Tuesday, March 21, 2006

Paradigma Tanggung Jawab Etis Pers

AG. Eka Wenats Wuryanta

Sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir, pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan. Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media elektronik, bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid baru atau radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk mendapatkan ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi paradigma yang patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia akhirnya punya berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang tentunya juga sangat mudah diakses.

Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan perkembangan pers Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak buruk yang menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan pengaruh baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus tatanan sosial moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran tanggung jawab sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh perkembangan pesat pers di Indonesia.

Setidaknya, dua argumentasi pokok di atas menjadi latar belakang refleksi etis tulisan Kasdin Sihotang yang berjudul “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).

Refleksi etis yang ditawarkan oleh tulisan Kasdin terhadap keberadaan pers pasca reformasi Indonesia 1998 didasari juga pada tiga asumsi dasar, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi objektivitas moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi prinsip kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik sedemikian rupa pers diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang positif.

***

Dua argumentasi pokok dan tiga asumsi dasar tulisan terdahulu telah menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu dipertimbangkan oleh para pelaku media massa Indonesia.

Tapi masalahnya, apakah memang pers Indonesia dipahami dalam konteks simplifikasi etis semacam itu, apabila tidak bisa dikatakan bahwa atmosfer tulisan tersebut berawal dengan pesimisme terhadap kebebasan media massa di Indonesia maka perlu dibangun sebuah etos tanggung jawab sosial pers ? Apakah memang benar realitas pers adalah realitas yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh kepentingan yang berada di belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos moralitas dan tanggung jawab etis yang “deontologis” dan bersifat objektif dalam kehidupan pers di Indonesia pada khususnya maupun media global pada umumnya ? Seharusnya, pertanyaan kritis tersebut yang perlu dijawab secara tuntas sebelum kita masuk dalam argumentasi pokok dan pengembangan paradigma moral pers secara utuh.

Gagasan etis terhadap pers yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986) dan Jurgen Habermas dalam Communicative Ethics Controversy (1990) menyiratkan gagasan etis pers dalam tingkat mikro. Dalam arti, bahwa pers dilihat dari bagian kecil dari proses pengembangan etika masyarakat pada umumnya. Padahal kalau kita mau melihat secara lebih jauh, pers modern sekarang telah menjadi entitas yang besar bahkan mampu menjadi pilar ke empat dalam kehidupan demokrasi sosial. Jadi, saya menganggap tidak cukup memadai dan tidak sepakat apabila pers hanya dipahami dalam proses simplifikasi masalah sosial masyarakat yang ada. Ini berarti bahwa pada titik tertentu, refleksi etis yang dikemukakan oleh Magnis, Habermas atau Kasdin kurang menyentuh realitas pers yang berkembang sampai sekarang.

Sekarang, pers telah menjadi realitas yang begitu kompleks berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang begitu kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi komunikasi yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri dan kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar elektronik, sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi media - yang menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam satu paket media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers itu sendiri.

***

Ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami perkembangan identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma etis yang lebih harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung jawab moral pers, baik secara lokal maupun global.

Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi insan pers, situasi politik sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi yang lebih konkret.

Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan ontologistik tanpa konteks struktural. Pers diposisikan dalam relasinya dengan publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik.

Dalam teori demokrasi, media memberikan sumbangan saluran komunikasi konkret dalam usaha diseminasi informasi yang benar dan pengembangan ranah publik (civil society). Diseminasi informasi yang benar dan aspiratif dan pengembangan ranah publik tentu saja akan berkaitan dengan soal kebenaran yang dibawa dan diperjuangkan oleh pers. Dengan tidak menafikkan diskursus makna esensi kebenaran, tentu saja dalam konteks demokratisasi, makna kebenaran harus dilihat sebagai proses pengembangan konsensus sosial kebenaran subjektif.

Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung jawab sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak semata-mata dilihat sebagai “tali kekang” yang membatasi kebebasan pers. Tapi justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.

Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas yang sedemikian otonom dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun kepentingan negara. Tapi permasalahan dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling tarik-menarik dalam proses produksi pers.

Regulasi etika pers tidak sekedar soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja? Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih.

Perkara etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal content dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah sistem media massa. Content dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang sudah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik tertentu, media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya diyakini oleh sistem sosial masyarakat. Jadi pers dan masyarakat tidak bisa dilihat sebagai satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses interplay - proses relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu produk pers tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi yang berlaku dalam masyarakat.

Paradigma etika baru dalam regulasi pers yang dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih konkret dan situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru tentang moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana pers semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh. Pers harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi sosial antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran dan pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang berkembang.

Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers sebagai pendorong terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi alternatif hak akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif. Tentu soal nilai keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme merupakan diskursus yang dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis universal, tapi tetap saja universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai subjektivisme yang menjadi konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan baru dari pers modern di mana sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut untuk membuka celah-celah kebenaran dan pembenaran yang dibentuk.secara sosial.

***

Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya. Tulisan ini mau memberikan ide bahwa paradigma etik tidak sederhana justru karena realitas pers semakin kompleks. Proses penyederhanaan etika pers justru akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi perkembangan budaya. Paradigma baru etika pers menyatakan bahwa etika adalah tanggung jawab bersama. Kewajiban insan pers adalah membentuk dan menciptakan pers yang bertanggung jawab terhadap proses dinamisasi kemanusiaan. Tugas pemerintah adalah membentuk aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan masyarakat tetap terjaga dan tidak saling berbenturan. Tugas kita adalah menjadikan diri kita mampu mengkritisi dan menikmati media massa secara proporsional, sehat, dewasa dan rasional.

***

AG. Eka Wenats Wuryanta,

1 comment:

Dr. AG. Eka Wenats Wuryanta said...

Wah blognya perlu diper canggih lagi tuch.....anyway selamat ya

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here