baru yang lebih matang dan massif. Watak industri yang semakin dikukuhkan oleh teknologi adalah watak produksi, distribusi dan konsumsi untuk mencapai keuntungan. Industri modern dikelola dengan manajemen modern, organisasi yang lebih kompleks, modal yang lebih besar. Termasuk di dalamnya industrialisasi media (Dahlan, 2000). Tapi di lain pihak, industrialisasi, dalam hal ini industrialisasi media juga mempengaruhi perkembangan teknologi komunikasi baru.

Tentunya, perkembangan ekonomi baru ini dipicu oleh revolusi industri yang mengubah pola ekonomi manusia. Tapi tidak juga cukup kalau kita mau memahami ekonomi dalam masyarakat industri baru. Setidaknya peran teknologi dan komunikasi mempunyai andil yang cukup besar dalam membentuk dan merekonstruksi bangunan ekonomi baru yang ada sekarang. Kata kuncinya adalah PERUBAHAN.

Ekonomi baru berpusat pada soal kemampuan kita untuk menata, mengelola persaingan masa depan, kemampuan untuk menciptakan produk dan jasa baru, kemampuan untuk mengubah bisnis ke dalam bentuk yang lebih baru sekaligus bentuk yang cepat harus diganti. Dalam bahasa struktur ekonomi yang lazim digunakan adalah bahwa teknologi dimanfaatkan untuk semakin memaksimalisasikan barang, jasa, komoditas dan modal.

Relasi antara teknologi dan struktur dinamika ekonomi baru ini menyebabkan adanya beberapa perubahan yang cukup signifikan bagi masyarakat. Ketentuan baru dari industri teknologi baru adalah teknologi yang memerlukan lebih dari sekedar kecerdasan, kegesitan, dan kecepatan. Perlu suatu definisi ulang tentang nilai dalam ekonomi baru, di mana biaya teknologi yang digunakan bisa diminimalisasi.

Berikut ini akan disampaikan beberapa pertimbangan yang perlu dipahami dalam proses refleksi yang lebih mendalam atas kehidupan sosial-ekonomi yang berkembang dalam masyarakat kontemporer, terutama pola ekonomi baru yang dipengaruhi oleh teknologi komunikasi.

Pertama, ekonomi baru berlandaskan dasar, praktek pengetahuan serta profesionalisme penguasaan teknoologi informasi memberikan penegasan bahwa ekonomi didasarkan pada pengetahuan. Pengetahuan di sini juga dimaksudkan dengan kemampuan, ketrampilan pekerja. Isi pengetahuan dalam produksi dan jasa sedang bertumbuh secara signifikan sebagai ide konsumen. Informasi dan teknologi merupakan bagian faktor produksi. Kedua, digitalisasi. Perubahan teknologi dari teknologi analog ke digital memungkinkan komunikasi memuat informasi yang padat, kaya dari segala jenis secara bersama; dengan teknologi informasi, informasi dapat digabung, dikonversikan dan disajikan dengan berbagai bentuk.

Ketiga, virtualisasi. Perubahan barang-barang, materi atau segala sesuatu yang fisis menjadi realitas yang maya. Ini berarti juga mengubah metabolisme realitas sosial dan ekonomi, jenis institusi serta kodrat ekonomi - hidup sosial itu sendiri[i]. Dalam level organisasi, terjadi perubahan bentuk institusi ke dalam lembaga yang lebih ada dan berfungsi di alam maya. Keempat, molekularisasi. Artinya bahwa ekonomi baru membentuk kesatuan-kesatuan unit ekonomi baru yang lebih kecil dan independen. Dengan teknologi informasi, sistem organisasi dan institusi ekonomi bertransformasi dalam realitas yang tidak lagi memperhatikan ukuran dan keterbatasan waktu-tempat. Unit-unit kecil ekonomi tersebut mampu menjadi dasar aktivitas ekonomi yang mandiri dan bersifat global.

Kelima, integrasi jaringan. Ekonomi baru adalah ekonomi yang didasarkan pada teknologi jaringan. Keterkaitan dalam networking memungkinan jaringan dalam berbagai tataran, lokal - regional - nasional - metropolitan - nasional - global. Keenam, mulai tidak adanya perantara dalam sistem ekonomi baru. Ini berarti bahwa ekonomi baru tidak begitu membutuhkan agen, broker, penjual. Bahkan sering terjadi bahwa pengecer atau lembaga media justru berada di tengah produsen dan konsumen. Teknologi dalam konteks kini memindah rancang bangun perhitungan yang multilevel dalam model yang lebih terintegrasi dalam jaringan.

Ketujuh, konvergensi. Konvergensi merupakan kata kunci ekonomi baru. Artinya, ada pemusatan kemampuan penggabungan media dan substansi ekonomi. Penciptaan kemampuan bergabung ini membentuk kemampuan yang lebih canggih. Peralatan, sistem, isi dan kendali informasi saling terkait satu sama lain. Kedelapan, inovasi. Artinya, inovasi adalah faktor penting dalam aktivitas ekonomi dan keberhasilan bisnis. Dalam arti ini juga, tingkat kemampuan kreativitas dan imajinasi manusia menjadi sumber nilai yang penting.

Kesembilan, prosumsi. Batas antara konsumen dan produsen menjadi “blur”. Konsumen informasi dan teknologi menjadi juga produsen ekonomi. Kolaborasi manusia dalam jaringan menjadi bagian dalam sumber-sumber informasi perusahaan multimedia. Pemakai bisa menjadi perancang. Kesepuluh, ketersegeraan. Kecepatan dan sifat segera informasi sangat penting dalam ekonomi baru. Perdagangan menjadi bersifat elektronik dalam seluruh transaksi serta komunikasi bisnis. Hal ini berpengaruh pada soal kondisi dan bentuk ekonomi yang pernah terjadi.

Sebelas, keterkaitan dan persaingan global. Sumber informasi dan media saling terkait dalam jaringan global, dengan interaksi tinggi. Persaingan lembaga ekonomi sekarang lebih bersifat global. Terakhir, diskordansi. Kontradiksi sosial yang bersifat massif muncul. Terjadi pertentangan antara sumber daya klasik dengan sumber daya yang baru, dibayar tinggi. Justru gap baru timbul dalam konteks ini, antara yang punya-miskin, tahu dan tidak tahu. Semua bersumber pada soal akses informasi dan ekonomi. Hal ini juga menumbuhkan potensi trauma dan konflik baru yang belum diantisipasi sebelumnya.

TEKNOLOGI, INDUSTRIALISASI MEDIA DAN MASYARAKAT INFORMASI

Teknologi dalam industrialisasi media sangat penting. Setidaknya industrialisasi media komunikasi membutuhkan teknologi untuk menjadi perpanjangan tangan yang efektif menaikkan skala keuntungan ekonomi yang diperoleh. Tapi tetap ada beberapa argumentasi yang perlu dikaji, selain argumentasi ekonomi. Pertama adalah argumentasi kultur komunikasi yang berkembang. Argumentasi ini mau memperlihatkan adanya perkembangan atau perubahan mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola komunikasi manusia.

Kedua adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya yang dihidupi oleh manusia modern.Setidaknya perlu dikaji soal relasi signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media (Turow, 1997).

Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat

Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres (kemajuan linear) dalam teknologi. Efisiensi industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.

Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital, mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpul-simpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri. Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam seluruh proses distribusi media komunikasi modern.

Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global. Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi. Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia. Perkembangan komunikasi sangat luar biasa. Perkembangan dramatik teknologi komunikasi tidak terletak pada soal sistem perangkat kerasnya saja tapi sudah menyangkut soal bagaimana membuat interkoneksitas jaringan komunikasi. Teknologi komunikasi bukan sekedar soal barang tapi juga soal teknologi jaringan itu sendiri.

Kalau kita mau membicarakan struktur industrialisasi media maka kita tidak memisahkan diri dari isi media dibuat dan diciptakan. Teknologi komunikasi merupakan perangkat yang membutuhkan biaya yang tinggi, dengan demikian hanya pemilik modal besar saja yang mampu menguasai teknologi. Maka tidak mengherankan apabila industrialisasi dan teknologisasi media komunika membawa industri media pada usaha konglomerasi.

Dalam perkembangan yang serupa industri koran telah berubah menjadi industri jaringan. Industri jaringan jelas memunculkan sejumlah pemain besar. Industri film, radio dan musik bukan lagi tumbuh secara vertikal tapi juga berkembang secara horizontal.

TEKNOLOGI MEDIA DAN GLOBALISASI

Dunia tanpa Batas adalah ungkapan yang kurang lebih tepat untuk menjelaskan kondisi dunia saat ini. Hubungan bisnis, pernikahan dan persahabatan antar manusia telah mengalami perubahan. Peluang yang tercipta antar negara semakin besar dalam berbagai aspek kehidupan. Perdagangan bebas dan hadirnya paham laissez faire yang mengakibatkan globalisasi, termasuk dalam bidang komersialisasi dan kepemilikan media massa. Hal itu menimbulkan perkembangan industri media yang pesat, menembus batas teritorial negara di dunia. Modernisasi adalah proses yang menempatkan masyarakat bergerak ke arah teknologi yang lebih maju dan kompleks. Globalisasi mengacu pada jaringan yang mengikat se cara bersama-sama berbagai negara di dunia.

Sistem komunikasi global dalam era globalisasi ditandai dengan kemajuan yang pesat dari bidang kepenyiaran dan periklanan. Hak siar secara audio maupun audiovisual adalah hak monopolis yang dilakukan oleh negara atau swasta. Periklanan komersial kini telah menjadi kekuatan yang mengontrol industri media. Industri barang dan jasa yang dipasarkan secara internasional dan menggunakan periklanan sebagai media pemasarannya. Agen periklanan mengandalkan media komunikasi untuk membuka dan menjangkau pangsa pasar. Oleh sebab itu, perusahaan barang dan jasa transnasional mulai berpenetrasi ke pasar-pasar lokal. Perusahaan iklan multinasional jelas mempunyai kekuatan modal yang besar dan kemajuan teknologi yang begitu canggih. Dengan demikian, periklanan telah menjadi satu sumber penghasilan perusahaan media massa.

Periklanan komersial kini banyak diterapkan oleh sedikitnya 95 sistem televisi di dunia (Cockkerham, 1999). Pada akhirnya perkembangan teknologi iklan mempengaruhi komersialisasi penyiaran dunia.

Pertumbuhan dan modernisasi teknologi komunikasi juga mendorong perkembangan perusahaan transnasional, baik yang bergerak di bidang media dan non-meida, guna memfasilitasi pengoperasian perusahaan tersebut, sehingga dapat membawa dan memperluas bisnis mereka mencapai berbagai negara lainnya. Dengan kata lain perkembangan teknologi komunikasi turut memfasilitasi dan memudahkan perkembangan ekonomi dunia melalui perusahaan transnasional.

Perkembangan industri elektronik dan teknologi komunikasi telah membawa perubahan dan mendukung keberadaan bisnis perusahaan transnasional. Berbagai akibat dirasakan dalam seluruh perkembangan teknologi dan ekspansi perusahaan media global. Kehadiran satelit dalam seluruh sistem kepenyiaran mendorong dan memperbesar signal televisi dari perusahaan media global. Dengan membawa hiburan, informasi dan budaya, perusahaan media global mencapai ke tingkat masyarakat lokal.

Dengan demikian dalam perspektif global, informasi adalah hal yang krusial dalam operasi sistem perusahaan transnasional. Inilah yang menjadi alasan perluasan komunikasi internasional. Di mana k ebutuhan sistem bisnis internasional diharapkan dan dilayani dengan perluasan infrastruktur jaringan, data, informasi dan instalasi komunikasi di negara lain. Di sini terlihat bahwa teknologi memainkan peranan yang vital dalam menghadirkan skema baru. Teknologi mempunyai fungsi untuk integrasi sistem industri perusahaan dan memperdalam kemampuan pengetahuan serta pemerataan akses informasi yang lebih luas.

PROBLEM POTENSIAL DALAM TEKNOLOGI MEDIA MODERN

Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mempercepat dinamika pesan dan informasi yang dikirim dan diterima oleh manusia. Proses akselerasi informasi tersebut membuat proses kejenuhan dan overloading informasi yang pada akhirnya membuat informasi tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan yang perlu melainkan sebagai sambilan sementara informasi hiburan dan komersial.

Kemajuan teknologi sering dalam seluruh proses pengembangannya tidak bisa disangkal akan mereduksi dan mendeterminasikan peran informasi dalam seluruh sistem masyarakat. Berbicara tentang teknologi media maka ukuran yang empirik ada adalah soal eksistensi media komunikasi. Padahal teknologi bukan sekedar soal barang tapi juga soal sistem nilai yang berada di balik teknologi itu sekaligus implikasi logis terhadap masyarakat. Apakah dengan demikian informasi bisa dilihat dan diukur secara empirik.

Permasalahan potensial yang lain dan layak di kaji adalah bahwa teknologi komunikasi menimbulkan persoalan akses, yang pada akhirnya akan berhubungan dengan soal kekuasaan dan kapital. Siapa yang bisa menjamin pemerataan informasi dan teknologi ?

Selain permasalahan di atas, terdapat masalah yang sangat krusial, yaitu masalah deregulasi media modern. Jangan dilupakan bahwa berbagai deregulasi komunikasi dan telekomunikasi merupakan pemicu perkembangan teknologi komunikasi dan telekomunikasi. Pengembangan sistemik pada jasa komunikasi membawa pengaruh yang sangat jauh pada soal kompetisi, efektivitas, pengembangan aplikasi media komunikasi baru.

Permasalahan yang tidak kalah penting adalah perkembangan media baru, yang mempunyai tingkat teknologi dan kemampuannya bisa menghindari regulasi, seperti internet. Memang dirasakan internet memberikan sumbangan konstruktif kepada manusia, tapi tetap saja ada persoalan “kebebasan” yang tidak terkontrol atas efek internet pada masyarakat.

DISKUSI UNTUK INDONESIA

Indonesia jelas tidak mungkin menghindar dari perkembangan dan revolusi informasi global. Namun dapat dikatakan bahwa industrialisasi di Indonesia terbilang terlambat. Ketika media Indonesia mengalami industrialisasi media yang cukup marak, media di negera-negara industri sudah beranjak pada level perkembangan dunia pasca industri di bidang informasi. Dapat dikatakan bahwa media di Indonesia sekarang ini sudah bisa dikatakan sebagai “media tradisional”.

Beberapa waktu yang lalu, media di Indonesia masih dilihat dan bangga disebut sebagai media perjuangan. Masalahnya adalah apakah memang dengan tingkat teknologi media yang berkembang sampai sekarang, tetap dapat dikatakan bahwa media di Indonesia adalah media perjuangan ? Akselerasi, kompresi dan literasi masyarakat Indonesia terhadap media sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Tapi apakah memang perkembangan masyarakat informasi di Indonesia telah diikuti oleh pengembangan sumber manusia yang melimpah ini ?

Perkembangan masyarakat informasi tidak hanya diikuti dengan soal pembaruan teknologi saja, tapi juga harus diikuti dengan orang di balik teknologi tersebut. Bukankah demikian ?

Selain itu, penulis menganggap perlu untuk mencoba mendiskusikan masalah teknologi dan industri komunikasi di Indonesia. Pertama, Industri buku dan majalah di Indonesia memang sudah berkembang. Industri buku berkembang ditandai oleh perkembangan industri buku lokal, dan nasional. Tapi tetap saja beberapa masalah yang mengikuti perkembangan buku dan majalah di Indonesia. Penghargaan terhadap industri buku masih rendah dengan bukti adanya dan begitu maraknya pembajakan buku di mana-mana. Ini persoalan sendiri, karena hal itu menyangkut soal hak cipta. Industri serta teknologi buku dan majalah di Indonesia tetap dimiliki oleh industri-industri kaya dan padat modal. Hal yang bisa ditarik dari hal ini adalah bahwa industri buku dan majalah di Indonesia belum bisa melepaskan diri dari pola ketergantungan ekonomi yang mengikatnya. Ketergantungan ekonomi akan mempengaruhi pola isi yang mau ditawarkan kepada masyarakat.

Kedua adalah masalah teknologi dan industri surat kabar di Indonesia. Indonesia sedang mengalami reformasi media massa. Berbagai macam koran, majalah, TV dan radio. Surat kabar adalah industri media massa yang masih dipercaya. Perkembangan industri surat kabar masih bisa dipertahankan dibandingkan dengan portal-portal dot com yang pernah ada di Indonesia.

Meski demikian tetap ada masalah yang perlu diperhatikan. Hal yang pertama harus dilihat adalah kecenderungan kepemilikan dan persaingan tidak sehat dengan cara konsentrasi industri media oleh konglomerat media tertentu dapat memicu masalah baru, yaitu masalah monopoli kebenaran, proses elitisme surat kabar dan lainnya. Lalu tetap harus diakui bahwa tingkat melek media masyarakat Indonesia tidak bisa menjamin ada pembangunan surat kabar yang positif di Indonesia. Pasar dan masyarakat Indonesia dipegang dan dikendalikan oleh media.

Ketiga adalah masalah teknologi dan industri radio di Indonesia. Perkembangan paling penting dalam industri radio adalah kemunculan radio yang menggunakan satelit untuk transmisi berita dan jaringan radio 68H yang merupakan kantor berita radio pertama di Indonesia. Dengan jaringan lebih dari 200 buah radio di seluruh Indonesia, radio 68H bekerjasama untuk memperoleh dan menyiarkan berita.

Penyiaran berita memang merupakan hal yang agak baru untuk industri ini setelah puluhan tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, berita dimonopoli oleh kelembagaan siaran pemerintah seperti RRI. Pasca orde baru memang terjadi peningkatan kuantitas stasiun radio. Dari data tahun 2000 saja, anggota PRSSNI tahun 1996 hanya beranggota 699 radio tapi meningkat menjadi 775 pada tahun 2000.

Perkembangan lainnya adalah bahwa boom perkembangan radio di Indonesia juga memanfaatkan kelengkapan telekomunikasi modern untuk semakin memperluas dan memperbaiki kualitas siaran radio. Sistem penggabungan dan pemanfaatan teknologi telekomunikasi dalam dunia radio memang memberikan aspek aktualitas dan akselerasi kecepatan berita dalam radio. Selain bahwa beberapa radio di Indonesia mulai mengembangkan spesifikasi atau spesialisasi siarannya.

Keempat, masalah teknologi dan industri televisi. Banyak pemain baru dalam pertelevisian Indonesia, selain yang sudah mapan dan lebih senior di Indonesia. Kehadiran stasiun televisi baru menambah perbendaharaan akses informasi bagi masyarakat Indonesia. Tapi meskipun demikian, pemain TV baru masih harus bekerja keras membangun infrastruktur karena struktur yang belum sempurna dibandingkan RCTI, SCTV, Indosiar, TPI atau TVRI. Oleh sebab itu, persaingan televisi di Indonesia tidak hanya persaingan isi dan jenis program acara televisi tapi juga persaingan infrastruktur.

Perkembangan televisi di Indonesia bisa dikatakan maju. Tumbuhnya stasiun TV baru di Indonesia juga semakin memperkecil Niche (celung.red) iklan bagi televisi tersebut. Masalah di sini adalah perkembangan televisi Indonesia juga membuka persaingan yang ketat dalam perolehan iklan.

Beberapa televisi bekerja sama secara sinergis dengan media lainnya, lihat TV 7 bekerja sama dengan beberapa penerbitan Gramedia. Hal ini akan menimbulkan masalah tentang kepemilikan silang media yang pada akhirnya harus ditanggapi secara bijaksana juga. Ada masalah etis dan sosial apabila masalah kepemilikan silang ini tidak dijernihkan.

Kalau kita mau memahami industri rekaman, khususnya rekaman musik mungkin kita harus memperhatikan beberapa unsur pokok dalam industri rekaman. Unsur pokok itu adalah para aktor rekaman (penyanyi, musisi, pengarang lagi dan sebagainya), perusahaan rekaman, dan distributor industri rekaman musik.

Dalam konstelasi industri rekaman di Indonesia, kita bisa melihat perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan industri musik Indonesia telah menjadi salah satu bagian dalam konstatasi musik global terutama perkembangan musik di Asia Tenggara. Ditambah lagi bahwa industri musik Indonesia cukup terbantu dengan keberadaan MTV Asia yang menjadi garda depan promosi industri musik di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.

Hanya memang dalam perkembangan industri rekaman, terjadi masalah yang harus tetap dikritisi, yaitu pertama masalah konsentrasi industri rekaman yang dihegemoni oleh perusahaan semacam EMI, BMG music, Sony Music dan lainnya. Masalah hak cipta dalam industri rekaman. Masalah krusial industri rekaman adalah masalah pembajakan. Sampai sekarang belum ada penyelesaian yang tuntas dengan masalah pembajakan industri rekaman di Indonesia.

Keenam adalah masalah teknologi dan industri film dan video di Indonesia. Kelesuan industri film di Indonesia dimulai ketika terjadi perubahan minat pasar film Indonesia yang cenderung menyukai tema sex dan darah. Hal ini semakin diperparah dengan biaya produksi yang tinggi ketika terjadi pembuatan film yang bermutu.

Masalah lain adalah masalah pembajakan dan modifikasi bentuk serta format film ke dalam hal yang lebih ringkas. Di satu pihak membantu dan mengembangkan teknologi film tapi di lain pihak tidak bisa dipungkiri bahwa film juga akan terpengaruh dengan menurunnya minat penonton bioskop.

Aspek organisasi ekonomi politik industri film di Indonesia yang belum mendapatkan bentuk yang lebih jelas. Konsentrasi industri dan integrasi ekonomi belum mendapatkan bentuk yang lebih konkret dalam seluruh perkembangan industri ekonomi film dan video di Indonesia.

Perkembangan teknologi internet di Indonesia juga menarik untuk dibahas. Yang jelas, pemanfaatan industri dan teknologi internet di Indonesia bukan main luar biasa perkembangannya. Hanya memang kita masih belum menjadi bangsa yang mampu memproduksi program atau isi internet secara lebih luas. Perkembangan industri dan teknologi internet di Indonesia patut dihargai, tapi ada hal-hal yang perlu dikritisi juga.

Penguasaan dan monopoli kepemilikan industri informasi oleh sekelompok kecil orang ditengarai dapat menciptakan monopoli dan juga penguasan pasar maupun pengaruh.

Menyangkut soal hak kekayaan intelektual. Internet dan komputer sangat membuka kemungkinan terjadinya duplikasi, plagiarisme, pembajakan hak intelektual. Hal itu ditambah lagi dengan bahawa Indonesia belum mempunyai hukum yang jelas dalam bidang teknologi informasi ini. Kejahatan-kejahatan internet belum mampu diakomodir oleh sistem hukum Indonesia. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengatasi penyalahgunaan hukum teknologi informasi yang masih relatif baru ini.

Terakhir adalah soal rendahnya kontrol budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh internet. Artinya, soal relativisme budaya, pornografi, aktivitas kekerasan sangat mudah diakses oleh siapa saja. Hal ini pada akhirnya mempunyai masalah yang panjang. Siapa yang harus disalahkan ? Teknologi internetnya ? Orang yang berada di balik teknologi dan industri internet ? atau orang yang mengakses internet ?

WACANA AKHIR: Langkah Ke Depan

Masalahnya adalah apakah memang orang Indonesia benar-benar siap melangkah menjadi masyarakat informasi. Bagaimana perkembangan citra dan budaya teknologi informasi di Indonesia. Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi mencakup persiapan masyarakat informasi di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang perlu ditarik dalam hal ini.

Pertama adalah soal penentuan konsep teknologi dan masyarakat komunikatif macam apa yang mau dibangun. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang terlambat untuk dijawab sekarang ini. Masyarakat kita perlu mengadoptasi teknologi komunikasi tanpa meninggalkan nilai budaya setempat.

Kedua, perkembangan teknologi mempengaruhi transformasi sosial. Transformasi sosial yang seimbang dan sesuai dengan kekuatan sosial masyarakat. Transformasi itu meliputi integrasi optimisme industri dan teknologi komunikasi, pemberdayaan partisipasi masyarakat - kewenangan negara dan kekuatan swasta untuk semakin bertindak bertanggungjawab secara sosial, transformasi regulasi yang diperlukan untuk aturan main bersama terutama dalam hal perkembangan industri dan teknologi media, aspek transformasi kepemimpinan dalam menemukan dan menciptakan ekonomi baru sebagai perluasan lapangan kerja dan akses informasi yang lebih luas.

Ketiga, perubahan citra teknologi komunikasi itu sendiri. Perubahan citra teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif praktek hidup, kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian, tersedia setiap saat, terbukti bermanfaat.

Dengan demikian, teknologi komunikasi bisa diterapkan dalam masyarakat. Dan teknologi komunikasi semakin menjadi manusia semakin menjadi manusia yang utuh. Semoga !


DAFTAR PUSTAKA

Albarran, Alan B., 1996 Media Economics: Understanding Markets, Industries and Concepts, Iowa States University Press:Iowa

Briggs, Asa, 2002, A Social History of The Media: From Gutenberg to the Internet, Polity Press:Cambridge

Dahlan, Alwi, 2000, Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester Genap 1999/2000, Universitas Indonesia:Jakarta

Dizzard, Wilson, 1982, The Coming of Information Age, Longman:New York

Giddens, Anthony, 2001, The Third Way and Its Critics, SAGE:London

McKeown, Patrick G., 2001, Information Technology and The Networked Economy, Harcourt:Orlando

McLuhan, Marshall, 1996, Understanding Media:The Extension of Man, MIT Press:Massacusetts

Mirabito, Michael, 1997, The New Communications Technologies, Focal Press:Boston

Naisbitt, John, 2001, High Tech - High Touch: Technology and Our Search of Meaning: High Tech - High Touch, Inc: New York

Pacey, Arnold, 1984, The Culture of Technology, MIT Press:Massachusetts

Stevenson, Nick, 1995, Understanding Media Cultures, Social Theory and Mass Communications, SAGE:London

Straubhaar, Joseph dan La Rose, 2002, Media Now: Communication Media in the Information Age: Wadsworth:Australia.

Tapscott, Don, 1996, Digital Economy, McGraw HIll:New York

Toffler, A., 1980, The Third Wave, Morrow:New York

Turow, Joseph, 1997, Media System in Society: Understanding Industries, Strategies and Power, LONGMAN:New York

Williams, Frederick, 1992, The New Communications, Wadsworth:California

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here