Tuesday, June 06, 2006

Realitas dan Kajian Media

Oleh Thomas Hanitzsch

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti yang dimuat di KUNCI (8, 2000). Berangkat dari memperdalam kritik terhadap kosep hegemoni saya akan merevisi kajian terhadap majalah remaja HAI.

R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.

Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).

Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama, proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua, teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga, teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat, referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.

Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?

Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.

Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ (KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng-copy) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.

Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)

Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI. Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" (KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".

Pertama, pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua, pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.

Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).

Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.

Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal (the truth out there), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.

Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.

Thomas Hanitzsch
Peneliti Program S3 di Technische Universität Ilmenau, Jerman. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang wartawan di Indonesia dan mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.


Referensi

Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan, Jakarta.

Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 317-340.

Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America, Berkeley.

Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.

Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.

Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.

Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 341-363.

Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen.

Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.

Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.

Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System, New York/London.

Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire, New York.

Roboh Rasionalitas dan Moralitas Politik Kami

Oleh Dedy N Hidayat


Akhir dekade '80-an, contohnya, reformasi politik di Rusia dan Eropa Timur yang digerakkan oleh klaim-klaim keberlakuan universal dari rasionalitas dan moralitas sejumlah metanarasi proyek pencerahan (yang memuat ide-ide demokrasi, hak-hak asasi, kebebasan, dan keadilan), harus menerima kenyataan adanya berbagai keyakinan, ide, visi, dan tingkah laku regresif yang menyelinap sebagai free riders dalam proses reformasi di kawasan itu. Elemen-elemen regresif tersebut-yang dipenuhi oleh irasionalitas klaim-klaim primordial dan lokal, dan yang seharusnya telah lama terkubur dalam sejarah hitam peradaban manusia-bisa diamati melalui sejumlah fenomena. Satu di antaranya adalah munculnya konflik berdarah di Rusia dan Yugoslaviadi mana manusia membunuh sesamanya hanya karena perbedaan ciri-ciri etnik, ras, atau agama. Kemudian bisa juga diamati dari kembalinya neo-Nazisme di Jerman dan Austria yang meyakini mitos superioritas ras "Arya" dan memandang manusia ras lain sebagai sub-human, ataupun lahirnya kelompok ultrakanan Vladimir Zhirinovsky yang berusaha menghidupkan kemaharajaan Rusia.


Dalam bobot yang tidak jauh berbeda, proses-proses yang berlangsung selama reformasi politik di negeri kami pun juga telah menciptakan peluang bagi terbukanya kotak Pandora, memunculkan kembali beragam keyakinan, ide serta tingkah laku yang justru bertentangan dengan hakikat rasionalitas dan moralitas dilakukannya reformasi itu sendiri. Reformasi politik untuk mengakhiri tirani kekuasaan rezim Orde Baru, demi terciptanya kehidupan politik yang lebih demokratis berdasarkan mayoritas pendapat yang dihasilkan melalui pertukaran opini secara rasional, ternyata telah dibayangi oleh tendensi munculnya democrazy yang lebih didasarkan atas kemampuan unjuk kekuatan massa (secara fisik), melalui agitasi dan pemanfaatan irasionalitas simbol-simbol dan sentimen-sentimen tertentu yang masih bisa digali dan dieksploitasi dari budaya masyarakat kita.


Fenomena reformasi politik di Tanah Air, seperti halnya di Eropa Timur, merupakan kasus di mana peluang demokratisasi justru tercipta oleh keruntuhan ekonomi-berlawanan dengan tesis bahwa demokratisasi politik merupakan produk pertumbuhan ekonomi kapitalis, melalui penciptaan kelas menengah independen. Masalah yang kemudianmuncul adalah bagaimana dalam kondisi ekonomi yang buruk, proses demokratisasi bisa berjalan mulus tanpa harus membuka kotak Pandora yang penuh berisi sentimen primordial dan irasionalitas politik.


Robohnya rasionalitas politik jelas terlihat melalui berbagai tingkah laku politik kelompok elite ataupun
massa, terutama dalam pertikaian dan konflik-konflik berdarah yang melibatkan amuk massa dan yang dipicu oleh sentimen primordial, prasangka sosial, serta alasan-alasan irasional lainnya. Sebab, rasionalitas suatu tindakan politik, sekurangnya melibatkan optimalisasi tiga hal. Pertama, penentuan pilihan tindakan politik terbaik untuk mencapai suatu tujuan politik, berdasarkan keinginan dan keyakinan politik yang dimiliki (termasuk konsepsi tentang suatu realitas politik). Kedua, keyakinan atau konsepsi politik itu sendiri haruslah merupakan pilihan terbaik dari sejumlah kemungkinan yang bisa dibentuk berdasarkan bukti-bukti serta argumen yang ada. Ketiga, keyakinan atau konsepsi politik tersebut juga harus rasional, memiliki konsistensi internal (antara lain harus secara optimal didukung oleh bukti-bukti serta argumen yang memadai; dan pengumpulan bukti serta penyusunan argumen itu pun juga harus dilakukan secara rasional, tidak selektif dan manipulatif).


Irasionalitas, dengan demikian, bisa muncul di tiap bagian yang ada dalam mata-rantai antara tujuan tindakan - keyakinan - keinginan - dan bukti serta argumen. Dalam kasus Maluku, contohnya, tindakan kekerasan serta unjuk kekuatan yang dilakukan, jelas bukan merupakan pilihan terbaik untuk mencapai tujuan politik tiap kelompok yang terlibat dan menginginkan penyelesaian; semua tindak kekerasan serta unjuk kekuatan ternyata hanya membuat masalah semakin berlarut-larut serta merugikan semua pihak. Tindakan politik itu pun lebih didorong oleh keinginan untuk meniadakan kelompok lain atau balas dendam. Lebih jauh, keinginan seperti itu juga banyak didasarkan keyakinan atau konsepsi tentang realitas politik yang tidak tepat, yang terbentuk oleh sentimen primordial, argumen-argumen tidak logis, bukti-bukti tidak memadai, yang diperoleh secara selektif, hasil manipulasi informasi atau sekadar rumor. Kesemuanya bahkan mungkin hanya didasarkan pada dikotomi artifisial tentang "kita" dan "mereka", ataupun stereotipe dan prasangka negatif tentang kelompok lain.


Irasionalitas politik serupa juga bisa diamati dalam berbagai tindakan politik yang dilakukan elite ataupun massa dalam berbagai proses politik selama era reformasi, dari pembentukan platform partai, penyelenggaraan kampanye politik, pemilihan partai dan pimpinan politik, hingga penyelesaian berbagai masalah politik yang terjadi di Tanah Air.


Irasionalitas politik bisa pula muncul sebagai apa yang disebut the weakness of will ataupun the excess of will (Elster, 1991). Yang pertama merujuk pada kondisi di mana tindakan politik yang dilakukan bertentangan dengan pilihan tindakan politik terbaik yang secara rasional harus dilakukan; itu antara lain disebabkan oleh faktor ketidakmampuan menahan keinginan untuk melakukan tindakan atas dasar solidaritas primordial semata-mata. Sementara the excess of will bisa mengambil contoh di mana tindakan untuk turut memperjuangkan reformasi bukan mengarah pada tujuan demi terciptanya kehidupan politik yang lebih demokratis, melainkan justru terutama sekali untuk menciptakan peluang bagi muncul dan berkuasanya suatu partai atau kelompok politik pembawa visi serta ideologi totaliter tertentu (yang mungkin tidak kalah represifnya dibanding yang dimiliki rezim penguasa sasaran reformasi itu sendiri).


Moralitas dan pers

Rasionalitas politik, bagaimanapun, bukanlah satu-satunya isu pokok. Sebab, rasionalitas politik bisa ditampilkan untuk tujuan-tujuan penindasan dan dominasi politik. Semua tindakan irasional yang dilakukan masyarakat dalam konflik berdarah di Maluku, contohnya, bisa merupakan bagian suatu desain akbar tindakan rasional kelompok elite politik tertentu untuk pencapaian tujuan-tujuan politik mereka-yang bertentangan dengan nilai-nilai universal etika dan moralitas politik-dengan memanfaatkan irasionalitas serta sentimen-sentimen primordial yang masih bisa digali dari budaya masyarakat.


Rasionalitas politik hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan agar secara optimal bisa mencapai suatu tujuan politik, tanpa sedikit pun mengatakan tujuan apa yang sebaiknya harus dicapai. Rasionalitas politik seperti itu lebih mewakili suatu instrumental rationality, atau formal rationality, yang didasarkan atas pragmatisme kalkulasi rasional untuk tujuan-tujuan efisiensi dan maksimalisasi kekuasaan politik.


Dalam konteks rasionalitas instrumental, maka nilai-nilai humanisme substansif-yang berlaku lintas etnis, agama dan ras, seperti keadilan sosial, hak-hak asasi manusia, serta perikemanusiaan yang adil dan beradab-bisa menjadi sekadar nilai instrumental, yang dipegang hanya sejauh masih bisa berfungsi sebagai instrumen pencapaian tujuan maksimalisasi kekuasaan politik tertentu.


Di lain pihak, reformasi-reformasi politik besar yang berlangsung sejak beberapa abad lalu, tidaklah semata-mata digerakkan oleh rasionalitas politik, tetapi didasarkan pula atas elemen-elemen non-rational yang berkaitan dengan etika dan moralitas politik tertentu. Lahirnya negara kesejahteraan (welfare state), contohnya, tidaklah dihasilkan melalui gerakan sosial yang semata-mata didasarkan atas kekuatan rasionalitas politik belaka, melainkan juga oleh adanya moral resources, berupa komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial yang berlaku untuk semua kelompok etnik, ras, agama, dan sosial-politik.


Karena itu, sebenarnya yang diperlukan adalah suatu rasionalitas politik yang memuat elemen-elemen nonrasional, berupa nilai-nilai etika dan moralitas politik yang berlaku universal, yang kesemuanya ditempatkan sebagai bagian dari cara (means) sekaligus sebagai tujuan akhir (ends) untuk melakukan aktivitas berpolitik. Rasionalitas dan moralitas politik suatu bangsa-ataupun robohnya kedua hal tersebut-bisa tercermin melalui teks isi media. Isi media merupakan produk dari praktik-praktik wacana (discource practices) pada level industri media, yang berkaitan dengan rasionalitas dan moralitas di balik proses-proses memroduksi dan mengkonsumsi teks. Artinya, teks isi media tidak terlepas dari rasionalitas dan moralitas yang mendasari berlangsungnya interaksi antara berbagai kekuatan, baik yang melekat pada struktur pasar dan kepemilikan dalam industri media, ideologi politik dan "ideologi" profesi jurnalis, selera khalayak, dan kekuatan berbagai kelompok politik dalam masyarakat. Keseluruhan praktik wacana itu sendiri tidak terlepas dari rasionalitas dan moralitas praktik-praktik sosial-budaya (socio-cultural practices) yang menjadi konteks proses memproduksi dan mengkonsumsi teks isi media.


Namun, secara bersamaan, rasionalitas dan moralitas teks isi media juga mampu mempengaruhi praktik-praktik wacana ataupun sosial-budaya yang melekat dalam struktur industri media dan struktur sosial-budaya. Atas dasar premis adanya interaksi antara structure dan agency-yang salah satu intinya mengakui bahwa individu adalah produk struktur sosial-budaya, namun secara bersamaan individu yang menempati struktur tertentu memiliki pula potensi untuk mengubah struktur-maka posisi jurnalis, sebagai human agencies, dalam keseluruhan struktur yang ada, sebenarnya amat strategis.


Karenanya, prospek pengembangan rasionalitas dan moralitas politik dalam reformasi di Tanah Air akan turut ditentukan oleh kelompok jurnalis. Pertama, sebagai kekuatan profesional yang independen, yang hanya berpihak pada rasionalitas kaidah-kaidah memroduksi teks isi media; kedua, sebagai kekuatan moral independen, yang menunjukkan keberpihakannya bukan pada kelompok tertentu, namun pada nilai-nilai etika dan moral universal melalui tes isi media yang diproduksinya.Bagaimanapun, adanya media sebagai suatu public sphere yang menjadi wadah diskursus rasional, dan mengacu pada kaidah-kaidah etika serta moralitas politik yang berlaku universal, merupakan suatu legitimate principle bagi demokrasi, apa pun nama demokrasi tersebut.

* Dedy N Hidayat, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI).

Monday, June 05, 2006

TOTAL PROPAGANDA: Perspektif Kritis terhadap Iklan

Ketika ada ABG mengecat rambutnya menjadi merah, banyak orang terperanjat dan bergumam, "Korban iklan apa lagi?" Maka, warna rambut pun menjadi obrolan orang tua karena itu adalah dagangan 'gaya hidup' terkini. Saya pun pernah terkena giliran. Saat seorang keluarga tergiur kosmetik pemutih kulit, saya pun berteriak sama, "Korban iklan apa lagi?" Tapi itulah. Walaupun krisis masih melanda negeri ini, ribuan remaja terus saja jadi korban iklan. Dan mereka pun tiba-tiba mendambakan rambut warna-warni, kosmetik dan parfum berganti-ganti, handphone bermacam seri, dan impian mobil mewah keluaran terkini. Welcome to Consumer Society!.

Tumbuhnya masyarakat pasar-industri (the market-industrial society) dalam konteks kapitalisme modern ternyata telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat. Sejak revolusi industri yang membawa pelipatgandaan barang-barang yang dikonsumsi manusia, untuk pertama kalinya, masyarakat hidup dikelilingi oleh beragam komoditas barang dan jasa dalam jumlah dan keragaman foo[2]luar biasa. Walaupun awalnya, barang-barang yang diproduksi lebih merupakan duplikasi dari apa yang digunakan di dalam rumah, inovasi dalam produksi modal industri semakin lama membanjiri pasar, memberikan aneka pilihan, jauh melampaui sekadar kebutuhan dasar (basic needs) yang diperlukan.
Industri dalam kapitalisme modern memiliki kemampuan menciptakan 'kebutuhan-kebutuhan baru' dalam kehidupan. Akibatnya, masyarakat sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran kebutuhan menarik yang mereka sendiri awalnya tak merasa pasti benar-benar membutuhkannya.

MASYARAKAT DAN KOMODITAS

Saat ini partisipasi masyarakat dunia amat tinggi, dan fenomena partisipasi aktif ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme. Masyarakat kapitalis mutakhir disebut Foucault dengan “masyarakat konsumer” (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 195) dan Adorno dengan “masyarakat komoditas” (commodity society).

Adorno mengemukakan empat aksioma penting yang menandai “masyarakat komoditas”. Empat aksioma tersebut adalah ; Pertama, kita hidup dalam suatu masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental.

Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi.

Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri.

Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” (full of antagonism). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” (economic sphere) tetapi juga ke “wilayah budaya” (cultural sphere).

Masyarakat kini hidup dalam budaya konsumer. Ada tiga perspektif utama mengenai budaya konsumer menurut Featherstone (1991). Tiga perspektif yang dimaksud adalah ; Pertama, budaya konsumer di dasari pada premis ekspansi produksi komoditas kapitalis yang telah menyebabkan peningkatan akumulasi budaya material secara luas dalam bentuk barang-barang konsumsi dan tempat-tempat untuk pembelanjaan dan untuk konsumsi. Hal ini menyebabkan tumbuhnya aktivitas konsumsi serta menonjolnya pemanfaatan waktu luang (leisure) pada masyarakat kontemporer Barat.

Kedua, perspektif budaya konsumer berdasarkan perspektif sosiologis yang lebih ketat, yaitu bahwa kepuasan seseorang yang diperoleh dari barang-barang yang dikonsumsi berkaitan dengan aksesnya yang terstruktur secara sosial. Fokus dari perspektif ini terletak pada berbagai cara orang memanfaatkan barang guna menciptakan ikatan sosial atau perbedaan sosial.

Ketiga, perspektif yang berangkat dari pertanyaan mengenai kesenangan/kenikmatan emosional dari aktivitas konsumsi, impian dan hasrat yang menonjol dalam khayalan budaya konsumer, dan khususnya tempat-tempat kegiatan konsumsi yang secara beragam menimbulkan kegairahan dan kenikmatan estetis langsung terhadap tubuh.

Sejalan dengan pemikiran ini Pilliang mengemukakan bahwa :

Kebudayaan konsumer yang dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu, yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, aspirasi, keinginan dan nafsu, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan sendirinya (Piliang, 1999, hal. 44).


Selain itu Pilliang juga mengemukakan bahwa :

Demi tetap berlangsungnya sistem kapitalisme, apa yang disebut dengan kapitalisme global, misalnya, memangsa apa saja-artinya menjadikan komoditi apa saja- mulai dari hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, kepribadian, penampilan, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinansi dan fantasi, demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya kapital (Piliang, 1999;hal.117)

Hal yang penting yang terdapat dalam masyarakat komoditas adalah proses pembelajaran. Dalam masyarakat komoditas atau masyarakat konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup. Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup. Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media.

SEMIOTIKA DAN ESTETIKA MODERN DALAM MASYARAKAT KOMODITAS

Dalam masyarakat komoditas, konsumsi sudah merupakan suatu tanda atau makna keberadaan manusia modern itu sendiri. Segala bentuk pemasaran telah dikomodifikasikan dalam bentuk yang lebih persuasif sekaligus hegemonik melalui simbol-simbol yang digunakan dalam sebuah iklan. Dapat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah media baru bahkan pesan yang dibungkus dalam simbol merupakan media itu sendiri.

Desain, mode, bentuk kata, tipografi muncul sebagai “avant garde” yang pada akhirnya menjadi penentu kebutuhan manusia. Dalam konteks permasaran modern, seseorang sekarang membeli bukan karena barang atau jasa itu sendiri tapi rangkaian kata, simbol yang membentuk gaya hidup yang disimbolisasikan dalam tanda-tanda yang dibuat. Sekarang ada istilah yang disebut sebagai “consumers are the citizen of Brand”. Atau dengan kata lain, kalau kita makan mie sebenarnya yang kita makan adalah merek mie tersebut, kalau kita memakai celana jeans kita tidak semata-mata memakai celana, tapi menggunakan gaya hidup yang inheren melekat dalam jeans tersebut. Logika konsumen adalah logika merek atau brand. Satu sisi kekuatan iklan modern terletak pada daya rayu Iklan yang menekankan aspek simbolisasi yang berhubungan dengan gaya hidup manusia. Penekanan aspek simbolisasi tentu saja akan sangat berhubungan dengan kemampuan manusia untuk menarasikan dan mengabstraksikan gaya hidup dalam sekumpulan tanda, ikon atau indeks yang tepat.

Tapi hal yang perlu dipahami adalah bahwa aspek simbol, ikon atau terminologi apa saja yang ada dalam telaah semiotika berhubungan dengan proses kultur dalam hal ini adalah kultur konsumtif manusia.Pola nilai budaya yang hidup dalam sebuah masyarakat akan sangat berhubungan dengan sistem nilai dan penafsiran tentang apa yang disebut dengan indah atau menarik. Estetisasi budaya konsumtif merupakan aras pelengkat dalam daya pikat iklan tertentu. Dalam pemahaman ini, maka wajar bahwa sebuah iklan dalam budaya tertentu merupakan kombinasi –meminjam istilah Saussure- langue (konsep) dan parole (tuturan).

Dari penjelasan yang diungkapkan di atas terlihat bahwa ranah iklan terutama bagi masyarakat modern merupakan ranah kebudayaan selain bahwa iklan tetap pada domain pemasaran, komersialisasi dan kreativitas seni. Kombinasi domain ini menyebabkan iklan menjadi salah satu kekuatan kapitalisme modern yang berpenetrasi pada wilayah sosial, psikologis, politik, ekonomi dan lainnya. Iklan menjadi bentuk yang sangat jelas bahwa lingkar dan belalai kapitalisme modern sampai menusuk pada ulu hati individu yang berpengaruh pada cara nilai, cara pandang, cara berbelanja, cara makan, cara berkacamata dan masih banyak cara-cara yang lain.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengatakan bahwa berbicara tentang iklan modern, berbicara juga tentang total propaganda. Propaganda dalam arti penyampaian, penyusupan dan invasi ekonomis yang masuk dalam wilayah pribadi para konsumen, di mana konsumen sendiri tidak menyadari bahwa mereka sedang dibujuk, dipersuasi, dirayu bahkan di”rampok” habis-habisan oleh sistem kapitalisasi yang semakin lama semakin cantik, menggairahkan dan penuh dengan godaan.



[1] Penulis adalah dosen Pengajar di Universitas Paramadina Jakarta, STIKOM Prosia Jakarta. Penulis bisa dihubungi pada email eka.wenats@paramadina.ac.id atau http://ekawenats.blogspot.com

[2] Makalah dibuat untuk Seminar tentang Periklanan dan PR di era Komunikasi Multimedia di STIKOM Prosia Jakarta.

Friday, June 02, 2006

Media dan Efek pada Masyarakat

I. MEMAHAMI EFEK MEDIA PADA MASYARAKAT

I. 1. EFEK INDIVIDU DAN EFEK MASYARAKAT

Menjawab pertanyaan tentang efek sosial dari media, bisa jadi semudah mengumpulkan efek media pada individu dalam sejumlah besar orang. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagai contoh, diperkenalkannya televisi di Amerika Serikat tidak memperlihatkan adanya hubungan dengan tingkat kejahatan di kota-kota yang pertama kali memiliki televisi. Walaupun dampak televisi pada kriminalitas baru terlihat 15 tahun kemudian ketika anak-anak yang menonton televisi telah menjadi dewasa.

Demikian pula, pornografi bisa menimbulkan perilaku agresif terhadap wanita, tetapi tidak ada hubungan antara ditayangkannya pornografi dengan kejadian pemerkosaan. Kota-kota yang memiliki tingkat konsumsi televisi yang tinggi justru tingkat kejahatannya rendah, barangkali karena penonton televisi tidak punya banyak kesempatan untuk berjumpa dengan sanak saudaranya atau mereka tidak punya waktu untuk keluar rumah. Bahkan di negara seperti Denmark, dengan aturan pornografi yang lebih longgar dari AS justru jarang terjadi pemerkosaan. Sementara itu eksperimen di laboratorium menunjukkan bahwa orang-orang yang melihat perilaku anti sosial di televisi menunjukkan peningkatan dalam perilaku anti sosialnya.

Dengan kenyataan banyaknya tayangan kejahatan dan seksual di media, kita akan tergiring pada sebuah pertanyaan yang berbunyi : “kenapa hanya terjadi sedikit kejahatan ?”, bukannya : “kenapa begitu banyak ?”. Bagaimana kita menjelaskan hal ini ? Salah satu kemungkinannya adalah eksperimen di lakukan dalam kondisi buatan dan bukan sebenarnya.

Penelitian lapangan dengan populasi yang lebih besar dalam kondisi yang lebih realistis akan memberikan berbagai hasil berupa pola-pola yang lebih kompleks. Dengan kata lain alasan kenapa kita tidak melihat bukti yang jelas dari dampak media pada masyarakat adalah karena dampaknya pada tingkat individu tidak sekuat yang mereka duga.

I. 2. KRITIK SOSIAL

Dalam membahas dampak media pada masyarakat, para ahli cenderung mengabaikan pendekatan kuantitatif dalam penelitian karena mereka menganggap masalah-masalah yang dihadapi terlalu besar, berbagai kekuatan sosial tidak terlihart jelas atau bahkan metode-metode ilmiah yang digunakan terlalu sempit untuk menangkap hubungan antara media dan masyarakat.

Dengan mempertimbangkan secara hati-hati tentang hubungan antara media dan masyarakat, para ahli tersebut bukan hanya harus mampu menggambarkan “apa yang sesungguhnya terjadi”, tetapi juga “apa yang akan terjadi di kemudian hari”. Banyak kritisi sosial memberikan pengertian yang lebih baik tentang dimana kita sekarang dan kekuatan apa yang membawa kita kesini.

Salah satu ahli yang bernama Marshall Mc. Luhan mengatakan bahwa perubahan dalam masyarakat terjadi karena kemampuan membaca yang mendorong ke arah kebudayaan modern dari ilmu pengetahuan. Kritisi lain melihat fenomena yang sama dan mengatakan hal itu diakibatkan determinisme budaya, yaitu budaya sebagai faktor pendorong dan teknologi muncul untuk melayani kebutuhan budaya.

II. MEDIA KOMUNIKASI DAN PERBEDAAN SOSIAL

Salah satu masalah dari para teorisi tentang masyarakat adalah perbedaan antar kelompok-kelompok sosial, seperti ras, jenis kelamin dan kondisi ekonomi. Apa sebenarnya sumber dari perbedaan sosial ? Sejalan dengan bertambah kompleksnya masyarakat, maka pelapisan sosial juga bertambah banyak - semakin terdapat perbedaan dalam kelompok dan kelas-kelas sosial.

Masalahnya, dapatkan media komunikasi mengatasi perbedaan sosial ? Program televisi seperti Sesame Street dan perpustakaan serta sekolah berupaya agar anak-anak memperoleh pendidikan dasar melalui media massa. Telepon dan kemudian internet juga dapat meningkatkan akses informasi bagi mereka yang kurang mampu. Namun, masalahnya, apakah mereka mau.

II. 1. EKONOMI POLITIK

Pada abad ke-19, filsuf politik Karl Marx berpendapat bahwa konflik antar kelas sosial - khususnya konflik antara pemilik alat produksi dan mereka yang bekerja untuknya - ada pada masalah-masalah politik. Masyarakat industri menimbulkan perbedaan sosial.

Walaupun masyarakat industri di masa kini tidak lagi sama dengan keadaan pada jaman Marx, kondisi ekonomi politik menunjukkan bahwa masyarakat miskin tak banyak yang memiliki telepon atau akses internet. Semakin kuat suara kritikus bahwa media massa masih mendukung kepentingan kelompok penguasa dan menyuarakan pandangannya terhadap dunia dan masalah-masalah sosial dalam teknologi komunikasi tetap ditentukan oleh kelas sosial yang lama.

Kemungkinan hubungan antara media massa dan perbedaan sosial dapat digambarkan melalui contoh berikut ini. Jika iklan di media massa mendorong orang untuk beli mobil, sehingga menyebabkan karyawan menganggap dirinya layak membeli mobil, walaupaun ia membenci pekerjaannya, merasa digaji kecil dan merasa lebih suka naik sepeda. Walaupun berita TV menyiarkan pemogokan di pabrik setempat, sang reporter menyampaikannya bagai pertandingan sepak bola, menceritakannya bagai suatu pertandingan - ada pemenang dan ada yang kalah. Tak pernah menyentuh masalah dasar yang diperjuangkan oleh para buruh.

Perkembangan ini mempengaruhi isi media, baik dalam bentuk yang terlihat maupun yang tak terlihat. Para ahli ekonomi politik percaya bahwa tindakan-tindakan tersebut mendorong timbulnya hegemoni kekuasaan yang berpengaruh pada kepentingan rakyat banyak.

II. 2. KESENJANGAN PENGETAHUAN

Pertanyaan tentang apakah media komunikasi berkontribusi pada perbedaan sosial telah menarik minat sejumlah ahli untuk meneliti kesenjangan pengetahuan. Pandangan ini menyebutkan adanya golongan yang memiliki banyak (kaya) informasi dan golongan yang memiliki sedikit (miskin) informasi.

Mereka yang kaya informasi adalah yang berpendidkan tinggi dan memiliki banyak akses informasi seperti perpustakaan dan komputer. Sedangkan yang miskin informasi adalah mereka yang berpendidikan rendah dan tak memiliki akses informasi - dan biasanya juga miskin secara ekonomi.

Informasi yang diberikan kepada kedua kelompok tersebut dalam masyarakat akan lebih dinikmati oleh mereka yang kaya informasi daripada yang miskin informasi, sehingga semakin memperlebar kesenjangan diantara kedua kelompok tersebut. Dalam banyak studi yang dilakukan, kesenjangan informasi bukan saja ada tetapi semakin diperlebar oleh media, bahkan juga oleh program TV “Sesame Street” yang sesungguhnya diciptakan untuk menjembatani kesenjangan tersebut.

II. 3. SEBUAH KURIKULUM YANG TERSEMBUNYI ?

Ada yang mengatakan bahwa walaupun kita sudah berusaha menutup kesenjangan pengetahuan dengan menggunakan media komputer yang baru kita masih menanggung resiko berlangsungnya perbedaan sosial. Mungkin pelatihan komputer benar-benar mengisi kurikulum yang tersembunyi yang menekankan nilai-nilai dominan dengan mengajari anak-anak perempuan dan kaum minoritas untuk mematuhi perintah-perintah dan menerima tugas-tugas yang berulang. Pelatihan itu juga mengajarkan para siswa untuk menerima kewenangan yang dipersonifikasikan oleh figur orang dewasa yang menetralkan aplikasi komputer dan memberikan bantuan kepada penggunanya.

Menurut argumen ini, upaya-upaya yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan pengetahuan dengan mengajarkan kemampuan penguasaan komputer pada wanita dan kaum minoritas hanya memperburuk masalah dengan mengkondisikan mereka untuk menerima posisinya dalam suatu sistem ekonomi yang diekploitasi.

Kritikus lain berargumen bahwa media massa konvensional memilki agenda tersembunyi. Sebagian diantaranya berpikir bahwa tujuan mereka bukanlah untuk memberi informasi dan menghibur khalayaknya, tetapi untuk mempromosikan budaya konsumerisme dan materialisme demi kepentingan pemasang iklan / bukan kepentingan rakyat.

II. 4. RAS DAN GENDER

Pola-pola pekerjaan di dalam industri informasi tampaknya mencerminkan kesenjangan ini. Industri yang menciptakan informasi dan yang menciptakan teknologi informasi serta jabatan-jabatan yang menggunakannya sebagian besar didominasi oleh pria kulit putih.

Keadaan ini tidak lebih baik di media komputer. Menurut National Science Foundation, hanya 3% dari spesialis komputer adalah orang Afrika keturunan Afrika. Walaupun wanita seperti Lady Ada Byron Lovelace dan Grace Hopper memainkan peranan penting dalam industri komputer, namun wanita masih sangat tidak terwakili di bidang ilmu komputer. Wanita di dalam profesi komputer pada umumnya menerima bayaran yang lebih rendah daripada rekan prianya, walaupun kesenjangan ini masih lebih kecil dibandingkan dengan profesi lain.

Wanita juga memiliki resiko kehilangan pekerjaan yang lebih besar ketika kantornya menerapkan otomatisasi atau menggunakan robot untuk menggantikan buruhnya.

III. MEDIA KOMUNIKASI DAN KOMUNITAS

Apa dampak yang dimiliki media komunikasi pada hubungan-hubungan komunitas dan interpersonal kita yang paling bernilai dan yang paling intim ? Ketika kita mengalokasikan waktu luang, konsumsi media akan bersaing dengan kehidupan sosial dan komunitas kita dan itu akan semakin menguasai waktu luang kita sejalan dengan bertambahnya usia.

Pemakaian televisi misalnya dapat menurunkan keterlibatan kita pada komunitas dan komunitas maya dalam internet akan menggantikan hubungan tatap muka. Orang juga punya kecenderungan untuk memperlakukan media komunikasi seolah-olah mereka adalah manusia, misalnya berbicara pada televisi dan memberikan nama panggilan pada komputernya. Interaksi semcam ini merupakan substitusi dari hubungan interpersonal yang jelek.

III. 1. DESA YANG GLOBAL

Beberapa pengamat percaya bahwa media komunikasi baru dapat membangun komunitas sebanyak komunitas yang dihancurkannya. Ilmuwan komunikasi dari Kanada, Marshal Mc. Luhan, membuat istilah desa global untuk menggambarkan dalam teknologi komunikasi yang menurut dia tampaknya menarik seluruh dunia bersama-sama ke dalam sebuah kota kecil yang diperantarai secara elektronik. Dia mengatakan hal ini di tahun 1960-an jauh sebelum internet jadi kenyataan. Seorang ilmuwan kontemporer bernama Rhein Gold, melihat World Wide Web sebagai suatu kesempatan untuk membentuk hubungan pribadi yang bermakna yang telah hilang ketika toko-toko berubah menjadi shopping mall.

Dari e-mail ke newsgroup, ke listserves, ke chatrooms, ke multi user role playing games, internet menyajikan sejumlah kesempatan untuk membentuk hubungan sosial secara online dan para pengguna internet mengambil keuntungan dari kesempatan ini. Dengan demikian internet menjadikan komunitas psikologis yang memperluas hubungan kita melintasi waktu dan jarak, lebih mudah terbentuk, bahkan juga untuk menciptakan komunitas maya dari sekelompok orang yang mnegenal satu sama lain hanya melalui jaringan komunikasi.

Namun demikian, apakah komunitas internet sama dengan komunitas sebenarnya ? Semua itu tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan “komunitas”. Salah satu karakteristik penting komunitas, yaitu kemampuan untuk menciptakan dan memberlakukan aturan dan tata krama, tampaknya juga ada dalam chatroom internet atau newsgroup.

Tetapi, hanya situs internet yang memungkinkan penggunanya untuk berkontribusi dan berinteraksi secara langsung antar pemakai akan mampu menciptakan komunitas yang lebih bermakna.

Hubungan melalui internet mungkin lebih unggul dalam beberapa hal daripada interaksi yang alami, karena interaksi tersebut dapat dibentuk melalui pertukaran kebutuhan bersama, bebas dari stigma tertentu seperti ras, jenis kelamin, kelas sosial dan cacat fisik yang menghambat (karena tidak ada perjumpaan langsung).

Mungkin hal ini akan membantu kita semua untuk mengatasi terputusnya hubungan sosial yang didorong oleh sub-urbanisasi (misalnya beralihnya wilayah pemukiman dari Jakarta ke Depok) dan oleh menurunnya keberadaan keluarga besar serta segmentasi yang kita lakukan menjadi begitu banyak pasar sasaran oleh pemasang iklan di media massa.

Selain itu juga ada upaya untuk memperkuat komunitas dunia nyata dengan melapisinya dengan komunitas elektronik yang dapat memfasilitasi dialog publik dan jangkauan lintas hambatan budaya. Sesungguhnya banyak hubungan online akan dilanjutkan dengan pertemuan di dunia nyata.

III. 2. FRAGMENTASI SOSIAL

Kelompok-kelompok sosial dapat megubah dirinya menjadi saluran komunikasi dengan ide-ide baru, dan kelompok tersebut menjadi lebih mampu menyesuaikan budaya untuk kepentingan mereka. Dengan semakin sedikitnya pertukaran informasi, budaya terpecah belah, bangsa dan negara larut dalam kekacauan.

Dalam beberapa hal, tak ada lagi bangsa Amerika, atau bahkan orang Amerika keturunan Asia, keturunan Afrika atau Spanyol, tetapi hanya kelompok-kelompok yang merupakan kumpulan dari budaya yang telah terpecah. Internet mungkin telah mempercepat kecenderungan semacam ini dalam masyarakat moden, dengan menceraikan hubungan sosial dari realitas fisik dan memindahkannya di balik komunitas lokal kita.

III. 3. KEHADIRAN

Sudah tentu ada sesatu yang hilang jika kita menggunakan komunikasi melalui media seperti misalnya televisi atau internet dibandingkan dengan jika kita hadir di tempat kejadian. Kita akan kehilangan nuansa-nuansa non verbal seperti sikap tubuh, ekpresi wajah dan lain-lain yang membantu kita memahami makna kata-kata lebih mendalam. Konsep ini disebut “kehadiran sosial” atau hadir tidaknya isyarat-isyarat sosial yang membantu membawa makna-makna yang tak terlihat.

Hal ini yang membuat media elektronik menjadi sarana yang inferior dalam membangun hubungan antar pribadi. Namun media tersebut masih bermanfaat untuk membina hubungan jarak jauh jika sebelumnya sudah dijalin hubungan dan untuk menyampaikan informasi.

Banyak orang yang lebih menyukai pertemuan tatap muka secara langsung jika ada hal penting yang ingin disampaikan tetapi mereka akan lebih suka megnggunakan telepon untuk mencari informasi.

III. 4. KESEHATAN DAN LINGKUNGAN

Apakah media komunikasi memepengaruhi lingkungan fisik seperti halnya lingkungan sosial bagi masyarakat ? Apabila iklan yang ditampilkan mendorong kita untuk minum alkohol atau merokok atau bahkan makan “junk food” dan menghabiskan terlalu banyak waktu berbaring di sofa maka dapat dikatakan media berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Secara fisik, media cetak juga membawa bahaya bagi kesehatan masyarakat. Kertas yang digunakan untuk mencetak berasal dari pabrik kertas raksasa yang menghabiskan sebagian besar hutan, membuat polusi di sungai-sungai dan di udara. Sebaliknya, media komputer menggunakan teknologi yang lebih sehat dengan mengurangi polusi asap. Penghuni lembah silikon dan lokasi teknologi tinggi lainnya mungkin mengingkari pernyataan ini yaitu bahwa mereka menggunakan larutan yang beracun yang digunakan dalam industri mereka.

Sampah komputer juga merupakan masalah yang besar. Menurut sebuah studi pada tahun 2005 akan terdapat 150 juta sampah komputer, cukup untuk menutupi lahan seluas satu hektar dengan tinggi tumpukan 3,5 mil. Pendaur ulang komputer saat ini mencari komputer yang telah dibuang untuk diambil beberapa material yang masih dapat digunakan dan bernilai, tetapi yang utama adalah meningkatnya kebutuhan komputer yang ramah lingjkungan dan yang pembungkusnya dapat didaur ulang

IV. MEDIA KOMUNIKASI DAN BUDAYA

Semua komunitas selalu memiliki sebuah kebudayaan dalam pengertian bahwa komunitas itu tak dapat berfungsi tanpa aturan-aturan yang disepakati untuk berkomunikasi dan menganut nilai-nilai bersama. Tetapi dapatkah kita mengatakan bahwa “konsep budaya” diterapkan pada hubungan dan persahabatan yang semu dalam internet ? Komunitas dalam internet mungkin memiliki “aturan” seperti kesepakatan untuk tidak menulis e-mail yang tidak sopan atau “nilai-nilai” seperti kepentingan bersama dalam menyalurkan hobi tertentu. Namun bahkan norma-norma yang minimal ini jarang diterapkan.

IV. 1. DETERMINASI TEKNOLOGI

Marshal Mc Luhan mengatakan bahwa teknologi media komunikasi menentukan budaya dalam beberapa hal yang sangat mendasar, gagasan ini terdapat dalam konsepnya “the medium is the message”. Nael Postman berpendapat bahwa komputer mendorong pemikiran dan kebudayaan yang disebutnya “teknopoli” di mana teknologi memiliki kendali yang luas diseluruh aspek kehidupan. Teknopoli merupakan ekses buruk dari teknokrasi dimana metode ilmiah diterapkan untuk peningkatan hidup dan juga, menurut pendapat beberapa orang, menghancurkan kebudayaan.

IV. 2. DETERMINASI BUDAYA

Apakah ini berarti bahwa budaya itu sepenuhnya ada dalam belas kasihan teknologi komunikasi ? Kita memiliki kemampuan untuk mengubahnya menjadi penggunaan baru yang tidak diantisipasi oleh para penanam modal dan pengelola teknologi.

Internet diciptakan sebagai peralatan militer, dikembangkan sebagai media untuk interaksi sosial, tetapi sekarang telah banyak digunakan untuk dunia komersial. Semua ahli terjebak dalam permasalahan budaya versus determinasi teknologi. Beberapa orang berpendapat bahwa media mencerminkan budaya tetapi tidak menciptakannya, atau mengatakan bahwa media adalah menyampaikan simbol-simbol yang kita gunakan untuk membentuk budaya. Pandangan lain adalah bahwa media massa secara potensial melimpahi budaya “sebenarnya” dari masyarakat dengan kepentingan mempertahankan hegemoni kelas.

IV.3. MEDIA MASSA DAN BUDAYA MASSA

Bagaimana media massa membentuk budaya ? Pandangan terhadap hubungan ini senantiasa berubah dari tahun ke tahun. Di awal abad ke-19 Matthew Arnold pimpinan sekolah Inggris mengatakan bahwa budaya adalah mengetahui yang terbaik yang diajarkan di dunia. Pemikir dari Amerika seperti Ralph Waldo Emerson juga berdebat tentang masa sebelum adanya budaya yang tinggi bangsa Eropa. Ia memfokuskan pada budaya yang dibangun di Amerika dan melihat ke masa depan, bukan ke belakang.

V. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI SOSIAL

V.1. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI PENDIDIKAN

Usaha untuk menerapkan perintah dengan memberikan kursus melalui media massa umumnya dikenal sebagai “pendidikan jarak jauh”. Televisi mungkin merupakan sarana belajar jarak jauh yang paling banyak dilakukan untuk mahasiswa dimana mereka mononton dosennya mengajar langsung melalui kaset via sirkuit televisi tertutup atau sistem televisi kabel dari kamar mereka.

Pendidikan jarak jauh memungkinkan siswa untuk mengambil kursus pada banyak lokasi, waktu yang berbeda dan memungkinkan mereka untuk membuat kelompok kecil di komunitas tersendiri.

Trend terakhir belajar jarak jauh adalah mengambil kursus melalui “World Wide Web”. Di sini, pada kursus maya, dapat ditemukan berbagai subjek kursus. Juga adanya “universitas maya” dimana institusi ini tidak mempunyai kampus dan bangunan. Model lain menggunakan media komunikasi internet seperti e-mail, newsgroups dan chatroom untuk menghadiri seminar maya yang mana lebih efektif dari perintah yang konvensional.

V.2. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI POLITIK

Politik adalah wilayah yang lain di mana media massa kadangkala terlihat lebih berkuasa dari pada politik yang sebenarnya. Media massa mempunyai efek penting pada proses politik antara masa pemilihan umum. Media juga berperan dalam memepengaruhi opini pemilih. Juga memuat opini publik setiap hari.

Internet juga melahirkan inspirasi bagi kehidupan politik. Seperti di Santa Monica di mana internet digunakan untuk membuka debat dengan mengundang masyarakat untuk bertukar e-mail dengan anggota dewan. Di sana masyarakatnya cukup kaya dan tersedianya internet gratis di tempat umum seperti perputakaan dan lain-lain. Tetapi internet juga dapat merusak pembicaraan politik. Ini digunakan oleh sekelompok orang-orang yang tidak menyukai pembicaraan terbuka.

Di level yang lebih tinggi, penyebaran tehnologi informasi sangat potensial untuk mencatat dan menyimpan banyak informasi tentang masyarakat, dan kontrol sosial menjadi mutlak serta kepercayaan kedua belah pihak (antara masyarakat dan pemerintah) menjadi penting untuk komunikasi politik.

V.3. MEDIA KOMUNIKASI DAN INSTITUSI EKONOMI

Media massa cenderung pada dunia bisnis dan keuangan melalui iklan yang mereka pakai. Iklan melalui media massa membuat konsumen waspada akan adanya alternatif pilihan produk dan penawaran yang spesial yang sangat menolong konsumen mendapatkan harga yang murah. Dalam skala yang lebih luas, iklan membendung, mungkin memperbaiki nilai materialistik pada konsumsi massa, meyakinkan kita bahwa mengkonsumsi banyak barang bukan merupakan kunci kebahagiaan.

Ketika bisnis mulai menggunakan komputer dan media telekomunikasi, kita pasti mengharapkan keuntungan yang besar. Tujuan yang paling penting dari investasi teknologi informasi adalah meningkatkan produktivitas, jumlah produk yang dibuat pekerja, mesin dan sumber lainnya yang dapat menciptakan produk. Seperti contohnya, Computer - Assisted Design / Computer Assisted Manufacturing (CAD/CAM) adalah sistem yang menolong designer memvisualisasikan produk baru di dalam komputer kerjanya. Ini mengurangi kebutuhan akan mahalnya model yang pertama.

Hidup dalam Jaring Informasi

HIDUP DALAM JARING INFORMASI

Oleh: Adeline M.T.

Judul: The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume I: The Rise of the Network Society (1996). Volume II: The Power of Identity (1997). Volume III: End of Millennium (1998)

Penulis: Manuel Castells

Penerbit: Blackwell Publishers

Tebal Vol.I: xxix + 594 hlm,Vol.II: xv + 461 hlm,Vol.III: xv + 448 hlm

Apa yang membuat pergantian milenium begitu spesial? Peramal membayangkan akhir jaman. Futurolog menggambarkan keterkejutan masa depan dan ‘gelombang ketiga’. Programmer meributkan soal digit tahun pada komputer.

Bagi Parto di pemukiman kumuh Jakarta , milenium baru adalah krisis ekonomi dan PHK; uang sekolah melonjak naik sementara si Upik merengek minta burger McDonald dan kakaknya ngotot berdandan gaya artis MTV; penggusuran rumah untuk membangun mal mewah; demo anti-globalisasi dan politisi busuk yang sama ngetopnya dengan Inul. Bagi Tatyana di Zagreb, milenium baru adalah pilihan berat jadi Serbia seperti ibu atau jadi Kroasia seperti bapak; karena negara tak lagi identik dengan bangsa. Bagi Bill Gates, Y2K adalah lahan subur untuk menuai uang dari penjualan piranti lunak baru.

Gejala-gejala ini dipotret sosiolog Manuel Castells dalam The Information Age: Economy, Society and Culture. Ia melihat yang terjadi adalah terpusatnya aktivitas ekonomomi, sosial dan kultural pada sistem informasi dan jaringan global.

Kalangan ilmu sosial tak asing dengan Manuel Castells, salah seorang pendiri cabang ilmu sosiologi urban yang kini mengajar di University of California , Berkeley . Buku pertamanya, La Question Urbaine (1972) diterjemahkan ke dalam 10 bahasa, edisi Inggris The Urban Question terbit 1977. Karya monumental Castells The City and the Grassroot (1983) merupakan studi komparatif terhadap gerakan-gerakan sosial perkotaan dan pengorganisasian masyarakat akar rumput yang didasarkan pada penelitian empiris di Perancis, Spanyol dan Amerika Latin.

Lahir 1942 di Spanyol, Castells belajar hukum dan ekonomi di University of Barcelona . Sebagai aktivis mahasiswa penentang diktator Franco, ia lari ke Paris dan mendapat beasiswa pengungsi politik di Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Sorbonne. Selain PhD dalam sosiologi dari University of Paris, Castells menyandang Doctorat d’Etat dalam Human Science dari Sorbonne serta doktor sosiologi dari University of Madrid. Disertasinya membahas analisa statistik atas lokasi-lokasi strategis perusahaan manufaktur di Paris.

Setelah masalah gerakan akar rumput di perkotaan, minatnya berkembang ke masalah teknologi informasi dan masyarakat. The Information City (1989) merupakan analisa tentang perubahan kota akibat teknologi informasi dan restrukturisasi ekonomi Amerika Serikat. Yang teranyar, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society (2001), menyelam lebih dalam aspek-aspek sosiologis dari internet. Castells menulis lebih dari 20 buku dan 100an artikel dalam berbagai bahasa di samping ikut menulis maupun menyunting 15 buku lain.

Sebagai komentar dan tanggapan atas The Urban Question dan The City and the Grassroot, Stuart Lowe dari University of York menulis Urban Social Movements: The City after Castells (1986). Ulasan kritis Castell tentang media dibahas Nick Stevenson dalam The Transformation of the Media.

Manuel Castells kini tinggal di Berkeley bersama istrinya Emma Kiselyova. Mereka memiliki dua anak dan tiga cucu.

Analisa yang membumi

Trilogi The Information Age merupakan hasil penelitian selama 15 tahun di Eropa, Amerika Latin dan Asia . Volume I The Rise of The Network Society bicara tentang ‘logika jaringan’ (the logic of the Net) yang mendasari masyarakat era informasi. The Power of Identity, menganalisa interaksi jaringan dan diri (self) di tengah krisis dua institusi sentral manusia: keluarga patriarki dan negara-bangsa. End of Millenium merupakan usaha memaknai transformasi historis di akhir abad ke-20. Walau ketiga buku dapat dibaca terpisah, kesimpulan dalam volume III merupakan rangkuman, integrasi antara teori dan observasi yang menghubungkan ketiga buku dalam satu tesis besar.

Analisis Castells sangat empiris. Seperti dikemukakannya (vol.I, hal.27), “ Ada dua tujuan saya menulis trilogi ini. Pertama, membumikan analisa dalam observasi tanpa mereduksi teori menjadi komentar. Kedua, mendifersifikasi secara kultural sumber-sumber observasi dan ide seluasnya.”

Walau sangat hati-hati, mantan aktivis ini menutup observasinya dengan saran tentang apa yang dapat dilakukan. Membaca trilogi The Information Age seperti mengikuti lingkaran analisa sosial, perlu kepekaan refleksi dalam mencerna data-data empiris.

Masyarakat jaringan

Apa yang dimaksud Castells ‘masyarakat jaringan’? Inilah masyarakat di mana fungsi dan proses dominan ditata sekitar jaringan—bisa internet, intranet, jaringan kerjasama berbagai perusahaan, organisasi, negara, hingga jaringan pergaulan. Logika jaringan menentukan dan memodifikasi morfologi sosial, proses produksi, kekuasaan, budaya dan pengalaman keseharian.

Bangkitnya masyarakat jaringan dipicu dan dipacu oleh revolusi teknologi informasi yang diawali dengan teknologi rekayasa mikro: elektronika, komputer dan telekomunikasi. Revolusi teknologi ini mempengaruhi masyarakat dan pola-pola relasi di dalamnya.

Sementara inti globalisasi menurut Castells adalah proses ekonomi. Untuk pertama kalinya sebuah sistem ekonomi—yaitu kapitalisme informasional global—menguasai hampir seluruh planet. Bentuk ekonomi jelas kapitalisme, karena modal memegang peran utama; dan informasional dalam arti sumber-sumber produksi dan kompetisi tergantung pada pengetahuan, informasi dan teknologi. Sifat globalnya menyangkut kapasitas untuk bekerja sebagai satu unit serentak dalam skala planet.

Menjadi dominan apa yang disebutnya perusahaan jaringan (network enterprise), yaitu jaringan yang terbentuk dari beberapa perusahaan, atau beberapa bagian dari beberapa perusahaan, atau sebagian internal dari beberapa perusahaan. Pola kerja jadi fleksibel. Bermunculanlah tenaga kerja waktu longgar (flex-timers)—seperti pekerja tak terikat (freelance), pekerja paruh waktu (part-timer), dan buruh kontrak. Bentuk organisasi perusahaan harus disesuaikan dengan arus modal yang mudah berpindah ke segala penjuru dunia dalam hitungan detik.

Pembagian kerja dalam paradigma informasional tak lagi sesederhana teori Marxis awal, antara buruh dan pemodal. Polarisasi sosial yang terjadi adalah antara produser informasional dengan tenaga kerja generik yang mudah tergantikan. Soal utama ketidakadilan bukan lagi penindasan fisik dan ekonomi, melainkan ekslusi (penyingkiran) sosial terhadap komunitas-komunitas yang tidak mendapat cukup informasi.

Bingkai media

Menjawab ramalan Marshal McLuhan (1962) mengenai munculnya kampung global akibat kesalinghubungan media khususnya televisi, Castells setuju televisi berperan penting dalam masyarakat era informasi—bahkan menjadi jantung kebudayaan (cultural epicenter of society). Budaya televisi, dengan hiburan sebagai supra-ideologi yang santai bak obrolan sehari-hari, menggantikan budaya baca yang seperti esai dengan sifat sistematis berjarak, obyektif, rumit, konseptual, deduktif dan lambat bereaksi. Maka, “Selamat tinggal galaksi Gutenberg, selamat datang galaksi McLuhan!”

Namun media ternyata tidak menjadi ‘media massa ’—di mana pesan yang sama secara sekaligus dipancarkan dari pengirim yang terpusat kepada jutaan pemirsa—seperti ramalan McLuhan. Yang terjadi sekarang adalah integrasi berbagai media komunikasi dalam jaringan interaktif, hypertext dan meta-language yang dapat dipilih-pilih sesuai kemauan pemirsa. Banyaknya stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah, belum lagi situs internet dan berjenis-jenis multimedia menimbulkan kombinasi terpaan media yang sangat beragam antar rumah tangga, bahkan antar individu dalam satu rumah. Seluruh dunia memang terhubung dalam jaring-jaring besar, namun tidak menjadi satu ‘kampung global’.

Bagi masyarakat jaringan yang berdenyut di sekitar media elektronik, realitas sehari-hari adalah realitas virtual; simbol-simbol dan pulsa-pulsa elektromagnetik adalah lingkungan hidup. Selamat datang dalam budaya real virtuality! Dalam jaring-jaring virtualitas kenyataan ini, politik pun mendapat panggung baru. Apa lagi jika bukan media elektronik—dari televisi, radio, koran, internet, hingga telepon selular. Tanpa kemunculan di layar kaca, seorang politisi bukan siapa-siapa—tak beda dengan artis tanpa liputan infotainment.

Dalam masyarakat jaringan, perbedaan waktu lenyap jadi tak berwaktu, timeless time. Ruang material dalam dinamika sosial digantikan oleh apa yang disebutnya ruang aliran, space of flows. Jarak menjadi tak berhingga bagi mereka yang di luar jaringan, namun menjadi nol atau sama sekali tak berjarak bagi anggota jaringan.

Identitas, oh…identitas

Sementara Thomas Meyer menyatakan gejala mengedepannya identitas sebagai Identity Mania (2001), Castells dengan sedikit lebih kalem dan berjarak membahas “kekuatan identitas”, The Power of Identity. Salah satu tesisnya: dalam masyarakat jaringan dengan jarak ruang dan waktu makin kabur, tradisi dan budaya lokal berusaha mempertahankan identitas terhadap terpaan globalisasi.

Gerakan-gerakan sosial politik dan budaya yang bermunculan pada 1980-1990an menurut Castells merupakan wujud kebutuhan manusia era informasi akan identitas dan akar tempatnya berasal. Ia memetakan gerakan-gerakan sosial, politik, lingkungan hidup, feminisme hingga religius secara sistematis, dihubungkan dengan relasi-relasi kekuasaan dalam pembentukan identitas. Ia mengkategorikan tiga macam identitas. Pertama, identitas resmi atau terlegitimasi (legitimizing identity) yang diperkenalkan oleh institusi-institusi dominan masyarakat. Kedua, identitas pembangkang (resistance identity) yang dimulai oleh aktor-aktor sosial dalam posisi direndahkan atau distigmatisasi oleh institusi dominan. Ketiga, identitas yang dicita-citakan (project identity), yaitu identitas baru yang (ingin) dibangun untuk mentransformasi seluruh struktur sosial.

Dengan kerangka tersebut, dibahas beberapa gerakan yang bersifat informasional—menggunakan informasi dan teknologi informasi sebagai landasan gerakannya seperti Zapatista, Patriot atau American Militia, dan Aum Shinrikyo. Selain itu, gerakan lingkungan hidup sejak 1970an, gerakan sosial budaya menyangkut seksualitas seperti feminisme dan homoseksualitas, juga merupakan perlawanan identitas pembangkang terhadap identitas resmi untuk melahirkan identitas baru yang dicita-citakan.

Dan lahirlah…politisi busuk

Jangan kira ‘politisi busuk’ hanya di Indonesia. Membaca ulasan Castells tentang lingkaran setan yang menjerat para politisi dalam skandal, rupanya KKN dan selingkuh politisi dengan pebisnis adalah gejala logis dari politik informasional.

Apa itu politik informasional? Inilah sistem politik yang terbingkai dalam jaringan berbagai jenis media (elektronik) dan tergantung teknologi informasi, di mana sumber kekuasaan adalah proses menghasilkan, memproses dan menyiarkan informasi. Masyarakat mendapat informasi dan membentuk pendapat melalui media elektronik. Partai-partai politik harus menggunakan media untuk mendapat dukungan. Sementara pers punya logika sendiri: berjarak, berimbang, cenderung only bad news is news, dan bisnisnya tergantung pengiklan. Segmen berita berebut pemirsa dan pengiklan dengan hiburan; berita politik bersaing ketat dengan gosip selebriti. Akibatnya, lahir dan berbiaklah ‘politik skandal’, di mana korupsi dan moralitas personal pemimpin mendominasi isi berita.

Tak hanya logika media yang mendorong maraknya politik skandal! Melemahnya sistem politik, termasuk makin kaburnya definisi negara-bangsa seperti tesis Kenichi Ohmae (The End of Nation State, 1995) juga menyuburkan iklim ini. Politisi mengejar posisi eksekutif untuk motivasi yang sama dengan pekerjaan lain: uang, uang dan uang! Baik untuk proyek organisasi maupun personal, untuk menikmati hidup dan menyokong keluarga, maupun untuk membantu kegiatan humanitarian dan sosial.

Skandal menjadi senjata dalam politik informasional. Argumennya begini, bisnis media kian kuat secara teknologi, finansial dan politis. Partai dan kandidat harus melalui media untuk sampai ke masyarakat. Bukan karena media adalah pilar demokrasi keempat, namun karena media adalah medan tempur politik. Politik media sangat mahal—jajak pendapat, iklan, pemasaran, analisa media, hubungan masyarakat, pembuatan citra (image-making), pengolahan informasi—sementara aktor politik selalu kekurangan uang. Maka sumber dana utama adalah kontribusi di bawah meja dari kelompok-kelompok kepentingan dan bisnis. Imbalannya fasilitas dan kemudahan. Inilah matriks korupsi sistemik yang menjadi lingkaran setan: skandal–liputan media–usaha menutup dan membangun citra–korupsi untuk tambahan dana–skandal baru lagi. Lahirlah ‘politisi-politisi busuk’!

Dunia keempat dan premanisme global

End of Millennium mengilustrasikan beberapa proses yang telah dan sedang terjadi seperti krisis statisme dan hancurnya Uni Soviet, fenomena ‘dunia keempat’, ekonomi kriminal global, pembangunan dan krisis di Asia Pasifik, serta unifikasi Eropa.

Ekonomi kapitalisme informasional global menimbulkan tak sedikit dampak sosial. Keterbelahan sosial tetap terjadi dalam masyarakat jaringan, namun bukan sebagai kelas kapitalis dan kelas proletar seperti pada masyarakat industri, melainkan antara pemegang kendali yang masuk jaringan dengan mereka yang terputus dari jaring-jaring global.

Tercipta ‘dunia keempat’, yaitu komunitas miskin tak terdidik yang bisa di mana saja bahkan di negara-negara dunia pertama seperti daerah kumuh di New York, London, Mexico, hingga pemukiman kolong jembatan di Jakarta. Mereka adalah pekerja pabrik sepatu merek internasional di Tangerang yang ‘tak berharga’ bagi perusahaan jaringan, mudah disingkirkan dan proses produksi bagian mereka dipindah ke negara yang harga buruhnya lebih murah. Mereka adalah penghuni kampung-kampung (ghettos) dengan budaya yang tak sejalan dengan budaya masyarakat jaringan, buta teknologi, terputus dari jaringan informasi global. Mereka adalah jutaan korban penggusuran di Jakarta yang tak pernah mendapat informasi tentang hak mereka atas tanah yang telah ditinggali puluhan tahun.

Castells memetakan tiga keterbelahan masyarakat jaringan. Pertama, antara produsen informasional dan ‘tenaga kerja generik’ yang mudah tergantikan. Kedua, eksklusi sosial terhadap mereka yang tak punya akses informasi atau tak tersambung ke jaringan global. Ketiga, antara logika pasar—berupa jaringan global dari aliran-aliran modal—dengan hidup dan pengalaman manusia—keseharian para pekerja.

Bersama mengglobalnya arus modal dan gerakan-gerakan sosial, mengglobal pula kriminalitas. Konferensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Global 1994 memperkirakan nilai perdagangan narkoba global 500 dollar AS pertahun. IMF pada 1999 mensinyalir pencucian uang (money laundering) global 500 milyar hingga 1,5 trilyun dollar AS pertahun.

Fenomena lain, organisasi-organisasi kriminal lokal seperti Mafia Amerika, Mafia Sicilia, Triads Cina, Mafiyas Rusia, dan Yakuza Jepang saling bekerja sama, membentuk aliansi strategis. Dengan demikian tangan-tangan mereka terentang menjangkau seluruh bola dunia. Bidang kerja: perdagangan obat terlarang, senjata, bahan-bahan nuklir, penyelundupan imigran ilegal, perdagangan perempuan dan anak, organ tubuh, dan pencucian uang. Kunci sukses: fleksibilitas dan kecerdikan. Bentuk operasi: jaringan—internal maupun dengan organisasi kriminal lain. Cara memperkuat transaksi: satu, kekerasan; dua, mengajak kerjasama aparat keamanan, hakim, politisi, dan polisi, dengan bayaran tinggi. Aparat yang terlibat setia pada ‘partnernya’ selain karena bayaran tinggi juga karena ancaman. Premanisme pun ikut mengglobal.

Masih adakah harapan untuk demokrasi?

Begitu banyak gerundelan mengenai globalisasi. Dengan dampak berkurangnya kedaulatan negara, mengapa pemerintah negara-negara tetap ngotot mempromosikannya? Ada empat soal: kepentingan strategis negara, konteks ideologis, kepentingan politis kepemimpinan bangsa, dan kepentingan personal orang yang menduduki jabatan (Vol.I, hal.142). Bahwa dunia bisnis dan finansial mengambil alih pemerintahan, Castells tak sependapat dengan para aktivis anti-globalisasi. Menurutnya pemerintah negara-negara memang membutuhkan pelaku-pelaku bisnis, sebab merekalah yang punya pengetahuan untuk survive di dunia ekonomi baru penuh tantangan, the brave new economic world.

Terbingkainya politik dalam media bercampur aduk dengan budaya hiburan menimbulkan ‘kehabisan rasa kasihan’ (compassion fatigue) dan ‘kelelahan akan skandal’ (scandal fatigue). Anggota masyarakat jaringan lelah menyesuaikan diri terhadap tuntutan pekerjaan—sebagai flex-timers dalam network enterprise. Mereka kehilangan semangat dan ketertarikan pada politik dan berita-berita kemanusiaan. Berita tentang Pemilu hanya menambah apatisme, penganiyaan warga miskin Jakarta dan perang di Aceh dalam layar kaca tak lagi bermakna. Sama tak bermaknanya dengan sinetron dan gelar dangdut baik bagi pemirsa di sofa mewah maupun di tikar warung kopi.

Lalu apakah media telah kehilangan kekuatannya sebagai pilar keempat demokrasi atau setidaknya sebagai ruang publik untuk penyebaran informasi? Tidak juga! Sebab media, seperti teknologi, merupakan pisau bermata dua: dapat dipakai mendukung struktur dominan maupun untuk mendobraknya. Sayang, ekonomi politik global cenderung menggunakan media untuk agenda yang pertama.

Di sini sang mantan aktivis tak bisa lagi berjarak. Castells melihat tiga kemungkinan rekonstruksi demokrasi. Pertama, penciptaan kembali politik lokal. Kedua, komunikasi elektronik untuk memperkuat partisipasi politik dan komunikasi horisontal antar-warganegara, termasuk arus informasi sebagai kontrol terhadap pemerintah. Ketiga, penguatan komunitas akar-rumput (grassroots) sebagai penyeimbang dengan internet sebagai alat informasi, komunikasi dan organisasi.

The Information Age: Economy, Society and Culture tak hanya layak baca sebagai paparan sosiologi mengenai era informasi. Sebagai bahan analisa sosial, data dan teori-teori sosial yang dikemukakannya sangat relevan. Bagi praktisi dan pemerhati pers, The Rise of the Network Society dan The Power of Identity bisa disejajarkan dengan karya-karya Marshall McLuhan. Penggiat masyarakat akar rumput dan aktivis gerakan perlu berkaca pada kajian sosiologis ini untuk belajar dari kasus-kasus atau sekadar evaluasi. Sebagai aktivis gerakan sosial dengan jam terbang tinggi, usaha Castells memberi pendasaran teori pada gerakan-gerakan liberatif layak diikuti. Sementara politisi agaknya perlu mencermati lingkaran setan politik skandal agar tak tercebur dan jadi busuk.

Hamparan data empiris dan statistik yang cukup detail dalam trilogi ini cukup berguna, namun dapat pula dilewati untuk langsung membaca teori dan analisa yang disampaikan. Kasus matinya statisme Uni Soviet, krisis Asia Pasifik, marginalisasi Afrika dan analisa mengenai perceraian negara dari bangsa layak disimak. Apalagi buku yang ditulis sebelum Timor merdeka ini telah menunjukkan kemungkinan Indonesia menyusul Yugoslavia.

Secara keseluruhan, Castells mengajak pembaca menyadari transformasi masyarakat yang sedang terjadi. Soal akan dibawa ke mana transformasi ini, merupakan pekerjaan rumah yang wajib kita pikirkan setelah membaca trilogi The Information Age: Economy, Society and Culture.

Jika kembali pada pertanyaan, masih adakah harapan untuk demokrasi? Tampaknya kepercayaan teguh Castells dalam penutup End of Millennium patut kita beri stabilo, “Tak ada kejahatan abadi dalam sifat manusia. Tak ada yang tak dapat diubah dengan kesadaran, niat baik, tindakan sosial, dilengkapi dengan informasi dan didukung legitimasi…”

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here