Thursday, June 25, 2009

Warna Agenda Publik dan Wacana Demokratisasi

Pemilu 1999, 2004 dan sekarang 2009, menunjukkan perang citra melalui agenda media massa telah menjadi trend dalam sistem politik nasional. Setiap warga negara berhak mengekspresikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politiknya, tanpa harus takut berbenturan dengan politik korporatif negara. Sayang, kedua Pemilu (1999 dan 2004), masih sangat didominasi oleh motif tradisional dan motif rasional-bertujuan. Motif tradisional banyak dipengaruhi lingkungan keluarga, suku, ras atau etnis. Sementara motif rasional-bertujuan, berbasis kepentingan pragmatis individu untuk memperoleh kekuasaan, meski dengan cara apa pun. Baik motif tradisional yang berada di dimensi historisitas berjenjang maupun motif rasional-bertujuan yang berbasis pragmatisme, sama-sama memfasilitasi politik dalam arus yang linear. Yakni, mengalir dari the leadership public atau elit opini ke publik berperhatian (the attentive public) lalu ke masyarakat awam (general public). Jika alur seperti ini juga terjadi di Pemilu 2009, maka dapat diprediksi kalau Pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang transformasional. Solusi paling tepat dalam membentuk pemilih rasional di Indonesia adalah gerakan literasi politik.
Gerakan ini semestinya masif dilakukan oleh pemerintah, partai politik, interest and pressure group serta media massa. Awalnya term literasi ini, populer digunakan di bidang studi dokumen dan informasi. Information Literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai orang-orang yang terdidik di dalam mengaflikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. The American Library Association (1996) juga mendefinisikan information literacy sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah.
Literasi kemudian tidak dimaknai secara sempit dalam perspektif studi teks tetapi juga dalam kognisi sosial dan konteks sosial, yakni tumbuhnya masyarakat rasional dan terdidik (educated society). Literasi politik dalam konteks Pemilu dipahami sebagai kemampuan warga masyarakat untuk mendifiniskan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal Pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya. Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan, mensintesakan serta membuat jejaring (network) pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka. Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan literasi politik (Lichtenberg: 1990) Dengan demikian, semestinya kampanye tidak semata-mata mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan untuk menjadi rasional voter.
Kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik yang menarik. Banyak orang ataupun institusi sosial dan politik yang berkepentingan dengan media. Mereka berupaya memiliki akses untuk masuk dan mempengaruhi media, dengan asumsi penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.
Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari imej dan menyumbang imej. Oleh karena opini merupakan respons yang dikontruski, maka sangat stratagis jika politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini. Paling tidak, ada tiga komponen utama di dalam sebuah opini. Pertama, keyakinan yang terdiri dari credulity atau soal percaya dan tidak terhadap sesuatu. Dengan marketing yang baik, khalayak akan digiring untuk mempercayai apa yang menjadi konsep dan tawaran kandidat. Semakin besar kepercayaan khalayak terhadap kandidat, maka opini yang berkembang akan semakin positif.
Kedua, di dalam opini juga terkandung nilai berbentuk nilai-nilai kesejahteraan dan nilai-nilai pembeda. Nilai-nilai kesejahteraan antaralain pencarian kesejahteraan, kemakmuran, keterampilan dan enlightement. Sementara nilai-nilai deferensi antara lain penanaman respek, reputasi bagi perilaku, perhatian dan popularitas serta kekuasaan. Dengan memahami komponen-komponen nilai tersebut, kandidat seyogyanya memahami benar jika opini tidak bisa dibiarkan mengalir secara bebas, melainkan harus dikonstruksi. Tentunya dengan cara-cara yang elegan.
Ketiga, opini juga terdiri dari komponen ekspektasi. Yakni komponen yang berkaitan dengan unsur konatif. Ini merupakan aspek dari citra pribadi dan proses-proses penafsiran yang terkadang disamakan oleh para psikolog sebagai impuls, keinginan dan usaha keras. Kesadaran untuk mengemas opini publik adalah kesadaran untuk menyelaraskan keinginan dan usaha keras pencapaian tipe ideal sebuah tatanan dengan tipe ideal yang diharapkan khalayak pemilih. Semakin luas arsiran wilayah harapan atau agenda publik antara kandidat dengan pemilih, maka akan semakin besar pula peluang kandidat untuk memenangi pertarungan citra

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here