KONSUMTIVISME DAN HEDONISME
DALAM MEDIA MASSA
Tinjauan Teori Kritis Sensualisme pada Majalah Pria
Menurut Perspektif Kritis
Herbert Marcuse dan Jean Braudillard
PENDAHULUAN
Masyarakat modern ditandai dengan semakin tingginya waktu untuk bertukar informasi, baik dengan media komunikasi maupun dengan pemakaian teknologi komunikasi seperti telepon dan komputer. Media komunikasi, dalam hal ini media massa, memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat. McQuail mengemukakan fungsi-fungsi media massa sebagai pemberi informasi, pemberi identitas pribadi, sarana intergrasi dan interaksi sosial dan sebagai sarana hiburan (Denis McQuail, 2000).
Selain sebagai pemberi informasi media massa juga berfungsi sebagai pemberi identitas pribadi khalayak. Sebagai pemberi identitas pribadi, media massa juga berfungsi sebagai model perilaku. Model perilaku dapat kita peroleh dari sajian media. Apakah itu model perilaku yang sama dengan yang kita miliki atau bahkan yang kontra dengan yang kita miliki.
Selain berfungsi menjadi model perilaku, sebagai pemberi identitas media massa juga berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). Manusia memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri yang pada gilirannya akan ia gunakan untuk melihat dunia. Namun manusia juga perlu untuk melihat nilai-nilai yang diciptakan oleh media. Seperti yang kita ketahui, media membawa nilai-nilai dari seluruh penjuru dunia. Implikasinya adalah konsumen media dapat mengetahui nilai-nilai lain di luar nilainya.
Fungsi lain media massa sebagai pemberi identitas, dimana media merupakan sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri. Untuk melihat serta menilai siapa, apa dan bagaimana diri kita, pada umumnya dibutuhkan pihak lain. Kita harus meminjam kacamata orang lain. Media dapat dijadikan sebagai salah satu kacamata yang dipergunakan untuk melihat siapa, apa serta bagaimana diri kita sesungguhnya.
Bersosialisasi dengan orang lain di saat kita tidak berusaha untuk mengadakan komunikasi dengan orang tersebut merupakan hal yang sulit. Di lain pihak, akan sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain apabila kita tidak mengetahui topik apa yang bisa digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tersebut. Media membantu kita dengan memberikan berbagai pilhan topik yang bisa digunakan dalam membangun dialog dengan orang lain. Hal ini pada gilirannya menjadikan media massa sebagai sarana integrasi dan interaksi sosial berfungsi untuk penyedia bahan percakapan dalam interaksi sosial.
Media massa memungkinkan seseorang untuk dapat mengetahui posisi sanak keluarga, teman dan masyarakat. Baik posisi secara fisik, secara intelektual maupun secara moral mengenai suatu peristiwa. Fungsi media massa yang satu ini biasanya dapat dilihat pada surat untuk redaksi, kolom pembaca dan yang sejenis. Pada multimedia fungsi ini menjadi sangat menonjol karena kita dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan orang lain dalam waktu relatif lebih cepat.
Fungsi keempat media massa menurut McQuail adalah sebagai hiburan. Berkaitan dengan itu media massa menjalankan fungsinya sebagai pelepas khalayak dari masalah yang sedang dihadapi. Rasa jenuh di dalam melakukan aktivitas rutin pada saat tertentu akan muncul. Di saat itulah media menjadi alternatif untuk membantu kita di dalam melepaskan diri dari problem yang sedang dihadapi atau lari dari perasaan jenuh.
Khalayak juga memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis dari mengkonsumsi media massa. Manusia tidak saja perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ia juga harus memenuhi kebutuhan rohaninya, jiwanya. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan adanya media massa. Media massa memenuhi kebutuhan tersebut dengan sajian yang menurut media yang bersangkutan dapat dinikmati dan memiliki nilai estetika.
Media massa juga dapat berfungsi sebagai pengisi waktu, dimana ini juga termasuk fungsi media massa sebagai sarana hiburan bagi khalayak. Kadang orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Mengkonsumsi media massa tanpa memiliki tujuan adalah salah satunya.
Penyaluran emosi. Ini merupakan fungsi lain dari media massa sebagai sarana hiburan. Emosi pasti melekat dalam diri setiap manusia. Dan layaknya magma yang tersimpan di dalam perut bumi, emosi ada saatnya untuk dikeluarkan. Emosi butuh penyaluran, dan salah satu salurannya adalah dengan mengkonsumsi media massa atau bahkan memproduksi media yang senada dengan emosinya.
PERMASALAHAN
Berdasarkan fungsi-fungsi media massa yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dikatakan pula bahwa media massa memiliki peran di dalam menciptakan apa yang disebut dengan daya tarik seks (sex appeal). Mengenai hal ini dapat diasumsikan bahwa fungsi media massa sebagai salah satu sarana pembangkit gairah seks adalah fungsi yang paling dapat menjelaskan mengapa media massa dipandang berperan di dalam menciptakan apa yang berkaitan dengan seks. Entah itu standarisasi daya tarik seks yang perlu dimiliki seseorang, apa yang perlu dilakukan untuk mendapat daya tarik seks yang tinggi, apa yang akan didapat dengan memiliki daya tarik seks tertentu, dan sebagainya.
Model-model yang ditampilkan pada sebuah majalah, misalnya, bisa diartikan sebagai bagian upaya media massa di dalam mengatakan apa yang mereka nilai sebagai orang yang memiliki daya tarik seks. Seperti yang kita lihat, majalah-majalah tidak sembarangan di dalam memilih model yang akan dijadikan model sampulnya. Ada semacam kriteria tertentu yang harus dimiliki model tersebut agar ia dapat ditampilkan oleh majalah yang bersangkutan.
Memang, daya tarik seks pada umumnya sering disamakan dengan daya tarik fisik pria atau perempuan. Bentuk tubuh, wajah, bibir, rambut, dan sebagainya yang menyangkut fisik adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur daya tarik seks seseorang. Namun ternyata ada hal lain selain daya tarik fisik yang diperlukan untuk membentuk daya tarik seks. Karisma, tingkat intelektual yang tinggi, kesuksesan, dan kemapanan secara materi, merupakan beberapa diantara hal yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang menjadikan seseorang memiliki daya tarik seks. Kesemua ini pada gilirannya akan bermuara pada konsumerisme dan hedonisme.
Materi apa yang dikatakan oleh media massa sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik seks akan mendorong khalayak untuk memiliki gaya hidup konsumtif karena media massa memiliki kekuatan untuk menawarkan apa yang saat ini sedang tren, apa yang saat ini dicari orang, apa yang saat ini harus dimiliki orang, dan berbagai pikiran yang sejalan dengan itu, termasuk menentukan apa yang harus dimiliki khalayak untuk dapat memiliki sex appeal. Begitu juga dengan apa yang melekat pada orang-orang yang memiliki sex appeal, dapat mendorong orang kepada gaya hidup hedonis. Hedonisme dapat didefinisikan sebagai bentuk dari kecintaan seseorang pada dunia, sehingga apa saja yang dilakukannya berorientasi pada kepuasan duniawi semata.
Media massa, dalam hal ini, memiliki pengaruh terhadap penciptaan kriteria daya tarik seks pada pria dan perempuan. Dukungan terhadap kriteria daya tarik seks itu sendiri pada dasarnya dilandasi oleh kepentingan ekonomi.
Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa pria dapat digolongkan sebagai pengendali perekonomian, dimana mereka merupakan pasar potensial bagi barang konsumen. Kecenderungan ini dapat dilihat dari fenomena mulai maraknya produksi barang yang diperuntukkan bagi kaum pria. Bukan saja barang-barang yang memang dekat dengan bidang produksi (mobil, alat-alat telekomunikasi, dan sebagainya), tetapi juga bidang domestik (perawatan tubuh dan wajah, pakaian, penambah vitalitas (gairah seks). Walaupun mungkin tidak sebesar potensi yang dimiliki perempuan sebagai big spender, namun pria tetap saja dapat digolongkan sebagai pasar yang menjanjikan. Ditambah lagi dengan semakin banyaknya majalah atau media massa lain yang mulai bermain di celung segmen ‘khusus pria’. Mulai dari majalah, tabloid, dan radio semakin mengukuhkan pria sebagai golongan yang memiliki tempat khusus dihati pelaku ekonomi yang kapitalistik.
MASYARAKAT DAN KOMODITAS
Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Jean Braudillard dengan “masyarakat konsumer” (Jean Braudillard, 2005) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society) (Ibrahim dalam Ibrahim, hal. 1997, hal. 24).
Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).
Masyarakat kini hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat.
Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.
Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.
Sejalan dengan pemikiran ini Pilliang mengemukakan bahwa :
Hal yang penting yang terdapat dalam masyarakat komoditas adalah proses pembelajaran. Dalam masyarakat komoditas atau masyarakat konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200)
Herbert Marcuse merupakan salah satu tokoh generasi pertama Mahzab Frankfurt, di mana mahzab ini berasal dari sekelompok pemikir yang muncul dari lingkungan Institut fur Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir ini ingin membuat suatu refleksi kritis tentang masyarakat pasca-industri dan konsep mengenai rasio yang ikut membentuk menciptakan masyarakat tersebut. Mahzab Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang serta melihat implikasi struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Mahzab ini bertolak dari proyek atau usaha rasio pada abad ke-18 (Aufklarung) untuk menjadi penyelamat manusia melalui ilmu pengetahuan positif dan penerapannya dalam teknik. Masa Aufklarung diisi dengan upaya terus-menerus untuk membebaskan manusia dari ketakutan atas kuasa magis dan usaha tersebut bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai tuan atas dirinya sendiri. Dengan bantuan ilmu pengetahuan, Aufklarung ingin menghancurkan mitos-mitos yang menyisihkan imajinasi. Bertolak dari situ, Mahzab Frankfurt merumuskan sasarannya sebagai teori kritis (Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, 1997, no. 1 hal. 5)
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prnsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah (Majalah Filsafat Driyarkara, 1997, no. 1, hal. 5):
1. Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
2. Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Mahzab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Mahzab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.
Kritik pertama terhadap masyarakat modern dikemukakan oleh Marcuse. Kritik ini bertolak dari teori Freud yang berbicara mengenai kebudayaan. Dalam teorinya Frued mengatakan bahwa setiap kebudayaan dan peradaban merupakan akibat dari usaha-usaha masyarakat untuk menekan keinginan-keinginan instingtif individu. Eros (insting kehidupan) dan Thanatos (insting kematian) digunakan oleh manusia untuk melawan alam, misalnya dalam meningkatkan efisiensi kerja. Semakin maju kebudayaan maka akan semakin tinggi pula kadar represi itu. Sebab, alat-alat yang dihasilkan oleh kebudayaan untuk meringankan penderitaan karena represi pada gilirannya berubah menjadi sarana represi baru pada tingkat yang lebih tinggi lagi.
Teori dari Freud ini kemudian dimodifikasi oleh Marcuse. Benar bahwa kebudayaan berkembang berdasarkan insting-insting yang ditekan Represi juga merupakan hal yang dapat dimengerti sejauh manusia masih harus bekerja keras memperbaiki kondisi hidupnya dengan menyalurkan energi-energi instingnya pada hal yang lain. Misalnya saja produksi material. Namun di saat teknologi sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, maka perkembangan kebudayaan tidak lagi berdasarkan represi. Artinya, kebudayaan tidak lagi menuntut manusia untuk menekan insting-instingnya. Dengan perkembangan teknologi energi-energi yang dulu ditekan akan kembali berfungsi normal. Prinsip kesenangan sudah bebas dari represi dan akan meresapi seluruh kegiatan manusia. Kesenangan serta kebahagiaan akan diakui sebagai tujuan pada dirinya sendiri.
Marcuse banyak mengemukakan gagasan-gagasan yang pada intinya memberikan peringatan atas bahaya yang mengancam dunia dan umat manusia akibat pesatnya kemajuan teknologi. Gagasan-gagasan tersebut antara lain tertulis pada bukunya yang berjudul One-Dimensional Man, dimana pada buku tersebut Marcuse memuat pokok-pokok kritiknya terhadap masyarakat industri modern. Teknologi danggap dapat mengancam keberlangsungan hidup karena teknologi dapat menjajah masyarakat dengan dalih memudahkan segala urusan kehidupan yang bermasalah. Segala masalah dapat diselesaikan dengan teknologi. Teknologi menjadi agama baru bagi masyarakat modern. Pada gilirannya masyarakat hanya akan hidup dan bekerja untuk mendapatkan teknologi yang dianggap mampu membantunya menghadapi masalah kehidupan. Disinal kemudian terjadi apa yang dikatakan oleh Marcuse; masyarakat menjadi sakit.
Masyarakat dikatakan sakit apabila masyarakat hanya memiliki satu tujuan dalam kehidupannya. Artinya, segala segi kehidupannya hanya diarahkan kepada keberlangsungan serta peningkatan sistem yang telah ada (dalam hal ini adalah kapitalisme). Keberadaan dimensi-dimensi lain dalam kehidupan mereka menjadi tersingkirkan dan tertindas. Masyarakat industri modern, menurut Marcuse, merupakan yang termasuk dalam golongan masyarakat sakit ini, dimana masyarakat tersebut hanya memiliki satu dimensi. Masyarakat berdimensi satu merupakan masyarakat yang bersikap reseptif dan pasif sehingga semakin menguatkan dominasi atas diri masyarakat tersebut sehingga dominasi tidak lagi dirasakan dan disadari sebagai sesuatu yang tidak wajar. Dengan kata lain, manusia modern kehilangan prinsip kritisnya.
Pola pemikiran dan tingkah laku satu dimensi ditandai dengan kondisi dimana gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi dan yang, oleh isinya, melampaui semesta wacana dan tindakan yang sudah mapan menjadi ditolak ataupun dikurangi dalam istilah-istilah semesta ini (Marcuse, 2000, hal. 18).
Kebenaran juga merupakan hal yang disinggung oleh Marcuse. Pada zaman modern ini manusia perlu kembali pada konsep kebenaran yang sesungguhnya. Konsep kebenaran sesungguhnya menurut Marcuse bersifat normatif, dimana kebenaran itu mengandung suatu dialektika. Dialektika adalah suatu ketegangan antara apa yang seharusnya dan apa yang yang tampak sebagai fakta. Cara memahami kebenaran secara dialektis, pada dirinya sendiri merupakan suatu kritik terhadap kondisi-kondisi aktual agar dapat berlangsung pembebasan sosial. Ini perlu untuk menyadari bahwa pada masyarakat industri ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak melambangkan penguasaan manusia atas alam namun di lain pihak melambangkan perbudakan manusia. Ilmu pengetahuan hanya berusaha memperhatikan apa yang dapat diukur dan dapat ditaklukan pada kepentingan teknik semata. Pertanyaan yang dimiliki ilmu pengetahuan adalah pertanyaan mengenai bagaimana suatu barang bekerja, bukan mengenai apa barang itu sesungguhnya. Benda telah kehilangan konsistensi ontologisnya (majalah Driyarkara, hal. 10). Handphone, misalnya. Berlomba-lomba produsen handphone meluncurkan produksinya dengan berbagai feature yang diciptakan untuk solusi atas problem khas masyarakat modern. Bagaimana feature itu beroperasi, fasilitas serta keunggulan apa yang dimiliki sebuah handphone, itulah yang ditemui disekeliling kita. Tetapi apa sebenarnya handphone itu-lah yang jarang dikemukakan, dipikirkan. Apakah ia sebuah barang yang memang benar membawa perubahan signifikan pada kehidupan sosial, apakah ia membawa kebahagiaan bagi manusia atau justru sebaliknya ?
Marcuse, berkaitan dengan hal tersebut, melemparkan kritiknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat industri modern, seperti pada aspek sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya.
KRITIK MARCUSE PADA ASPEK SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT INDUSTRI MODERN
Secara ekonomis kini masyarakat industri semakin bertambah kaya, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun keadaan yang baik ini menurut Marcuse adalah keadaan yang terlihat baik dari segi luarnya saja. Sesuatu yang menipu karena pada kenyataannya peningkatan kualitas dan kuantitas kesejahteraan manusia hanya dimiliki oleh lahiriah saja. Manusia pada masyarakat industri dewasa ini merupakan manusia yang tidak utuh nilai-nilai kemanusiaannya, yang terjebak dalam hedonisme. Kemajuan di bidang material pada masyarakat ini belum tentu membawa kemajuan di bidang lain seperti moral, kebudayaan serta kehidupan beragama.
Kemajuan teknologi dengan sokongan kapitalisme hadir untuk membantu manusia mengisi kekosongan dalam kehidupan pribadi manusia. Bagi yang merasa lelah setelah bekerja seharian mencari nafkah, diberikan solusi untuk relaksasi. Aneka bentuk, jenis serta lokasi relaksasi digelar dan ditawarkan. Alih-alih melepas lelah, orang-orang menghabiskan apa yang telah diperolehnya dalam bekerja (di dunia) untuk kesenangan duniawi. Masyarakat dijadikan konsumen, yang sebetulnya mereka sendiri yang sebetulnya menjadi bahan konsumsi pasar. Artinya, mereka terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang hedonis.
Contoh tersebut bisa memberikan ilustrasi bahwa teknologi, dengan segala implikasinya, kini semakin bebas memaksakan tuntutan-tuntutan ekonomis dan politisnya untuk tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan waktu kerja manusia, termasuk memanipulasi kebutuhan. Dengan adanya manipulasi kebutuhan dalam usaha melariskan barang-barang hasil produksi maka terciptalah dalam masyarakat dua macam kebutuhan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan semu atau palsu dari kebutuhan sebenarnya (J. Sudarminta, hal. 126).
Kebutuhan semu menurut Marcuse adalah ;
“Segala kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya.”Kebutuhan ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang diciptakan oleh pihak lain yang kemudian oleh pihak tersebut diinternalisasikan dalam pikiran kita sehingga kita tidak menyadari lagi apakah memang kita benar-benar membutuhkan apa yang ditawarkan oleh pihak tersebut (J. Sudarminta, hal. 126).
Contohnya dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai-tukar). Lebih dari itu, apa yang kita konsumsi kini melambangkan status, prestise, dan kehormatan (nilai-tanda dan nilai-simbol). Nilai-tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan, menjadi komoditas yang banyak dicari untuk meneguhkan identitas seseorang. Seorang eksekutif muda bisa jadi merasa wajib memakai pakaian bermerek, terutama saat ia bertemu klien-nya. Tidak cukup dengan itu, lobbying dilakukan di suatu cafĂ© yang memiliki nuansa mewah dan pilihan menu yang elit. Bagi eksekutif muda tadi, penampilan yang bonafid akan dapat memperlancar lobbying, setidaknya akan mampu menyampaikan pesan pada klien bahwa ia adalah orang yang “pantas” dan representatif. Perempuan yang bertubuh langsing dan cantik dinilai lebih meyakinkan di dalam mempresentasikan suatu proyek kecantikan, misalnya. Kebutuhan akan penampilan representatif inilah yang pada gilirannya menjadi lahan basah bagi para kapitalis. Komoditi diperjualbelikan karena makna yang ditanamkan di dalamnya, bukan karena manfaat atau kegunaannya. Aktivitas konsumsi pada dasarnya dilakukan karena alasan simbolis: kehormatan, status dan prestise. Objek komoditi dibeli karena makna simbolik yang ada di dalamnya, dan bukan karena harga atau manfaatnya.
Pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan semu tersebut mungkin membahagiakan masing-masing pribadi. Tetapi menurut Marcuse kebahagiaan itu pun adalah sesuatu yang semu dan tidak boleh dipertahankan karena menghambat perkembangan kemampuan pribadi untuk mengenali kekurangan masyarakat sebagai keseluruhan dan menghambat pula usaha untuk mengatasi kekurangan tersebut.
Dalam memenuhi kebutuhan semu biasanya orang tidak tahu mengapa ia membutuhkannya. Dorongan untuk membeli dan menggunakannya tidak sungguh-sungguh timbul dari dalam dirinya sendiri, melainkan hanya sekedar melihat orang lain berbuat begitu. Kebutuhan tersebut dipaksakan dari luar dan individu tidak mampu menguasai diri terhadap tekanan-tekanan yang datang dari luar itu (J. Sudarminta, hal. 126).
Dalam masyarakat industri modern kebutuhan macam itu sudah semakin meluas dan tertanam kuat pada masing-masing individu dengan jalan manipulir kecenderungan untuk memiliki dan menikmati yang serba baru, paling enak, paling hebat dan segala paling lainnya. Sehubungan dengan ini media massa merupakan sarana paling ampuh untuk merangsang dan membangkitkan kehausan selera masyarakat. Media massa menjadi alat paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan perilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari oleh media pun turut mendukung pemikiran establishment, menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.
Dalam bahasa iklan di media, istilah dan kata tidak lagi mencermikan realitas yang sebenarnya. Bahasa yang digunakan bersifat membujuk, menanamkan gambaran-gambaran tertentu dan menghipnose pembaca atau pendengar untuk membeli. Kerap kali digunakan kata-kata pencitraan yang bersifat memikat, disertai gambaran kongkret tertentu. Bahasa iklan yang bersifat familier membuat orang dengan spontan menyesuaikan dirinya. Padahal, dalam proses penyesuaian diri ini dimensi akal budi yang begitu mendalam, tempat berakarnya sikap kritis telah dihancurkan. Hilangnya dimensi ini berarti juga hilangnya kemampuan untuk menegasi akal budi. Padahal kemampuan berpikir kritis sangat perlu sebagai imbangan terhadap suatu proses yang semata-mata sangat materialistis dalam masyarakat industri modern.
Marcuse berpendapat, tidak peduli sejauh mana kebutuhan-kebutuhan tersebut telah menjadi kebutuhan masing-masing individu, itu demi perjuangan kemanusiaan (baik kemanusiaan orang yang merasa menemukan kebagiaan di dalamnya, maupun mereka yang menderita sebagai korbannya) kebutuhan tersebut harus dihancurkan.
Memang pada dasarnya penilaian dan pengambilan keputusan mengenai mana kebutuhan yang semu dan mana kebutuhan yang sebenarnya harus diberikan oleh masing-masing idividu sendiri. Tetapi sejauh mereka tidak lagi otonom, karena sangat dipengaruhi sampai naluri-nalurinya, maka penilaian dan keputusan mereka itu sama sekali bukan berasal dari dalam diri mereka sendiri lagi (J. Sudarminta, hal. 127).
Apa yang dinamakan sebagai ekonomi konsumen dan politik kapitalisme yang telah melembaga sudah menciptakan semacam “kodrat kedua” dalam manusia yang mengikatnya secara libidinal (dorongan nafsu) dan agresif pada barang-barang. Kebutuhan-kebutuhan semu yang telah di-introyeksikan pada masing-masing individu sudah menjadi kebutuhan biologis (kebutuhan yang mesti dipenuhi, bila tidak maka organisme akan sakit), menjadi bagian pokok kehidupannya: seakan-akan hanya dengan membeli barang-barang itu mereka dapat mewujudkan kehidupannya, dan bila tidak mereka akan menjadi frustasi. “Kodrat kedua’ semacam itu membentuk sikap yang mendukung sistem yang ada serta menentang setiap perubahan yang akan merenggut serta membebaskan mereka dari ketergantungan manusia pada pasar yang semakin penuh dengan barang-barang dagangan (J. Sudarminta, hal. 127).
SEX APPEAL DAN INDUSTRI MEDIA MASSA
Berbagai penggambaran daya tarik seks pada diri manusia yang disajikan oleh media massa memang banyak mengarah kepada bagaimana manusia harus ‘menerima’ apabila mereka dikonsumsi oleh sesamanya, termasuk dikonsumsi untuk kepentingan libido. Dikonsumsinya manusia sebagai pemuas libido, dalam hal ini melalui mata, dapat dibuktikan dengan menjamurnya media pornografi.
Manusia yang seringkali dikonsumsi dalam kaitannya dengan kepentingan libido sampai saat ini adalah perempuan. Di dalam masyarakat tontonan (society of spectacle) perempuan memiliki apa yang dinamakan dengan fungsi dominan sebagai pembentuk ‘citra’ (image) dan ‘tanda’ (sign) berbagai komoditi seperti sales girl, cover girl, dan model girl. Menurut Guy Debord, masyarakat tontonan sendiri merupakan masyarakat yang di dalamnya, setiap sisi kehidupannya menjadi komoditi dan setiap komoditi tersebut menjadi ‘tontonan’. Di dalam masyarakat tontonan pula ‘tubuh wanita’ sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditi, atau tubuh itu sendiri sebagai satu komoditi tontonan, memiliki peran yang sangat sentral.
Ekonomi kapitalisme mutakhir tampaknya telah mengarahkan manusia untuk menggunakan ‘tubuh’ dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral komoditi, yang dapat disebut sebagai ‘ekonomi libido’. Kapitalisme ‘membebaskan’ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ serta ‘identitas tradisionalnya seperti tabu, etiket, adat. Moral, dan spiritual, dan ‘memenjarakannya’ di dalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari eonomi politik kapitalisme. Dengan demikian, tubuh menjadi bagian dari semiotika komoditi kapitalisme yang memperjualbelikan tanda, makna, dan hasratnya.
Erotisasi atau sensualitas tubuh perempuan di dalam media seringkali tampil dengan bentuk fragmen-fragmen tubuh sebagai ‘penanda’ (signifier) dengan berbagai posisi dan pose, serta dengan berbagai asumsi ‘makna’. Tubuh perempuan yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan variasi sikap, gaya, penampilan (appearance) dan ‘kepribadian’ membangun dan menaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai obyek fetish (fetish object), yaitu obyek yang ‘dipuja’ sekaligus ‘dilecehkan’ karena dianggap memiliki kekuatan ‘pesona’ (rangsangan, hasrat, citra) tertentu.
Di dalam wacana media perempuan ditempatkan ke dalam ‘sistem tanda’ (sign system) di dalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, bokong, semuanya menjadi fragmen-fragmen tanda di dalam media patriarki, yang digunakan guna menyampaikan ‘makna’ tertentu. Semua fragmen-fragmen tanda ini menjadi ‘obyek fetish’ yang sifatnya ‘metonimis’ (metonymic). Artinya, semua fragmen tanda tersebut seakan-akan mewakili totalitas tubuh dan jiwa perempuan itu sendiri (seksual, hasrat, diri).
Namun ternyata bukan perempuan saja yang kini dibidik untuk dieksploitasi tubuhnya, yang diasumsikan memiliki daya tarik seks yang khas. Kini, tubuh pria pun mengalami komodifikasi. Tubuh pria saat ini banyak disajikan media dengan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan fungsi disajikannya tubuh perempuan, yaitu eksploitasi seksualitas dengan tujuan menggerakkan kapitalisme.
Tubuh pria, misalnya, haruslah yang berbentuk segitiga seperti layaknya seorang olahragawan yang sedikit berotot di bagian perut atau tangannya. Penampilan ini merupakan penampilan pria ideal yang disajikan dan ditanamkan oleh media massa kpeada khalayak. Untuk dapat memiliki tubuh seperti itu tidak ada cara lain, yaitu berolah raga dan mengkonsumsi berbagai suplemen penambah stamina atau suplemen yang sifatnya mendukung terbentuknya tubuh menjadi seperti tubuh yang distandarkan oleh media massa.
Ini berarti, baik daya tarik seks yang melekat pada diri pria maupun perempuan tidak terlepas dari belenggu kapitalisme. Dengan bantuan media massa kapitalis selalu mendapatkan cara untuk mengarahkan apa yang sebaiknya dimiliki, dilakukan, atau dicari dengan sex appeal yang dimiliki seseorang. Termasuk dalam peran media massa adalah menyebarkan gaya hidup hedonisme yang diasumsikan sebagai ideologi yang wajar karena setiap orang yang telah bersusah payah bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya patut memperoleh penghargaan. Dan salah satu bentuk penghargaan yang ditawarkan adalah dengan menikmati sex appeal dirinya maupun sex appeal yang dimiliki oleh orang lain yang memang tersedia untuk dikonsumsi.
No comments:
Post a Comment