Tuesday, March 28, 2006

Regulasi dan Globalisasi Media di Indonesia

REGULASI DAN GLOBALISASI MEDIA:

tarik ulur globalisasi media vs kepentingan publik di Indonesia

(refleksi perspektif etis regulasi media massa dalam konteks transisi menuju demokrasi Indonesia dan globalisasi media)

- A.G. Eka Wenats Wuryanta-

PEMBUKA WACANA

Indonesia mengalami sebuah era perubahan sosial politik yang cukup mendasar. Kehidupan demokrasi yang sempat stagnan pada masa Orde Baru, mulai menunjukkan gairah kehidupan yang sebenarnya. Salah satu indikator yang menunjukkan sejauh mana demokrasi mulai bernafas dengan lega adalah indikator kebebasan pers atau media yang pada waktu Orde Baru mengalami pemasungan yang luar biasa. Kekuatan media yang seharusnya menjadi kontrol sosial dan politik justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bagian hegemoni negara yang sedemikian kuat. Tidak mengherankan apabila media massa pada waktu itu menjadi state apparatus, yang artinya bahwa media massa justru menjadi corong kebijakan otoriterianisme yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh rejim Orde Baru.

Situasi sebagian besar media massa Orde Baru yang sempat menjadi state apparatus tidak bisa dipisahkan dengan sistem kapitalisme di Indonesia pada khususnya atau dunia pada umumnya (Hidayat, Dedy. N., 2000, hal. 129-133). Tapi kenyataan bahwa industri media massa Orde Baru yang dipengaruhi oleh sistem politik-ekonomi yang berkembang saat itu, tetap kita tidak bisa menutup kenyataan bahwa media massa di Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem kapitalisme media massa global pada waktu itu.

Ketika Indonesia mengalami perubahan sosial politik, rupanya imbas perubahan sosial yang terjadi juga dialami oleh industri media massa di Indonesia. Proses transisi demokrasi di Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri. Penguatan peran media dalam kehidupan sosial semakin dirasakan sebagai faktor positif perubahan sosial di Indonesia. Meskipun, penguatan peran dan aktivitas media setelah “lengsernya” Soeharto juga mempunyai dampak negatif.

Tapi yang jelas, telah terjadi perubahan iklim ketidakbebasan menjadi kebebasan yang sempat “dirayakan” oleh para pelaku industri media di Indonesia.

Masalahnya, dari sekian perubahan sosial politik dalam negeri yang sempat mengubah iklim kebebasan media, Indonesia sebagai bagian global juga terkait dan dipengaruhi oleh kemajuan serta modernisasi sistem komunikasi dunia. Perkembangan atau revolusi informasi yang menyeluruh, radikal, drastis dan menyentuh seluruh dimensi kemanusiaan terasakan oleh manusia Indonesia juga oleh pelaku media massa Indonesia.

Perubahan yang signifikan dalam bidang komunikasi-informasi global yang berpengaruh pada perubahan sosial manusia Indonesia menjadi salah satu alasan pengajuan pertanyaan kritis: sejauh mana dan bagaimana revolusi komunikasi-informasi atau globalisasi media massa memberikan dampak yang berarti bagi perubahan sosial-budaya-ekonomi-politik masyarakat Indonesia ?

DAMPAK GLOBALISASI MEDIA

Kalau kita tarik garis umum dampak globalisasi media pada tata sosial masyarakat Indonesia pada khususnya, maka dapat ditemukan garis positif atau konstruktif serta garis negatif atau destruktif. Garis positif atau lebih tepat akibat konstruktif fenomena globalisasi media massa di Indonesia adalah perubahan sosial politik yang meliputi keterbukaan, penonjolan tiga isu global (demokratisasi, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup) termasuk juga kebebasan pers sebagai bagian integral sistem komunikasi sosial masyarakat. Sementara itu, garis negatif dalam arti dampak buruk dari globalisasi media dapat juga dilihat dari fenomena masyarakat yang semakin konsumeristis, apatis, individualistis dan sebagainya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa globalisasi media massa juga memicu kerusakan etika atau moral kehidupan berbangsa dan bermasyarakat

Beberapa dampak negatif yang perlu dieksplorasi dalam diskusi ini adalah: pertama, gejala globalisasi media massa membuka kondisi dunia yang borderless world. Kondisi dunia tanpa batas ini mengakibatkan apa yang sering disebut dengan penyeragaman secara global dalam sistem, pola dan budaya komunikasi dunia dan Indonesia pada khususnya. Masalahnya terjadi paradoks yang muncul di dalam gejala ini, yaitu ketika dunia dan globalisme memicu penyeragaman cara, sistem komunikasi umat manusia, di situ juga terjadi budaya tanding dalam bentuk tren nasionalisme, primordialisme, lokalisme kebudayaan. Ini artinya dalam globalisasi, termasuk di dalamnya globalisasi media massa, terjadi tarik ulur kecenderungan holisme-kolektivistik dengan tendensi parsialisme-individualistik manusia. Masing-masing sikap tidak seluruhnya buruk, karena terjadi penyebaran pesan global yang positif misalnya globalisasi gerak demokrasi atau gerak penyebaran tata nilai agama (BBC World - CNN sempat dijuluki sebagai salah satu juru bicara tata demokrasi baru). Tapi juga tidak seluruhnya baik, karena globalisasi informasi global sempat menjadi benih-benih perilaku kekerasan, separatisme atau regionalisme yang berlebihan (rentetan kerusuhan di Ambon dan pengerahan massa Laskar Jihad disinyalir karena diprovokasi pemberitaan di beberapa media Jakarta yang bertiras nasional).

Kedua, kebijakan media global. Setidaknya ada dua dimensi dalam kebijakan media global, yaitu kebijakan internal (editorial) yang bersifat horizontal dan kebijakan politik-ideologi pelaku media yang bersifat vertikal. Dalam perkembangan kapitalisme global tidak jarang kedua dimensi tersebut saling bertabrakan kepentingan. Tarik ulur kebijakan politik-ideologi yang dipunyai oleh pelaku media terkait dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pada saatnya, kebijakan-kebijakan publik tersebut saling silang dengan kepentingan dan kebijakan pelaku media dalam konteks industri media yang mereka buat. Perbenturan kepentingan antara kebijakan internal dan eksternal yang ada dalam konteks budaya komunikasi di Indonesia rupanya juga mempengaruhi bagaimana prinsip kebebasan pers harus dimaknai.

Memang, kebebasan media massa global menjadi salah satu tolok ukur bagaimana demokrasi harus dibangun. Tapi, kebebasan yang dipahami dalam konteks perspektif ekonomi politik tetap harus diletakkan dalam konstelasi alur atau jalinan kekuasaan yang mendistribusikan, memproduksi dan mengkonsumsi seluruh produk media sebagai output kebudayaan sosial. Artinya, dengan konteks Indonesia, apakah memang kebebasan media massa di sini dilihat sebagai komoditas perluasan globalisasi yang sedang berlangsung atau kebebasan media massa merupakan raison d’etre demokratisasi di Indonesia ?

Ketiga, globalisasi media massa semakin memperlebar jurang perbedaan atau kepincangan arus informasi yang terjadi antara negara-negara maju di satu pihak dengan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, di lain pihak. Kehadiran suatu media terutama di Indonesia bisa menjadi indikator yang kuat terbentuknya sistem sosial yang terbuka dan demokratis. Tapi kehadiran media global di dalam media Indonesia juga menimbulkan masalah. Seperti pada karakter pembentukan media massa di negara berkembang pada umumnya, secara luas dapat kita sistem kepemilikan, pola produksi dan kebijakan internal yang tidak bisa dipisahkan dengan sistem kepemilikan, pola produksi dan industri media di negara-negara maju. Inilah yang pada akhirnya akan membuat kepincangan arus informasi yang didominasi oleh media global.

Tahapan konsentrasi sistem kepemilikan, pola produksi dan distribusi, kebijakan internal media global (yang sering diwakili oleh media negara maju) akan menimbulkan tekanan yang berupa potensi teknologi baru dan konsentrasi ekonomi yang semakin memusat pada pelaku media besar (Graham-Golding, dalam Curran-Gurevitch “Mass Media and Society, 1991: pp.15-30). Lihat bagaimana Metro TV merujuk media besar CNN untuk liputan peristiwa WTC 11 September 2001 atau Indosiar yang merujuk VOA TV, atau beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan radio lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.

Tahapan konsentrasi dominasi sistem komunikasi global ini melahirkan apa yang dinamakan dengan imperialisme budaya global. Setidaknya dalam refleksi ilmiah, fenomena imperialisme budaya terutama yang sekarang kita alami mempunyai dua sifat yang saling terkait satu sama lain. Yang pertama soal sifat satu-arah dari aliran media internasional, di mana aliran besar dipasok dari ciri, visi, opini produk media negara maju. Sementara sifat yang lain terlihat bahwa proses pengaruh dalam sejumlah kecil negara berkembang memperhitungkan substansi pengaruh media internasional.

Keempat, timbulnya masalah bagaimana sistem sosial dan hukum nasional mewadahi berbagai ragam kepentingan yang masuk dan terpenetrasi secara ideal maupun nilai yang ditawarkan oleh media global. Artinya bahwa informasi pasar global yang diwujudkan dalam ide-ide komunikasi sosial masuk ke negara-negara berkembang tanpa melalui sensor yang diperlukan. Konsekuensi logis globalisasi yang bersifat borderless society mengakibatkan penetrasi tanpa batas tanpa perlu mengindahkan kedaulatan negara, masyarakat, dan individu.

Kelima, akibat point keempat dapat terlihat dengan munculnya berbagai masalah terutama pada masalah etis produksi, distribusi dan konsumsi isi media yang berisi tentang bagaimana hak privasi dapat dilindungi ketika hak tersebut berbenturan dengan hak publik untuk mengetahui. Ini berarti bahwa dampak negatif dari globalisasi media tidak hanya berhenti pada tataran sosial-kolektif tapi juga pada tataran individual.

Keenam, munculnya masalah sumber manusia yang menjadi pelaku media. Ketika media global masuk ke sebuah negara, dalam hal ini Indonesia, tentu saja standarisasi sumber daya manusia juga harus disesuaikan dengan ukuran internasional. Dalam hal ini, kita harus mengakui bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam bidang media masih memprihatinkan. Masalahnya adalah ketika masalah SDM ini mencuat sebagai masalah global dapat kita tarik garis lurus lalu bagaimana kualitas isi pemberitaan. Ketika kualitas isi media lokal masih memprihatinkan, maka pertanyaan kritis lainnya adalah apakah memang media massa kita masih bisa dipercaya ? Lebih baik percaya dengan media global yang sudah diketahui kualitas SDM dibandingkan dengan kualitas wartawan, reporter, kameramen, produser media yang ada dan hidup di Indonesia. Hal ini nantinya akan berpengaruh dengan soal prioritas nilai persaingan yang harus dihadapi oleh para pelaku media di Indonesia.

DISKUSI MASALAH DAMPAK GLOBALISASI MEDIA

Pola Interaksi Globalisasi Media

Dari beberapa point menyolok dari dampak globalisasi media yang dialami oleh negara berkembang dan Indonesia pada khususnya, terlihat ada beberapa pemikiran yang perlu dipertegas lagi supaya bisa dicari dan dieksplorasi lebih dalam lagi.

Pertama soal perspektif ekonomi politik yang melingkupi soal media di Indonesia. Perspektif ekonomi politik media di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman kita terhadap proses relasi sosial khususnya hubungan kekuasaan yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada (Mosko, 1996). Dalam konteks bidang komunikasi di Indonesia maka sumberdaya yang berupa relasi koran, buku, audiens, pelaku bisnis media, pemerintah merupakan jalinan atau rangkaian produksi, distribusi dan konsumsi media di Indonesia. Rangkaian kekuasaan politik yang berarti kekuasaan untuk mengontrol dan rangkaian kekuasaan ekonomi yang berarti kekuasaan untuk tetap survive dalam hidup bersama. Dengan demikian rangkaian produksi, distribusi, konsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh hubungan yang melibatkan pelaku media, pemodal media (kapitalis media), dan negara sebagai penguasa dalam arti politis.

Persoalan yang menyangkut industri dan pasar media di Indonesia merupakan hubungan yang saling mengandaikan dengan tetap mengambil pola kapitalisme global sebagai sistem besar yang mengatur hubungan tersebut. Globalisasi media di Indonesia dalam sejarahnya yang panjang tetap tidak bisa dipisahkan dengan pola hubungan yang bersifat saling silang atau tarik ulur kepentingan antara pihak pelaku-pengelola media di mana di dalamnya ada aspek kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial pada masyarakat; pihak pemodal yang di dalamnya aspek orientasi pada keuntungan dan pihak negara di mana di dalamnya ada kewajiban serta hak pengaturan, kontrol-pembinaan media massa yang berkembang di Indonesia (Hidayat, Dedy. N., 2000; Dhakidae, 1991).

Hubungan tarik ulur pelaku ekonomi politik media Indonesia tidak bisa memisahkan diri dari konstelasi perkembangan teknologi dan dinamika kapitalisme global. Artinya, para pelaku ekonomi politik media Indonesia sangat diwarnai oleh pendekatan dinamis pembangunan bangsa sebagai wacana dan praksis publik. Padahal pembangunan sebagai wacana dan praksis publik Indonesia sampai sekarang masih berorientasi dengan bagaimana pembangunan menghasilkan pertumbuhan. Wacana dan praksis pertumbuhan dalam era modernitas diwakili secara gemilang oleh sistem ekonomi dan sosial kapitalisme lanjut yang bersifat neo-liberalistik.

Titik refleksi dan kaitan pemahaman atas pernyataan di atas adalah kondisi dan situasi globalisasi media diwarnai dengan soal konteks yang lebih sempit, yaitu bahwa globalisasi media di Indonesia ditunjang dengan kebijakan publik dan politik yang berkembang sampai sekarang. Bahwa Indonesia masih harus membentuk dirinya dalam situasi yang terus bertumbuh. Pertumbuhan Indonesia didukung dengan praksis ekonomi kapitalis global.

Tapi di lain pihak, terlihat bahwa media massa global sangat mewarnai perkembangan media di Indonesia Setidaknya bahwa media Indonesia sedikit banyak berwarna seragam dengan pola globalisasi yang berkembang Indonesia. Lepas apakah memang ada persoalan interplay­ antara globalisasi dengan proses lokal, kita melihat bahwa pola hubungan politik ekonomi global saling berjalan timbal balik dan saling tergantung sama lain, saling mentransformasikan nilai guna media di hadapan masyarakat (berbagai berita politik, ekonomi, gosip selebritis yang bisa diubah menjadi komoditas ekonomi yang laris), konsentrasi media secara horizontal, vertikal dan perusahan multinasional, misalnya Indosiar dalam Salim Group merupakan salah satu diversifikasi horizontal, vertikal dari kekuatan ekonomi pasar yang dikembangkan oleh Om Liem, kelompok Kompas-Gramedia yang mempunyai beberapa majalah, tabloid, koran-termasuk di dalam koran daerah, hotel, toko serba ada, tour travel agent, radio sonora, TV7 (Mosko, 1996; -Giddens, 1999).

Tentu saja contoh di atas adalah salah dua contoh yang bisa dikemukakan, masih ada banyak contoh yang bisa dilihat. Masalahnya adalah ketika proses globalisasi merambah masyarakat Indonesia tetap ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat.

Revolusi Media Global yang Harus Ditata

Ketika globalisasi media berikut revolusi industri media global merambah Indonesia, harga wajar yang harus dibayar masyakat dan sistem sosial Indonesia adalah ketergantungan pola komunikasi (Indonesia semakin tergantung dalam seluruh warna produksi media berikut asas filosofi dalam produksi dan distribusi media), imperialisme dan hegemoni informasi serta ketidakmampuan media masyarakat mengangkat ruang publik yang seharusnya menjadi media alternatif bagi aspirasi rakyat.

Adagium yang perlu disadari adalah bahwa harga yang harus dibayar tersebut mempunyai dua mata. Mata positif dalam arti bahwa harga tersebut tetap memberikan kontribusi yang baik bagi perubahan sosial di Indonesia. Mata negatif dalam arti bahwa harga tersebut justru menjerumuskan sistem sosial termasuk di dalamnya media massa Indonesia dalam lingkaran mesin besar kapitalisme yang bisa membuat sistem sosial berikut individu-individu masyarakat semakin “terasing” dengan budaya dan aspirasi kebenaran yang mau dicapai oleh manusia Indonesia.

Oleh sebab itu, revolusi dan globalisasi media perlu diatur dan dikontrol agar seluruh pemain, baik itu pelaku media, pemodal, masyarakat maupun negara tetap menjadi pihak-pihak yang proporsisional memainkan hak dan kewajibannya.

Dampak Globalisasi Media terhadap Hukum Nasional

Patut yang menjadi pertimbangan dalam soal bagaimana sistem ekonomi politik media yang di dalamnya mempunyai dinamika globalisasi media bisa diatur; adalah bahwa globalisasi media tidak bisa dikatakan bebas nilai dan bebas kepentingan, entah itu kepentingan ekonomi atau kepentingan politik. Masalah hukum atau penataan aturan main dalam media selalu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah budaya politik (berkaitan dengan demikian pada masalah kekuasaan dan kontrol), soal budaya (berkaitan dengan demikian pada masalah simbolisasi-komodifikasi-spasialisasi-strukturisasi) serta masalah perekonomian nasional (Muis, A., 2001: pp. 97-116).

Pengalaman Indonesia selama ini menyatakan bahwa hukum selalu berada di bawah kekuasaan politik. Hal ini mengakibatkan bahwa sering kali hukum Indonesia belum mampu menjadi alat yang adil bagi masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial-budaya. Impotensi hukum di hadapan masalah politik jelas akan menjadikan hukum semakin lemah di hadapan derasnya laju globalisasi informasi yang sering bersifat anti negara, anti individu, anti masyarakat, anti norma dan sebagainya.

Kenyataan di atas memperlihatkan betapa ketika kita mempunyai sistem hukum yang positif tapi tetap saja ketika sistem hukum tersebut berhadapan dengan masalah-masalah baru terutama dalam bidang komunikasi, gagaplah sistem hukum Indonesia (lihat saja pelanggaran dengan menggunakan internet atau media massa nir-kabel yang belum ditampung secara positif dalam hukum Indonesia, atau pelanggaran privasi individu sehingga gambar tubuh atau kepalanya bisa dimanipulasi sehingga menjadi gambar yang tidak senonoh, atau beberapa televisi yang menayangkan film-film dewasa pada waktu jam anak-anak masih bangun, atau konsep tabloid cetak porno yang secara sewenang-wenang bisa memberikan gambar semi-vulgar pada siapa saja yang melihat, termasuk pada anak-anak di bawah usia). Ini berarti memang hukum nasional di satu sisi kuat ketika dia bisa dipergunakan untuk kepentingan politik praktis. Tapi di sisi lain, terlihat hukum Indonesia masih “loyo” menanggapi fenomena globalisasi media. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa membangun regulasi yang bisa mengantisipasi dan mengontrol dampak negatif yang dihasilkan oleh globalisasi media ?

Regulasi Media Indonesia

Dalam konteks yang lebih luas ketika kita mau menjawab persoalan di atas adalah bahwa kita harus melihat secara jernih soal hakikat regulasi dalam konstelasi globalisasi media yang dialami. Pada tataran hakikat dapat dilihat bahwa regulasi media merupakan konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang diciptakan oleh manusia. Dalam hal ini, institusi yang berwenang membuat regulasi yang tetap adalah pemerintah.

Regulasi media harus dilihat sebagai satu keseluruhan permainan tiga aktor utama dari percaturan media massa terutama di Indonesia, yaitu pasar, masyarakat, dan negara. Hubungan antara tiga aktor utama itu bersifat mendua. Pertama, artinya bahwa hubungan yang baik ketika tiga aktor tersebut bisa menjalin hubungan yang harmonis dan saling mengisi. Kedua, artinya bahwa hubungan antara ketiga aktor tersebut ada pihak yang mendominasi pihak lain. Dalam kerangka pembuatan aturan main secara ekonomi politik fair dalam bidang media, maka dirasakan perlu untuk membentuk hubungan yang harmonis antara tiga aktor tersebut. Masalahnya institusi sah yang bisa mempunyai kekuasaan regulator adalah negara. Negara wajib dan berwenang untuk mengatur kebijakan media sehingga bisa mencapai fairness bagi semua pihak.

Konsekuensi kekuasaan politik dan ekonomi media yang dipunyai oleh negara juga tetap menjadi konsekuensi global, di mana di dalamnya ada seperangkat nilai yang mau ditawarkan. Fungsi negara menjadi sangat vital. Kiranya urgensi peran negara dalam pengaturan globalisasi media tetap diperlukan.

Perkembangan kapitalisme lanjut, seperti yang dikatakan oleh Habermas, juga tetap memerlukan negara sebagai faktor regulator yang menjamin kepentingan publik berikut kepentingan pasar. Masalah komunikasi antara publik, pasar dan negara merupakan wacana tersendiri dalam demokratisasi dan komunikasi politik yang rasional. Tidak terhindarkan peran negara dalam fungsi regulator karena selain bahwa negara mempunyai mandat kedaulatan publik, negara juga mempunyai aparat yang bisa membuat pemberlakuan efektif sebuah regulasi.

Operasionalisasi regulasi media yang dilakukan dalam konstelasi standarisasi nilai yang disepakati dan konteks politik ekonomi yang berkembang. Standarisasi norma dan pengaturan media menjadi point yang krusial. Hal itu disebabkan standarisasi norma dan pengaturan media memuat berbagai ragam kepentingan, pengaruh, ideologi sosial politik, praksis ekonomi. Kasus regulasi media di Indonesia memuat ragam kepentingan yang bercampur dalam seluruh interaksi saling mengandaikan antara pelaku/subjek pasar kapitalisme Indonesia yang sering bersifat erzats (kapitalisme semu karena fasilitas birokrasi), masyarakat Indonesia yang plural dan rentan disintegrasi, media massa Indonesia yang sering kali berperilaku jinak-jinak merpati tapi di lain waktu media Indonesia bisa bersifat seperti serigala yang bisa memangsa konsumennya sendiri, dan perilaku pemerintah yang masih mencari-cari identitas legitimasi sosial-etis atas rakyatnya sendiri.

Ragam kepentingan, ideologi, sistem sosial-budaya-ekonomi yang masuk dalam usaha regulasi media di Indonesia mempengaruhi arah dan objektivitas regulasi media di Indonesia.

Setidaknya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam regulasi dan globalisasi media di Indonesia. Pertama adalah masyarakat komunitas (society-publik). Pertanyaan kritis untuk memahami peran dan fungsi regulasi media, terutama dalam era globalisasi media, adalah sejauh mana regulasi media mampu melindungi, memberdayakan, memampukan masyarakat menjadi pihak yang mandiri dalam terpaan informasi media baik lokal, nasional maupun global ? Artinya apakah regulasi media di Indonesia mampu menciptakan dan membentuk ranah publik, komunitas atau media yang sensitif-akomodatif sehingga publik/masyarakat semakin bisa menyuarakan aspirasi secara efektif, bebas, sehat dan rasional ?

Kedua adalah pasar bisnis-industri media di Indonesia. Salah satu ciri globalisasi adalah desakan kuat atas bisnis internasional yang lintas batas teritorial negara, termasuk di dalamnya bisnis dan industri media. Terpaan sistem kapitalisme media global terniscayakan masuk dan media Indonesia masuk sistem besar kapitalisme media dunia. Kepentingan kapitalisme global adalah memperluas pasar media di seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Apalagi Indonesia mempunyai potensi pasar yang luar biasa, meskipun dalam 4-6 tahun mendatang Indonesia masih diperkirakan belum pulih dari depresi ekonomi yang dialami sejak tahun 1998. Faktor pasar ekonomi global dalam ekonomi Indonesia berkepentingan untuk menjadi tempat “selamat” para awak dan pelaku industri media di Indonesia. Jalinan relasi produksi, distribusi dan konsumsi media menjadi sangat jelas ketika praktek kapitalisasi media juga merasuk dan menjadi praktek para pelaku bisnis media yang dimulai sejak rejim Orde Baru sampai sekarang. Kontekstualisasi kapital media telah dilakukan oleh pebisnis Indonesia, tapi masih terbatas pada pelaku atau pemain media besar, seperti kelompok Kompas-Gramedia (menguasai bisnis media secara vertikal maupun horizontal), kelompok Media Indonesia, kelompok Indosiar, kelompok Suara Pembaruan dan sebagainya.

Pertanyaan kritis mengenai regulasi media di Indonesia yang berkaitan dengan pelaku kedua di atas adalah sejauh mana regulasi media memberikan jaminan dan penciptakan mekanisme pasar media yang sehat, kompetitif, fair, sehat dan rasional ?

Pemain ketiga dalam bahasan regulasi media yang sehat adalah pemerintah sendiri. Artinya pemerintah Indonesia diharapkan menjadi “wasit” sekaligus “fasilitator” yang baik bagi iklim perkembangan sosial-politik dan ekonomi media yang hidup di Indonesia. Sejarah media Indonesia menyatakan bahwa sering terjadi dominasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembicaraan media di Indonesia (Hidayat, Dedy. N., 2000: pp. 250-259). Tapi dalam era reformasi, pemerintah justru lemah di hadapan “kebebasan pers/media”. Kedudukan yang berubah-ubah yang dimiliki negara atau pemerintah cukup menyulitkan pihak-pihak yang concern terhadap kedewasaan media Indonesia untuk bersikap secara benar dan proporsisional. Apalah deras arus informasi global yang mengkoyak-koyak batas tradisional negara semakin menyulitkan kontrol publik atas mekanisme kapitalisme media global, yang diakui di atas, selalu mempunyai nilai ganda: nilai konstruktif dan nilai destruktif.

Maka pertanyaan kritis yang wajib diberikan dalam kerangka regulasi media adalah sejauh mana regulasi media yang dilakukan mampu membentuk pemerintah atau negara yang berwibawa yang mempunyai legitimasi sosial dan etis terhadap kekuatan publik dan pasar ?

Mencermati Proses Regulasi Media di Indonesia

Dari tiga pertanyaan kritis yang dikemukakan di atas, terlihat kebutuhan mendasar bahwa proses globalisasi media, terutama yang dialami di Indonesia, perlu mendapatkan perhatian yang serius – khususnya untuk usaha regulasi yang benar-benar akuntabel, kredibel, aspiratif dan rasional.

Menyimak sejarah dinamika dan perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat Indonesia, kita bisa menunjukkan bahwa regulasi media dalam konteks apapun belum menyentuk persoalan mendasar. Dari pola sejarah regulasi media Indonesia, kita bisa melihat bahwa media massa di Indonesia belum menjadi persoalan yang serius, terutama mengenai keterlibatan media dalam perubahan politik dan sosial di Indonesia.

Persoalan mendasar yang belum mendapat perhatian dalam setiap regulasi media adalah redefinisi dan rekonsensus makna media massa di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia sampai pada RUU penyiaran, belum ada rumusan yang tegas dan jelas lagi positif mengenai hakikat, filosofi media dalam perubahan sosial di Indonesia. Artinya, selama ini media massa hanya dilihat sebagai instrumen filosofi kebebasan berpendapat. Padahal dalam konteks globalisasi media sangat terlihat pada media massa menjadi kekuatan independen dinamis yang bisa memanfaatkan sistem nilai idealisasi kemanusiaan demi keuntungan ekonomi dan pasar bebas. Maka regulasi media Indonesia belum menyentuh adanya perubahan revolusioner makna dan perilaku media global (Muis, A., 2001).

Persoalan kedua adalah persoalan sentralisasi informasi baik itu yang bersifat lokal, nasional, regional, maupun global. Globalisasi media berikut industrinya pasti membawa konsekuensi adanya pemaknaan kembali sentralisasi informasi dan kebudayaan. Memang kaitan sentralisasi informasi kalau kita tarik garis lurus akan berakibat dalam soal imperialisme informasi-budaya. Sentralisasi informasi dalam globalisasi di satu pihak mencabut konteks lokal dan keberadaan manusia sebagai makhluk otonom. Pada akhirnya, akibat paling parah dari situasi sentralisasi informasi adalah terciptanya masyarakat yang apatis dengan proses politik yang berkembang. Ketika terjadi apatisme politis maka bisa dapat kita lihat kesadaran kritis macam apa yang hendak dibangun untuk manusia Indonesia.

Regulasi media di Indonesia belum mampu mengatur tayangan, liputan atau berita yang menstimulasi individualisme-hedonisme berlebihan. Maka dapat dikatakan bahwa regulasi media Indonesia belum mampu untuk mengeksplorasi secara utuh modal sosial (social capital) yang diperlukan untuk pengembangan masyarakat secara utuh.

Hal itu terjadi karena regulasi media di Indonesia belum mampu untuk merumuskan hubungan yang sehat antara pasar (kepentingan untuk mengembangkan faktor distribusi, produksi dan konsumsi), kepentingan publik (yang sering diterjemahkan dengan hak untuk mendapatkan informasi, hiburan dan pendidikan) serta regulasi yang mendasarinya. Kalau kita mencermati draft RUU penyiaran, UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, UU no 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, UU no 40 tahun 1999 tentang Pers ; kita tidak bisa melihat secara jelas hubungan yang komprehensif antara pasar, kepentingan publik. Maka kedudukan pasar, masyarakat dan negara yang tidak dirumuskan secara jelas akan menimbulkan interpretasi yang lentur atas makna pasar, masyarakat dan negara (Muis, A. 2000).

Persoalan ketiga adalah ketidakjelasan regulasi media dalam konteks ekonomi politik di Indonesia. Kedudukan sistem hukum, termasuk di dalamnya hukum media, di bawah sistem politik menjadi persoalan tersendiri. Pola globalisasi media mengekor dan berpenetrasi ke dalam sistem sosial negara tertentu dengan membawa fungsi ekonomi dan politik (Feintuck, Mike, 1998: pp.163-216). Jelas kedudukan hukum yang lemah (sampai sekarang) membuat impotensi berlebihan bagi penerapan dan antisipasi perkembangan media global dalam konteks Indonesia. Ketika ada persoalan kepemilikan silang yang dilakukan oleh beberapa elite sosial atau pemain besar dari kelompok media yang mapan dan didukung dengan kekuatan dana – backing politik yang cukup representatif maka bisa saja regulasi media yang disepakati menjadi buyar atau dilanggar begitu saja (lihat saja reaksi Surya Paloh ketika RUU penyiaran mengatur kepemilikan silang media, bagi Surya Paloh – regulasi tersebut justru dilihat sebagai penghambat demokrasi, padahal pada negara-negara paling liberal pun sistem kepemilikan silang itu sangat dibatasi dan menjadi konsensus publik – contoh kasus Ted Turner pada bendera “TIME” yang juga menguasai bisnis TV, information technology dengan mengakuisisi AOL – American On-Line)

Dari sekian kelemahan dan persoalan mendasar dalam regulasi media, tetap saja harus diakui bahwa gerak regulasi media Indonesia merupakan usaha tanggap tanda jaman para insan media mencermati perkembangan globalisasi media.

Nilai demokratisasi, transparansi menjadi titik tolok ukur bagaimana media harus diperlakukan sama seperti institusi demokrasi lainnya. Selain itu, media global ditantang untuk tidak hanya menawarkan pembusukan simbol tapi dengan tataran nilai akuntabilitas, kredibilitas; diharapkan media global khususnya Indonesia untuk menjadi tempat yang baik dan subur pengembangan masyarakat yang rasional dan informatif. Tentu saja, masyarakat yagn komunikatif, rasional dan informatif adalah masyarakat yang mampu memaksimalkan ranah privat dan publik secara sinergis.

Point-Point Ide dalam Pengembangan Regulasi Media di Indonesia

Perspektif politik ekonomi media adalah salah satu perspektif yang bisa dipakai untuk memberikan ide-ide pengembangan regulasi mengantisipasi globalisasi media di Indonesia yang sedang berkembang sampai sekarang.

Pendekatan political economy untuk kajian regulasi media menyiratkan bahwa ada hubungan yang erat antara kepemilikan media, pengawasan media, hubungan antara industri media dengan industri lain atau pada elite sosial lainnya. Di lain pihak, globalisasi media mempertegas posisi media sebagai instrumentalisasi komoditas (Schudson, 1992; Mosco, 1996). Padahal media massa sebagai agen kebudayaan sosial memuat peran yang tidak kecil, yaitu memecahkan nilai tradisional, promosi identitas nasional, disseminasi keahlian tertentu dan mempercepat ekspansi pendidikan formal serta pengembangan pendidikan. Itulah sebabnya pembahasan dan pembuatan regulasi media tidak bisa memisahkan diri dari perspektif politik ekonomi, justru karena media telah menjadi media independen untuk komodifikasi budaya, spasialisasi kehidupan sosial dan sebagainya. Di samping itu, perspektif politik ekonomi media juga harus mengikuti tren dan kajian modern mengenai media, kalau tidak mau ketinggalan fakta dan empiri yang sudah lebih maju. Perspektif politik ekonomi juga harus mulai memperhatikan soal virtuality dan simulacrum yang diciptakan oleh media baru seperti Internet (Braudillard, 1999)

Kedua adalah ide penguatan makna ruang dan kepentingan publik dalam regulasi media. Urgensi penguatan ruang dan kepentingan publik dalam regulasi media disebabkan oleh kemendesakan peran dan fungsi sosial publik sebagai pemegang kedaulatan yang utuh dan transparan. Ruang publik merupakan tempat atau ruang di mana rakyat dengan sengaja meluangkan waktu membicarakan peristiwa sehari-hari dan unsur dialog tersebut penting bagi pengembangan demokrasi (Frazer, Nancy, 1993). Ruang publik adalah tempat di mana setiap warga secara bebas terlibat dalam wacana realitas sosial yang mengontrol negara dan pasar. Fungsi media adalah untuk menjembatani dan menjadi wacana bebas bagi publik. Ruang publik adalah tempat di mana ada ruang untuk media menyebarkan informasi fakta yang diperlukan untuk pemenuhan, penentuan sikap baik sikap sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Regulasi globalisasi media seharusnya mampu menemukan ruang publik yang lebih luas dan bertambah luas. Artinya regulasi media juga menciptakan ruang demokrasi dengan mendorong dan menstimulasi media komunitas (community media) yang membawa aspirasi original masyarakat komunitas tersebut. Dalam RUU penyiaran, hal itu memang diatur tapi masalahnya lembaga penyiaran komunitas yang diatur dalam RUU tersebut tidak secara eksplisit mampu dengan mandiri, swasembada, self-regulatory menjadi alat penguatan masyarakat (lihat RUU penyiaran ps 18). Kemampuan masyarakat untuk menyediakan informasi alternatif di samping terpaan arus informasi yang begitu dahsyat membawa dampak penting bagi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sebagai civil society.

Secara umum regulasi media di Indonesia masih mempunyai kesan mentalitas free of…..(bebas dari) belum menjadi paradigma kebebasan untuk. Termasuk juga dalam soal arus pengadaan media komunitas sebagai sarana perkuatan basis modal sosial (social capital) setiap komunitas masyarakat Indonesia.

Sebuah media yang menjadi ruang publik mengandaikan media yang harus ditata dan profesional sehingga bisa menjadi saran yang menjamin berlangsungnya tindakan dan refleksi. Media komunitas, baik cetak maupun elekronik diharapkan mampu berfungsi secara maksimal.

Ketiga, regulasi media perlu juga memuat beberapa masalah lentur teknologistik-ekonomis yang belum terprediksi secara jelas. Soal kepemilikan silang, apabila tidak diatur secara jelas maka akan mengakibatkan sistem monopoli opini yang membahayakan konsep refleksi diri dan sosial masyarakat (bdk bab 2 pasa 5 point g – RUU penyiaran). Masalah redefinisi dunia cyber yang berkembang di Indonesia. Kejahatan-kejahatan baru melalu internet belum mendapat perhatian yang lebih dari para pelaku media (berkaitan dengan masalah modifikasi, spasialisasi, revolusi konsep ruang-waktu dalam berkomunikasi, soal etik kekayaan intelektual yang mudah dicuri dan digandakan secara massal dan sebagainya).

DISKUSI LANJUTAN

Adalah menarik kalau kita mencoba membicarakan proses regulasi media di Indonesia. Apa sebabnya ? Karena Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses globalisasi media berikut industrinya. Ada kelebihan tapi ada juga kelemahan yang perlu dikritisi, ketika kita melihat globalisasi dan regulasi yang harus menyertainya.

Regulasi media jelas harus memperhatikan globalisasi media dalam konteks yang lebih luas dalam arti bahwa media bukan sekadar menjadi komoditas saja tapi juga sudah menjadi media independen pencipta komoditas dan simbol.

Regulasi media harus jelas mengangkat pemberdayaan dan keseimbangan hubungan antara pasar, negara dan masyarakat. Keseimbangan dan harmonisasi ketiga pelaku dan aktor ekonomi politik media perlu diperhatikan.

Regulasi media harus mampu meredistribusikan arus informasi global dalam konteks dan aras dasar pemikiran lokal. Point desentralisasi media informasi diharapkan menjadi point penting pemberdayaan masyarakat dari bahaya imperialisme budaya global. Diharapkan melalui regulasi media didapatkan suatu kondisi dan situasi yang cerdas di mana komunitas semakin swamandiri, swasembada, sukarela terlibat dalam urusan bersama untuk membangun demokratisasi yang lebih baik dan rasional.

Kiranya beberapa point di atas ini menjadi point diskusi yang lebih mendalam lagi ketika kita mau membangun regulasi media Indonesia yang tanggap, tanggon dan tangguh diterpa arus globalisasi media sekarang.

Kepentingan Modal atas Regulasi Media

Pada awal pembahasan revisi UU Penyiaran, fokus keberatan banyak pihak banyak tertuju pada soal peran dominan negara yang dikhawatirkan kembali lewat kelembagaan KPI. Sejumlah peran yang dibawakan oleh KPI sebagaimana disusun dalam draft UU Penyiaran versi DPR, mendapat banyak kritik dari berbagai kelompok, misalnya soal pemberian ijin penyiaran, otoritas untuk mencabut ijin penyiaran, posisi sebagai pembina dan pengontrol isi siaran.

Penolakan atas masalah kepemilikan silang baru mencuat ketika draft ini beredar di masyarakat dan segera saja berbagai kelompok ad hoc dibentuk dan merespon pembatasan yang direncanakan dalam UU yang akan datang tersebut. Sebagai reaksi, kemudian sejumlah kelompok industriawan penyiaran seperti ATVSI, dan Komteve menyiapkan draft RUU tandingan yang membela kepentingan televisi swasta. Mereka menginginkan bahwa televisi swasta menjadi independen dan tidak lagi dicampuri oleh intervensi pemerintah.

Yang mengherankan adalah posisi yang dibawakan oleh SPS yang kemudian membentuk kelompok kerja MPPI, yang tergolong berada paling depan dalam mengusulkan revisi UU Penyiaran ini. SPS yang di masa Orde Baru menjadi bagian dari alat represi politik Orde Baru, tiba-tiba saja menjelma menjadi pembela kebebasan pers paling depan.

Dalam kesempatan yang lain, Ketua PRSSNI, M. Taufik, menyebutkan bahwa RUU Penyiaran yang dibuat oleh DPR sebagai bentuk pengkhianatan atas agenda Reformasi, karena cenderung membatasi ruang gerak media elektronik dalam memberikan informasi kepada pemirsanya.

MPPI misalnya dalam salah satu rilisnya menyatakan bahwa larangan kepemilikan silang yang diatur dalam RUU versi DPR menunjukkan anggota DPR kurang paham terhadap perkembangan konvergensi teknologi yang menjadi andalan media massa untuk bertahan hidup.

SPS yang memback-up MPPI secara penuh lebih memperjelas posisi dan pendapatnya dalam perdebatan ini. Dalam salah satu terbitan internalnya, SPS mengemukakan pandangannya demikian:

Salah satu alibi yang mengemuka dari para penggagas RUU Penyiaran, khususnya anggota Pansus DPR RI ikhwal pencantuman pelarangan kepemilikan silang media massa, tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pemusatan kekuatan media pada satu tangan pemilik modal tertentu. Jika pemusatan kepemilikan ini terjadi, dikhawatirkan akan memunculkan penciptaan monopoli informasi, dan ujungnya berakibat pada terjadinya monopoli kebenaran.

Sungguhkah sedemikian gawatnya implikasi kebenaran silang itu bakal berlangsung? Agaknya masih terlalu dini jika dikatakan tesis itu bakal terjadi sepenuhnya. Betapa tidak, jika untuk menciptakan monopoli informasi saja, misalnya, sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa bagi media. Apalagi jika Cuma dua atau tiga media. Belum lagi, bila media-media tersebut bukan pemimpin pasar di kategori masing-masing…

Pada sisi lain yang sejajar, masyarakat dewasa ini telah menikmati apa yang sebelumnya sulit diperoleh selama masa rezim Orde Baru berkuasa – demokratisasi pilihan atas media. Ini tentu saja selaras dengan asas mekanisme pasar yang – dimanapun juga – selalu menguntit sukses dan keberhasilan bisnis sebuah media. Hanya media yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat saja yang bisa bertahan di pasar. Itulah sebabnya, alih-alih menciptakan monopoli informasi, sebaliknya malah ditinggalkan konsumen lantaran pemberitaannya yang tak mau mengikuti selera pasar…

Sudah jelas bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh pihak SPS mewakili kepentingan modal, karena hal yang berkait dengan masalah monopoli informasi – seberapa pun sumirnya klaim ini – tidak bisa mengingkari kondisi bahwa dengan perkembangan konglomerasi media, sebenarnya pilihan menjadi lebih sedikit dan cenderung menawarkan hal yang sama saja, menawarkan konsumerisme, tanpa membangkitkan daya kritis kepada masyarakat. Apakah itu monopoli ataupun oligopoly, keduanya cenderung membawa kondisi demikian dalam sajian medianya.

Dan argumen yang menyerahkan sepenuhnya kondisi yang ada kepada pasar, bukanlah suatu argumentasi yang juga mengesankan, karena itu mengasumsikan adanya suatu konsep pasar sebagai hal yang netral, yang menjadi wasit yang adil bagi perkembangan industri yang ada, padahal yang ada adalah pasar yang dibentuk oleh kelompok tertentu, dengan menyertakan aktor-aktor tertentu di dalamnya dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu pula.

Belakangan ATVSI mendesak Pansus DPR untuk menghapus pasal yang melarang kepemilikan silang media. Dalam rilis yang disebarkan, disebutkan alasan mereka bahwa jika kepemilikan silang dilarang, Indonesia akan diterobos oleh siaran dari luar dan dengan sendirinya akan kalah bersaing.

Keberatan lain juga dikemukakan oleh PPPI yaitu asosiasi perusahaan periklanan di Indonesia yang khawatir dengan banyak butir dalam RUU penyiaran yang mengancam kehidupan industri periklanan, karena misalnya di dalam RUU Penyiaran diharapkan asosiasi periklanan memperbaharui kode etik mereka setiap tiga tahun, dan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan disamakan dengan hukum pidana.

Kelompok-kelompok yang mengritik RUU Penyiaran versi DPR juga menggunakan argumentasi soal “kebebasan pers”, “pengkhianatan terhadap reformasi”, dan “sinergi dalam industri media” sebagai alasan mereka untuk menolak pelarangan kepemilikan silang dalam industri media. Sumber argumentasi tentang sinergi dalam industri media, rupanya berujung pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh World Association of Newspaper (WAN) meeting di Brazil tahun 2000. Namun tak banyak kelompok mencoba mengejar lebih jauh argumentasi tersebut.

Implikasi RUU Penyiaran ini terhadap para pekerja industri media, belum banyak dikemukakan, yang lebih banyak muncul adalah argumentasi yang dikeluarkan oleh para pemilik media. Di sini menjadi penting untuk mengamati secara cermat, siapa bicara apa, karena bagaimanapun juga posisi struktural (dalam hal kepemilikan modal; antara pemilik modal dan kelompok pekerja) membedakan kepentingan yang dibawakannya. Apakah betul jika kepentingan pemilik media yang diakomodir, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan para pekerja media? Ilustrasi tentang hal ini menjadi sangat jelas dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh SCTV terhadap Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia, dengan Djoko Susilo, anggota DPR dari Komisi I, ketika Metro TV meluncurkan siaran pertamanya.

Dilema regulasi media di Indonesia terletak pada bentuk kasar yang dilakukan oleh Negara dalam mengontrol isi, kepemilikan dan mati hidupnya media, telah membuat banyak kalangan terlena dan trauma dengan besarnya kekuasaan negara, namun lupa bahwa kekuasaan modal memiliki kekuatan yang tak kalah dashyat, bahkan mungkin lebih dashyat daripada kekuasaan negara itu sendiri. Kekuasaan modal bisa berkolaborasi dengan jenis kekuasaan macam pun dan jenis kapitalis apapun.

Menentang intervensi negara dalam industri media adalah salah satu hal, namun memberikan fungsi baru kepada negara (dalam hal menjadi regulatory body) adalah hal yang lain lagi. Dan pada titik inilah juga persoalannya luput dibahas dalam perdebatan RUU Penyiaran itu. Ada tendensi yang sangat besar untuk seekstrim mungkin untuk menentang fungsi apapun dari negara, bahkan jika mungkin direduksi ke titik nol sekalipun. Padahal masalahnya bukan cuma soal intervensi negara dalam industri media, tapi juga mentransformasi peran baru dari negara, dari yang pengatur segalanya, menjadi pengatur untuk kepentingan publik. Kira-kira semacam peran yang dilakukan di negeri-negeri yang menganut system welfare state.

Dan yang patut dilihat secara cermat adalah kecerdikan kelompok pemodal untuk menutupi kepentingan ekspansi modal mereka dengan jargon-jargon yang seolah-olah membela kebebasan pers, membela akses masyarakat terhadap informasi, hingga membela proses reformasi dan demokratisasi.

Bagaimana mengontrol Modal?

Di sinilah dilema terbesar yang akan dihadapi oleh negara-negara yang mengalami situasi transisional, dimana kekuatan negara mulai terpecah atau bahkan diganti secara keseluruhan, namun di sisi lain kekuatan modal lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, dan bahkan dengan sangat mudah beradaptasi dengan kekuasaan baru, dan praktis kekuatan modal tidak memiliki jaringan birokrasi yang seluas birokrasi negara, yang memudahkan kekuatan modal untuk mengontrolnya, apakah mereka akan bisa berjalan bersama dengan pemerintahan baru, ataukah mereka akan mencari tempat lain dimana kekuatan negara bisa bekerjasama dengannya.

Dalam situasi globalisasi, hal ini menjadi sangat dimungkinkan, dimana pergerakan capital menjadi sangat mudah dan khusus dalam situasi seperti di Indonesia, ada kelompok pengusaha yang diuntungkan dengan situasi yang berubah dan ada pula pengusaha yang tidak diuntungkan. Industri media termasuk salah satu yang mengalami keberuntungan dengan perubahan situasi ini karena dengan deregulasi dan liberalisasi yang terjadi dalam sector media, maka mereka segera menjadi kapitalis-kapitalis baru atau semakin memperkuat posisi mereka untuk tumbuh di Indonesia.

Jika dalam situasi transisional jaman Orde Reformasi ini, maka Negara bukan lagi satu-satu penentu kebijakan ekonomi politik dan social di negeri ini, dan mereka walaupun masih memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan, mau tak mau harus berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak lain, apakah itu kelompok masyarakat sipil, militer ataupun kalangan pengusaha. Dan di sinilah konteks yang penting ketika bicara soal perdebatan RUU Penyiaran yang ada saat ini.

Di satu sisi memang hal tentang monopoli informasi adalah hal yang masih banyak diperdebatkan, namun memiliki 100 buah penerbitan di 30 buah propinsi di Indonesia, bukanlah pertanda yang sehat untuk perkembangan industri media yang lebih beragam dan membuka pilihan yang lebih baca kepada konsumen.

Kelompok media besar pun cenderung bungkam atas isu ini, dan perdebatan soal kepemilikan silang ini nyaris luput dari perhatian, dan energi banyak dihabiskan untuk membahas situasi dilematis dari KPI. Kelompok Kompas misalnya, cenderung diam terhadap isu kepemilikan silang ini namun di sisi lain, tahu-tahu Kompas mengumumkan bahwa mereka meluncurkan televisi, TV 7.

Persoalan modal memang merupakan persoalan yang cukup pelik, karena hal ini cenderung diabaikan dalam berbagai literatur soal demokrasi. Problem demokrasi lebih banyak berurusan dengan kondisi represif negara terhadap warganya dan berbagai usaha untuk mendobrak dominasi tersebut. Namun apa yang terjadi dengan perkembangan modal dan bagaimana ia pun menelikung berbagai problem lain, jarang diberikan perhatian secara proporsional.

Kasus yang ditunjukkan di atas barulah bicara dalam tataran kepentingan modal ‘lokal’ dan belum lagi bicara dalam konteks modal ‘global’ yang masuk dalam industri media di Indonesia, dengan segala sifatnya yang tidak mengenal batas wilayah, capital yang sangat mobile, dan juga capital yang bisa mempengaruhi factor-faktor kehidupan dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.

Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk mengenal karakter modal dan bagaimana dilematisnya posisi soal modal dalam industri media ini, terutama dalam situasi masyarakat post-authoritarian (atau kondisi yang akan kembali menjadi authoritarian?). Setidaknya kasus ini hendak memberikan suatu ilustrasi bahwa problem kebebasan pers, bukan semata-mata bagaimana ia bisa bernegosiasi dengan kekuasaan negara yang represif, tapi juga ia harus berhadapan dengan kepentingan pemilik modal, karena bagaimana pun juga industri media lain dengan industri-industri lainnya, berurusan dengan soal pembentukan citra yang dimediasi lewat media-media yang ada. Lalu implikasinya kepada para pekerja media, pada kehidupan masyarakat luas dan lain-lain, masih harus diselidiki lebih jauh. Di sini mungkin kita perlu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain ketika menghadapi problem serupa, bagaimana kemudian bentuk respon yang dilakukan. Dan terakhir, bagaimana pun juga, konfigurasi politik dari pemerintahan transisional ini juga juga perlu dipertimbangkan untuk memahami secara spesifik problem yang dihadapi ini, suatu masyarakat yang baru lepas dari situasi authoritarian, mengalami kebebasan dalam waktu sejenak, namun bisa jadi akan kembali terjebak dalam situasi yang lama. (*)


DAFTAR PUSTAKA

Boyd-Barret, 1977, “Media Imperialism:Towards an International Framework for The Analysis of Media System” dalam Curran-Gurevitch, pp.116-143.

Curran and Gurevitch (eds), 1991, Mass Media and Society, London:Edward Arnold.

Feintuck, Mike, 1998, Media Regulation, Public Interest, and The Law, London:Edinburg University Press

Gibbons, Thomas, 1998, Regulating Media, London:Sweet & Maxwell

Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama

Muis, A., 2001, Indonesia di Era Dunia Maya: Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Bandung

Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, London:Sage Publications

Pattyn, Bart, 2000, Media Ethics; Opening Social Dialogue, Belgium:Peeters

Schiller, Herbert, 1997, “Whose New International Economics and Information Order”, in Golding, Peter (eds), The Political Economy of The Media, Brookfield:Edward Elgar Publishing.

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here