Thursday, June 25, 2009

Mempertanyakan Agenda Setting Media Televisi


Oleh: Agus Sudibyo
Jika mau jujur, problem media sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana mengisi halaman demi halaman, segmen demi segmen dengan informasi yang harus disajikan secara kontinyu kepada khalayak. Sebab setiap hari ada begitu banyak isu dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan publik. Ruang untuk melaporkan dan mengurai isu maupun peristiwa itu justru yang terbatas. Yang lebih relevans untuk diidentifikasi sebagai problem media adalah bagaimana memilih, memilah dan mengolah luberan isu dan peristiwa itu? Bagaimana media merumuskan strategi pemberitaan di antara begitu banyak obyek pemberitaan ? Seberapa jauh media akan mengangkat satu persoalan, sementara persoalan-persoalan baru bermunculan?
Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Perbincangan soal agenda setting ini, perlu dikemukakan untuk melihat bagaimana kinerja media dalam memberitakan soal-soal Aceh. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan sehubungan dengan persoalan ini. Apakah media menunjukkan konsistensi dalam memberitakan Aceh? Apakah media mempunyai fokus pemberitaan yang jelas, dan sejauhmana fokus tersebut relevans dengan gagasan-gagasan ideal tentang peran media sebagai institusi sosial? Instititut Studi Arus Informasi (ISAI) secara rutin melakukan pemantauan terhadap pemberitaan Aceh sejak 28 Juli 2003. Dengan metode content analysis, coba diindentifikasi kecenderungan-kecenderungan media dalam meliput konflik Aceh. Tulisan ini merupakan hasil analisis terhadap pemberitaan media televisi tentang Aceh, pada periode 26 Agustus – 4 September 2003. Media yang dianalisis adalah RCTI, Metro TV, SCTV, Indosiar, TVRI, ANTV, TPI, Trans TV, TV7, dan Lativi. Analisis dilakukan terhadap seluruh item berita pada semua program news pada masing-masing televisi.
Problem Konsistensi
Aceh adalah salah-satu persoalan terbesar yang kita hadapi saat ini. Bukan sekedar persoalan kemungkinan lepasnya satu kawasan dari sebuah negara. Tapi juga sejauhmana kita sebagai bangsa dapat menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan beradab, menegasikan cara-cara kekerasan yang beresiko tinggi terhadap perikemanusiaan, serta menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sejauhmana kita bisa mendudukkan kebebasan pers pada proporsinya? Dan masih banyak aspek yang lain.
Namun agak mengherankan bahwa diskursus Aceh belakangan mulai ditinggalkan. Ketika intensitas perang tak kunjung mereda, perbincangan publik perlahan-lahan mulai bergeser ke masalah-masalah lain. Kompleksitas masalah Aceh tidak lagi mendapatkan perhatian dan fokus yang memadahi.
Sungguh disayangkan bahwa gejala ini justru dimulai oleh media, terutama media televisi. Padahal media televisilah yang notabene sejak akhir April 2003, telah membuat perhatian publik begitu terfokus pada isu-isu Aceh. Lambat-laun, media televisi mulai mengendorkan pemberitaan tentang Aceh. Bisa jadi karena isu Aceh mulai mengalami kejenuhan, sementara di sisi lain muncul isu-isu baru yang lebih aktual. Isu sukhoigate, Bom Marriot, persiapan pemilu 2004, hingga isu kekerasan di STPDN Jatinangor. Tapi sekali lagi, kita bukan sekedar membayangkan media sebagai entitas bisnis, namun juga media sebagai institusi sosial dengan sejumlah tanggung-jawab moral kepada publik.
Pada periode pertama pemantauan (28 Juli – 6 Agustus 2003), total berita media televisi tentang Aceh masih cukup besar, yakni 470 berita. Lalu menurun menjadi 388 item berita pada periode kedua (7-15 Agustus 2003). Penurunan intensitas pemberitaan semakin terasa pada periode pemantauan keempat (26 Agustus – 4 September 2003), dengan total berita sebanyak 268 item. Data ini semakin semakin kontras jika kita bandingkan dengan intensitas pemberitaan soal Aceh pada menjelang dan masa-masa awal pemberlakuan Darurat Militer di Aceh. Periode Mei-Juni 2003 adalah saat itu periode di mana setiap hari perkembangan konflik di Aceh menjadi headline media massa, dengan intensitas pemberitaan yang sangat tinggi.
Konsistensi juga bisa dilihat dari penempatan berita-berita Aceh pada struktur pemberitaan televisi. Sebanyak 73,9% dari total 268 berita televisi soal Aceh ditempatkan pada segmen tengah. Hanya 19,4 % berita Aceh yang diletakkan pada segmen depan. Temuan ini paralel dengan hasil pemantauan pada periode sebelumnya. Pada periode 28 Juli – 6 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 42,1 %, dan segmen tengah sebanyak 52,6%. Sementara pada periode 7-15 Agustus 2003, berita Aceh ditempatkan pada segmen depan sebanyak 14,2 %, dan pada segmen tengah sebanyak 76,3 %.
Apa yang bisa disimpulkan dalam hal ini. Aceh tak lagi menjadi prioritas bagi media televisi. Keberadaannya tergusur oleh isu-isu baru yang lebih aktual. Beberapa stasiun televisi juga mulai mengubah kebijakan redaksionalnya. Media televisi mudah terbuai oleh obyek pemberitaan, sekaligus mudah pula melupakannya. Pemberitaan media televisi soal Aceh, seakan-akan mengalir begitu saja, tanpa muara yang jelas. Sebuah realitas pemberitaan yang tidak menunjukkan adanya strategi atau agenda yang jelas dalam mensikapi masalah-masalah yang terlanjur menjadi sorotan publik, di mana media berperan besar di dalamnya. Suatu hal yang kontraproduktif bagi penyelesaian kasus Aceh, jika pengelola media berpikir bahwa realitas konflik patut mendapatkan prioritas pemberitaan terutama sekali karena konflik selalu menarik perhatian publik. Bukan karena pertimbangan bahwa konflik harus segera diakhiri karena dapat menyebabkan kerugian-kerugian lebih besar pada publik.
Fakta di atas juga sangat riskan bagi kelanjutan penyelesaian kasus Aceh. Semakin menipis perhatian media terhadap Aceh, semakin besar potensi pelanggaran HAM dan segala bentuk abuse of power di sana. Semakin mengecil prioritas media terhadap masalah Aceh, semakin leluasa pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Tanpa ada kontrol yang memadahi dari unsur civil society, publik Serambi Mekkah dibawah bayang-bayang tragedi kemanusiaan yang lebih buruk dan tidak akan berkesudahan dalam waktu dekat.
Fokus Pemberitaan
Selanjutnya, kita bisa melihat fokus yang diberikan oleh televisi terhadap kasus Aceh. Mengamati fokus pemberitaan menjadi sangat penting, karena akan menunjukkan sikap media dalam menghadapi sebuah persoalan. Fokus pemberitaan paling-tidak dapat memberikan indikasi tentang sejauhmana media melihat perang sebagai “problem”, sehingga perlu terus-menerus dipertanyakan urgensinya. Ataukah yang terjadi justru kecenderungan media untuk pertama-tama melihat entitas perang sebagai komoditi. Maka yang menjadi prioritas kemudian adalah bagaimana mengolah momentum perang ini sedikian rupa sehingga dapat menaikkan oplah, rating, atau leverage sebuah media. Fokus pemberitaan, pada titik ekstrim tertentu bisa menjadi perangkat untuk melihat apakah media banyak berperan sebagai conflic intensifier atau conflict deminisher?
Dari tema berita, tidak ada perubahan berarti pada kecenderungan media televisi untuk lebih banyak mengangkat realitas Aceh sebagai melulu “realitas perang”. Berita tentang kekerasan, tentang aksi baku-bunuh yang terjadi di medan perang masih mendominasi berita televisi tentang Aceh. Bisa dibandingkan misalnya dengan berita-berita yang melihat konflik Aceh dari sisi korban atau pengungsi. Sebanyak 51,9% dari total berita yang dianalisis, masih berfokus pada pelaku konflik. Sementara hanya 14,2 % berita yang memberikan fokus kepada korban konflik.
Baku bunuh, kekerasan masih dianggap lebih penting untuk diberitakan daripada kondisi para pengungsi atau korban. Mungkin karena adegan-adegan kekerasan akan dengan cepat memuaskan rasa keingintahuan sebagian dari publik atas perkembangan di Aceh. Mungkin karena adegan-adegan tersebut lebih merangsang penonton untuk menatap layar televisi, sebagaimana aneka rupa kekerasan yang muncul dalam berita-berita kriminal “Buser”, “Patroli”dan lain-lain.
Pada titik ini, dapat dilihat bahwa media televisi belum memberikan kontribusi memadahi terhadap upaya untuk mempertanyakan urgensi perang sebagai solusi bagi persoalan Aceh. Media sesungguhnya dapat memberikan kontribusi signifikans terhadap upaya ini jika mereka memberikan fokus yang lebih besar terhadap sisi-sisi perikemanusiaan dari konflik Aceh. Media televisi belum menggunakan potensinya yang paling besar, yakni menggalang opini publik untuk mempertanyakan kebijakan-kebijakan politik pemerintah, yang katakanlah kontraproduktif dari sisi penegakan HAM di Indonesia.
Kualitas Pemberitaan
Belakangan, sebenarnya muncul harapan agar media dapat meningkatkan kualitas pemberitaannya terhadap kasus Aceh. Muncul kritik dari berbagai pihak atas kinerja pers dalam meliput Aceh. Ada yang mempersoalkan embeddeed journalism yang banyak digunakan media, ada yang mempertanyakan nasionalisme sempit media. Muncul pertanyaan-pertanyaan seputar profesionalisme dan parsialitas media dalam meliput konflik Aceh. Ketika perdebatan tentang masalah ini menyedot perhatian banyak pihak, sebenarnya telah ditemukan titik-pijak untuk memperbaiki kinerja media dalam meliput Aceh. Kritik-kritik yang muncul, bagaimanapun akan menjadi referensi bagi proses peliputan selanjutnya.
Namun ketika harapan itu muncul, kita dihadapkan pada surutnya perhatian media terhadap Aceh. Bahkan ketika perang itu sendiri masih terus berkecamuk, dan intensitas konflik belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Harapan akan perbaikan kualitas liputan itu semakin sulit karena disisi lain muncul problem pada level newsgathering. Media televisi masih membiarkan dirinya sangat tergantung pada sumber-sumber resmi pemerintah. Sebanyak 60,8 % sumber yang dikutip televisi pada periode yang diamati, tup, adalah sumber resmi pemerintah : TNI, Kepolisian, Pemerintah dan DPR. Bandingkan dengan sumber GAM yang hanya 4,1 %, atau sumber tokoh dan warga masyarakat Aceh sebesar 11, 6%. Media masih terus menyuarakan realitas psikologis kaum elit kekuasaan, terutama TNI. Dengan demikian, media sesungguh tetap menghadapi kesulitan untuk melepaskan diri dari kerangka pemberitaan pemerintah. Kerugian terbesar, tentu saja karena media tetap gagal dalam menghadirkan diskusi yang dialogis dan seimbang soal konflik Aceh. Apalagi media di sisi lain juga tidak terjadi perubahan pada lemahnya media televisi dalam memenuhi prinsip-prinsip cover botshide. Sebanyak 51,9% dari 268 total berita yang dianalisis, tidak memenuhi prinsip cover both side. Untuk sesuatu yang paling esensial dalam jurnalisme, dan sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan pun, media televisi tetap lalai.

1 comment:

Rahadian P. Paramita said...

Yang menarik, saya pernah diskusi dengan pengelola program salah satu TV swasta. Buat mereka, strategi yang dikembangkan adalah kuantitas tayangan. Kalau satu berita diberitakan media lain cuma 20 menit, mereka berani lipatgandakan durasi pemberitannya sehingga sekilas ini bagian dari agenda setting. Padahal tujuan utamanya adalah menarik penonton, soal kualitas pemberitaan... yaah begitulah... :D Salam!

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here