REGULASI DAN GLOBALISASI MEDIA:
tarik ulur globalisasi media vs kepentingan publik di
(refleksi perspektif etis regulasi media
- A.G. Eka Wenats Wuryanta-
Situasi sebagian besar media
Ketika
Tapi yang jelas, telah terjadi perubahan iklim ketidakbebasan menjadi kebebasan yang sempat “dirayakan” oleh para pelaku industri media di
Masalahnya, dari sekian perubahan sosial politik dalam negeri yang sempat mengubah iklim kebebasan media,
Perubahan yang signifikan dalam bidang komunikasi-informasi global yang berpengaruh pada perubahan sosial manusia
DAMPAK GLOBALISASI MEDIA
Kalau kita tarik garis umum dampak globalisasi media pada tata sosial masyarakat
Beberapa dampak negatif yang perlu dieksplorasi dalam diskusi ini adalah: pertama, gejala globalisasi media
Kedua, kebijakan media global. Setidaknya ada dua dimensi dalam kebijakan media global, yaitu kebijakan internal (editorial) yang bersifat horizontal dan kebijakan politik-ideologi pelaku media yang bersifat vertikal. Dalam perkembangan kapitalisme global tidak jarang kedua dimensi tersebut saling bertabrakan kepentingan. Tarik ulur kebijakan politik-ideologi yang dipunyai oleh pelaku media terkait dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pada saatnya, kebijakan-kebijakan publik tersebut saling silang dengan kepentingan dan kebijakan pelaku media dalam konteks industri media yang mereka buat. Perbenturan kepentingan antara kebijakan internal dan eksternal yang ada dalam konteks budaya komunikasi di
Memang, kebebasan media
Ketiga, globalisasi media
Tahapan konsentrasi sistem kepemilikan, pola produksi dan distribusi, kebijakan internal media global (yang sering diwakili oleh media negara maju) akan menimbulkan tekanan yang berupa potensi teknologi baru dan konsentrasi ekonomi yang semakin memusat pada pelaku media besar (Graham-Golding, dalam Curran-Gurevitch “Mass Media and Society, 1991: pp.15-30). Lihat bagaimana Metro TV merujuk media besar CNN untuk liputan peristiwa WTC 11 September 2001 atau Indosiar yang merujuk VOA TV, atau beberapa radio FM Jakarta yang mempunyai jaringan radio lokal daerah dengan merujuk radio BBC London-Voice of Amerika untuk El Shinta FM 90,05 atau Deutsche Welle untuk Jakarta News FM, dan sebagainya.
Tahapan konsentrasi dominasi sistem komunikasi global ini melahirkan apa yang dinamakan dengan imperialisme budaya global. Setidaknya dalam refleksi ilmiah, fenomena imperialisme budaya terutama yang sekarang kita alami mempunyai dua sifat yang saling terkait satu sama lain. Yang pertama soal sifat satu-arah dari aliran media internasional, di mana aliran besar dipasok dari ciri, visi, opini produk media negara maju. Sementara sifat yang lain terlihat bahwa proses pengaruh dalam sejumlah kecil negara berkembang memperhitungkan substansi pengaruh media internasional.
Keempat, timbulnya masalah bagaimana sistem sosial dan hukum nasional mewadahi berbagai ragam kepentingan yang masuk dan terpenetrasi secara ideal maupun nilai yang ditawarkan oleh media global. Artinya bahwa informasi pasar global yang diwujudkan dalam ide-ide komunikasi sosial masuk ke negara-negara berkembang tanpa melalui sensor yang diperlukan. Konsekuensi logis globalisasi yang bersifat borderless society mengakibatkan penetrasi tanpa batas tanpa perlu mengindahkan kedaulatan negara, masyarakat, dan individu.
Kelima, akibat point keempat dapat terlihat dengan munculnya berbagai masalah terutama pada masalah etis produksi, distribusi dan konsumsi isi media yang berisi tentang bagaimana hak privasi dapat dilindungi ketika hak tersebut berbenturan dengan hak publik untuk mengetahui. Ini berarti bahwa dampak negatif dari globalisasi media tidak hanya berhenti pada tataran sosial-kolektif tapi juga pada tataran individual.
Keenam, munculnya masalah sumber manusia yang menjadi pelaku media. Ketika media global masuk ke sebuah negara, dalam hal ini
DISKUSI MASALAH DAMPAK GLOBALISASI MEDIA
Pola Interaksi Globalisasi Media
Dari beberapa point menyolok dari dampak globalisasi media yang dialami oleh negara berkembang dan
Pertama soal perspektif ekonomi politik yang melingkupi soal media di
Persoalan yang menyangkut industri dan pasar media di
Hubungan tarik ulur pelaku ekonomi politik media
Titik refleksi dan kaitan pemahaman atas pernyataan di atas adalah kondisi dan situasi globalisasi media diwarnai dengan soal konteks yang lebih sempit, yaitu bahwa globalisasi media di
Tapi di lain pihak, terlihat bahwa media
Tentu saja contoh di atas adalah salah dua contoh yang bisa dikemukakan, masih ada banyak contoh yang bisa dilihat. Masalahnya adalah ketika proses globalisasi merambah masyarakat
Revolusi Media Global yang Harus Ditata
Ketika globalisasi media berikut revolusi industri media global merambah Indonesia, harga wajar yang harus dibayar masyakat dan sistem sosial Indonesia adalah ketergantungan pola komunikasi (Indonesia semakin tergantung dalam seluruh warna produksi media berikut asas filosofi dalam produksi dan distribusi media), imperialisme dan hegemoni informasi serta ketidakmampuan media masyarakat mengangkat ruang publik yang seharusnya menjadi media alternatif bagi aspirasi rakyat.
Adagium yang perlu disadari adalah bahwa harga yang harus dibayar tersebut mempunyai dua mata. Mata positif dalam arti bahwa harga tersebut tetap memberikan kontribusi yang baik bagi perubahan sosial di
Oleh sebab itu, revolusi dan globalisasi media perlu diatur dan dikontrol agar seluruh pemain, baik itu pelaku media, pemodal, masyarakat maupun negara tetap menjadi pihak-pihak yang proporsisional memainkan hak dan kewajibannya.
Dampak Globalisasi Media terhadap Hukum Nasional
Patut yang menjadi pertimbangan dalam soal bagaimana sistem ekonomi politik media yang di dalamnya mempunyai dinamika globalisasi media bisa diatur; adalah bahwa globalisasi media tidak bisa dikatakan bebas nilai dan bebas kepentingan, entah itu kepentingan ekonomi atau kepentingan politik. Masalah hukum atau penataan aturan main dalam media selalu mempunyai hubungan yang erat dengan masalah budaya politik (berkaitan dengan demikian pada masalah kekuasaan dan kontrol), soal budaya (berkaitan dengan demikian pada masalah simbolisasi-komodifikasi-spasialisasi-strukturisasi) serta masalah perekonomian nasional (Muis, A., 2001: pp. 97-116).
Pengalaman
Kenyataan di atas memperlihatkan betapa ketika kita mempunyai sistem hukum yang positif tapi tetap saja ketika sistem hukum tersebut berhadapan dengan masalah-masalah baru terutama dalam bidang komunikasi, gagaplah sistem hukum Indonesia (lihat saja pelanggaran dengan menggunakan internet atau media massa nir-kabel yang belum ditampung secara positif dalam hukum Indonesia, atau pelanggaran privasi individu sehingga gambar tubuh atau kepalanya bisa dimanipulasi sehingga menjadi gambar yang tidak senonoh, atau beberapa televisi yang menayangkan film-film dewasa pada waktu jam anak-anak masih bangun, atau konsep tabloid cetak porno yang secara sewenang-wenang bisa memberikan gambar semi-vulgar pada siapa saja yang melihat, termasuk pada anak-anak di bawah usia). Ini berarti memang hukum nasional di satu sisi kuat ketika dia bisa dipergunakan untuk kepentingan politik praktis. Tapi di sisi lain, terlihat hukum
Regulasi Media
Dalam konteks yang lebih luas ketika kita mau menjawab persoalan di atas adalah bahwa kita harus melihat secara jernih soal hakikat regulasi dalam konstelasi globalisasi media yang dialami. Pada tataran hakikat dapat dilihat bahwa regulasi media merupakan konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang diciptakan oleh manusia. Dalam hal ini, institusi yang berwenang membuat regulasi yang tetap adalah pemerintah.
Regulasi media harus dilihat sebagai satu keseluruhan permainan tiga aktor utama dari percaturan media
Konsekuensi kekuasaan politik dan ekonomi media yang dipunyai oleh negara juga tetap menjadi konsekuensi global, di mana di dalamnya ada seperangkat nilai yang mau ditawarkan. Fungsi negara menjadi sangat vital. Kiranya urgensi peran negara dalam pengaturan globalisasi media tetap diperlukan.
Perkembangan kapitalisme lanjut, seperti yang dikatakan oleh Habermas, juga tetap memerlukan negara sebagai faktor regulator yang menjamin kepentingan publik berikut kepentingan pasar. Masalah komunikasi antara publik, pasar dan negara merupakan wacana tersendiri dalam demokratisasi dan komunikasi politik yang rasional. Tidak terhindarkan peran negara dalam fungsi regulator karena selain bahwa negara mempunyai mandat kedaulatan publik, negara juga mempunyai aparat yang bisa membuat pemberlakuan efektif sebuah regulasi.
Operasionalisasi regulasi media yang dilakukan dalam konstelasi standarisasi nilai yang disepakati dan konteks politik ekonomi yang berkembang. Standarisasi norma dan pengaturan media menjadi point yang krusial. Hal itu disebabkan standarisasi norma dan pengaturan media memuat berbagai ragam kepentingan, pengaruh, ideologi sosial politik, praksis ekonomi. Kasus regulasi media di Indonesia memuat ragam kepentingan yang bercampur dalam seluruh interaksi saling mengandaikan antara pelaku/subjek pasar kapitalisme Indonesia yang sering bersifat erzats (kapitalisme semu karena fasilitas birokrasi), masyarakat Indonesia yang plural dan rentan disintegrasi, media massa Indonesia yang sering kali berperilaku jinak-jinak merpati tapi di lain waktu media Indonesia bisa bersifat seperti serigala yang bisa memangsa konsumennya sendiri, dan perilaku pemerintah yang masih mencari-cari identitas legitimasi sosial-etis atas rakyatnya sendiri.
Ragam kepentingan, ideologi, sistem sosial-budaya-ekonomi yang masuk dalam usaha regulasi media di
Setidaknya ada tiga pihak yang berkepentingan dalam regulasi dan globalisasi media di
Kedua adalah pasar bisnis-industri media di
Pertanyaan kritis mengenai regulasi media di
Pemain ketiga dalam bahasan regulasi media yang sehat adalah pemerintah sendiri. Artinya pemerintah Indonesia diharapkan menjadi “wasit” sekaligus “fasilitator” yang baik bagi iklim perkembangan sosial-politik dan ekonomi media yang hidup di Indonesia. Sejarah media
Maka pertanyaan kritis yang wajib diberikan dalam kerangka regulasi media adalah sejauh mana regulasi media yang dilakukan mampu membentuk pemerintah atau negara yang berwibawa yang mempunyai legitimasi sosial dan etis terhadap kekuatan publik dan pasar ?
Mencermati Proses Regulasi Media di Indonesia
Dari tiga pertanyaan kritis yang dikemukakan di atas, terlihat kebutuhan mendasar bahwa proses globalisasi media, terutama yang dialami di
Menyimak sejarah dinamika dan perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat
Persoalan mendasar yang belum mendapat perhatian dalam setiap regulasi media adalah redefinisi dan rekonsensus makna media
Persoalan kedua adalah persoalan sentralisasi informasi baik itu yang bersifat lokal, nasional, regional, maupun global. Globalisasi media berikut industrinya pasti membawa konsekuensi adanya pemaknaan kembali sentralisasi informasi dan kebudayaan. Memang kaitan sentralisasi informasi kalau kita tarik garis lurus akan berakibat dalam soal imperialisme informasi-budaya. Sentralisasi informasi dalam globalisasi di satu pihak mencabut konteks lokal dan keberadaan manusia sebagai makhluk otonom. Pada akhirnya, akibat paling parah dari situasi sentralisasi informasi adalah terciptanya masyarakat yang apatis dengan proses politik yang berkembang. Ketika terjadi apatisme politis maka bisa dapat kita lihat kesadaran kritis macam apa yang hendak dibangun untuk manusia
Regulasi media di
Hal itu terjadi karena regulasi media di
Persoalan ketiga adalah ketidakjelasan regulasi media dalam konteks ekonomi politik di Indonesia. Kedudukan sistem hukum, termasuk di dalamnya hukum media, di bawah sistem politik menjadi persoalan tersendiri. Pola globalisasi media mengekor dan berpenetrasi ke dalam sistem sosial negara tertentu dengan membawa fungsi ekonomi dan politik (Feintuck, Mike, 1998: pp.163-216). Jelas kedudukan hukum yang lemah (sampai sekarang) membuat impotensi berlebihan bagi penerapan dan antisipasi perkembangan media global dalam konteks Indonesia. Ketika ada persoalan kepemilikan silang yang dilakukan oleh beberapa elite sosial atau pemain besar dari kelompok media yang mapan dan didukung dengan kekuatan dana – backing politik yang cukup representatif maka bisa saja regulasi media yang disepakati menjadi buyar atau dilanggar begitu saja (lihat saja reaksi Surya Paloh ketika RUU penyiaran mengatur kepemilikan silang media, bagi Surya Paloh – regulasi tersebut justru dilihat sebagai penghambat demokrasi, padahal pada negara-negara paling liberal pun sistem kepemilikan silang itu sangat dibatasi dan menjadi konsensus publik – contoh kasus Ted Turner pada bendera “TIME” yang juga menguasai bisnis TV, information technology dengan mengakuisisi AOL – American On-Line)
Dari sekian kelemahan dan persoalan mendasar dalam regulasi media, tetap saja harus diakui bahwa gerak regulasi media Indonesia merupakan usaha tanggap tanda jaman para insan media mencermati perkembangan globalisasi media.
Nilai demokratisasi, transparansi menjadi titik tolok ukur bagaimana media harus diperlakukan sama seperti institusi demokrasi lainnya. Selain itu, media global ditantang untuk tidak hanya menawarkan pembusukan simbol tapi dengan tataran nilai akuntabilitas, kredibilitas; diharapkan media global khususnya Indonesia untuk menjadi tempat yang baik dan subur pengembangan masyarakat yang rasional dan informatif. Tentu saja, masyarakat yagn komunikatif, rasional dan informatif adalah masyarakat yang mampu memaksimalkan ranah privat dan publik secara sinergis.
Point-Point Ide dalam Pengembangan Regulasi Media di Indonesia
Perspektif politik ekonomi media adalah salah satu perspektif yang bisa dipakai untuk memberikan ide-ide pengembangan regulasi mengantisipasi globalisasi media di Indonesia yang sedang berkembang sampai sekarang.
Pendekatan political economy untuk kajian regulasi media menyiratkan bahwa ada hubungan yang erat antara kepemilikan media, pengawasan media, hubungan antara industri media dengan industri lain atau pada elite sosial lainnya. Di lain pihak, globalisasi media mempertegas posisi media sebagai instrumentalisasi komoditas (Schudson, 1992; Mosco, 1996). Padahal media massa sebagai agen kebudayaan sosial memuat peran yang tidak kecil, yaitu memecahkan nilai tradisional, promosi identitas nasional, disseminasi keahlian tertentu dan mempercepat ekspansi pendidikan formal serta pengembangan pendidikan. Itulah sebabnya pembahasan dan pembuatan regulasi media tidak bisa memisahkan diri dari perspektif politik ekonomi, justru karena media telah menjadi media independen untuk komodifikasi budaya, spasialisasi kehidupan sosial dan sebagainya. Di samping itu, perspektif politik ekonomi media juga harus mengikuti tren dan kajian modern mengenai media, kalau tidak mau ketinggalan fakta dan empiri yang sudah lebih maju. Perspektif politik ekonomi juga harus mulai memperhatikan soal virtuality dan simulacrum yang diciptakan oleh media baru seperti Internet (Braudillard, 1999)
Kedua adalah ide penguatan makna ruang dan kepentingan publik dalam regulasi media. Urgensi penguatan ruang dan kepentingan publik dalam regulasi media disebabkan oleh kemendesakan peran dan fungsi sosial publik sebagai pemegang kedaulatan yang utuh dan transparan. Ruang publik merupakan tempat atau ruang di mana rakyat dengan sengaja meluangkan waktu membicarakan peristiwa sehari-hari dan unsur dialog tersebut penting bagi pengembangan demokrasi (Frazer, Nancy, 1993). Ruang publik adalah tempat di mana setiap warga secara bebas terlibat dalam wacana realitas sosial yang mengontrol negara dan pasar. Fungsi media adalah untuk menjembatani dan menjadi wacana bebas bagi publik. Ruang publik adalah tempat di mana ada ruang untuk media menyebarkan informasi fakta yang diperlukan untuk pemenuhan, penentuan sikap baik sikap sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Regulasi globalisasi media seharusnya mampu menemukan ruang publik yang lebih luas dan bertambah luas. Artinya regulasi media juga menciptakan ruang demokrasi dengan mendorong dan menstimulasi media komunitas (community media) yang membawa aspirasi original masyarakat komunitas tersebut. Dalam RUU penyiaran, hal itu memang diatur tapi masalahnya lembaga penyiaran komunitas yang diatur dalam RUU tersebut tidak secara eksplisit mampu dengan mandiri, swasembada, self-regulatory menjadi alat penguatan masyarakat (lihat RUU penyiaran ps 18). Kemampuan masyarakat untuk menyediakan informasi alternatif di samping terpaan arus informasi yang begitu dahsyat membawa dampak penting bagi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sebagai civil society.
Secara umum regulasi media di Indonesia masih mempunyai kesan mentalitas free of…..(bebas dari) belum menjadi paradigma kebebasan untuk. Termasuk juga dalam soal arus pengadaan media komunitas sebagai sarana perkuatan basis modal sosial (social capital) setiap komunitas masyarakat Indonesia.
Sebuah media yang menjadi ruang publik mengandaikan media yang harus ditata dan profesional sehingga bisa menjadi saran yang menjamin berlangsungnya tindakan dan refleksi. Media komunitas, baik cetak maupun elekronik diharapkan mampu berfungsi secara maksimal.
Ketiga, regulasi media perlu juga memuat beberapa masalah lentur teknologistik-ekonomis yang belum terprediksi secara jelas. Soal kepemilikan silang, apabila tidak diatur secara jelas maka akan mengakibatkan sistem monopoli opini yang membahayakan konsep refleksi diri dan sosial masyarakat (bdk bab 2 pasa 5 point g – RUU penyiaran). Masalah redefinisi dunia cyber yang berkembang di Indonesia. Kejahatan-kejahatan baru melalu internet belum mendapat perhatian yang lebih dari para pelaku media (berkaitan dengan masalah modifikasi, spasialisasi, revolusi konsep ruang-waktu dalam berkomunikasi, soal etik kekayaan intelektual yang mudah dicuri dan digandakan secara massal dan sebagainya).
DISKUSI LANJUTAN
Adalah menarik kalau kita mencoba membicarakan proses regulasi media di Indonesia. Apa sebabnya ? Karena Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses globalisasi media berikut industrinya. Ada kelebihan tapi ada juga kelemahan yang perlu dikritisi, ketika kita melihat globalisasi dan regulasi yang harus menyertainya.
Regulasi media jelas harus memperhatikan globalisasi media dalam konteks yang lebih luas dalam arti bahwa media bukan sekadar menjadi komoditas saja tapi juga sudah menjadi media independen pencipta komoditas dan simbol.
Regulasi media harus jelas mengangkat pemberdayaan dan keseimbangan hubungan antara pasar, negara dan masyarakat. Keseimbangan dan harmonisasi ketiga pelaku dan aktor ekonomi politik media perlu diperhatikan.
Regulasi media harus mampu meredistribusikan arus informasi global dalam konteks dan aras dasar pemikiran lokal. Point desentralisasi media informasi diharapkan menjadi point penting pemberdayaan masyarakat dari bahaya imperialisme budaya global. Diharapkan melalui regulasi media didapatkan suatu kondisi dan situasi yang cerdas di mana komunitas semakin swamandiri, swasembada, sukarela terlibat dalam urusan bersama untuk membangun demokratisasi yang lebih baik dan rasional.
Kiranya beberapa point di atas ini menjadi point diskusi yang lebih mendalam lagi ketika kita mau membangun regulasi media Indonesia yang tanggap, tanggon dan tangguh diterpa arus globalisasi media sekarang.
Kepentingan Modal atas Regulasi Media
Pada awal pembahasan revisi UU Penyiaran, fokus keberatan banyak pihak banyak tertuju pada soal peran dominan negara yang dikhawatirkan kembali lewat kelembagaan KPI. Sejumlah peran yang dibawakan oleh KPI sebagaimana disusun dalam draft UU Penyiaran versi DPR, mendapat banyak kritik dari berbagai kelompok, misalnya soal pemberian ijin penyiaran, otoritas untuk mencabut ijin penyiaran, posisi sebagai pembina dan pengontrol isi siaran.
Penolakan atas masalah kepemilikan silang baru mencuat ketika draft ini beredar di masyarakat dan segera saja berbagai kelompok ad hoc dibentuk dan merespon pembatasan yang direncanakan dalam UU yang akan datang tersebut. Sebagai reaksi, kemudian sejumlah kelompok industriawan penyiaran seperti ATVSI, dan Komteve menyiapkan draft RUU tandingan yang membela kepentingan televisi swasta. Mereka menginginkan bahwa televisi swasta menjadi independen dan tidak lagi dicampuri oleh intervensi pemerintah.
Yang mengherankan adalah posisi yang dibawakan oleh SPS yang kemudian membentuk kelompok kerja MPPI, yang tergolong berada paling depan dalam mengusulkan revisi UU Penyiaran ini. SPS yang di masa Orde Baru menjadi bagian dari alat represi politik Orde Baru, tiba-tiba saja menjelma menjadi pembela kebebasan pers paling depan.
Dalam kesempatan yang lain, Ketua PRSSNI, M. Taufik, menyebutkan bahwa RUU Penyiaran yang dibuat oleh DPR sebagai bentuk pengkhianatan atas agenda Reformasi, karena cenderung membatasi ruang gerak media elektronik dalam memberikan informasi kepada pemirsanya.
MPPI misalnya dalam salah satu rilisnya menyatakan bahwa larangan kepemilikan silang yang diatur dalam RUU versi DPR menunjukkan anggota DPR kurang paham terhadap perkembangan konvergensi teknologi yang menjadi andalan media massa untuk bertahan hidup.
SPS yang memback-up MPPI secara penuh lebih memperjelas posisi dan pendapatnya dalam perdebatan ini. Dalam salah satu terbitan internalnya, SPS mengemukakan pandangannya demikian:
Salah satu alibi yang mengemuka dari para penggagas RUU Penyiaran, khususnya anggota Pansus DPR RI ikhwal pencantuman pelarangan kepemilikan silang media massa, tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pemusatan kekuatan media pada satu tangan pemilik modal tertentu. Jika pemusatan kepemilikan ini terjadi, dikhawatirkan akan memunculkan penciptaan monopoli informasi, dan ujungnya berakibat pada terjadinya monopoli kebenaran.
Sungguhkah sedemikian gawatnya implikasi kebenaran silang itu bakal berlangsung? Agaknya masih terlalu dini jika dikatakan tesis itu bakal terjadi sepenuhnya. Betapa tidak, jika untuk menciptakan monopoli informasi saja, misalnya, sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa bagi media. Apalagi jika Cuma dua atau tiga media. Belum lagi, bila media-media tersebut bukan pemimpin pasar di kategori masing-masing…
Pada sisi lain yang sejajar, masyarakat dewasa ini telah menikmati apa yang sebelumnya sulit diperoleh selama masa rezim Orde Baru berkuasa – demokratisasi pilihan atas media. Ini tentu saja selaras dengan asas mekanisme pasar yang – dimanapun juga – selalu menguntit sukses dan keberhasilan bisnis sebuah media. Hanya media yang mampu mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat saja yang bisa bertahan di pasar. Itulah sebabnya, alih-alih menciptakan monopoli informasi, sebaliknya malah ditinggalkan konsumen lantaran pemberitaannya yang tak mau mengikuti selera pasar…
Sudah jelas bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh pihak SPS mewakili kepentingan modal, karena hal yang berkait dengan masalah monopoli informasi – seberapa pun sumirnya klaim ini – tidak bisa mengingkari kondisi bahwa dengan perkembangan konglomerasi media, sebenarnya pilihan menjadi lebih sedikit dan cenderung menawarkan hal yang sama saja, menawarkan konsumerisme, tanpa membangkitkan daya kritis kepada masyarakat. Apakah itu monopoli ataupun oligopoly, keduanya cenderung membawa kondisi demikian dalam sajian medianya.
Dan argumen yang menyerahkan sepenuhnya kondisi yang ada kepada pasar, bukanlah suatu argumentasi yang juga mengesankan, karena itu mengasumsikan adanya suatu konsep pasar sebagai hal yang netral, yang menjadi wasit yang adil bagi perkembangan industri yang ada, padahal yang ada adalah pasar yang dibentuk oleh kelompok tertentu, dengan menyertakan aktor-aktor tertentu di dalamnya dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu pula.
Belakangan ATVSI mendesak Pansus DPR untuk menghapus pasal yang melarang kepemilikan silang media. Dalam rilis yang disebarkan, disebutkan alasan mereka bahwa jika kepemilikan silang dilarang, Indonesia akan diterobos oleh siaran dari luar dan dengan sendirinya akan kalah bersaing.
Keberatan lain juga dikemukakan oleh PPPI yaitu asosiasi perusahaan periklanan di Indonesia yang khawatir dengan banyak butir dalam RUU penyiaran yang mengancam kehidupan industri periklanan, karena misalnya di dalam RUU Penyiaran diharapkan asosiasi periklanan memperbaharui kode etik mereka setiap tiga tahun, dan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan periklanan disamakan dengan hukum pidana.
Kelompok-kelompok yang mengritik RUU Penyiaran versi DPR juga menggunakan argumentasi soal “kebebasan pers”, “pengkhianatan terhadap reformasi”, dan “sinergi dalam industri media” sebagai alasan mereka untuk menolak pelarangan kepemilikan silang dalam industri media. Sumber argumentasi tentang sinergi dalam industri media, rupanya berujung pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh World Association of Newspaper (WAN) meeting di Brazil tahun 2000. Namun tak banyak kelompok mencoba mengejar lebih jauh argumentasi tersebut.
Implikasi RUU Penyiaran ini terhadap para pekerja industri media, belum banyak dikemukakan, yang lebih banyak muncul adalah argumentasi yang dikeluarkan oleh para pemilik media. Di sini menjadi penting untuk mengamati secara cermat, siapa bicara apa, karena bagaimanapun juga posisi struktural (dalam hal kepemilikan modal; antara pemilik modal dan kelompok pekerja) membedakan kepentingan yang dibawakannya. Apakah betul jika kepentingan pemilik media yang diakomodir, dengan sendirinya mengakomodir kepentingan para pekerja media? Ilustrasi tentang hal ini menjadi sangat jelas dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh SCTV terhadap Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia, dengan Djoko Susilo, anggota DPR dari Komisi I, ketika Metro TV meluncurkan siaran pertamanya.
Dilema regulasi media di Indonesia terletak pada bentuk kasar yang dilakukan oleh Negara dalam mengontrol isi, kepemilikan dan mati hidupnya media, telah membuat banyak kalangan terlena dan trauma dengan besarnya kekuasaan negara, namun lupa bahwa kekuasaan modal memiliki kekuatan yang tak kalah dashyat, bahkan mungkin lebih dashyat daripada kekuasaan negara itu sendiri. Kekuasaan modal bisa berkolaborasi dengan jenis kekuasaan macam pun dan jenis kapitalis apapun.
Menentang intervensi negara dalam industri media adalah salah satu hal, namun memberikan fungsi baru kepada negara (dalam hal menjadi regulatory body) adalah hal yang lain lagi. Dan pada titik inilah juga persoalannya luput dibahas dalam perdebatan RUU Penyiaran itu. Ada tendensi yang sangat besar untuk seekstrim mungkin untuk menentang fungsi apapun dari negara, bahkan jika mungkin direduksi ke titik nol sekalipun. Padahal masalahnya bukan cuma soal intervensi negara dalam industri media, tapi juga mentransformasi peran baru dari negara, dari yang pengatur segalanya, menjadi pengatur untuk kepentingan publik. Kira-kira semacam peran yang dilakukan di negeri-negeri yang menganut system welfare state.
Dan yang patut dilihat secara cermat adalah kecerdikan kelompok pemodal untuk menutupi kepentingan ekspansi modal mereka dengan jargon-jargon yang seolah-olah membela kebebasan pers, membela akses masyarakat terhadap informasi, hingga membela proses reformasi dan demokratisasi.
Bagaimana mengontrol Modal?
Di sinilah dilema terbesar yang akan dihadapi oleh negara-negara yang mengalami situasi transisional, dimana kekuatan negara mulai terpecah atau bahkan diganti secara keseluruhan, namun di sisi lain kekuatan modal lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, dan bahkan dengan sangat mudah beradaptasi dengan kekuasaan baru, dan praktis kekuatan modal tidak memiliki jaringan birokrasi yang seluas birokrasi negara, yang memudahkan kekuatan modal untuk mengontrolnya, apakah mereka akan bisa berjalan bersama dengan pemerintahan baru, ataukah mereka akan mencari tempat lain dimana kekuatan negara bisa bekerjasama dengannya.
Dalam situasi globalisasi, hal ini menjadi sangat dimungkinkan, dimana pergerakan capital menjadi sangat mudah dan khusus dalam situasi seperti di Indonesia, ada kelompok pengusaha yang diuntungkan dengan situasi yang berubah dan ada pula pengusaha yang tidak diuntungkan. Industri media termasuk salah satu yang mengalami keberuntungan dengan perubahan situasi ini karena dengan deregulasi dan liberalisasi yang terjadi dalam sector media, maka mereka segera menjadi kapitalis-kapitalis baru atau semakin memperkuat posisi mereka untuk tumbuh di Indonesia.
Jika dalam situasi transisional jaman Orde Reformasi ini, maka Negara bukan lagi satu-satu penentu kebijakan ekonomi politik dan social di negeri ini, dan mereka walaupun masih memiliki kewenangan dalam pengaturan kebijakan, mau tak mau harus berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak lain, apakah itu kelompok masyarakat sipil, militer ataupun kalangan pengusaha. Dan di sinilah konteks yang penting ketika bicara soal perdebatan RUU Penyiaran yang ada saat ini.
Di satu sisi memang hal tentang monopoli informasi adalah hal yang masih banyak diperdebatkan, namun memiliki 100 buah penerbitan di 30 buah propinsi di Indonesia, bukanlah pertanda yang sehat untuk perkembangan industri media yang lebih beragam dan membuka pilihan yang lebih baca kepada konsumen.
Kelompok media besar pun cenderung bungkam atas isu ini, dan perdebatan soal kepemilikan silang ini nyaris luput dari perhatian, dan energi banyak dihabiskan untuk membahas situasi dilematis dari KPI. Kelompok Kompas misalnya, cenderung diam terhadap isu kepemilikan silang ini namun di sisi lain, tahu-tahu Kompas mengumumkan bahwa mereka meluncurkan televisi, TV 7.
Persoalan modal memang merupakan persoalan yang cukup pelik, karena hal ini cenderung diabaikan dalam berbagai literatur soal demokrasi. Problem demokrasi lebih banyak berurusan dengan kondisi represif negara terhadap warganya dan berbagai usaha untuk mendobrak dominasi tersebut. Namun apa yang terjadi dengan perkembangan modal dan bagaimana ia pun menelikung berbagai problem lain, jarang diberikan perhatian secara proporsional.
Kasus yang ditunjukkan di atas barulah bicara dalam tataran kepentingan modal ‘lokal’ dan belum lagi bicara dalam konteks modal ‘global’ yang masuk dalam industri media di Indonesia, dengan segala sifatnya yang tidak mengenal batas wilayah, capital yang sangat mobile, dan juga capital yang bisa mempengaruhi factor-faktor kehidupan dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.
Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk mengenal karakter modal dan bagaimana dilematisnya posisi soal modal dalam industri media ini, terutama dalam situasi masyarakat post-authoritarian (atau kondisi yang akan kembali menjadi authoritarian?). Setidaknya kasus ini hendak memberikan suatu ilustrasi bahwa problem kebebasan pers, bukan semata-mata bagaimana ia bisa bernegosiasi dengan kekuasaan negara yang represif, tapi juga ia harus berhadapan dengan kepentingan pemilik modal, karena bagaimana pun juga industri media lain dengan industri-industri lainnya, berurusan dengan soal pembentukan citra yang dimediasi lewat media-media yang ada. Lalu implikasinya kepada para pekerja media, pada kehidupan masyarakat luas dan lain-lain, masih harus diselidiki lebih jauh. Di sini mungkin kita perlu belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain ketika menghadapi problem serupa, bagaimana kemudian bentuk respon yang dilakukan. Dan terakhir, bagaimana pun juga, konfigurasi politik dari pemerintahan transisional ini juga juga perlu dipertimbangkan untuk memahami secara spesifik problem yang dihadapi ini, suatu masyarakat yang baru lepas dari situasi authoritarian, mengalami kebebasan dalam waktu sejenak, namun bisa jadi akan kembali terjebak dalam situasi yang lama. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Boyd-Barret, 1977, “Media Imperialism:Towards an International Framework for The Analysis of Media System” dalam Curran-Gurevitch, pp.116-143.
Curran and Gurevitch (eds), 1991, Mass Media and Society, London:Edward Arnold.
Feintuck, Mike, 1998, Media Regulation, Public Interest, and The Law, London:Edinburg University Press
Gibbons, Thomas, 1998, Regulating Media, London:Sweet & Maxwell
Hidayat, Dedy. N., 2000, Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Muis, A., 2001, Indonesia di Era Dunia Maya: Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas, Bandung:PT. Remaja Rosdakarya Bandung
Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, London:Sage Publications
Pattyn, Bart, 2000, Media Ethics; Opening Social Dialogue, Belgium:Peeters
Schiller, Herbert, 1997, “Whose New International Economics and Information Order”, in Golding, Peter (eds), The Political Economy of The Media, Brookfield:Edward Elgar Publishing.
No comments:
Post a Comment