Monday, March 27, 2006

Jakarta dan Public Sphere

JAKARTA DAN RUANG PUBLIK YANG KOMUNIKATIF: mungkinkah?

Dalam beberapa media massa Ibukota, Jakarta mempunyai citra sebagai kota (dengan substansi politik, ekonomi, dan budaya) yang bertumbuh pesat. Pusat ekonomi-sosial-politik merupakan keniscayaan bagi Jakarta, karena memang Jakarta berfungsi sebagai Ibukota Indonesia. Rangkaian kebijakan publik dalam bidang politik-ekonomi, kebudayaan dan sosial setiap hari diputuskan dari Jakarta dan disebarkan ke seluruh penjuru Nusantara.
Dalam media massa juga, Jakarta mempunyai citra kota yang penuh dengan masalah sosial dan budaya. Masalah kriminalitas sampai lingkungan hidup setiap hari juga menghantui kenyamanan hidup sebagai warga Jakarta. Masalah kesenjangan ekonomi antara si kaya dan miskin yang ditandai dengan paradoks tumbuh kembangnya pusat-pusat pembelanjaan global, seperti Sogo-Plaza Senayan, Hypermarket Carrefour dan masih banyak lagi dengan begitu maraknya masalah penggusuran warga miskin kota, seperti yang pernah terjadi di Muara Angke-Bilangan Slipi-Tenabang dan masih banyak tempat lagi. Belum lagi masalah polusi udara-air dan suara serta kemacetan lalu lintas yang justru terasa jamak bagi sebagian besar warga Jakarta. Yang jelas, warga Jakarta begitu akrab dengan asap dan udara yang sumpek dan panas.
Dari sekian masalah yang begitu menumpuk di Jakarta, ada satu pertanyaan yang masih menggantung, yaitu masih mungkinkah Jakarta menjadi kota yang komunikatif yang ditandai dengan jalur hijau dan ruang publik yang manusiawi ?
***
Secara historis kota Jakarta sebenarnya merupakan sebuah kota benteng yang didirikan oleh Pangeran Jayakarta. Sebelumnya, Jakarta merupakan perkampungan. Di sekitar perkampungan dari ujung utara Jakarta dibuat sebuah benteng kolonial, kemudian berkembang ke arah selatan menyusuri sungai Ciliwung yang selanjutnya membentuk aliran air di Monas. Kemudian dalam perkembangannya pada periode abad 20 dibentuk sebuah kota baru berdasarkan konsep Garden City di Kebayoran Baru yang berkembang terus sampai sekarang.
Dilihat dari segi style, banyak bangunan yang mengadopsi bangunan kolonial awal abad 20. Karena dirasakan dengan iklim Indonesia tidak cocok, maka kemudian beberapa arsitek Belanda mulai menyesuaikannya dengan iklim Indonesia. Dari segi tata ruang kota, perkembangan Jakarta sebelumnya cukup tertata hampir mengikuti bentuk kota Den Haag, di Amsterdam dengan parit-parit di sekelilingnya. Tapi perkembangan akhirnya menjadikan Jakarta seperti sekarang ini. Perkembangan baru kota Jakarta yang dimulai dengan konsep garden city mengakibatkan perkembangan kota ini menjadi semrawut.
Kalau mau bicara tentang ruang publik kota Jakarta, maka hal pertama yang harus dicermati adalah adanya kepublikan atau publicness. Kalau tidak ada publicness, maka tidak ada yang akan memakai ruang publik. Kepublikan itu mensyaratkan adanya tingkat kolektivitas tertentu. Masalahnya adalah bahwa kepublikan dari kehidupan Jakarta ini sangat lemah. Hal itu bukan hanya menyangkut hal terbuka saja, juga dalam hal lain seperti hal transportasi, usaha kita dalam memecahkan masalah pendidikan, perumahan, kegiatan publik dan sebagainya.
***
Sejauh mana kota itu mempunyai ruang yang bernilai publik, tergantung masyarakat sendiri yang mengaturnya. Di samping itu juga sulit untuk tidak meyimpulkan yang dimaksud dengan kepublikan itu adalah kesejahteraan sosial ekonomi.
Kalau dilihat dari sejarah kota Jakarta ini pernah mempunyai ruang publik dan kepublikannya. Tapi itu kemudian hilang. Kecenderungan pasar bebas dengan privatisasi mengubah ruang publik menjadi ruang-ruang privat. Seperti mall-mall yang ada, sebenarnya milik pribadi yang dibuka sebagai ruang publik. Konsep kepublikan semacam itu sangat semu. Karena kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali sebagai konsumen yang berbelanja.
Ruang publik berbicara tentang social intercourse atau pergaulan sosial dalam produksi. Pengertian ruang publik berkembang seperti sekarang karena memang sudah bermain dengan berbagai kepentingan dan perkembangan. Pengertian ruang publik juga harus memperhatikan keperluan domestik atau untuk anak bermain dan sebagainya. Jadi ruang publik itu bertingkat-tingkat.
Tahun 1961 pernah akan dirancang penataan tentang tata letak kota Jakarta oleh DPRS/MPRS. Konsepnya sederhana, yaitu bagaimana menyeimbangkan kota dengan kampung atau desa. Rencana tidak berlangsung karena adanya peristiwa 1965. Sejak tahun 1971 sampai tahun-tahun berikutnya tata letak kota Jakarta bahkan seluruh Indonesia ditangani Asian Development Bank (ADB). Hingga sekarang menurut data yang ada, ADB sudah mengeluarkan US$16 milyar yang berupa hutang. Sementara pada tahun 1961 perencanaan kota akan terjadi tanpa tergantung lagi ke bank-bank asing. Sekarang ini perencanaan tata kota selalu tergantung pada modal asing. Dan tidak ada kontrol tata kota dari publik.
Ruang publik yang dibangun harus merupakan ruang yang sangat besar dan harus dirancang, diperkuat dengan badan air. Karena air mempunyai yoni yang sangat kuat. Kalau kita bicara space berarti bukan hanya di rumput karena ada pemantulan maka keberadaan air perlu dipikirkan.
Jakarta memang tidak dibangun dengan konsultasi yang nyata dengan masyarakat. Bukan hanya masyarakat kecil, masyarakat menengah, juga masyarakat ekonomi tinggi pun tidak pernah dimintai pertimbangan. Kalau gubernur bertanya kepada pengusaha sana-sini, itu bukan sebuah proses konsultasi. Konsultasi di sini adalah konsultasi terbuka. Yang menderita di Jakarta ini bukan hanya anak-anak jalanan. Kita menderita di Jakarta bukan hanya dari segi ekonomi saja. Jalan raya macet juga membuat kita menderita. Semuanya membuat konflik yang seharusnya tidak perlu. Kita lebih mudah marah terhadap orang lain gara-gara macet.
Ada dua hal yang sangat krusial yang berkaitan dengan ruang publik khususnya Jakarta ini. Hal pertama adalah menyadarkan kepublikan yang masih banyak kendalanya, karena masing-masing jalan sendiri. Dan yang kedua adalah ruang publik yang kembali harus diartikan sebagai interaksi sosial yang bisa dilihat seluas-luasnya.
Ruang publik disini adalah plural, dan juga harus menerima kemungkinan diberlakukan atau tidak karena harus dimusyawarahkan. Dalam kehidupan, kita memerlukan tata krama Kita harus sadar bahwa tata krama itu adalah panggung sandiwara, kalau kita harus membuat perilaku baru, kita buat perilaku baru. Kalau kita butuh tata krama baru, kita harus buat tata krama baru. Sebenarnya pejalan kaki mengalah dengan mobil dalam aturannya tidak ada. Jadi setiap lingkungan membutuhkan tata krama baru dan bagi saya kota adalah satu lingkungan baru dan membutuhkan tata krama baru.
Di negara maju pun tata krama kota itu dibentuk dan diajarkan. Sehingga sebelum 1970 an itu berantakan di Cina. Pada era Beatles, ketertiban lalu lintas di Inggris masih omong kosong. Tetapi ada kebersamaan untuk menyadari hal itu dengan membuat program yang konkret, mengkampanyekan tata krama baru. Di persimpangan jalan mobil keluar akan saling ketemu. Di Jerman ada cara tersendiri, setiap arus memasukkan mobilnya silih berganti. Hal demikian sangat damai tanpa harus ribut dan semua orang tahu karena ada sosialisasi sebelumnya. Tata krama seperti itu juga tidak akan kita temui di desa. Jadi kita jangan menganggap kebudayaan itu sebagai suatu yang tertanam, yang tidak dapat diubah. Jadi ukurannya menurut saya fasilitas umum harus lebih baik dari pada fasilitas untuk pribadi/individual. Karena kesenjangan yang terlalu besar, maka akan menjadi sulit. Ini mungkin definisi sosial demokrasi yang paling sederhana. Orang memerlukan kesamaan dalam suatu tingkat sosial ekonomi supaya bisa berbeda dengan yang lain. Kalau tidak ada kesamaan dalam tingkat tertentu, dalam sosial ekonomi, maka tidak mungkin kita mengukur minimal, dengan begitu kita harus musyawarah dulu.
Kita hindari cara berpikir yang mengatakan bahwa orang yang susah hidup di Jakarta itu orang yang jalan kaki atau orang miskin. Semua orang hidup di Jakarta itu susah dan semua orang bisa hidup lebih baik. Saya yakin jalanan kita tidak memenuhi syarat. Di Inggris dari jalan sampai naik ke trotoar maksimum 10 cm untuk kepentingan mobil dan juga pejalan kaki. Bagi mobil, kalau trotoar terlalu tinggi velg bisa mentok dan rusak, lebih berbahaya untuk pejalan kaki. Akhirnya dalam menggunakan ruang itu orang tidak merasakan nyaman. Memang dalam perkembangan teknologi sekarang harus ada keberpihakan kapada orang-orang lemah, karena dia kurang memiliki akses. Sedang akses berkaitan dengan proses yang harus diciptakan.
***
Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat di dalam proses pembangunan, khususnya di daerah perkotaan, bukan lagi sekedar paradigma, tetapi sudah merupakan suatu filsafat ilmu perencanaan pembangunan kota (city-planning philosophy). Kota Jakarta selama ini dikembangkan dan dibangun dengan paradigma lama, yaitu dengan mengadakan pendekatan top-down planning dan sektoral. Hasil pembangunan yang diwujudkan, lebih mengakomodasi kebutuhan sekelompok warga masyarakat dengan prosentase kecil (exclusive society), sedang kebutuhan kelompok masyarakat yang lebih besar (marginal society) terabaikan, malah cenderung tersingkirkan.
Akibat lebih jauh adalah timbulnya kontradiksi dan konflik sosial, yang sangat rentan merusak sendi-sendi sosial yang terpelihara cukup lama, disamping perusahaan sarana-prasarana fisik perkotaan, Fenomena ini disadari bisa berakibat fatal dan akan sangat lama untuk merekatkan sendi-sendi sosial seluruh kelompok masyarakat di perkotaan, yang sempat dirusak.
Untuk ke depan, pemberdayaan dan peningkatan peran komunikatif serta masyarakat di dalam proses pembangunan sebagai suatu sistem yang dipadukan dengan visi kota-kota besar dan menengah dalam sistem globalisasi yang seluruhnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Jakarta

2 comments:

Anonymous said...

wah baru nemu nih aku blog-nya mas eka. boljug...boljug. Agak kurang kiri kayaknya, mas.... :)

Lilis said...

Terkait postingan di atas dapat juga di lihat link di bawah ini :
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3132/1/PESAT%202005%20_arsitektur_006.pdf

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here