Friday, June 02, 2006

Hidup dalam Jaring Informasi

HIDUP DALAM JARING INFORMASI

Oleh: Adeline M.T.

Judul: The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume I: The Rise of the Network Society (1996). Volume II: The Power of Identity (1997). Volume III: End of Millennium (1998)

Penulis: Manuel Castells

Penerbit: Blackwell Publishers

Tebal Vol.I: xxix + 594 hlm,Vol.II: xv + 461 hlm,Vol.III: xv + 448 hlm

Apa yang membuat pergantian milenium begitu spesial? Peramal membayangkan akhir jaman. Futurolog menggambarkan keterkejutan masa depan dan ‘gelombang ketiga’. Programmer meributkan soal digit tahun pada komputer.

Bagi Parto di pemukiman kumuh Jakarta , milenium baru adalah krisis ekonomi dan PHK; uang sekolah melonjak naik sementara si Upik merengek minta burger McDonald dan kakaknya ngotot berdandan gaya artis MTV; penggusuran rumah untuk membangun mal mewah; demo anti-globalisasi dan politisi busuk yang sama ngetopnya dengan Inul. Bagi Tatyana di Zagreb, milenium baru adalah pilihan berat jadi Serbia seperti ibu atau jadi Kroasia seperti bapak; karena negara tak lagi identik dengan bangsa. Bagi Bill Gates, Y2K adalah lahan subur untuk menuai uang dari penjualan piranti lunak baru.

Gejala-gejala ini dipotret sosiolog Manuel Castells dalam The Information Age: Economy, Society and Culture. Ia melihat yang terjadi adalah terpusatnya aktivitas ekonomomi, sosial dan kultural pada sistem informasi dan jaringan global.

Kalangan ilmu sosial tak asing dengan Manuel Castells, salah seorang pendiri cabang ilmu sosiologi urban yang kini mengajar di University of California , Berkeley . Buku pertamanya, La Question Urbaine (1972) diterjemahkan ke dalam 10 bahasa, edisi Inggris The Urban Question terbit 1977. Karya monumental Castells The City and the Grassroot (1983) merupakan studi komparatif terhadap gerakan-gerakan sosial perkotaan dan pengorganisasian masyarakat akar rumput yang didasarkan pada penelitian empiris di Perancis, Spanyol dan Amerika Latin.

Lahir 1942 di Spanyol, Castells belajar hukum dan ekonomi di University of Barcelona . Sebagai aktivis mahasiswa penentang diktator Franco, ia lari ke Paris dan mendapat beasiswa pengungsi politik di Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Sorbonne. Selain PhD dalam sosiologi dari University of Paris, Castells menyandang Doctorat d’Etat dalam Human Science dari Sorbonne serta doktor sosiologi dari University of Madrid. Disertasinya membahas analisa statistik atas lokasi-lokasi strategis perusahaan manufaktur di Paris.

Setelah masalah gerakan akar rumput di perkotaan, minatnya berkembang ke masalah teknologi informasi dan masyarakat. The Information City (1989) merupakan analisa tentang perubahan kota akibat teknologi informasi dan restrukturisasi ekonomi Amerika Serikat. Yang teranyar, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society (2001), menyelam lebih dalam aspek-aspek sosiologis dari internet. Castells menulis lebih dari 20 buku dan 100an artikel dalam berbagai bahasa di samping ikut menulis maupun menyunting 15 buku lain.

Sebagai komentar dan tanggapan atas The Urban Question dan The City and the Grassroot, Stuart Lowe dari University of York menulis Urban Social Movements: The City after Castells (1986). Ulasan kritis Castell tentang media dibahas Nick Stevenson dalam The Transformation of the Media.

Manuel Castells kini tinggal di Berkeley bersama istrinya Emma Kiselyova. Mereka memiliki dua anak dan tiga cucu.

Analisa yang membumi

Trilogi The Information Age merupakan hasil penelitian selama 15 tahun di Eropa, Amerika Latin dan Asia . Volume I The Rise of The Network Society bicara tentang ‘logika jaringan’ (the logic of the Net) yang mendasari masyarakat era informasi. The Power of Identity, menganalisa interaksi jaringan dan diri (self) di tengah krisis dua institusi sentral manusia: keluarga patriarki dan negara-bangsa. End of Millenium merupakan usaha memaknai transformasi historis di akhir abad ke-20. Walau ketiga buku dapat dibaca terpisah, kesimpulan dalam volume III merupakan rangkuman, integrasi antara teori dan observasi yang menghubungkan ketiga buku dalam satu tesis besar.

Analisis Castells sangat empiris. Seperti dikemukakannya (vol.I, hal.27), “ Ada dua tujuan saya menulis trilogi ini. Pertama, membumikan analisa dalam observasi tanpa mereduksi teori menjadi komentar. Kedua, mendifersifikasi secara kultural sumber-sumber observasi dan ide seluasnya.”

Walau sangat hati-hati, mantan aktivis ini menutup observasinya dengan saran tentang apa yang dapat dilakukan. Membaca trilogi The Information Age seperti mengikuti lingkaran analisa sosial, perlu kepekaan refleksi dalam mencerna data-data empiris.

Masyarakat jaringan

Apa yang dimaksud Castells ‘masyarakat jaringan’? Inilah masyarakat di mana fungsi dan proses dominan ditata sekitar jaringan—bisa internet, intranet, jaringan kerjasama berbagai perusahaan, organisasi, negara, hingga jaringan pergaulan. Logika jaringan menentukan dan memodifikasi morfologi sosial, proses produksi, kekuasaan, budaya dan pengalaman keseharian.

Bangkitnya masyarakat jaringan dipicu dan dipacu oleh revolusi teknologi informasi yang diawali dengan teknologi rekayasa mikro: elektronika, komputer dan telekomunikasi. Revolusi teknologi ini mempengaruhi masyarakat dan pola-pola relasi di dalamnya.

Sementara inti globalisasi menurut Castells adalah proses ekonomi. Untuk pertama kalinya sebuah sistem ekonomi—yaitu kapitalisme informasional global—menguasai hampir seluruh planet. Bentuk ekonomi jelas kapitalisme, karena modal memegang peran utama; dan informasional dalam arti sumber-sumber produksi dan kompetisi tergantung pada pengetahuan, informasi dan teknologi. Sifat globalnya menyangkut kapasitas untuk bekerja sebagai satu unit serentak dalam skala planet.

Menjadi dominan apa yang disebutnya perusahaan jaringan (network enterprise), yaitu jaringan yang terbentuk dari beberapa perusahaan, atau beberapa bagian dari beberapa perusahaan, atau sebagian internal dari beberapa perusahaan. Pola kerja jadi fleksibel. Bermunculanlah tenaga kerja waktu longgar (flex-timers)—seperti pekerja tak terikat (freelance), pekerja paruh waktu (part-timer), dan buruh kontrak. Bentuk organisasi perusahaan harus disesuaikan dengan arus modal yang mudah berpindah ke segala penjuru dunia dalam hitungan detik.

Pembagian kerja dalam paradigma informasional tak lagi sesederhana teori Marxis awal, antara buruh dan pemodal. Polarisasi sosial yang terjadi adalah antara produser informasional dengan tenaga kerja generik yang mudah tergantikan. Soal utama ketidakadilan bukan lagi penindasan fisik dan ekonomi, melainkan ekslusi (penyingkiran) sosial terhadap komunitas-komunitas yang tidak mendapat cukup informasi.

Bingkai media

Menjawab ramalan Marshal McLuhan (1962) mengenai munculnya kampung global akibat kesalinghubungan media khususnya televisi, Castells setuju televisi berperan penting dalam masyarakat era informasi—bahkan menjadi jantung kebudayaan (cultural epicenter of society). Budaya televisi, dengan hiburan sebagai supra-ideologi yang santai bak obrolan sehari-hari, menggantikan budaya baca yang seperti esai dengan sifat sistematis berjarak, obyektif, rumit, konseptual, deduktif dan lambat bereaksi. Maka, “Selamat tinggal galaksi Gutenberg, selamat datang galaksi McLuhan!”

Namun media ternyata tidak menjadi ‘media massa ’—di mana pesan yang sama secara sekaligus dipancarkan dari pengirim yang terpusat kepada jutaan pemirsa—seperti ramalan McLuhan. Yang terjadi sekarang adalah integrasi berbagai media komunikasi dalam jaringan interaktif, hypertext dan meta-language yang dapat dipilih-pilih sesuai kemauan pemirsa. Banyaknya stasiun televisi, radio, surat kabar dan majalah, belum lagi situs internet dan berjenis-jenis multimedia menimbulkan kombinasi terpaan media yang sangat beragam antar rumah tangga, bahkan antar individu dalam satu rumah. Seluruh dunia memang terhubung dalam jaring-jaring besar, namun tidak menjadi satu ‘kampung global’.

Bagi masyarakat jaringan yang berdenyut di sekitar media elektronik, realitas sehari-hari adalah realitas virtual; simbol-simbol dan pulsa-pulsa elektromagnetik adalah lingkungan hidup. Selamat datang dalam budaya real virtuality! Dalam jaring-jaring virtualitas kenyataan ini, politik pun mendapat panggung baru. Apa lagi jika bukan media elektronik—dari televisi, radio, koran, internet, hingga telepon selular. Tanpa kemunculan di layar kaca, seorang politisi bukan siapa-siapa—tak beda dengan artis tanpa liputan infotainment.

Dalam masyarakat jaringan, perbedaan waktu lenyap jadi tak berwaktu, timeless time. Ruang material dalam dinamika sosial digantikan oleh apa yang disebutnya ruang aliran, space of flows. Jarak menjadi tak berhingga bagi mereka yang di luar jaringan, namun menjadi nol atau sama sekali tak berjarak bagi anggota jaringan.

Identitas, oh…identitas

Sementara Thomas Meyer menyatakan gejala mengedepannya identitas sebagai Identity Mania (2001), Castells dengan sedikit lebih kalem dan berjarak membahas “kekuatan identitas”, The Power of Identity. Salah satu tesisnya: dalam masyarakat jaringan dengan jarak ruang dan waktu makin kabur, tradisi dan budaya lokal berusaha mempertahankan identitas terhadap terpaan globalisasi.

Gerakan-gerakan sosial politik dan budaya yang bermunculan pada 1980-1990an menurut Castells merupakan wujud kebutuhan manusia era informasi akan identitas dan akar tempatnya berasal. Ia memetakan gerakan-gerakan sosial, politik, lingkungan hidup, feminisme hingga religius secara sistematis, dihubungkan dengan relasi-relasi kekuasaan dalam pembentukan identitas. Ia mengkategorikan tiga macam identitas. Pertama, identitas resmi atau terlegitimasi (legitimizing identity) yang diperkenalkan oleh institusi-institusi dominan masyarakat. Kedua, identitas pembangkang (resistance identity) yang dimulai oleh aktor-aktor sosial dalam posisi direndahkan atau distigmatisasi oleh institusi dominan. Ketiga, identitas yang dicita-citakan (project identity), yaitu identitas baru yang (ingin) dibangun untuk mentransformasi seluruh struktur sosial.

Dengan kerangka tersebut, dibahas beberapa gerakan yang bersifat informasional—menggunakan informasi dan teknologi informasi sebagai landasan gerakannya seperti Zapatista, Patriot atau American Militia, dan Aum Shinrikyo. Selain itu, gerakan lingkungan hidup sejak 1970an, gerakan sosial budaya menyangkut seksualitas seperti feminisme dan homoseksualitas, juga merupakan perlawanan identitas pembangkang terhadap identitas resmi untuk melahirkan identitas baru yang dicita-citakan.

Dan lahirlah…politisi busuk

Jangan kira ‘politisi busuk’ hanya di Indonesia. Membaca ulasan Castells tentang lingkaran setan yang menjerat para politisi dalam skandal, rupanya KKN dan selingkuh politisi dengan pebisnis adalah gejala logis dari politik informasional.

Apa itu politik informasional? Inilah sistem politik yang terbingkai dalam jaringan berbagai jenis media (elektronik) dan tergantung teknologi informasi, di mana sumber kekuasaan adalah proses menghasilkan, memproses dan menyiarkan informasi. Masyarakat mendapat informasi dan membentuk pendapat melalui media elektronik. Partai-partai politik harus menggunakan media untuk mendapat dukungan. Sementara pers punya logika sendiri: berjarak, berimbang, cenderung only bad news is news, dan bisnisnya tergantung pengiklan. Segmen berita berebut pemirsa dan pengiklan dengan hiburan; berita politik bersaing ketat dengan gosip selebriti. Akibatnya, lahir dan berbiaklah ‘politik skandal’, di mana korupsi dan moralitas personal pemimpin mendominasi isi berita.

Tak hanya logika media yang mendorong maraknya politik skandal! Melemahnya sistem politik, termasuk makin kaburnya definisi negara-bangsa seperti tesis Kenichi Ohmae (The End of Nation State, 1995) juga menyuburkan iklim ini. Politisi mengejar posisi eksekutif untuk motivasi yang sama dengan pekerjaan lain: uang, uang dan uang! Baik untuk proyek organisasi maupun personal, untuk menikmati hidup dan menyokong keluarga, maupun untuk membantu kegiatan humanitarian dan sosial.

Skandal menjadi senjata dalam politik informasional. Argumennya begini, bisnis media kian kuat secara teknologi, finansial dan politis. Partai dan kandidat harus melalui media untuk sampai ke masyarakat. Bukan karena media adalah pilar demokrasi keempat, namun karena media adalah medan tempur politik. Politik media sangat mahal—jajak pendapat, iklan, pemasaran, analisa media, hubungan masyarakat, pembuatan citra (image-making), pengolahan informasi—sementara aktor politik selalu kekurangan uang. Maka sumber dana utama adalah kontribusi di bawah meja dari kelompok-kelompok kepentingan dan bisnis. Imbalannya fasilitas dan kemudahan. Inilah matriks korupsi sistemik yang menjadi lingkaran setan: skandal–liputan media–usaha menutup dan membangun citra–korupsi untuk tambahan dana–skandal baru lagi. Lahirlah ‘politisi-politisi busuk’!

Dunia keempat dan premanisme global

End of Millennium mengilustrasikan beberapa proses yang telah dan sedang terjadi seperti krisis statisme dan hancurnya Uni Soviet, fenomena ‘dunia keempat’, ekonomi kriminal global, pembangunan dan krisis di Asia Pasifik, serta unifikasi Eropa.

Ekonomi kapitalisme informasional global menimbulkan tak sedikit dampak sosial. Keterbelahan sosial tetap terjadi dalam masyarakat jaringan, namun bukan sebagai kelas kapitalis dan kelas proletar seperti pada masyarakat industri, melainkan antara pemegang kendali yang masuk jaringan dengan mereka yang terputus dari jaring-jaring global.

Tercipta ‘dunia keempat’, yaitu komunitas miskin tak terdidik yang bisa di mana saja bahkan di negara-negara dunia pertama seperti daerah kumuh di New York, London, Mexico, hingga pemukiman kolong jembatan di Jakarta. Mereka adalah pekerja pabrik sepatu merek internasional di Tangerang yang ‘tak berharga’ bagi perusahaan jaringan, mudah disingkirkan dan proses produksi bagian mereka dipindah ke negara yang harga buruhnya lebih murah. Mereka adalah penghuni kampung-kampung (ghettos) dengan budaya yang tak sejalan dengan budaya masyarakat jaringan, buta teknologi, terputus dari jaringan informasi global. Mereka adalah jutaan korban penggusuran di Jakarta yang tak pernah mendapat informasi tentang hak mereka atas tanah yang telah ditinggali puluhan tahun.

Castells memetakan tiga keterbelahan masyarakat jaringan. Pertama, antara produsen informasional dan ‘tenaga kerja generik’ yang mudah tergantikan. Kedua, eksklusi sosial terhadap mereka yang tak punya akses informasi atau tak tersambung ke jaringan global. Ketiga, antara logika pasar—berupa jaringan global dari aliran-aliran modal—dengan hidup dan pengalaman manusia—keseharian para pekerja.

Bersama mengglobalnya arus modal dan gerakan-gerakan sosial, mengglobal pula kriminalitas. Konferensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Global 1994 memperkirakan nilai perdagangan narkoba global 500 dollar AS pertahun. IMF pada 1999 mensinyalir pencucian uang (money laundering) global 500 milyar hingga 1,5 trilyun dollar AS pertahun.

Fenomena lain, organisasi-organisasi kriminal lokal seperti Mafia Amerika, Mafia Sicilia, Triads Cina, Mafiyas Rusia, dan Yakuza Jepang saling bekerja sama, membentuk aliansi strategis. Dengan demikian tangan-tangan mereka terentang menjangkau seluruh bola dunia. Bidang kerja: perdagangan obat terlarang, senjata, bahan-bahan nuklir, penyelundupan imigran ilegal, perdagangan perempuan dan anak, organ tubuh, dan pencucian uang. Kunci sukses: fleksibilitas dan kecerdikan. Bentuk operasi: jaringan—internal maupun dengan organisasi kriminal lain. Cara memperkuat transaksi: satu, kekerasan; dua, mengajak kerjasama aparat keamanan, hakim, politisi, dan polisi, dengan bayaran tinggi. Aparat yang terlibat setia pada ‘partnernya’ selain karena bayaran tinggi juga karena ancaman. Premanisme pun ikut mengglobal.

Masih adakah harapan untuk demokrasi?

Begitu banyak gerundelan mengenai globalisasi. Dengan dampak berkurangnya kedaulatan negara, mengapa pemerintah negara-negara tetap ngotot mempromosikannya? Ada empat soal: kepentingan strategis negara, konteks ideologis, kepentingan politis kepemimpinan bangsa, dan kepentingan personal orang yang menduduki jabatan (Vol.I, hal.142). Bahwa dunia bisnis dan finansial mengambil alih pemerintahan, Castells tak sependapat dengan para aktivis anti-globalisasi. Menurutnya pemerintah negara-negara memang membutuhkan pelaku-pelaku bisnis, sebab merekalah yang punya pengetahuan untuk survive di dunia ekonomi baru penuh tantangan, the brave new economic world.

Terbingkainya politik dalam media bercampur aduk dengan budaya hiburan menimbulkan ‘kehabisan rasa kasihan’ (compassion fatigue) dan ‘kelelahan akan skandal’ (scandal fatigue). Anggota masyarakat jaringan lelah menyesuaikan diri terhadap tuntutan pekerjaan—sebagai flex-timers dalam network enterprise. Mereka kehilangan semangat dan ketertarikan pada politik dan berita-berita kemanusiaan. Berita tentang Pemilu hanya menambah apatisme, penganiyaan warga miskin Jakarta dan perang di Aceh dalam layar kaca tak lagi bermakna. Sama tak bermaknanya dengan sinetron dan gelar dangdut baik bagi pemirsa di sofa mewah maupun di tikar warung kopi.

Lalu apakah media telah kehilangan kekuatannya sebagai pilar keempat demokrasi atau setidaknya sebagai ruang publik untuk penyebaran informasi? Tidak juga! Sebab media, seperti teknologi, merupakan pisau bermata dua: dapat dipakai mendukung struktur dominan maupun untuk mendobraknya. Sayang, ekonomi politik global cenderung menggunakan media untuk agenda yang pertama.

Di sini sang mantan aktivis tak bisa lagi berjarak. Castells melihat tiga kemungkinan rekonstruksi demokrasi. Pertama, penciptaan kembali politik lokal. Kedua, komunikasi elektronik untuk memperkuat partisipasi politik dan komunikasi horisontal antar-warganegara, termasuk arus informasi sebagai kontrol terhadap pemerintah. Ketiga, penguatan komunitas akar-rumput (grassroots) sebagai penyeimbang dengan internet sebagai alat informasi, komunikasi dan organisasi.

The Information Age: Economy, Society and Culture tak hanya layak baca sebagai paparan sosiologi mengenai era informasi. Sebagai bahan analisa sosial, data dan teori-teori sosial yang dikemukakannya sangat relevan. Bagi praktisi dan pemerhati pers, The Rise of the Network Society dan The Power of Identity bisa disejajarkan dengan karya-karya Marshall McLuhan. Penggiat masyarakat akar rumput dan aktivis gerakan perlu berkaca pada kajian sosiologis ini untuk belajar dari kasus-kasus atau sekadar evaluasi. Sebagai aktivis gerakan sosial dengan jam terbang tinggi, usaha Castells memberi pendasaran teori pada gerakan-gerakan liberatif layak diikuti. Sementara politisi agaknya perlu mencermati lingkaran setan politik skandal agar tak tercebur dan jadi busuk.

Hamparan data empiris dan statistik yang cukup detail dalam trilogi ini cukup berguna, namun dapat pula dilewati untuk langsung membaca teori dan analisa yang disampaikan. Kasus matinya statisme Uni Soviet, krisis Asia Pasifik, marginalisasi Afrika dan analisa mengenai perceraian negara dari bangsa layak disimak. Apalagi buku yang ditulis sebelum Timor merdeka ini telah menunjukkan kemungkinan Indonesia menyusul Yugoslavia.

Secara keseluruhan, Castells mengajak pembaca menyadari transformasi masyarakat yang sedang terjadi. Soal akan dibawa ke mana transformasi ini, merupakan pekerjaan rumah yang wajib kita pikirkan setelah membaca trilogi The Information Age: Economy, Society and Culture.

Jika kembali pada pertanyaan, masih adakah harapan untuk demokrasi? Tampaknya kepercayaan teguh Castells dalam penutup End of Millennium patut kita beri stabilo, “Tak ada kejahatan abadi dalam sifat manusia. Tak ada yang tak dapat diubah dengan kesadaran, niat baik, tindakan sosial, dilengkapi dengan informasi dan didukung legitimasi…”

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here