Friday, March 31, 2006

Komunikasi Politik dalam Masyarakat Majemuk

Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk

(F Budi Hardiman)

"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain

yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil."

- Immanuel Kant

BANGSA kita sedang memasuki tahapan sejarah yang sangat penting dengan melangsungkan pemilihan presiden secara langsung. Namun, ini baru awal. Sangatlah dini mengklaim sukses pemilu sebagai sukses demokratisasi. Pemahaman demokrasi di negara-negara yang sedang melangsungkan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi seperti negara kita bersifat minimal. Demokrasi dimengerti sebagai pemilihan umum yang berlangsung fair. Demokrasi minimalis ini mengabaikan proses di antara pemilihan umum yang satu dan pemilihan umum yang lain. Namun, jika bertolak dari konsep demokrasi itu sendiri, kita tak dapat berhenti pada sikap minimalis.

DEMOKRASI per definitionem, seperti dirumuskan secara padat dalam bahasa Jerman, adalah regierung der regierten (pemerintahan dari mereka yang diperintah). Jika demikian, menyerahkan kepercayaan begitu saja kepada para pelaku dalam sistem politik hasil pemilihan umum-eksekutif, legislatif, dan yudikatif-tidak akan memenuhi definisi itu. Mereka yang diperintah harus mendapatkan akses pengaruh ke dalam sistem politik. Jika demokrasi ingin maksimal, celah di antara dua pemilihan umum harus diisi dengan partisipasi politis warga negara dalam arti seluas-luasnya. Dalam demokrasi maksimal inilah konsep ruang publik menduduki tempat sentral.

Bila demokrasi tidak sekadar dipahami formalistis, ia harus memberikan kemungkinan kepada warga negara mengungkapkan opini mereka secara publik. Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itu merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi, yakni, seperti dikatakan Hannah Arendt, suatu lingkup bagi suatu "aku" untuk menyatakan "kesiapaannya" di hadapan suatu "kamu" sehingga suatu tindakan bersama suatu "kita" menjadi mungkin.

Dalam teori-teori demokrasi klasik dikenal konsep volonte generale (kehendak umum), yaitu keputusan publik yang mencerminkan kepentingan seluruh rakyat. Konsep kuno yang berasal dari Jean-Jacques Rousseau ini tetap dianut dalam praktik-praktik parlementarisme modern meski konsep itu lahir dari masyarakat berukuran kecil yang relatif homogen: masyarakat kanton Swiss. Sulit membayangkan realisasi volonte generale dalam sebuah masyarakat majemuk dengan keragaman orientasi nilai dan gaya hidup dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini. Ide tentang ruang publik politis dapat menjelaskan relevansi konsep klasik itu di dalam masyarakat kompleks seperti masyarakat Indonesia.

Apa itu ruang publik politis?

Dalam masyarakat majemuk dewasa ini, suatu identifikasi "kedaulatan rakyat" dengan "perwakilan rakyat" dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi semakin sulit karena sistem politik "hanyalah" salah satu subsistem di antara subsistem lain di dalam sebuah masyarakat kompleks. Karena itu, konsep kedaulatan rakyat harus ditafsirkan secara baru. Jika parlemen hanyalah salah satu subsistem masyarakat kompleks, kedaulatan rakyat seharusnya dibayangkan melampaui sistem perwakilan itu, yang merupakan intensitas interaksi diskursif di antara berbagai subsistem di dalam masyarakat majemuk. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat adalah "totalitas bentuk" dan "isi komunikasi" tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung, baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas.

Jika interpretasi ini dapat diterima, ruang publik politis yang berfungsi baik dan kedaulatan rakyat adalah satu dan sama. Konsep ruang publik politis merupakan pemahaman baru atas konsep kedaulatan rakyat agar konsep ini dapat diterapkan di dalam masyarakat kompleks di era globalisasi ini.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan ruang publik politis sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif (1). Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu.

Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama untuk mencapai suatu konsensus yang fair dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang dipakai untuk tujuan-tujuan di luar diri mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus "inklusif", "egaliter", dan "bebas tekanan" (2). Kita dapat menambahkan ciri-ciri lain: pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan isi konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.

Di manakah lokus ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis Habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri, baik dari pasar maupun dari negara.

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar ataupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demonstrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kuasa bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tak ada lagi lokus yang netral dari pengaruh ekonomi dan politik. Jika demikian, ruang publik politis harus dimengerti secara "normatif": ruang itu berada tidak hanya di dalam forum resmi, melainkan di mana saja warga negara bertemu dan berkumpul mendiskusikan tema yang relevan untuk masyarakat secara bebas dari intervensi kekuatan-kekuatan di luar pertemuan itu. Kita menemukan ruang publik politis, misalnya, dalam gerakan protes, dalam aksi advokasi, dalam forum perjuangan hak-hak asasi manusia, dalam perbincangan politis interaktif di televisi atau radio, dalam percakapan keprihatinan di warung-warung, dan seterusnya.

Berbeda dari demokrasi dalam masyarakat yang berukuran relatif kecil dan homogen, demokrasi di dalam masyarakat kompleks yang berukuran gigantis seperti masyarakat kita tidak dapat berfungsi secara memuaskan hanya dengan mengandalkan kinerja para wakil rakyat dalam DPR/MPR. Subjek kedaulatan rakyat dalam masyarakat majemuk tidak boleh dibatasi pada aktor-aktor parlementer. Subjek itu seharusnya adalah para aktor dalam ruang publik politis, dan mereka adalah apa yang kita sebut masyarakat sipil. Mereka terdiri atas perkumpulan, organisasi, dan gerakan yang terbentuk spontan untuk menyimak, memadatkan, dan menyuarakan keras-keras ke dalam ruang publik politis problem sosial yang berasal dari wilayah privat (3).

Masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Seperti diteliti oleh J Cohen dan A Arato, ruang publik politis yang dihasilkan para aktor masyarakat sipil itu dicirikan oleh "pluralitas" (seperti keluarga, kelompok nonformal, dan organisasi sukarela), "publisitas" (seperti media massa dan institusi budaya), "privasi" (seperti moral dan pengembangan diri), dan "legalitas" (struktur hukum dan hak-hak dasar) (4).

Fungsi ruang publik politis

Di dalam rezim Soeharto, negara mengintervensi pembentukan opini publik dengan alasan pemeliharaan stabilitas nasional, mengawasi media massa secara ketat demi keamanan nasional, menstigma para oposan, dan merintangi pembentukan spontan kelompok-kelompok politis. Pemerintah saat itu membenarkan politik represifnya dengan alasan bahwa negara sudah diperlengkapi dengan DPR/MPR untuk kanalisasi aspirasi publik, sementara lembaga perwakilan ini berada di bawah dominasi eksekutif.

Masih basah dalam ingatan kita bagaimana pada setiap pemilihan presiden terjadi kor setuju yang jadi ritual bagi terpilihnya kembali Soeharto untuk kesekian kalinya. Tak boleh ada beda pendapat. Aklamasi dipersiapkan sebelumnya. Negara Orde Baru adalah sebuah sistem administrasi otoriter yang merintangi pembentukan ruang publik politis dengan menciptakan publik semu yang bertindak seolah-olah mewakili volonte generale.

Negara Orde Baru tidak hanya tidak memiliki sambungan pada sumber loyalitas dan legitimitasnya, melainkan juga kekurangan sensibilitas terhadap masalah sosial yang nyata dihadapi. Tak adanya sambungan inilah yang menyebabkan rakyat menarik kembali legitimitas pemerintahan Soeharto lewat gerakan reformasi. Reformasi tak lain dari membangun jaringan yang menyambungkan sistem politik dengan sumber legitimitasnya: rakyat.

Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama, ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi. Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, lembaga swadaya masyarakat, perhimpunan cendekiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak lainnya dalam ruang publik memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara.

Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara "transparan" memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena. Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom di hadapan kuasa birokratis dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan cetak di masyarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dipecahkan di hadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa para pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Tanpa memenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi "ekstensi" pasar dan negara belaka.

Tentu sulit membayangkan ruang publik sebagai ruang bebas kuasa. Sebaliknya, ruang publik politis justru merupakan jaringan kekuasaan yang sangat kompleks karena setiap bentuk perhimpunan dalam masyarakat kita membentuk ruang publiknya sendiri yang ingin mendesakkan kebutuhannya. Kita dapat memakai hasil analisis Habermas untuk membedakan dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita (5).

Tipe pertama-sebut saja "ruang publik autentik"-adalah ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi di sini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik. Gerakan mahasiswa yang mendorong reformasi adalah contoh tipe pertama ini. Dalam gerakan inilah kita menyaksikan lahirnya ruang publik politis di negeri kita.

Para aktor ruang publik autentik memiliki kepekaan atas bahaya-bahaya yang mengancam hak-hak komunikasi kita sebagai warga negara dan menentang setiap upaya merepresi kelompok-kelompok minoritas dan marjinal. Perkembangan ruang autentik ini akan banyak ditentukan oleh civic courage dan civic friendship yang tumbuh di antara warga negara. Ini tampak, misalnya, dalam keberanian sebuah media menyiarkan, menerbitkan, atau menayangkan berita yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya, tetapi menohok kepentingan pemodal ataupun birokrasi: dalam gerakan pemberantasan korupsi misalnya. Multiplikasi aktor ataupun lembaga yang memiliki civic virtues seperti ini merupakan syarat pembentukan ruang publik autentik.

Tipe kedua-"ruang publik tak autentik"– adalah kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya "memakai" ruang publik yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya.

Setelah gerakan mahasiswa ikut mendorong delegitimasi rezim Soeharto di tahun 1998, ruang publik yang terbuka segera diduduki oleh kekuatan pasar dan birokrasi. Menumbuhkan ruang publik berarti tidak hanya multiplikasi ruang publik autentik, melainkan juga terus mengontrol kiprah para pelaku ruang publik tak autentik. Masyarakat harus membebaskan diri dari budaya bungkam ke budaya kritis, dari indeferensi ke partisipasi politis, dari watak massa ke komunitas.

Di dalam negara hukum demokratis, media massa merupakan kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa dapat berfungsi secara benar dalam ruang publik politis jika otonom tidak hanya dari negara dan pasar, melainkan juga dari para aktor ruang publik itu sendiri. Ia harus mampu menetralkan pengaruh uang dan kekuasaan yang dapat memanipulasi ruang publik politis. Ia memang tak mungkin lepas sama sekali dari para aktor tipe kedua, tetapi ia dapat dan seharusnya menangkap dan melontarkan suara-suara yang mencerminkan kepublikan seluas-luasnya.

Komunikasi antara ruang publik dan sistem politik

Sudah dikatakan di atas bahwa reformasi tak lain daripada upaya membuka kanal-kanal komunikasi politis dalam masyarakat majemuk. Sementara dalam revolusi bisa saja sistem negara berubah, dalam reformasi sistem negara hukum yang telah ada diradikalkan secara komunikatif. Reformasi tak lain daripada menyingkirkan rintangan komunikasi politis antara sistem politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan ruang publik politis.

Menurut Habermas, negara hukum modern berciri demokratis jika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang publik dan sistem politik (6). Habermas, menurut hemat saya, berhasil menjelaskan suatu persoalan besar yang dicari para aktivis sosial dan politis di dalam masyarakat kita, yaitu bagaimana menyambungkan aspirasi masyarakat luas, korban, minoritas, dan seterusnya yang diwakili oleh organisasi nonformal dengan sistem politik. Model diskursivitas antara ruang publik dan sistem politik dapat menjelaskan itu.

Dalam ruang publik politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus publik dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontroversi satu sama lain, dari yang memiliki niveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang publik politis berciri anarkis dan tak terstruktur. Ruang publik politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulatif maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini publik. Andaikata semua suara memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tak ada.

Di sini kita bisa membayangkan adanya dua macam filter dalam prosedur demokratis: filter dalam ruang publik politis itu sendiri dan filter sistem politik. Suatu opini memiliki kualitas sebagai opini publik jika lolos dari filter ruang publik. Publik pembaca dan pendengar bisa saja dimanipulasi ataupun diintimidasi untuk menerima sebuah opini, tetapi opini macam itu tetap akan dipersoalkan autentisitasnya selama publik tetap mendapat akses untuk menguji kesahihannya.

Segala yang terbukti sebagai hasil manipulasi dan intimidasi-jika pengujian publik dibuka-tidak dapat dihitung sebagai opini publik. Tentu saja manipulasi dan intimidasi bisa sangat terancang secara sistemis, seperti misalnya dalam rezim Nazi atau rezim komunis. Namun, sekali "sistem dusta" ini terbongkar dan terbuka di mata publik, segala keyakinan yang selama rezim teror itu dipegang teguh dalam pemerintahan demokratis akan terbukti sebagai manipulasi.

Tidak dapat disangkal bahwa kekuasaan sosial dan kerap juga kekuasaan politis ikut bermain menentukan proses penyaringan opini dalam ruang publik politis itu. Tidak hanya ada figur-figur berpengaruh, melainkan juga lembaga- lembaga yang disegani dan memiliki kekuasaan. Namun, sekali lagi, selama peranan kekuasaan ini dapat diperiksa secara publik, opini yang dipengaruhi oleh kekuasaan itu tidak imun terhadap kritik publik.

Kita menyaksikan sendiri dalam masyarakat kita bagaimana korupsi hanya bisa dibasmi jika publik ikut berperan sebab korupsi-seperti juga dusta dan rahasia-menyembunyikan diri dari sorotan publik. Rapat atau longgarnya filter dalam ruang publik itu banyak ditentukan oleh publik itu sendiri. Semakin kritis dan vital suatu masyarakat, semakin rinci publik dalam masyarakat itu mengembangkan filternya. Koran-koran yang provokatif memang dibiarkan, tetapi jika provokasi politis dikenali sebagai provokasi belaka, koran-koran macam itu akan ditinggalkan dan gairah mencari sensasi akan berimigrasi ke bidang-bidang lain, misalnya seni, gaya hidup, atau erotisme.

Jika publik itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional di antara argumen-argumen dengan kemenangan argumen yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas sebagai opini publik. Karena komunikasi publik mengikuti norma argumen yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan daripada kuantitasnya. Apakah sebuah argumen yang lebih baik akan mendapatkan mayoritas suara atau tidak, akan banyak ditentukan oleh kualitas publik itu sendiri.

Perjuangan mendapat pengakuan publik itu akan memasuki tahap politisnya jika suatu opini publik masuk ke dalam filter sistem politik. Dalam sistem politik terdapat juga suatu publik. Publik di sini memiliki kualitas berbeda daripada publik dalam ruang publik politis. Berbeda dari yang terakhir ini, publik dalam sistem politik tersebut kuat karena kedekatan akses mereka dalam pengambilan keputusan publik: wakil rakyat, presiden, kabinet, lembaga yudikatif, dan seterusnya.

Filter sistem politik terdiri dari sistem atau prosedur hukum: konstitusi dan produk perundang-undangannya. Prosedur legal ini dapat diasalkan dari hasil komunikasi politis sebelumnya antara ruang publik politis dan sistem politik. Dengan kata lain, filter sistem politik tersebut juga tidak boleh dijauhkan dari pengujian diskursif publik. Opini publik yang masuk ke dalam filter itu dan meraih mayoritas di dalam sistem legislatif akan berubah kualitasnya menjadi keputusan publik: produk hukum. Bahasa sehari-hari yang digunakan dalam ruang publik politis diterjemahkan ke dalam bahasa hukum yang bersifat resmi.

Suatu masyarakat majemuk yang memiliki ruang publik politis yang vital dapat kita sebut sebagai masyarakat kuat. Masyarakat kuat semacam ini harus diimbangi dengan pemerintahan yang kuat juga. Suatu masyarakat yang memiliki gairah demokratisasi yang kuat, tetapi sistem politiknya lemah, tak akan sanggup menyaring desakan kekuasaan massa yang masuk untuk memaksakan kehendaknya. Ini terjadi dalam "anarkisme". Sebaliknya, suatu sistem politik yang otonom dari masyarakatnya dan cenderung berjalan menurut logika kekuasaannya akan melenyapkan ruang publik politis itu. Ini terjadi dalam totalitarianisme.

Sebuah negara hukum demokratis harus memiliki masyarakat yang kuat maupun kepemimpinan yang kuat. Sistem politik tidak boleh menjadi independen dari ruang publik politis. Ia harus terus mendapatkan makanan dan hidupnya dari ruang publik itu karena dari situ pulalah ia meraih sumber loyalitas dan legitimitasnya. Pemerintahan yang kuat dalam arti ini adalah pemerintahan yang mampu memperlancar komunikasi politis antara sistem politik dan masyarakat sipil dalam ruang publik politis.

Ide tentang ruang publik politis, sebagaimana diulas di atas, dapat merekonstruksi konsep klasik tentang kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat bukanlah demokrasi langsung dalam arti aksi-aksi massa untuk memaksakan kehendak kepada sistem politik. Di dalam negara hukum demokratis batas-batas antara negara dan masyarakat harus dihormati, tetapi batas-batas itu tidak boleh dijaga terlalu kaku. Respek terhadap batas-batas antara masyarakat dan negara harus disertai upaya-upaya untuk mencairkan proses komunikasi di antara keduanya.

Pemahaman tentang ruang publik politis mengambil jarak terhadap ide demokrasi langsung. Jika kita menerima ide ruang publik politis, kita harus menerima suatu model demokrasi representatif sebagaimana biasanya dilaksanakan dalam negara-negara hukum modern. Namun, demokrasi representatif itu berada dalam kontrol publik dengan jaringan-jaringan kerjanya. Kontrol publik lalu bersifat tidak langsung, yaitu lewat dikursivitas. Diskursivitas antara ruang publik politis dan sistem politik itulah realisasi ide kedaulatan rakyat di dalam masyarakat majemuk.

F Budi Hardiman Pengajar Program Magister Filsafat STF Driyarkara dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan

Tuesday, March 28, 2006

Konsumtivisme dan Hedonisme Media Massa

KONSUMTIVISME DAN HEDONISME

DALAM MEDIA MASSA

Tinjauan Teori Kritis Sensualisme pada Majalah Pria

Menurut Perspektif Kritis

Herbert Marcuse dan Jean Braudillard

(AG. Eka Wenats Wuryanta dan Mediana Handayani)

PENDAHULUAN

Masyarakat modern ditandai dengan semakin tingginya waktu untuk bertukar informasi, baik dengan media komunikasi maupun dengan pemakaian teknologi komunikasi seperti telepon dan komputer. Media komunikasi, dalam hal ini media massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. McQuail mengemukakan fungsi-fungsi media massa sebagai pemberi informasi, pemberi identitas pribadi, sarana intergrasi dan interaksi sosial dan sebagai sarana hiburan (Denis McQuail, 2000).

Selain sebagai pemberi informasi media massa juga berfungsi sebagai pemberi identitas pribadi khalayak. Sebagai pemberi identitas pribadi, media massa juga berfungsi sebagai model perilaku. Model perilaku dapat kita peroleh dari sajian media. Apakah itu model perilaku yang sama dengan yang kita miliki atau bahkan yang kontra dengan yang kita miliki.

Selain berfungsi menjadi model perilaku, sebagai pemberi identitas media massa juga berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). Manusia memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri yang pada gilirannya akan ia gunakan untuk melihat dunia. Namun manusia juga perlu untuk melihat nilai-nilai yang diciptakan oleh media. Seperti yang kita ketahui, media membawa nilai-nilai dari seluruh penjuru dunia. Implikasinya adalah konsumen media dapat mengetahui nilai-nilai lain di luar nilainya.

Fungsi lain media massa sebagai pemberi identitas, dimana media merupakan sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri. Untuk melihat serta menilai siapa, apa dan bagaimana diri kita, pada umumnya dibutuhkan pihak lain. Kita harus meminjam kacamata orang lain. Media dapat dijadikan sebagai salah satu kacamata yang dipergunakan untuk melihat siapa, apa serta bagaimana diri kita sesungguhnya.

Bersosialisasi dengan orang lain di saat kita tidak berusaha untuk mengadakan komunikasi dengan orang tersebut merupakan hal yang sulit. Di lain pihak, akan sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain apabila kita tidak mengetahui topik apa yang bisa digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tersebut. Media membantu kita dengan memberikan berbagai pilhan topik yang bisa digunakan dalam membangun dialog dengan orang lain. Hal ini pada gilirannya menjadikan media massa sebagai sarana integrasi dan interaksi sosial berfungsi untuk penyedia bahan percakapan dalam interaksi sosial.

Media massa memungkinkan seseorang untuk dapat mengetahui posisi sanak keluarga, teman dan masyarakat. Baik posisi secara fisik, secara intelektual maupun secara moral mengenai suatu peristiwa. Fungsi media massa yang satu ini biasanya dapat dilihat pada surat untuk redaksi, kolom pembaca dan yang sejenis. Pada multimedia fungsi ini menjadi sangat menonjol karena kita dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan orang lain dalam waktu relatif lebih cepat.

Fungsi keempat media massa menurut McQuail adalah sebagai hiburan. Berkaitan dengan itu media massa menjalankan fungsinya sebagai pelepas khalayak dari masalah yang sedang dihadapi. Rasa jenuh di dalam melakukan aktivitas rutin pada saat tertentu akan muncul. Di saat itulah media menjadi alternatif untuk membantu kita di dalam melepaskan diri dari problem yang sedang dihadapi atau lari dari perasaan jenuh.

Khalayak juga memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis dari mengkonsumsi media massa. Manusia tidak saja perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ia juga harus memenuhi kebutuhan rohaninya, jiwanya. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan adanya media massa. Media massa memenuhi kebutuhan tersebut dengan sajian yang menurut media yang bersangkutan dapat dinikmati dan memiliki nilai estetika.

Media massa juga dapat berfungsi sebagai pengisi waktu, dimana ini juga termasuk fungsi media massa sebagai sarana hiburan bagi khalayak. Kadang orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Mengkonsumsi media massa tanpa memiliki tujuan adalah salah satunya.

Penyaluran emosi. Ini merupakan fungsi lain dari media massa sebagai sarana hiburan. Emosi pasti melekat dalam diri setiap manusia. Dan layaknya magma yang tersimpan di dalam perut bumi, emosi ada saatnya untuk dikeluarkan. Emosi butuh penyaluran, dan salah satu salurannya adalah dengan mengkonsumsi media massa atau bahkan memproduksi media yang senada dengan emosinya.

PERMASALAHAN

Berdasarkan fungsi-fungsi media massa yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dikatakan pula bahwa media massa memiliki peran di dalam menciptakan apa yang disebut dengan daya tarik seks (sex appeal). Mengenai hal ini dapat diasumsikan bahwa fungsi media massa sebagai salah satu sarana pembangkit gairah seks adalah fungsi yang paling dapat menjelaskan mengapa media massa dipandang berperan di dalam menciptakan apa yang berkaitan dengan seks. Entah itu standarisasi daya tarik seks yang perlu dimiliki seseorang, apa yang perlu dilakukan untuk mendapat daya tarik seks yang tinggi, apa yang akan didapat dengan memiliki daya tarik seks tertentu, dan sebagainya.

Model-model yang ditampilkan pada sebuah majalah, misalnya, bisa diartikan sebagai bagian upaya media massa di dalam mengatakan apa yang mereka nilai sebagai orang yang memiliki daya tarik seks. Seperti yang kita lihat, majalah-majalah tidak sembarangan di dalam memilih model yang akan dijadikan model sampulnya. Ada semacam kriteria tertentu yang harus dimiliki model tersebut agar ia dapat ditampilkan oleh majalah yang bersangkutan.

Memang, daya tarik seks pada umumnya sering disamakan dengan daya tarik fisik pria atau perempuan. Bentuk tubuh, wajah, bibir, rambut, dan sebagainya yang menyangkut fisik adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur daya tarik seks seseorang. Namun ternyata ada hal lain selain daya tarik fisik yang diperlukan untuk membentuk daya tarik seks. Karisma, tingkat intelektual yang tinggi, kesuksesan, dan kemapanan secara materi, merupakan beberapa diantara hal yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang menjadikan seseorang memiliki daya tarik seks. Kesemua ini pada gilirannya akan bermuara pada konsumerisme dan hedonisme.

Materi apa yang dikatakan oleh media massa sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik seks akan mendorong khalayak untuk memiliki gaya hidup konsumtif karena media massa memiliki kekuatan untuk menawarkan apa yang saat ini sedang tren, apa yang saat ini dicari orang, apa yang saat ini harus dimiliki orang, dan berbagai pikiran yang sejalan dengan itu, termasuk menentukan apa yang harus dimiliki khalayak untuk dapat memiliki sex appeal. Begitu juga dengan apa yang melekat pada orang-orang yang memiliki sex appeal, dapat mendorong orang kepada gaya hidup hedonis. Hedonisme dapat didefinisikan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.

Media massa, dalam hal ini, memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik seks pada pria dan perempuan. Dukungan terhadap kriteria daya tarik seks itu sendiri pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan ekonomi.

Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa pria dapat digolongkan sebagai pengendali perekonomian, dimana mereka merupakan pasar potensial bagi barang konsumen. Kecenderungan ini dapat dilihat dari fenomena mulai maraknya produksi barang yang diperuntukkan bagi kaum pria. Bukan saja barang-barang yang memang dekat dengan bidang produksi (mobil, alat-alat telekomunikasi, dan sebagainya), tetapi juga bidang domestik (perawatan tubuh dan wajah, pakaian, penambah vitalitas (gairah seks). Walaupun mungkin tidak sebesar potensi yang dimiliki perempuan sebagai big spender, namun pria tetap saja dapat digolongkan sebagai pasar yang menjanjikan. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya majalah atau media massa lain yang mulai bermain di celung segmen ‘khusus pria’. Mulai dari majalah, tabloid, dan radio semakin mengukuhkan pria sebagai golongan yang memiliki tempat khusus dihati pelaku ekonomi yang kapitalistik.

MASYARAKAT DAN KOMODITAS

Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Jean Braudillard dengan “masyarakat konsumer” (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997, hal. 24).

Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Masyarakat kini hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat.

Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.

Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

Sejalan dengan pemikiran ini Pilliang mengemukakan bahwa :

Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).

Hal yang penting yang terdapat dalam masyarakat komoditas adalah proses pembelajaran. Dalam masyarakat komoditas atau masyarakat konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200)

Menurut Henri Lefebre (1968/1984), seorang Marxis, orang yang hidup pada masyarakat kapitalis, adalah hidup dalam situasi teror psikologis. Pada kehidupan kita keseharian, kita berada dalam “serangan” yang konstan (oleh periklanan cetak, program radio dan tv, yg dibawa oleh media massa), meskipun kita barangkali tidak mengenali serangan yang membuat kita terkepung atau tidak memungkinkan kita mengartikulasikan perasaan kita (Berger,2000a;hlm.51).

KRITIK TERHADAP MASYARAKAT KONSUMTIF DAN HEDONIS

Herbert Marcuse merupakan salah satu tokoh generasi pertama Mahzab Frankfurt, di mana mahzab ini berasal dari sekelompok pemikir yang muncul dari lingkungan Institut fur Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir ini ingin membuat suatu refleksi kritis tentang masyarakat pasca-industri dan konsep mengenai rasio yang ikut membentuk menciptakan masyarakat tersebut. Mahzab Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang serta melihat implikasi struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Mahzab ini bertolak dari proyek atau usaha rasio pada abad ke-18 (Aufklarung) untuk menjadi penyelamat manusia melalui ilmu pengetahuan positif dan penerapannya dalam teknik. Masa Aufklarung diisi dengan upaya terus-menerus untuk membebaskan manusia dari ketakutan atas kuasa magis dan usaha tersebut bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai tuan atas dirinya sendiri. Dengan bantuan ilmu pengetahuan, Aufklarung ingin menghancurkan mitos-mitos yang menyisihkan imajinasi. Bertolak dari situ, Mahzab Frankfurt merumuskan sasarannya sebagai teori kritis (Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, 1997, no. 1 hal. 5)

Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prnsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah (Majalah Filsafat Driyarkara, 1997, no. 1, hal. 5):

1. Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.

2. Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.

3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Mahzab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.

4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Mahzab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

Kritik pertama terhadap masyarakat modern dikemukakan oleh Marcuse. Kritik ini bertolak dari teori Freud yang berbicara mengenai kebudayaan. Dalam teorinya Frued mengatakan bahwa setiap kebudayaan dan peradaban merupakan akibat dari usaha-usaha masyarakat untuk menekan keinginan-keinginan instingtif individu. Eros (insting kehidupan) dan Thanatos (insting kematian) digunakan oleh manusia untuk melawan alam, misalnya dalam meningkatkan efisiensi kerja. Semakin maju kebudayaan maka akan semakin tinggi pula kadar represi itu. Sebab, alat-alat yang dihasilkan oleh kebudayaan untuk meringankan penderitaan karena represi pada gilirannya berubah menjadi sarana represi baru pada tingkat yang lebih tinggi lagi.

Teori dari Freud ini kemudian dimodifikasi oleh Marcuse. Benar bahwa kebudayaan berkembang berdasarkan insting-insting yang ditekan Represi juga merupakan hal yang dapat dimengerti sejauh manusia masih harus bekerja keras memperbaiki kondisi hidupnya dengan menyalurkan energi-energi instingnya pada hal yang lain. Misalnya saja produksi material. Namun di saat teknologi sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, maka perkembangan kebudayaan tidak lagi berdasarkan represi. Artinya, kebudayaan tidak lagi menuntut manusia untuk menekan insting-instingnya. Dengan perkembangan teknologi energi-energi yang dulu ditekan akan kembali berfungsi normal. Prinsip kesenangan sudah bebas dari represi dan akan meresapi seluruh kegiatan manusia. Kesenangan serta kebahagiaan akan diakui sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Marcuse banyak mengemukakan gagasan-gagasan yang pada intinya memberikan peringatan atas bahaya yang mengancam dunia dan umat manusia akibat pesatnya kemajuan teknologi. Gagasan-gagasan tersebut antara lain tertulis pada bukunya yang berjudul One-Dimensional Man, dimana pada buku tersebut Marcuse memuat pokok-pokok kritiknya terhadap masyarakat industri modern. Teknologi danggap dapat mengancam keberlangsungan hidup karena teknologi dapat menjajah masyarakat dengan dalih memudahkan segala urusan kehidupan yang bermasalah. Segala masalah dapat diselesaikan dengan teknologi. Teknologi menjadi agama baru bagi masyarakat modern. Pada gilirannya masyarakat hanya akan hidup dan bekerja untuk mendapatkan teknologi yang dianggap mampu membantunya menghadapi masalah kehidupan. Disinal kemudian terjadi apa yang dikatakan oleh Marcuse; masyarakat menjadi sakit.

Masyarakat dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme). Keberadaan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan mereka menjadi tersingkirkan dan tertindas. Masyarakat industri modern, menurut Marcuse, merupakan yang termasuk dalam golongan masyarakat sakit ini, dimana masyarakat tersebut hanya memiliki satu dimensi. Masyarakat berdimensi satu merupakan masyarakat yang bersikap reseptif dan pasif sehingga semakin menguatkan dominasi atas diri masyarakat tersebut sehingga dominasi tidak lagi dirasakan dan disadari sebagai sesuatu yang tidak wajar. Dengan kata lain, manusia modern kehilangan prinsip kritisnya.

Pola pemikiran dan tingkah laku satu dimensi ditandai dengan kondisi dimana gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi dan yang, oleh isinya, melampaui semesta wacana dan tindakan yang sudah mapan menjadi ditolak ataupun dikurangi dalam istilah-istilah semesta ini (Marcuse, 2000, hal. 18).

Kebenaran juga merupakan hal yang disinggung oleh Marcuse. Pada zaman modern ini manusia perlu kembali pada konsep kebenaran yang sesungguhnya. Konsep kebenaran sesungguhnya menurut Marcuse bersifat normatif, dimana kebenaran itu mengandung suatu dialektika. Dialektika adalah suatu ketegangan antara apa yang seharusnya dan apa yang yang tampak sebagai fakta. Cara memahami kebenaran secara dialektis, pada dirinya sendiri merupakan suatu kritik terhadap kondisi-kondisi aktual agar dapat berlangsung pembebasan sosial. Ini perlu untuk menyadari bahwa pada masyarakat industri ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak melambangkan penguasaan manusia atas alam namun di lain pihak melambangkan perbudakan manusia. Ilmu pengetahuan hanya berusaha memperhatikan apa yang dapat diukur dan dapat ditaklukan pada kepentingan teknik semata. Pertanyaan yang dimiliki ilmu pengetahuan adalah pertanyaan mengenai bagaimana suatu barang bekerja, bukan mengenai apa barang itu sesungguhnya. Benda telah kehilangan konsistensi ontologisnya (majalah Driyarkara, hal. 10). Handphone, misalnya. Berlomba-lomba produsen handphone meluncurkan produksinya dengan berbagai feature yang diciptakan untuk solusi atas problem khas masyarakat modern. Bagaimana feature itu beroperasi, fasilitas serta keunggulan apa yang dimiliki sebuah handphone, itulah yang ditemui disekeliling kita. Tetapi apa sebenarnya handphone itu-lah yang jarang dikemukakan, dipikirkan. Apakah ia sebuah barang yang memang benar membawa perubahan signifikan pada kehidupan sosial, apakah ia membawa kebahagiaan bagi manusia atau justru sebaliknya ?

Marcuse, berkaitan dengan hal tersebut, melemparkan kritiknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat industri modern, seperti pada aspek sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya.

KRITIK MARCUSE PADA ASPEK SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT INDUSTRI MODERN

Secara ekonomis kini masyarakat industri semakin bertambah kaya, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun keadaan yang baik ini menurut Marcuse adalah keadaan yang terlihat baik dari segi luarnya saja. Sesuatu yang menipu karena pada kenyataannya peningkatan kualitas dan kuantitas kesejahteraan manusia hanya dimiliki oleh lahiriah saja. Manusia pada masyarakat industri dewasa ini merupakan manusia yang tidak utuh nilai-nilai kemanusiaannya, yang terjebak dalam hedonisme. Kemajuan di bidang material pada masyarakat ini belum tentu membawa kemajuan di bidang lain seperti moral, kebudayaan serta kehidupan beragama.

Kemajuan teknologi dengan sokongan kapitalisme hadir untuk membantu manusia mengisi kekosongan dalam kehidupan pribadi manusia. Bagi yang merasa lelah setelah bekerja seharian mencari nafkah, diberikan solusi untuk relaksasi. Aneka bentuk, jenis serta lokasi relaksasi digelar dan ditawarkan. Alih-alih melepas lelah, orang-orang menghabiskan apa yang telah diperolehnya dalam bekerja (di dunia) untuk kesenangan duniawi. Masyarakat dijadikan konsumen, yang sebetulnya mereka sendiri yang sebetulnya menjadi bahan konsumsi pasar. Artinya, mereka terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang hedonis.

Contoh tersebut bisa memberikan ilustrasi bahwa teknologi, dengan segala implikasinya, kini semakin bebas memaksakan tuntutan-tuntutan ekonomis dan politisnya untuk tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan waktu kerja manusia, termasuk memanipulasi kebutuhan. Dengan adanya manipulasi kebutuhan dalam usaha melariskan barang-barang hasil produksi maka terciptalah dalam masyarakat dua macam kebutuhan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan semu atau palsu dari kebutuhan sebenarnya (J. Sudarminta, hal. 126).

 
Kebutuhan semu menurut Marcuse adalah ;
“Segala kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya.”Kebutuhan ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang diciptakan oleh pihak lain yang kemudian oleh pihak tersebut diinternalisasikan dalam pikiran kita sehingga kita tidak menyadari lagi apakah memang kita benar-benar membutuhkan apa yang ditawarkan oleh pihak tersebut (J. Sudarminta, hal. 126).
 
               Contohnya dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai-tukar). Lebih dari itu, apa yang kita konsumsi kini melambangkan status, prestise, dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan, menjadi komoditas yang banyak dicari untuk meneguhkan identitas seseorang. Seorang eksekutif muda bisa jadi merasa wajib memakai pakaian bermerek, terutama saat ia bertemu klien-nya. Tidak cukup dengan itu, lobbying dilakukan di suatu café yang memiliki nuansa mewah dan pilihan menu yang elit. Bagi eksekutif muda tadi, penampilan yang bonafid akan dapat memperlancar lobbying, setidaknya akan mampu menyampaikan pesan pada klien bahwa ia adalah orang yang “pantas” dan representatif. Perempuan yang bertubuh langsing dan cantik dinilai lebih meyakinkan di dalam mempresentasikan suatu proyek kecantikan, misalnya. Kebutuhan akan penampilan representatif inilah yang pada gilirannya menjadi lahan basah bagi para kapitalis. Komoditi diperjualbelikan karena makna yang ditanamkan di dalamnya, bukan karena manfaat atau kegunaannya. Aktivitas konsumsi pada dasarnya dilakukan karena alasan simbolis: kehormatan, status dan prestise. Objek komoditi dibeli karena makna simbolik yang ada di dalamnya, dan bukan karena harga atau manfaatnya. 

Pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan semu tersebut mungkin membahagiakan masing-masing pribadi. Tetapi menurut Marcuse kebahagiaan itu pun adalah sesuatu yang semu dan tidak boleh dipertahankan karena menghambat perkembangan kemampuan pribadi untuk mengenali kekurangan masyarakat sebagai keseluruhan dan menghambat pula usaha untuk mengatasi kekurangan tersebut.

Dalam memenuhi kebutuhan semu biasanya orang tidak tahu mengapa ia membutuhkannya. Dorongan untuk membeli dan menggunakannya tidak sungguh-sungguh timbul dari dalam dirinya sendiri, melainkan hanya sekedar melihat orang lain berbuat begitu. Kebutuhan tersebut dipaksakan dari luar dan individu tidak mampu menguasai diri terhadap tekanan-tekanan yang datang dari luar itu (J. Sudarminta, hal. 126).

Dalam masyarakat industri modern kebutuhan macam itu sudah semakin meluas dan tertanam kuat pada masing-masing individu dengan jalan manipulir kecenderungan untuk memiliki dan menikmati yang serba baru, paling enak, paling hebat dan segala paling lainnya. Sehubungan dengan ini media massa merupakan sarana paling ampuh untuk merangsang dan membangkitkan kehausan selera masyarakat. Media massa menjadi alat paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan perilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari oleh media pun turut mendukung pemikiran establishment, menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Dalam bahasa iklan di media, istilah dan kata tidak lagi mencermikan realitas yang sebenarnya. Bahasa yang digunakan bersifat membujuk, menanamkan gambaran-gambaran tertentu dan menghipnose pembaca atau pendengar untuk membeli. Kerap kali digunakan kata-kata pencitraan yang bersifat memikat, disertai gambaran kongkret tertentu. Bahasa iklan yang bersifat familier membuat orang dengan spontan menyesuaikan dirinya. Padahal, dalam proses penyesuaian diri ini dimensi akal budi yang begitu mendalam, tempat berakarnya sikap kritis telah dihancurkan. Hilangnya dimensi ini berarti juga hilangnya kemampuan untuk menegasi akal budi. Padahal kemampuan berpikir kritis sangat perlu sebagai imbangan terhadap suatu proses yang semata-mata sangat materialistis dalam masyarakat industri modern.

Marcuse berpendapat, tidak peduli sejauh mana kebutuhan-kebutuhan tersebut telah menjadi kebutuhan masing-masing individu, itu demi perjuangan kemanusiaan (baik kemanusiaan orang yang merasa menemukan kebagiaan di dalamnya, maupun mereka yang menderita sebagai korbannya) kebutuhan tersebut harus dihancurkan.

Memang pada dasarnya penilaian dan pengambilan keputusan mengenai mana kebutuhan yang semu dan mana kebutuhan yang sebenarnya harus diberikan oleh masing-masing idividu sendiri. Tetapi sejauh mereka tidak lagi otonom, karena sangat dipengaruhi sampai naluri-nalurinya, maka penilaian dan keputusan mereka itu sama sekali bukan berasal dari dalam diri mereka sendiri lagi (J. Sudarminta, hal. 127).

Apa yang dinamakan sebagai ekonomi konsumen dan politik kapitalisme yang telah melembaga sudah menciptakan semacam “kodrat kedua” dalam manusia yang mengikatnya secara libidinal (dorongan nafsu) dan agresif pada barang-barang. Kebutuhan-kebutuhan semu yang telah di-introyeksikan pada masing-masing individu sudah menjadi kebutuhan biologis (kebutuhan yang mesti dipenuhi, bila tidak maka organisme akan sakit), menjadi bagian pokok kehidupannya: seakan-akan hanya dengan membeli barang-barang itu mereka dapat mewujudkan kehidupannya, dan bila tidak mereka akan menjadi frustasi. “Kodrat kedua’ semacam itu membentuk sikap yang mendukung sistem yang ada serta menentang setiap perubahan yang akan merenggut serta membebaskan mereka dari ketergantungan manusia pada pasar yang semakin penuh dengan barang-barang dagangan (J. Sudarminta, hal. 127).

Dengan tertanamnya kehausan untuk membeli dan membeli lagi barang-barang produksi yang baru, produsen seakan-akan dalam memproduksi barang-barangnya hanya menuruti saja permintaan masyarakat. Hukum penawaran dan permintaan membangun suatu keselarasan antara yang memerintah dan yang diperintah. Antara kapitalis (yang memerintah) dan konsumen (yang diperintah). Keselarasan ini benar-benar telah terbangun sejauh produsen dapat menciptakan masyarakat yang selalu haus akan barang-barang produksinya sebagai pemuas rasa frustasinya. Dari sini kita dapat melihat adanya isu pembebasan. Dalam buku One Dimensional Man dikemukakan oleh Marcuse bahwa ciri dasar yang dapat menandakan masyarakat industri maju adalah matinya sifat efektif terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menuntut pembebasan. Kontrol sosial mengharuskan kebutuhan yang melimpah untuk produksi dan konsumsi sampah; kebutuhan akan kerja yang dimna kerja itu tidak lagi merupakan kebutuhan yang sesungguhnya; kebutuhan untuk mode-mode rileksasi yang membuat tenang dan meneruskan kelumpuhan/ketakutan (stupefication); kebutuhan untuk memelihara kebebasan-kebebasan deseptif semacam itu sebagai kompetisi bebas di dalam menetapkan harga-harga, suatu pers bebas yang dapat menyensor dirinya sendiri, pilihan bebas antara merek dan barangnya.

MEDIA SEBAGAI PERANGKAT GAYA HIDUP KONSUMTIF DAN HEDONISTIK

Menurut tinjauan teori ekonomi politik media, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pesan, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi pra pemilik dan penentu kebijakan (Garnham dalam McQuail, 1991, hal. 63).

Konsekuensi keadaan seperti itu terlihat dalam wujud berkurangnya jumlah sumber media independen, terciptanya konsentrasi pada pasar besar, munculnya sikap masa bodoh terhadap calon khalayak pada sektor kecil (McQuail, 1991, hal. 63).

Walaupun pendekatan ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (content), namun pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan baru yang menarik, yaitu ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publk media sampai pada batas-batas tertentu (Symthe dalam McQuail, 1991, hal. 64).

Sementara itu, jika kita melihat media sebagai bagian dari aktivitas industri, Albarran menyebutnya sebagai media economics, yaitu studi mengenai bagaimana industri media menggunakan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya untuk memproduksi isi yang nanti didistribusikan kepada konsumen dalam masyarakat untuk memuakan beragam keinginan dan kebutuhan. Pendekatan media economics akan membantu kita di dalam memahami hubungan antara produsen media terhadap khalayaknya, pengiklan, dan masyarakat. Pada level makro, analisis media akan berkaitan dengan ekonomi politik, agregasi produksi dan konsumsi, pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan dan inflasi, sedangkan pada level mikro terkait dengan pasar yang spesifik, struktur, tingkah laku dan perilaku pasar, aktivitas dari produsen dan konsumen (Albarran, 1996, hal. 5).

Lebih jauh Picard mengemukakan bahwa industri media adalah industri yang unik karena mereka melayani dua pasar yang berbeda sekaligus dengan satu produk (dual product market). Pada pasar yang pertama yaitu khalayaknya (pembaca, pemirsa, pendengar), industri menjual produk berupa ‘goods’. Radio dan TV menjual program acaranya yang dinilai dalam bentuk rating, sedangkan koran dan majalah berupa bentuk fisik dari majalah dan koran tersebut yang dinilai dalam jumlah tiras. Pasar yang kedua adalah pengiklan. Kepada para pengiklan, media menjual “service” berupa ruang atau waktu siarnya untuk digunakan beriklan (Picard dalam Albarran, 1996, hal. 27).

Sementara itu, Dimmick dan Rothenbuhler mengemukakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media, yaitu content, capital dan audiences. Content terkait dengan isi dari sajian media, misalnya program acara (TV, radio), berita/feature, dan lain sebagainya. Capital menyangkut sumber dana untuk menghidupi media. Sedangkan audience terkait dengan masalah segmen yang dituju, misalnya.

Dengan demikian, dapat dipahami mengapa media banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Karena untuk dapat mempertahankan hidup denganmemenangkan persaingan media membutuhkan sumber hidupnya baik capital, content, maupun audience. Ketiga sumber hidup media tersebut saling berhubungan. Dengan content yang menarik audience akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai saluran favoritnya. Semakin banyak audience yang menonton program tersebut maka semakin tinggi pula ratingnya. Implikasinya adalah, semakin berminat pula pemasang iklan untuk beriklan pada program acara tersebut. Atau bisa jadi, stasiun TV yang memiliki capital yang cukup kuat dapat memproduksi acara (content) yang berkualitas sehingga dapat menarik minat audiens, yang mengakibatkan tingginya rating dan pada gilirannya akan menarik pengiklan untuk masuk. Kinerja seperti ii tentu saja membuat media dijadikan alat bagi para pemilik modal guna mempertahankan dominasinya. Entah dalam hal ekonomi, kekuasaan maupun politis.

SEX APPEAL DAN INDUSTRI MEDIA MASSA

“Without sex appeal there would be no sex – and without sex there would be no life.”(Botting,1995, hal. 11)

Dari kalimat ini tersirat bahwa sex appeal atau daya tarik seks merupakan salah satu syarat atas keberlangsungan spesies manusia. Begitu berperannya daya tarik seks pada kehidupan manusia sehingga tanpanya akan mustahil terjadi suatu kelangsungan hidup manusia. Hal ini bisa dinilai oleh akal karena apabila ditelusuri nenek moyang manusia pun lahir dari suatu ketertarikan antara manusia laki-laki dan manusia perempuan.

Sex appeal atau daya tarik seks merupakan suatu kekuatan yang melekat pada diri manusia yang diakibatkan karena keindahan yang dimilikinya. Keindahan yang dimaksud bisa terletak pada hal yang sifatnya fisik seperti ; keindahan lekukan tubuh, wajah yang cantik atau tampan, pandangan mata, warnanada atau suara, gerakan kepala, rambut yang indah, atau halusnya kulit. Keindahan-keindahan semacam ini bisa dengan mudah terlihat pada diri seorang model atau peragawati, misalnya. Keindahan juga bisa terpancar dari pikiran, karisma, atau kekuatan yang dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian, keindahan tidak hanya berkaitan dengan fisik,namun juga berkaitan dengan sesuatu yang berada pada aspek personality.

Untuk mengatakan apakah seseorang memiliki sex appeal atau tidak melibatkan suatu reaksi kompleks atas keseluruhan penampilan orang yang dinilai.

It involves a whole complex of reactions – vision, sound, touch, smell, mind, body chemistry and group psychology, the conscious and the unconscious, the known and the unknown. Essentially sex appeal is a matter of transmitting (and receiving) a multiple coded message that signals a man’s or a woman’s sexual desirability.” (Botting, 1995, hal. 11)

Dengan demikian, ada suatu pertimbangan yang bisa jadi rasional, atau bisa jadi irrasional dalam diri seseorang untuk menentukan sex appeal pada diri orang lain atau dirinya sendiri. Ada muatan psikologis di dalam proses pertimbangan atau penilaian tersebut, sesuatu yang berkaitan dengan yang disadari atau yang tidak disadari oleh diri kita. Misalnya ; Kita mungkin mengatakan bahwa kita tidak suka dengan orang yang berambut pirang dan dalam mencari kekasih secara otomatis kita akan melewatkan begitu saja orang-orang yang berambut pirang dan lebih memfokuskan diri pada orang yang berambut gelap. Bagaimanapun cantiknya seseorang, apabila ia berambut pirang, maka kita akan mengatakan bahwa orang itu tidak cantik. Muatan psikologis lainnya juga berkaitan dengan sesuatu yang kita ketahui atau tidak ketahui.

Sex appeal yang dinilai luar biasa oleh masyarakat mampu menjadikan seseorang sebagai superstar. Claudia Schiffer, Naomi Campbel, Cindy Crawford, adalah tiga super model dunia yang menjadi bukti bahwa sex appeal mampu menjadikan seseorang melejit dan dipuja-puji oleh pengagumnya. Mereka menjadi superstar. Pengertian superstar sendiri lebih kepada ‘bintang’ atau tokoh yang ‘sinarnya’ hanya dapat bertahan untuk waktu yang tidak terlalu panjang. Icon, sebaliknya, merupakan istilah untuk tokoh yang ‘sinarnya’ mampu bersinar melebihi hidupnya sendiri. Beberapa diantara tokoh yang menjadi sex appeal icon adalah ; Nefertiti (1350 SM), Cleopatra (69-30 SM), Marliyn Monroe (1926-1962), Marlon Brando, Brigitte Bardot, Richard Burton (1925-1984) dan Elizabeth Taylor. Keindahan mereka tak lekang diingat oleh para pengagumnya, bahkan oleh orang yang sebetulnya tak pernah melihat mereka sewaktu para bintang itu masih hidup. Memori akan keindahan mereka bertahan melampaui generasi, abad, bahkan milenium. Keindhana mereka masih saja dijadikan sebagai patokan di dalam mengukur keindahan lain yang bermunculan setelah ‘masa-masa’ mereka.

Untuk mengatakan bahwa seseorang memiliki daya tarik seks yang rendah atau tinggi dibutuhkan suatu proses. Proses paling awal adalah proses ketertarikan. Tahap yang paling awal dalam mekanisme ketertarikan manusia pada sesamanya terletak pada daya tarik fisik. Setelah seseorang memiliki ketertarikan pada fisik orang tertentu, maka pertimbangan lain di dalam membuat penilaian akan menyusul kemudian. Misalnya saja mengenai status, kepribadian dan lain sebagainya yang sifatnya lebih mendalam serta membutuhkan observasi dengan waktu yang lebih lama. Begitu berpengaruhnya aspek daya tarik fisik seseorang pada kehidupan manusia sehingga Tolstoy pun mengatakan bahwa :

“Nothing has so marked an influence on the direction of a man’s mind as his appearance, and not his appearance itself, so much as his conviction that it is attractive or unattractive.”(Botting, 1995, hal. 20)

Mengenai daya tarik seks termasuk masalah yang berkaitan dengan seksualitas nampaknya kurang banyak mendapat perhatian secara ilmiah dari para pemikir. Hal ini berlangsung setidaknya sampai saat Sigmund Freud mengemukakan teori psikoanalisa. Teori ini, pada awal pemikirannya, antara lain mengasumsikan bahwa semua neurosis disebabkan oleh represi seks. Setelah Freud, beberapa pemikir lain yang kemudian juga mengemukakan pemikirannya mengenai seksualitas adalah Claude Levi Strauss dan Michel Foucault (Gunawan, 2000, hal. 5). Terlepas dari masalah keilmiahan dalam pembahasan mengenai daya tarik seks dan masalah seksualitas, ia memang dapat dikatakan sebagai suatu misteri atau teka-teki dalam masyarakat. Termasuk masalah mengenai daya tarik seks yang melekat pada masalah seksualitas. Adalah teka-teki mengapa Anda tidak pernah bosan menonton film porno walaupun adegan yang ditayangkan sebagian besar adalah adegan yang diulang-ulang, yaitu adegan persetubuhan, misalnya. Atau, adalah teka-teki mengapa pria tidak pernah bosan memandang dan menikmati tubuh seksi seorang perempuan meski dalam sehari mungkin ada puluhan wanita bertubuh seksi yang lalu lalang di depannya. Kemungkinan, segala teka-teki itu dapat terjawab dengan asumsi bahwa seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri manusia. Seks bekerja secara naluriah dan alami setiap kali indera kita menangkap stimulus tertentu yang kemudian kita kategorikan sebagai sexual things. Asumsi ini setidaknya berupaya untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan; mengapa di dunia yang telah mengglobal sekalipun seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara berbagai hal serius lain yang tengah menimpa masyarakat dunia.

Dengan kenyataan bahwa masalah seks selalu akan menjadi masalah yang up to date, maka dapat dipahami jika seks kemudian memiliki nilai komersial yang tinggi, yang akhirnya dieksploitasi oleh para produsen di berbagai bidang. Maraknya isu pornografi pada saat maraknya tabloid-tabloid politik pasca Orde Baru merupakan bukti nyata bahwa seks tidak pernah susut daya jualnya. Tabloid serta majalah-majalah hiburan yang menjadikan seks dan gosip sebagai andalannya banyak dibeli, terutama ketika masyarakat sudah mulai jenuh dengan berita-berita politik yang melelahkan karena tak kunjung ada perbaikan. Tabloid-tabloitd itu muncul dengan kuantitas yang tinggi namun dengan kualitas yang dipertanyakan (kalau tidak bisa dibilang rendah). Lihat saja tabloid pendatang baru TOP, MoP, Harmonis, Desah, KISS, TRAgedi, Liberty dan Pengakuan. Pemain lama yang berkecimpung di area ini pun nampaknya makin ekstrim setelah sebelumnya tampil malu-malu dan membungkus dirinya dengan jargon seni seperti Popular, Matra, JakartaJakarta, dan Pos Film.

Begitu pula keadaanya dengan iklan di televisi. Banyak sekali produk yang mengasosiasikan tubuh dengan produk-produk yang diiklankan.

“…Demikian juga gambar iklan, video klip, fashion, serta produk-produk lain yang meski Cuma kopi tapi iklannya tetap memanfaatkan seks. Berbau seks. Coba saja Anda perhatikan di tv. Padahal apa hubungannya antara kopi dan seks ? Apa hanya karena kopi bisa dicampur susu dan susu adalah kaya yang bermakna asosiatif ?” (dalam Gunawan, 2000, hal. 12)

Dengan berbagai fenomena ini maka industri media dapat diasumsikan memberikan pemahaman seksualitas hanya pada aspek yang berkaitan dengan genitalitas serta organ seks sekunder lainnya saja. Artinya, seks baru dipahami pada dimensi biologis-fisiknya, sementara dimensi behavorial, psiko-sosial, klinis, atau dimensi kulturalnya belum begitu banyak diangkat sebagai isu penting. Pada gilirannya ini akan menjadikan masyarakat untuk memandang seks sebagai barang konsumsi semata. Bukan tidak mungkin konsumsi seks yang dilakukan oleh masyarakat akan menuju kepada suatu konsumsi yang tidak terarah dan tanpa batas. Konsumsi atas seks yang dilakukan tanpa arah dan batas lagi melalui berbagai media ikut terdukung dengan berbagai kecanggihan teknologi seperti internet yang lalu memunculkan istilah cyber sex dan sebagainya. Padahal, seks secara langsung terkait dengan serangkaian luas konteks sosial karena ia memang mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat yang bersangkutan. Baik nilai yang berdimensi psikis, sosial, atau nilai kemanusiaan dan religi (lihat Gunawan, 2000, hal. 13).

Terlepas dari apakh yang ditayangkan di media itu termasuk seni atau bukan, namun muatan pornografi tentunya merupakan produksi yang membangkitkan gairah seks. Jika terus-menerus dikonsumsi maka mau tidak mau konsumen membutuhkan penyaluran, dimana penyaluran tersebut tidak hanya terbatas pada satu macam saja. Ada orang yang bisa menahan diri, sebagian lagi melakukan fantasi seks, dan sisanya mungkin saja melakukan (maaf) masturbasi. Namun di masyarakat komoditas seperti sekarang ini, apa pun dapat disediakan. Ada insdustri yang memang melayani dan menjajah orang-orang yang butuh penyaluran seks. Dengan produk barang dan atau jasanya, indsutri ini melayani masyarakat yang membutuhkan penyaluran dalam berbagai skala kebutuhan. Mulai dari skala penyaluran untuk melihat yang erotis sampai penyaluran untuk melakukan hubungan intim yang menyimpang.

Seks juga kerap diartikan secara sempit, yaitu hanya persetubuhan semata. Padahal lebih dari itu, persetubuhan sendiri merupakan bagian dari sex acts. Sex acts dibedakan menjadi tiga macam (lihat Gunawan, 2000, hal. 18), yaitu ; Pertama, seks yang bertujuan sebagai kegiatan untuk memiliki keturunan atau anak (sex as procreational). Kedua, seks untuk sekedar mencari kesenangan (just for fun atau sex as recreational). Ketiga, seks sebagai bentuk pengungkapan penyatuan rasa cinta atau rasa lainnya (sex as relational). Sedangkan bentuk perilaku lain yang lebih luas seperti cara berpakaian yang seronok, gerak-gerik atau ekspresi wajah yang erotis atau menggoda, membaca majalah porno dengan gambar-gambar telanjangnya, serta bentuk-bentuk perasaan terhadap lawan jenis, adalah sexual behavior atau perilaku seksual secara umum. Posisi daya tarik seks (sex appeal) dalam hal ini adalah tentu saja sebagai pemacu dalam proses awal berlangsungnya segala sex acts dan sex behavior yang disebutkan tadi.

Baik sex acts maupun sex behavior beserta sex appeal yang menyertainya tentu saja tidak terlepas dari ikatan ekonomi-politik dalam masyarakat. Lebih khusus lagi, kapitalis yang menanamkan gaya hidup konsumtivisme dan hedonisme. Situasi serta tekanan dari kapitalis ini tergambar pada petikan dialog interaktif antara Asia Carera dengan fansnya yang dilakukan di internet pada bulan Desember 1997. Asia Carera sendiri adalah seorang bintang film porno yang populer. Carera pernah berkuliah selama dua tahun di Rutgers University jurusan Bisnis.

Moderator : Stud Bor ask, “I read the sad tale of how you left home and got into the bussiness, but it wasn’t clear your parent know what you do.

[Moderator Note: For those that don’t know you might give us a brief sumary of how you got into the bussiness].

Asia Carerra: My parents probably know what I do, but I haven’t called home to ask. I heven’t spoken to them since I left. I ran away at 17, and started doing magazines for money while in college. To make more money, I started doing movies, and than I quit college altogether; cause this is way more fun !

Dari dialog ini dapat kita lihat bahwa uang merupakan motif utama Asia Carera untuk terjun ke dalam bisnis pornografi. Dengan terjun ke dalam bisnis yang mengeksploitas sex appeal-nya Carera mendapat banyak uang. Bekerja sebagai model majalah saja ternya tidak cukup baginya. Kemungkinan ia semakin membutuhkan uang yang banyak untuk konsumsi dan gaya hidupnya. Karena itulah ia hijrah menjadi bintang film porno. Dengan upah yang besar, yang bisa membiayai konsumsi dan gaya hidupnya, Carera pun merasa bahwa itulah yang palingbaik untuknya. Dan yang paling penting lagi ialah bahwa pekerjaan itu menyenangkan baginya. Entah menyenangkan karena ia merasa diharga karena sex appealnya atau karena materi yang menyertainya. Yang jelas Carera telah bersahabat dengan sistem kapitalis.

Moderator: Laura ask, “I am a 19 year old stripper, and I really like to get in to the business. What should I do ?”

Asia Carerra: Move to LA. That’s where the industry is. Go to one of the two agents, Jim South or Reb – I forgot his name- and they will send you to everyone. (dalam Gunawan, 2000, hal. 132)

Dari dialog ini tersirat bahwa Carera mengakui bahwa pornografi sudah menjadi industri yang besar. Industri yang dapat memberikan akses untuk mendapatkan hidup senang.

Perubahan di dalam menyikapi seks pun ikut mendorong maraknya industri ini. Secara seksual mungkin telah banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Sudah banyak tabu-tabu yang didobrak sehingga hubungan seks, misalnya, dapat dengan bebas diinterpretasikan dan dipraktekkan. Misalnya : Keperawanan/keperjakaan atau virginitas bukan lagi sebagai hal yang sakral, yang mutlak harus dipertahankan hingga tiba saatnya diserahkan kepada suami atau istri; Hubungan seks tidak saja diartikan sebagai ekspresi cinta seorang suami kepada istrinya dan sebaliknya istri kepada suaminya, tetapi juga kepada semua orang yang dianggap layak menerima limpahan ekspresi tersebut. Apapun statusnya. Dengan apapun balasannya. Ini semua mengindikasikan lahirnya masyarakat baru yang bersifat hedonis, konsumtif dan materialistis. Hedonis karena masyarakat ini mengejar kenikmatan dunia melalui seks tanpa memperhatikan batas dan arah, konsumtif karena kenikmatan seks ini dicari dengan pola yang sama ketika orang berbelanja kebutuhan barang dengan boros, dan materialistis karena ukuran kenikmatan seks diukur dengan angka-angka tertentu. Semakin tinggi uang yang dikeluarkan maka kenimatan yang didapat pun akan semakin tinggi, dan pada gilirannya eksistensi manusia pun dinilai dari materi. Mengenai hal ini Ade Armando dalam salah satu wawancaranya yang dimuat dalam situs Ali@nsi mengemukakan bahwa ;

“…Pornografi tidak hanya penting bagi produsennya. Karena gaya hidup yang ebbas itu bisa memfasilitasi agay hidup yang konsumtif, yang bebas dan liar. Yang tidak konservatif. Masyarakat jadi cenderung longgar nilai-nilainya dan sangat rentan dan kondusif menjadi hedonistik. Maka akan mudahlah masuk consumer’s good (barang-barang konsumen). Gaya hidup hura-hura. Jadi ada teori, kalau masyarakatnya konservatif, maka masyarakat itu akan hidup secara hemat. Kalau setia pada keluarga, maka ia akan berpikir pada pendidikan anak. Hal-hal yang tidak adventorous, petualangan. Tapi isinya masyarakat adalah orang-orang yang tidak percaya pada lembaga pernikahan, maka hidupnya disibukkan dengan pesta, night life, ke disko. Jadi liar dan hedonistik. Masyarakat itulah yang sangat menerima barang konsumen. Jadi ada alasan bisanis jangka panjang, selain membuat laku produk itu sendiri.”

Erich Fromm menggambarkan karakter masyarakat kapitalis ini sebagai masyarakat yang memandang dunia sebagai suatu objek besar bagi selera makan kita, merupakan sebuah apel besar, botol minuman besar, payudara besar; dan kita adalah penghisapnya yang selamanya tak pernah puas”. (Dalam Gunawan, 2000, hlm. 141). Seperti inilah perilaku manusia modern saat ini. Kenikmatan merupakan hal utama yang dikejar. Untuk itu berbagai teknik guna mencapai kenikmatan sebesar-besarnya terus dipelajari serta dicari. Ini juga terjadi pada masalah seks. Pda soal seks, tehniklah yang kemudian diprioritaskan. Persetubuhan menjadi semata-mata soal tehnik, sebagaimana yang terjadi pada produksi. Pemecahan masalah yang sifatnya teknis menjadi kunci keberhasilan sebuah industri. Konsumerisme serta materialisme, si lain pihak, membuat hubungan antar manusia menjadi sangat terfokus pada hubungan ekonomis belaka. Manusia, dengan demikian, dalam konteks ini telah menyerupai barang. Seks dalam relasi sosial-ekonominya dengan demikian terjebak dalam konstruksi sosial baru yang bernama kapitalisme. Dan dalam hal ini, media massa mengambil peran penting.

Berbagai penggambaran daya tarik seks pada diri manusia yang disajikan oleh media massa memang banyak mengarah kepada bagaimana manusia harus ‘menerima’ apabila mereka dikonsumsi oleh sesamanya, termasuk dikonsumsi untuk kepentingan libido. Dikonsumsinya manusia sebagai pemuas libido, dalam hal ini melalui mata, dapat dibuktikan dengan menjamurnya media pornografi.

Manusia yang seringkali dikonsumsi dalam kaitannya dengan kepentingan libido sampai saat ini adalah perempuan. Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle) perempuan memiliki apa yang dinamakan dengan fungsi dominan sebagai pembentuk ‘citra’ (image) dan ‘tanda’ (sign) berbagai komoditi seperti sales girl, cover girl, dan model girl. Menurut Guy Debord, masyarakat tontonan sendiri merupakan masyarakat yang di dalamnya, setiap sisi kehidupannya menjadi komoditi dan setiap komoditi tersebut menjadi ‘tontonan’. Di dalam masyarakat tontonan pula ‘tubuh wanita’ sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditi, atau tubuh itu sendiri sebagai satu komoditi tontonan, memiliki peran yang sangat sentral.

Ekonomi kapitalisme mutakhir tampaknya telah mengarahkan manusia untuk menggunakan ‘tubuh’ dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral komoditi, yang dapat disebut sebagai ‘ekonomi libido’. Kapitalisme ‘membebaskan’ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ serta ‘identitas tradisionalnya seperti tabu, etiket, adat. Moral, dan spiritual, dan ‘memenjarakannya’ di dalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari eonomi politik kapitalisme. Dengan demikian, tubuh menjadi bagian dari semiotika komoditi kapitalisme yang memperjualbelikan tanda, makna, dan hasratnya.

Erotisasi atau sensualitas tubuh perempuan di dalam media seringkali tampil dengan bentuk fragmen-fragmen tubuh sebagai ‘penanda’ (signifier) dengan berbagai posisi dan pose, serta dengan berbagai asumsi ‘makna’. Tubuh perempuan yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan variasi sikap, gaya, penampilan (appearance) dan ‘kepribadian’ membangun dan menaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai obyek fetish (fetish object), yaitu obyek yang ‘dipuja’ sekaligus ‘dilecehkan’ karena dianggap memiliki kekuatan ‘pesona’ (rangsangan, hasrat, citra) tertentu.

Di dalam wacana media perempuan ditempatkan ke dalam ‘sistem tanda’ (sign system) di dalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, bokong, semuanya menjadi fragmen-fragmen tanda di dalam media patriarki, yang digunakan guna menyampaikan ‘makna’ tertentu. Semua fragmen-fragmen tanda ini menjadi ‘obyek fetish’ yang sifatnya ‘metonimis’ (metonymic). Artinya, semua fragmen tanda tersebut seakan-akan mewakili totalitas tubuh dan jiwa perempuan itu sendiri (seksual, hasrat, diri).

Namun ternyata bukan perempuan saja yang kini dibidik untuk dieksploitasi tubuhnya, yang diasumsikan memiliki daya tarik seks yang khas. Kini, tubuh pria pun mengalami komodifikasi. Tubuh pria saat ini banyak disajikan media dengan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi disajikannya tubuh perempuan, yaitu eksploitasi seksualitas dengan tujuan menggerakkan kapitalisme.

Tubuh pria, misalnya, haruslah yang berbentuk segitiga seperti layaknya seorang olahragawan yang sedikit berotot di bagian perut atau tangannya. Penampilan ini merupakan penampilan pria ideal yang disajikan dan ditanamkan oleh media massa kpeada khalayak. Untuk dapat memiliki tubuh seperti itu tidak ada cara lain, yaitu berolah raga dan mengkonsumsi berbagai suplemen penambah stamina atau suplemen yang sifatnya mendukung terbentuknya tubuh menjadi seperti tubuh yang distandarkan oleh media massa.

Ini berarti, baik daya tarik seks yang melekat pada diri pria maupun perempuan tidak terlepas dari belenggu kapitalisme. Dengan bantuan media massa kapitalis selalu mendapatkan cara untuk mengarahkan apa yang sebaiknya dimiliki, dilakukan, atau dicari dengan sex appeal yang dimiliki seseorang. Termasuk dalam peran media massa adalah menyebarkan gaya hidup hedonisme yang diasumsikan sebagai ideologi yang wajar karena setiap orang yang telah bersusah payah bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya patut memperoleh penghargaan. Dan salah satu bentuk penghargaan yang ditawarkan adalah dengan menikmati sex appeal dirinya maupun sex appeal yang dimiliki oleh orang lain yang memang tersedia untuk dikonsumsi.

KONSUMTIVISME

Kerap kali konsumtivisme disamaartikan dengan konsumerisme. Namun sebetulnya, kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda maknanyaa. Konsumerisme merupakan gerakan konsumen (consumer movement). Gerakan konsumen sendiri merupakan suatu gerakan perlindungan konsumen yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir) (dalam “Konsumerisme Vs Konsumtivisme; Martabat Perempuan sebagai Konsumen), Retno Widiastuti, Kompas, Senin 17 Maret 2003, hlm. 35). Konsumen (akhir) yang dimaksud disini adalah konsumen yang langsung mengonsumsi barang/jasa dan tidak memperjualbelikannya kembali. Lebih luas lagi, istilah konsumerisme dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dannegara. Gerakan ini saja melingkupi isu kehidupan sehari-hari, namun juga hak asasi sebagai konsumen berikut dampak pembangunan itu sendiri bagi konsumen.

Konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif. Adapun istilah konsumtif adalah perilaku yang boros di dalam mekonkusi barang/jasa. Lebih luas lagi, konsumtif merupakan perilaku berkonsumsi boros dan berlebihan, yang mendahulukan keinginan daripada kebutuhan serta meniadakan skala prioritas. Konsumtif juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada abarang tersebut. Menurut Jean Braudillard ; nilai tukar dan nilai guna kini telah berganti dengan nilai simbol atau lambang. Ketika membeli mobil, orang sekaligus membeli simbol kemapanan yang melekat pada mobil tersebut. Ketika membeli baju orang juga membeli kepercayaan diri untuk dirinya.

“Para kapten iklan tahu, barang/jasa objek konsumerisme tidak punya arti dalam diri sendiri. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pede dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pede tinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme (baca; konsumtivisme, oleh penulis) bagai urusan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.” (dalam Kompas, Sabtu, 8 Maret, 2003, “Konsumerisme”, hlm. 4)

Konsumtivisme tidak hanya berkaitan dengan proses sosio-psikologis, namun juga berkaitan dengan masalah ekonomi politik. Konsumtivisme diasumsikan sebagai syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status serta gaya hidup. Begitu juga dengan konsumtivisme di Indonesia.

“Yang diajukan, konsumerisme (baca: konsumtivisme) di negeri ini melibatkan proses korosi yang tidak sekedar menyangkut konsumsi (sepatu atau tas) yang mengada-ada, tetapi melibatkan soal ekonomi – politik yang lebih luas. Misalnya, konsumerisme (baca: konsumtivisme) ruang (consumerism/consumtivism of space) yang menghancurkan ekologi, kemacetan lalu lintas, atau masalah abadi KKN dan kehancuran infrastruktur publik. Lihat tabel.

Konsumerisme (baca; konsumtivisme) dalam manajemen kenegaraan itu sejalan dengan patologi ekonomi – politik pada lingkup global dan disangga ekses sistem pasar yang sedang kehilangan genius-nya. Tahun 1999, misalnya, warga AS menghabiskan 8 milyar dollar untuk belanja kosmetik. Di tahun yang sama, PBB tidak bisa memperoleh 9 milyar dollar untuk membangun fasilitas paling sederhana bagi seluruh penduduk dunia yang selama ini tak pernah punya akses pada air minum bersih (Hertz 2001).

Menarik bahwa ternyata hasrat manusia untuk memelihara dan memperbesar sex appeal ternyata mampu mengalahkan kerelaan untuk menyisihkan materi bagi kepentingan humanis seperti yang diuraikan diatas. Tentunya ini pun tidak lepas dari campur tangan kapitalis di dalam menanamkan konsumtivisme dan hedonisme. Tak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dijual atau dikomersialkan. Jean Paul Lyotard, seorang tokoh post modernism, mengenai hal ini mengemukakan bahwa setiap bagian tubuh yang dapat menghasilkan kekuatan libido dapat dipertukarkan dengan uang.

Fenomena bagaimana tubuh diartikan atau dimaknai saat ini merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah. Saat ini tubuh dikemas dalam penampilan, dimana penampilan sendiri berkaitan erat dengan sikap mengkonsumsi barang. Orang akan mengkonsumsi barang bukan lagi karena fungsi barang itu semata namun karena barang tersebut menjadikan si pemakai mengidentifikasikan dirinya pada suatu kelompok. Apabila seseorang membeli televisi maka ia juga akan membeli mesin cuci dan seterusnya karena barang-barang itu membuat si pengkonsumsi masuk ke dalam kelas tertentu.

Fenomena yang dapat dikatakan sejalan dengan hal ini juga dapat kita lihat pada acara penganugrahan Oscar. Di balik penghormatan kepada hasil-hasil kerja para seniman film, seremonial penganugerahan piala Oscar dijadikan arena promosi luar biasa bagi sebauh rumah mode dan perancang busana, dimana di sana ditampilkan komoditas tontonan dalam segala seginya. Di sisi lain, usaha perancang mode terbayar mahal ketika sorang aktris atau aktor mengenakan pakaian dari perancang tersebut, berikut dengan sejumlah perlengkapannya atau aksesorisnya. Tubuh menjadi semacam sumber daya tarik dan kemudian menjadi sesuatu yang dapat diberdayakan. Tubuh bekerja dan sebagai hasil kerjanya tubuh dihadiahi dengan tren-tren pakaian berikut perhiasan yang terkenal pada masanya.

Berbicara tentang tubuh sering kali dikaitkan dengan perempuan. Ini disebabkan karena perempuan dipandang sebagai mahluk yang memiliki daya tarik seks yang tinggi dibandingkan pria. Guna kepentingan iklan, misalnya. Pada iklan yang ditayangkan di media audio visual, perempuan dapat dikatakan sebagai tokoh yang paling sering dimunculkan. Kehadiran para tokoh ini tidak terlepas dari kemampuan mereka di dalam memberikan bahasa tubuh yang lebih ekspresif dan mengeluarkan suara yang sifatnya asosiatif dibanding pria. Suara yang asosiatif diartikan sebagai suara yang dapat menimbulkan makna-makana lain di luar makna sebenarnya. Misalnya : pada iklan kondom beberapa waktu yang lalu pernah digunakan kata ; “Meoooong…”. Kata ini ini diucapkan oleh seorang perempuan muda dengan wajah yang seolah meminta pasangannya untuk melakukan aktivitas seksual. Nada di dalam mengucapkan ; “ Meoooong…” pun bukan nada yang biasa digunakan untuk memanggil kucing ( meong diidentikkan dengan kucing karena suaranya). Nada “meoooong” dalam ikan tersebut cenderung bernada manja dan merayu. Dengan kemasan seperti ini berbagai makna dapat muncul di luar makna sebenarnya.

Pelaku iklan juga sering mengasosiasikan barang atau produk dengan tubuh wanita. Bagian tubuh yang paling sering diasosiasikan dengan produk kopi susu, misalnya, adalah dada perempuan. Mungkin karena sama-sama mengandung susu. Ketipisan sebuah handphone juga disamakan dengan kelangsingan tubuh perempuan. Banyaknya iklan yang menggunakan perempuan sebagai endorser iklan, sepertinya tidak terlepas dari stereotip yang dimiliki perempuan. Misalnya; kecantikan atau daya tarik seks. Daya tarik perempuan sendiri telah dimanfaatkan menjadi citra perempuan sebagai obyek dari kebudayaan global. “Citra, baik verbal maupun visual, memiliki pengaruh besar pada pembentukkan rangsangan bagi orang yang melihatnya. Dan penekanan pada penampilan perempuan, dengan ukuran cantik atau tidak cantik, merupakan cara efektif untuk mengontrol perempuan. Mereka dibuat ragu mengenai penampilan dalam upaya memenuhi standar-standar kecantikan dan feminitas.

Eksistensi manusia, terutama perempuan di dalam wacana ekonomi-politik di dunia komoditi sebagai “ilustrasi” di dalam berbagai tayangan serta cetakan di media, telah mengangkat tiga hal. Piiliang mengemukakan bahwa hal pertama adalah ekonomi politik tubuh (political-economy of the body). Hal kedua adalah “ekonomi politik tanda” ( political economy of the sign). Hal ketiga adalah ekonomi politik hasrat (political economy of desire). Pertama, ”ekonomi politik tubuh” (political economy of the body) yaitu bagaimana tubuh digunakan dalam berbagai kerangka relasi sosial dan ekonomi, berdasarkan konstruksi sosial atau ”ideologi” tertentu. Persoalan politik tubuh berkait dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi-politik, dilihat dalam berbagai relasi sosial. Kedua, ”ekonomi politik tanda (tubuh)” (political economy of signs) yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem ekonomi pertandaan (sign system) masyarakat informasi yang membentuk citra, makna, dan identitas tubuh di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh (pria atau wanita) yang dieksploitasi sebagai tanda atau komoditas tanda (sign commodity) dalam berbagai media. Ketiga, ”ekonomi politik hasrat” (political economy of desire) yaitu bagaimana sistem ekonomi menjadi sebuah ruang berlangsungnya pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan, dan penyalurannya lewat berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi).

Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan oleh beberapa sifat irasionalitas hasrat atau keinginan libido (dalam bahasa Freud). Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah sebuah ”budaya ekonomi”, yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi. Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra tubuh”.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDEFINISIAN SEKSUALITAS OLEH MEDIA

Menurut McQuail (1987), hal. 142-162) media hidup dalam situasi tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari berbagai kekuatan luar, termasuk dari klien (misalnya pemasang ilan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), institusi atau organisasi, dankhalayak. Meskipun secara analisis berbeda, tetapi dalam kenyataannya tidak ada satupun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Semua kekuatan tersebut berbaur, tumpang tindih dan saling mendesak. Kaumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya.

Wacana seksualitas yang hadir di media tidak dapat dilepaskan dari berbagai pengaruh. Faktor tersebut menentukan batas-batas dan dalam bentuk apa seksualitas tersebut hadir. Apa yang disebut seksual, mana yang disebut porno dan mana yang tidak ditentukan oleh bebrbagai kekuatan. Kalau model McQuail diadaptasi (McQuail, 1987, 142-162), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendefinisian seksualitas.

Pertama, pemerintah atau kekuatan politik dan penekan. Pemerintah merupakan kekuatan yangbisa mempengaruhi organisasi media. Dalam banyak kasus, sistem politik (sejauh mana intervensi pemerintah dalam media) merupakan faktor eksternal yangs angat berpengaruh terhadap struktur dan penampilan media.

Dalam sistem pers otoritarian dimana penguasa mengekang pers, kontor jelas tidak dapat mengungkapkan fakta apa adanya. Dalam sistem ini, pemerintah misalnya, menentukan apa yang boleh dana apa yang tidak boleh. Kalau media melangar batas-batas yang ditentukan, pemerintah berhak mengambil tindakan tegas kepada media. Diantara aturan yang ditetapkan pemerintah itu adalah aturan mengenai seksualitas. Pemerintah misalnya, menentukan definisi mana yang disebut porno dan mana yang tidak. Definisi itu tentusaja arbiter, danmedia tinggal mengikuti apa yang diinginkan oleh pemerintah tersebut. Kalau media ingin tetap bertahan maka ia harus menuruti dan menyesuaikan isinya dengan batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut. Sebaliknya, dalam sistem liberalisme, kontrol pemerintah tidak ada. Pemerintah tidak mempunyai wewnang untuk mendefinisikan apa yangboleh dan apa yang tidak boleh. Akibatnya, definisi mengenai seksualitas itu lantas ditentukan sendiri oleh media. Mereka yang bisa bertahan adalah mereka yang bisa diterima oleh pasar atau masyarakat. Pasar itulah yang akan melakukan seleksi apakah pendefinisian yang dilakukan media itu diterima atau tidak.

Faktor kedua yang mempengaruhi pendefinisian seksualitas adalah pemodal. Apakah pemodal mendirikan media semata untuk tuuan-tujuan komersil ataukah ada maksud idealis. Pemodal yang tujuan akhirnya semata untuk memupuk uang, bisa mendefinisikan seksualitas sesuai deangan tujuan komersil tersebut. Apa yang disukai oleh masyarakat dan laku dijual akan ditawarkan dengan tampilan media tertentu. Idealisme mendidik masyarakat tidak termasuk dalam hitungan.

Ketiga, pengiklan. Media yang berorientasi pasar, sedikit banyak akan tergantung kepada pengiklan. Iklan akan menjadi sumber hidup bagi media. Karena posisinya yang vital maka media sedikit banyak akan berkompromi dengan kekuatan pengiklan ini. Keempat, faktor lain yang ikut menentukan adalah rutinitas organisasi media itu sendiri dan pekerjanya (Gans, 1980). Sebagai makhluk sosial, pekerja media mempunyai sikap, nilai, kepercayaan dam orientasi tertentu dimana semua komponen tersebut berpengaruh terhadap hasil kerja (media content). Disamping latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas akan turut pula mempengaruhi pekerja media di dalam mendefinisikan realitas.

Meskipun ada banyak faktor yang mempengaruhi pendefinisian seksualitas oleh media, tetapi hal yang paling signifikan adalah pengaruh ideoogi kapitalisme. Saat ini hampir semua bidang tercelup oleh ideologi kapitralisme ini. Dalam logika kapitalisme, segala sesuatu ditujukan untuk memupuk modal. Segala sesuatu ditujukan untuk menghasilkan uang dan keuntungan. Seksualitas adalah ruang yang juga tidak luput dari persentuhan dan pengaruh kapitalisme. Dahulu, seksualitas adalah wacana yang tertutup, sebaliknya ia adalah produk untuk dijual. Cerita-cerita seksual menjadi produk untuk diperjualbelikan. Barang dan alat yang berhubungan dengan seksual juga dijajakan secara terbuka. Dalam era kapitalisme seks menjadi komoditi yang sangat menunujang melalui tv, film dan periklanan. Walaupun demikian dampak yang ditimbulkan oleh seksualitas yang ditampilkan menjadi perdebatan yang sengit. Kubu yang pro menganggap seksualitas yang ditampilkan di media tidak memiliki dampak yang berbahya, sedangkan kubu yang kontra menganggapnya memiliki dampak yang negatif, apalagi jika ditampilkan di media tv yang khalayaknya sangat luas.

Kapitalisme ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap seksualitas. Seks menjadi barang yang biasa, dan dibicarakan secara terbuka. Pada perkembangannya media berada dalam konteks kebebasan pers sebagai produk reformasi yangberlangsung di Indonesia pasca rezim Orde Baru yang jatuh pada bulan Mei 1998. Pornografi pun menjadi marak di media. Irwan M. Hindayani, seperti yang dikuti oleh Harian Republika (4/7/1999) mengemukakan bahwa kebebasan pers menjadi masalah utama yang menyebabkan penerbit maupun pihak terkait seenaknya memuat berita dan gambar yang mengarah kepada pornografi.

Seiring dengan itu, kebebasan pers berperan dalam pergeseran nilai-nilai masyarakat, dimana saat ini pembicaraan seks marak ditampilkan di media.

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2003

Albarran, Alan D. Media Economics: Understanding Markets, Industries, and Concepts. Ames: Iowa State University Press, 1996

Baran, Stanley J dan Dennis K. Davis. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. USA: Wadsworth, 2000

Barrett, Oliver Boyd dan Chris Newbold. Approaches to Media: A Reader, New York: Arnold, 1999

Braudillard, Jean, Masyarakat Konsumsi, Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2004

Chaney, David, LifeStyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta:Jalasutra, 2004

Denzin, Norman K dan Yvonna S Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: Sage Publications, 1994

Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS, 2001

Fairclough, Norman. Media Discourse. New York: Edward Arnold, 1995

Featherstone, Mike, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005

Fiske, John. Introduction to Communication Studies. London: Routledge, 1982

Ibrahim, Idi Subandy, ed. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan, Kronik Indonesia Baru, 1997

_________________________, Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Rosdakarya, 1998

Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication. Wadsworth, USA, 2000

McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga, 1994

McQuail, Denis & Sven Windahl. Communication Models for the Study of Mass Communication, 2nd Edition. London: Longman, 1993

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. London: Sage, 1996

Piliang, Yasraf Amir, Dunia Yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital, Jakarta:Grasindo, 2004

___________________, Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, Tiga Serangkai:Solo, 2003

Rogers, Mary, Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:Bentang, 2003

Shoemaker, Pamela J dan Stephen D Reese. Mediating the Massage: Theories of Influence on Mass Media Content. New York: Longman Publishing Co., 1991

Strinati, Dominic, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta:Bentang, 2003

Marcuse, Herbert, Manusia Satu Dimensi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000,

Majalah Ilmiah / Artikel Jurnal

Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, No. 1. Jakarta: Seksi Publikasi Senat Mahasiswa STF Driyarkara, 1997

Hidayat, Dedy N. “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi”, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol. III, April, 1999

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here