Thursday, June 25, 2009

FENOMENA QUICK COUNT DAN KOMUNIKASI POLITIK:

Gelombang demokratisasi, paska reformasi politik 1998, telah merubah lanskap komunikasi politik Indonesia menjadi relative lebih bebas. Sistem demokrasi menjadikan pemilu sebagai sarana mekanisme pengambilan keputusan politik oleh warga negara, dimana partai atau kandidat politik dipilih langsung. Di dalam sistem demokrasi, media massa merupakan agensi demokrasi (a democratic agency). Sistem politik demokrasi dan media massa tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Media massa menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam proses demokratisasi.
Dalam beberapa blog atau catatan beberapa pengamat tertentu, akhir-akhir ini banyak tokoh politik yang berlomba-lomba berkampanye dalam balutan iklan. Entah membonceng kaum lain untuk diperjuangkan atau membonceng momentum tertentu. Dalam segi yang normatif, hal ini tentu saja sah. Walaupun efektivitasnya agak diragukan karena perilaku menonton televisi sekarang ini adalah selalu memindah channel kala jeda iklan tiba.
Di Indonesia pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru, praktek komunikasi politik atau kampanye pemilu sudah mulai menggunakan media sebagai saluran utama kampanye politik, khususnya televisi atau media cetak. Majalah Cakram (edisi 2008), mencatat berdasarkan penelitian lembaga survei AC Nielsen Media Research Indonesia, total belanja iklan politik selama Januari hingga Juni 2008 mencapai Rp 769 miliar. Sedangkan, belanja iklan secara umum pada rentang waktu yang sama adalah Rp 19,6 triliun atau naik 24 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp 15,8 triliun. Peningkatan belanja iklan itu awalnya disumbangkan oleh dua produk, yakni telekomunikasi (Rp 1,9 triliun) dan otomotif (Rp 850 miliar. Namun, media periklanan politik turut memberi kontribusi dengan nilai Rp 769 miliar. Ini merupakan sebuah perubahan besar (a big political change), sebab selama penyelenggaraan pemilu di masa Orde Baru, media dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Menurut David T. Hill & Krishna Sen (2005), di massa Orde Baru, Semua materi kampanye yang akan disiarkan atau didesiminasikan oleh media harus disetujui oleh Panitia Naskah Kampanye Pemilu dan harus disampaikan kepada Menteri Penerangan Harmoko (p.79). Pada era Orde Baru tersebut, media tidak memiliki kekuatan (powerless) dalam mempengaruhi partisipasi elektoral, sebab pola partisipasi elektoral pemilih dimobilisir atau digerakan oleh pemerintah.
Selanjutnya pada Pemilu 2004, pemilu kedua, komunikasi politik partai atau kandidat mulai mengadopsi konsep “Americanization”. Dennis Kavanagh (1997) mengatakan bahwa istilah ‘amerikanisasi’ digunakan untuk menjelaskan proses yang menunjukan banyaknya aktivitas politik yang terkait dengan media (the media-related activities) dan ketergantungan politisi pada komunikator profesional (professional communicators). Konsep ini pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat dan diikuti oleh negara-negara lainnya.
Dedy N. Hidayat (2004) mengatakan, dalam artikelnya Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu, yaitu: “Di Tanah Air, benih-benih tumbuhnya industri kampanye pemilu, atau bisnis the selling of the president, kini kian jelas.....” . Ia juga menegaskan dalam pemilu dipengaruhi oleh sejumlah kecenderungan global dalam kampanye pemilu. Kecenderungan tersebut pertama, peran televisi dalam kampanye kian meningkat, dimana aktivitas berkampanye kian banyak direkayasa dan dikemas agar sesuai format televisi. Ini berimplikasi pada porsi dana kampanye untuk iklan politik di televisi pun juga terus meningkat. Kedua, kian meningkatnya keterlibatan para electioneer profesional dari luar partai (Thurber dan Nelson, 2000), dan itu semakin menggeser peran para "amatir" dari kalangan kader partai sendiri (Johnson, 2000). Dan ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000). Analisis Hidayat tersebut menjadi kenyataan dimana Soesilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kala sebagai calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu Presiden 2004. Terutama yang berkaitan dengan isu III, tentu saja yang menangguk keuntungan adalah pengelola media massa. Tetapi jangan juga dilupakan perusahaan periklanan dan konsultan politik. Ada beberapa nama yang sering muncul sebagai perusahaan periklanan spesialis iklan politik antara lain Fox Indonesia milik Rizal Mallarangeng yang didirikan 1 Februari 2008 lalu, disebut pula Hotline Advertising yang menangani iklan SBY dan Demokrat pada Pemilu tahun 2004 lalu.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, khususnya pemilu presiden, menjadi menarik untuk membicarakan wacana tentang media dan partisipasi elektoral pemilih, apalagi saat ini perkembangan media sudah begitu massif dan banyak sekali ragamnya –termasuk penggunaan media baru (new media). Ini menunjukan bahwa sudah tidak ada lagi batasan komunikasi politik di dalam proses pemilu di Indonesia. Akankah ketidakterbatasan komunikasi politik tersebut mampu mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas partisipasi elektoral pemilih. Pertanyaan tersebut bersumber dari pemikiran tentang proses penyelenggaraan pemilu yang partisipatif kemungkinan besar akan mampu merubah bentuk demokrasi prosedural, menjadi demokrasi substantif. Demokrasi substantif akan mampu mewujudkan tujuan pemilu itu sendiri yaitu sebagai sarana penyaluran kedaulatan rakyat, dimana para politisi yang terpilih akan mampu meningkatkan kesejahteraan atau mengaktualisasikan hak-hak politik rakyat. Terwujudnya demokrasi substantif mensyarakatkan adanya well informed electors, pemilih yang memiliki informasi yang cukup tentang pengetahuan elektoral dan profil partai atau kandidat. Hanya melalui media lah, pemilih jenis tersebut akan bisa dibentuk, sebab media mendiseminasikan informasi atau analisis elektoral sebagai sumber pengetahuan pemilih.
Perkembangan dalam ilmu politik tidak bergerak dalam kesendiriannya. Perkembangan masyarakat dan dinamika sosial membuat bahwa ilmu politik harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial baru yang tentunya lebih kompleks dan dinamis. Ilmu politik telah mencapai taraf tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaman yang semakin kompleks. Salah satu yang berkembang luas, terutama dalam bidang ilmu politik, adalah strategi baru dalam pemenangan pemilihan umum. Strategi berkelanjutan dalam kampanye memaksa bahwa kampanye tidak hanya dilihat sebagai strategi jangka pendek melainkan juga bersifat jangka panjang. Citra partai atau aktor politik dapat efektif ditanamkan apabil partai atau aktor politik terus menerus melakukan aktivitas yang baik di mata masyarakat. Tentunya evaluasi politis tidak ditentukan dalam perspektif politikus melainkan dari perspektif masyarakat. Dengan demikian, permasalahan politik tidak jauh berbeda dengan masalah persepsi.
Interaksi sosial politik dalam era kontemporer bersifat dinamis. Maka interaksi dinamis dalam konteks sosial politik memunculkan suasana ketidakpastian, interaksi yang tidak linear, dan tingginya tingkat partisipasi sosial dalam proses pengambilan keputusan politik (Goorhuis, 2000). Dalam situasi tersebut maka diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam konteks ilmu politik. Pendekatan yang trans-disiplin dan multi-disiplin menjadi keniscyaan yang harus diambil oleh ilmu politik.
Dalam era lama, hubungan politik antara partai politik dengan konstituen merupakan hubungan satu arah yang dikatakan hanya bermanfaat bagi partai politik. Era demokratisasi mengubah dari hubungan parpol dengan konstituen yang bersifat satu arah menjadi hubungan yang lebih relasional. Hubungan relasional ini berkembang sampai sekarang ketika memahami hubungan antara parpol dengan konstituen. Hubungan mereka seperti layaknya hubungan antara perusahaan jasa dengan konsumennya. Konstituen adalah konsumen, sementara parpol atau aktor politik sebagai perusahaan jasa. Partai atau aktor politik menawarkan jasa penyelesaian masalah sosial politik para konstituennya. Hubungan relasional ini juga masuk dalam bidang atau ranah politik. Selain bahwa sifat relasional antara parpol atau aktor politik dengan konstituennya, permasalahan sekarang adalah juga bagaimana parpol atau aktor politik juga membangun interaksi yang intensif dan berkelanjutan dengan konstituen atau bahkan dengan masyarakat secara luas. Prinsip di atas memperlihatkan persamaan gejala antara aktivitas politik dengan aktivitas pemasaran. Dalam konteks inilah maka terdapatlah fenomena quick count sebagai salah satu cara pemahaman cepat bagaimana persepsi khalayak terhadap pelaku atau isu politik tertentu.
Survei opini publik (survei) ataupun quick count adalah bagian dari proses demokrasi. Keduanya mampu mengontrol efek negatif dari penyelenggaraan pemilu. Survei yang diumumkan menjelang pemilu dapat dijadikan patokan untuk mengamati terjadinya politik uang. Kendati memiliki sifat yang rentan, opini publik dipercaya tak dapat berubah secara drastis dalam waktu singkat tanpa intervensi tertentu. Politik uang adalah salah satu bentuk intervensi yang paling berpengaruh.
QUICK COUNT memang lagi menjadi buah bibir di masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa metode quick countlah yang membuat perpecahan dan kerusuhan antarpendukung kandidat atau partisipan partai. Tetapi sebagian lagi menganggap bahwa quick count membuat proses pemilihan menjadi lebih objektif bahkan ada yang memanfaatkan metode ini untuk membangun isu dan kampanye terselubung kandidat atau partai tertentu. Namun hasil quick count terkadang berbeda dengan perhitungan manual yang dilakukan oleh KPU. Lalu, mana yang paling akurat? Mungkin pertanyaan ini sering diperdebatkan di masyarakat. Perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik horizontal antarpendukung di grass root, bahkan bisa banyak jatuh korban karena masing-masing pendukung mengklaim jagonya (salah satu partai atau pasangan) yang menang. Kita tentu ingat, Pilkada Maluku Utara, Sumatera Selatan dan terakhir adalah Jawa Timur. Hasil quick count yang secara langsung disiarkan di beberapa stasiun televisi, ternyata berbeda dengan hasil perhitungan cepat. Quick count adalah perhitungan secara cepat hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Perhitungan dengan metode ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan metode manual.
Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten. Sehingga, meski quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI yang juga dipakai KPU serta hasil manual sebagai hasil final, sangat kritis. Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis” atau menjadikan politik sebagai budaya massa dan budaya hiburan layaknya infotainment, melihat hasil quick count boleh-boleh saja.
Dari perspektif ilmiah, masyarakat disodori proses fakta statistik yang ditayangkan berbagai media bahwa kajian akademisi dalam QUICK COUNT ternyata dapat dipercaya kebenarannya dan sahih. Meski terdapat perbedaan angka antara perhitungan manual KPU dengan hasil Quick Count, namun secara ilmiah margin yang demikian hasilnya itu sudah memberi gambaran ke depan bahwa lembaga-lembaga survey Quick Count tersebut bisa diandalkan dan dipercaya kredibilitas keilmuannya.
Opini publik dapat digali lewat berbagai cara. Dalam demokrasi salah satu cara sistematis adalah lewat jajak pendapat umum. Namun, jelas opini publik tidak bisa direduksi ke dalam jajak itu. Bahkan, ada yang berpendapat, jajak pendapat bisa memberikan kesan menyesatkan tentang opini publik dalam hubungannya dengan demokrasi. Opini elite politik dan elite kelompok kepentingan dalam masyarakat juga bagian dari opini publik, dan biasanya tidak cukup tergali oleh jajak, padahal mereka sangat menentukan kebijakan publik. Margolis (1984), misalnya, yakin bahwa jajak pendapat bukan cara yang optimal mengukur opini publik yang berkaitan dengan masalah sosial dan politik. Perilaku nyata kelompok-kelompok dalam masyarakat, menurut Margolis, seperti partisipasi politik in-konvensional (demonstrasi, mogok, penandatanganan petisi, dengar pendapat dengan pejabat publik lebih mencerminkan opini publik daripada pengakuan verbal seperti diungkapkan lewat jajak.

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here