Friday, January 05, 2007

Pelajaran Jurnalistik dari Infotainment

Oleh:

Veven Sp. Wardhana

Hingga hari ini, tayangan infotainment di layar televisi Indonesia masih terhitung kontroversi. Dewan Pers - bersama Program the European Initiative for Democracy and Human Right [EIDHR] European Commision - dalam diskusi 21 November 2005 mempertanyakan apakah infotainment termasuk jurnalistik. Setahun kemudian, Universitas Paramadina Jakarta menggelar seminar dengan tema serupa. Sementara Persatuan Wartawan Indonesia [PWI] mengakui bahwa infotainment sebagai karya jurnalistik, sehingga PWI mengakomodasi jurnalis infotainment yang mendaftarkan diri ke dalam organisasi ini, sehingga secara resmi ada Departemen Infotainment sejak akhir Desember 2005.

Di luar diskusi Dewan Pers dan seminar Universitas Paramadina, ada yang merumuskan: infotainment dikategorikan jurnalistik, "hanya saja, ada jurnalistik bagus dan tak bagus". Dan "infotainment termasuk yang tak bagus." Yang lain menyatakan: infotainment terlalu memasuki wilayah privasi, sementara - pasti - para pekerja infotainment mempersoalkan jabaran "privasi" itu.

Lebih jauh bahkan pekerja infotainment berujar gagah: "perselingkuhan perlu dibongkar, karena itu menyangkut persoalan moral." Dalam logika pekerja dan pemilik tayangan yang dinilai kerap memberitakan perkawinan, perceraian, persoalan rumah tangga, perpacaran sesama lajang-bujang, atau perkasihan suami/istri dengan lelaki/perempuan lain, tayangan infotainment mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebritas adalah juga figur publik - sambil diam-diam menutup mata dan menutup pengetahuan bahwa jabaran figur publik adalah figur yang memiliki dan mengeluarkan kebijakan berkait dengan nasib publik.

Salah satu puncaknya, Agustus 2006, ulama Nahdlatul Ulama [NU] - usai bermuktamar di Surabaya - memfatwakan bahwa infotainment haram hukumnya karena memasuki wilayah ghibah alias gunjingan - bahkan fitnah karena tak terbukti kebenarannya - atas persoalan-persoalan pribadi yang diberitakan itu.

Dalam kenyataan, infotainment tak bisa dianggap sia-sia terutama dari sisi pembelajaran untuk publik dan dunia media itu sendiri. Dari sisi cara kerja media, main gedor mobil narasumber agar narasumber tak semata bungkam atau sedikit buka suara sebatas off the record - karena tuntutan pernyataan dalam jurnalisme infotainment, sesungguhnya juga dilakukan oleh media mainstream alias arus-utama umumnya, yakni sebatas memuat pernyataan [salah satu pihak belaka] tanpa sama sekali merujuk pada kenyataan sesungguhnya.

Bagi publik dan media sendiri, rasa-rasanya infotainment bisa dijadikan acuan saat membongkar perkawinan diam-diam seorang suami dengan perempuan lain. Kasus perkawinan pengacara Farhat Abbas dengan Ani Muryadi dan perkawinan Bambang Trihatmodjo dengan penyanyi Mayangsari adalah salah dua contoh konkret. Investigasi infotainment atas penyangkalan Farhat, suami penyanyi Nia Daniaty, dan pengakuan Ani atas perkawinan mereka bisa dijadikan pembelajaran bagi investigasi umumnya media, yang ternyata gagap dalam melakukan investigasi justru di saat arus informasi sedemikian terkuak. Pernyataan Farhat dan Ani terbantah oleh kenyataan berupa foto perkawinan mereka yang ditemukan jurnalistik infotainment.

Dalam kasus perkawinan Bambang Trihatmodjo, suami Halimah, dengan Mayangsari, infotainment tidak sebatas memberitakan pelabrakan Halimah dan anak-anaknya yang menabrakkan mobilnya ke pagar rumah Mayangsari, namun infotainment bahkan sekaligus memberikan pemahaman hukum pada publik, yakni Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menggariskan bahwa perkawinan kedua seorang suami harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama [bagi muslim] [pasal 56 ayat 1] atau Pengadilan Negeri.

Maknanya, kawin diam-diam Farhat serta Bambang bukan saja cacat hukum, yang menikahkeduakan pun harusnya terkena sanksi hukum. Agak sayang, dalam wacana berikutnya, media hiburan cenderung sekadar menghukum Mayangsari sebagai perebut suami dan/atau Halimah sebagai istri yang tak bisa menjaga suami supaya tetap berada dalam pelukan keluarga pertama.

Begitu pulalah saat ustad Aa Gym menikah untuk kedua kalinya namun tetap mempertahankan istri pertama, justru infotainment-lah yang pertama kali meniupkannya. Baru kemudian media arus-utama ramai membahas, termasuk dalam laporan utama. Lagi-lagi karena jasa infotainment juga kemudian terpahamkan bahwa Nabi Muhammad SAW yang dijadikan kilah peneladan para suami pelaku beristri lebih dari satu itu ternyata sepanjang 28 tahun adalah seorang monogami, sementara pelaku poligami masa kini tak bersejajar dengan yang dijalankan Rasulullah.

Aa Gym bukanlah artis alias selebritas. Bersejajar dengan Bambang Trihatmodjo dan Halimah. Kasus Halimah-Bambang-Mayangsari menjadi menu utama infotainment, karena anasir Mayangsari sebagai artis. Bersejajar dengan pernikahan Danny Rukmana dengan bintang sinetron Lulu Tobing atau putra pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan artis-presenter Anissa Pohan. Bersejajar dengan gencarnya pemberitaan video saru [ada yang memelesetkan ucapan selamat pada hari-hari akhir ini menjadi: "Selamat Nakal & Tahun Saru; Mari Kiss Mas & Happy No Wear"] politikus Yahya Zaini dengan pedangdut Maria Eva.

Infotainment bisa saja salah kaprah menyebut para selebritas sebagai publik figur, kendati selebritas aslinya sekadar sosok kondang atau terkenal; namun bisa pula infotainment sama sekali tidak salah - kendati not by design - mewacanakan bahwa para politikus kiwari sejatinya adalah sesosok penghibur atau entertainer, bersejajar dengan infotainment sebagai pemendekan dari 'informasi' dan 'entertainment'. Tapi, adakah tokoh agama - tak harus Aa Gym - setali-tiga-gobang dengan penghibur? Hmmm?

Tahun 2007, yang bisa diharapkan, infotainment menjadi semacam jurnalisme alternatif, yang tak semata berburu perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke lain-lain hal - sebagaimana ternyata publik menjadi paham adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, justru setelah ada artis yang menggugat cerai suaminya.

Penulis adalah Senior Advisor di German Technical Cooperation, Program Good Governance in Population Administration

1 comment:

vie said...

salam pak.....

saya Devi Kusuma Ariani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung..
sekarang saya sedang menyelesaikan studi akhri saya, dan judul yang saya ambil berkaitan dengan Infotainment.. sebagai bahan referensi sejak beberapa bulan yang lalu saya mencari artikel yang berkaitan dengan infotainment termasuk artikel milik Veven Verdana ini..
tapi, karena keterbatasan buku yang berkaitan dengan infotaiment saya jadi sedikit kesulitan,sehingga hari ini saya berniat mengirimkan email yang berisikan pertanyaan kepada beliau.. tapi karena saya melihat blog bapak, dan profesi bapak yang merupakan dosen ilmu komunikasi, saya jadi berharap bapak mau membantu saya memberikan beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya, yaitu:
1. karakteristik berita infotainment secara umu dalam media massa?
2. karakteristik berita infotainment dalam media elekttronik (televisi, internet dan sms) dan media cetak (majalah, tabloid, koran)
3. ciri-ciri berita dalam rubrik infotainment?
4. ciri-ciri berita dalam tabloid infotainment?
5. dan referensi buku yang berkaitan dengan infotainment?
Saya sangat berharap bapak mau memberikan jawaban atas pertanyaan saya tersebut.. dan saya juga sangat berterima kasih atas waktu yang bapak luangkan untuk membaca, membalas dan mengirimkan jawaban pertanyaan saya.
Demikianlah perkenalan dan permintaan ini saya ajukan..
Terima kasih

Devi Kusuma Ariani
Mahasisawa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Lampung
08982277386
email : vie_vericity@yahoo.com

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here