Tuesday, March 21, 2006

IDEOLOGI, MILITERISME, DAN MEDIA MASSA:

Representasi Legitimasi dan Delegitimasi Ideologi

(studi analisis wacana kritis media massa dalam situasi krisis di Indonesia

terutama pada Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha

periode tahun 1965 – 1968)

PENDAHULUAN

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia (Weltanschaung). Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Pers Indonesia yang mencoba merekam dan memaknai peristiwa demi peristiwa sejarah Indonesia berperan dalam menentukan bagaimana sejarah Indonesia harus dipahami. Hampir selama tiga dekade tahun lebih, peristiwa 30 September 1965 oleh Orde Baru, telah diberitakan kepada masyarakat secara lebih berat sebelah (Atmadji Sumarkidjo, 2000). Penyajian fakta yang terseleksi dan dirangkai sedemikian rupa untuk memberikan pembenaran atau legitimasi dasar-dasar kelahiran Orde Baru. Monopoli alat dan media massa yang begitu massif, otomatis secara penuh, informasi dan konsep kebenaran dalam peristiwa 30 September 1965 maupun peristiwa-peristiwa setelah peristiwa tersebut terjadi didominasi dan dihegemonikan oleh Orde Baru.

Kebebasan berpikir dan berpikir secara kritis baik secara individual maupun dalam bentuk media massa ditindas secara sistematis, di mana orang Indonesia harus menerima mentah-mentah informasi dan simbolisasi yang dibuat oleh Orba – di mana kebenaran bercampur kacau dengan kebohongan. Ketika reaksi balik atas fenomena tersebut mencuat, tantangannya adalah bagaimana kita harus merekonstruksi simbolisasi yang telah ter-desepsi yang pada akhirnya usaha rekonstruksi informasi dan simbol tersebut hanya sekedar mirror image, di mana dorongan rekonstruksi kebenaran itu tetap tidak bisa berpisah atau setidaknya memisahkan antara mitos dan kenyataan.

PERMASALAHAN PENELITIAN

Dalam studi ini, penelitian akan memusatkan pada simpul utama representasi ideologis dan konteks sosial yang mempengaruhi produksi dan pemaknaan tekstual, terutama dalam konteks situasi krisis dan transisi sosial multidimensi yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1965 - 1968

Surat Kabar terutama “Angkatan Bersenjata” dan “Berita Yudha” telah memberikan beberapa pokok produksi teks yang sarat ideologis dan kepentingan pembenaran serta peminggiran sosial suatu kelompok tertentu saja. Artinya, harian surat kabar tersebut telah menciptakan dunia realitas - dalam konteks situasi krisis, sistem kebenaran simbolik yang menindas, penuh manipulasi dan sarat dengan kepentingan politis belaka.

Bagaimana pola pembingkaian teks media massa yang dipengaruhi oleh proses legitimasi dan delegitimasi ideologi ? Dua, representasi krisis macam apa yang direkam oleh media massa, terutama koran “Angkatan Bersenjata” dan “Berita Yudha” ? Bentuk representasi ideologi kapitalisme macam apa yang menjadi kecenderungan dua harian surat kabar “Angkatan Bersenjata” dan “Berita Yudha” ? Tiga, mengapa ideologi dalam komunikasi krisis macam itu yang akhirnya banyak mempengaruhi proses legitimasi dan delegitimasi dalam seluruh proses kognisi sosial masyarakat Indonesia ?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian yang mau dilakukan ini mempunyai tujuan akademis, yaitu untuk mencari pemahaman yang utuh dan penjelasan yang relatif lengkap mengenai hubungan antara media massa, proses ideologisasi dan dinamika militerisme dalam konteks politik masyarakat dunia ketiga. Terutama dalam konteks hubungan media massa, ideologi dan militerisme di Indonesia, belum banyak ditemukan penelitian yang secara intensif menyoroti hal tersebut. Apalagi penelitian yang langsung masuk dalam dinamika pers militer tahun 1960-an, hal tersebut masih jarang dilakukan.

Tujuan akademis dari penelitian ini adalah mengungkap faktor-faktor “tabu” yang selama ini menyelimuti penelitian media massa era tahun 1965 – 1968. Faktor-faktor tabu itu adalah sejauh mana militer dalam seluruh proses perubahan sosial Indonesia memanfaatkan media massa, terutama koran. Sejauh mana faksi militer memanfaatkan faktor hegemoni budaya, terutama ketika militer menggunakan media massa, dalam seluruh proses transisi politik di Indonesia ? Faktor tabu lain adalah bahwa penelitian ini juga ingin melihat proses hiperbolisasi realitas yang dikembangkan oleh Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Tentu saja, proses hiperbolisasi realitas ini akan dikaitkan dengan proses pergulatan ideologi kapitalisme, yang harus disadari bukan sebagai ideologi yang monolitik tapi juga bersifat multi dimensional.

KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian ini berupaya membongkar keterkaitan ideologi, media massa dan politik militerisme di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini bisa memakai kerangka pemikiran ekonomi politik media. Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri.

Dalam konstelasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.

Penelitian teks media yang akan dilakukan dalam penelitian ini lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia (Littlejohn, 2002: 163-183). Seluruh aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Pada titik tertentu, teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis (Littlejohn, 2002:217).

Hubungan pertama yang perlu diterangi adalah kaitan antara media massa dengan ideologi (perspektif Althusser). Althusser menyatakan bahwa media dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai ideological state apparatus (Eriyanto, 2001:87-102). Dengan demikian, media massa berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenaran praktek represi yang dilakukan negara kepada para warganya.

Hubungan kedua adalah bahwa media massa mampu melakukan proses penyapaan (Eriyanto, 2001:98). Praksis penyapaan mengandung usaha penempatan individu dalam posisi dan relasi sosial tertentu. Hal ini juga termuat dan terintegrasi dalam seluruh proses ideologisasi.

Hubungan ketiga adalah media massa atau teks media mampu menjadi instrumen efektif-efisien bagaimana nilai atau wacana dominan didistribusikan dan dipenetrasikan dalam benak orang sehingga bisa menjadi konsensus kolektif. Proses hegemoni yang ditawarkan dalam produksi berita menjadi pola yang halus dan sering tidak disadari oleh para konsumennya. Dalam proses produksi media massa, proses hegemoni ideologi bisa berjalan seakan-akan wajar karena nilai-nilai tersebut tersamar dalam opini, teks berita yang dibuat secara logis, rasional dan sistematis.

Hubungan keempat dalam perkembangan media modern, media justru juga mempunyai ideologi dan praksis hegemoni. Proses ekonomi politik yang terdapat dalam pola produksi, konsumsi dan distribusi media baru merupakan bagian yang integral. Nilai subjek dan lingkungan mampu dijadikan komoditas baru.

Setidaknya ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memahami hubungan ideologi dengan media. Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yang berbeda menuju perbedaan makna. Kedua, statuta ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologi sendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum individu ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar. Ketiga, ideologi bekerja melalui konstruk sosial untuk posisi subjek individual dan kolektif dari keseluruhan identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-nilai ideologis.

Pertimbangan penting dari konsep dominasi ideologis yang melahirkan, pada point tersebut, teori yang menyatakan realitas hegemoni. Dari sekian banyak teori hegemoni, teori hegemoni Antonio Gramsci mempunyai kedudukan yang penting. Gramsci membangun teori yang menyatakan bagaimana akseptasi kelompok yang didominasi oleh dan dengan keberadaan kelompok dominan. Proses akseptasi tersebut berlangsung dalam proses yang damai tanpa represi kekerasan.

Ini berarti bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material tapi juga bersifat kultural[1]. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan dan pelestarian “ketaatan sukarela” dari kelompok yang didominasi oleh kelas elit penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral dan politik. Melalui hegemoni, penyebaran (distribusi) ide, nilai, belief system, - dipenetrasikan secara “seakan-akan wajar”. Dalam arti tertentu, ideologi yang hegemonik mengandaikan percampuran dengan praksis sosial.

Dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan kedua, yaitu legitimasi. Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu memegang mandat kekuasaan. Keabsahan di sini selalu diartikan sebagai sifat normatif. Mempertanyakan keabsahan wewenang kekuasaan berarti memperbandingkan wewenang dengan norma. Apabila sesuai dengan norma yang berlaku, maka wewenang itu sah, apabila tidak, wewenang itu tidak sah.

Legitimasi mempunyai tiga kriteria pokok. Kriteria pertama adalah legitimasi sosiologis. Legitimasi sosiologis adalah legitimasi mekanisme motivatif yang membuat masyarakat menerima wewenang penguasa atau elite dominatif. Kriteria kedua adalah kriteria legalitas. Kriteria legalitas adalah kriteria legitimasi kesesuaian kekuasaan dengan hukum yang disepakati dan berlaku. Kriteria ketiga adalah kriteria legitimasi etis. Kriteria ketiga ini mempersoalkan kewenangan dan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.

Legitimasi dan delegitimasi merupakan aksi sosial kompleks yang bisa dilakukan serta dipertegas melalui percakapan atau teks. Konteks legitimasi dan legitimasi merupakan aktivitas diskursif dan dapat menunjukkan bahwa melalui kegiatan persuasi, suatu wacana dapat menghasilkan efek perubahan format perilaku dan ideologi dominan suatu kelompok tertentu. Dalam konstelasi semacam ini, maka wacana dapat dilihat sebagai medan konflik ideologi kelompok dominan dengan kelompok sub-dominan dalam suatu masyarakat. Setiap kelompok bersaing dan berlomba untuk memenangkan wacana, perspektif dan klaim kebenaran masing-masing. Dalam perlombaan semacam ini, strategi legitimasi dan delegitimasikan diimplementasikan dalam bentuk representasi diri positif dan representasi diri negatif. Van Dijk (1998:100-136) pernah menyatakan bahwa delegitimasi dalam level wacana dilakukan ketika perangkat represif dan koersif tidak efektif meminggirkan wacana-wacana alternatif.

Strategi delegitimasi dapat dilakukan dengan memakai beberapa cara. Pertama, delegitimasi dilakukan dengan fokus konteks produksi, akses dan penggunaan wacana. Dalam perang wacana, kelompok dominan kerap kali mempraktekkan strategi ini dengan menggugat legitimasi kelompok sub-dominan serta menegasi peran-legalitas-latar belakang-pengetahuan dan visi anggota kelompok sub-dominan. Peran media dalam hal ini berfungsi untuk menghalangi akses kelompok delegitim ke media massa atau dengan merepresentasikan aktivis-aktivis perubahan sebagai sumber-sumber berita yang unreliable.

Kedua, delegitimasi juga dipraktekkan dengan fokus unsur-unsur negatif sebuah wacana, penekanan pelanggaran terhadap nilai umum, atau deskripsi negatif terhadap pihak tertentu. Dalam situasi semacam ini, merupakan sebuah kewajaran bahwa bila dalam domain berita politik, kelompok-kelompok sub-dominan tidak pernah akan dibiarkan mendominasi sumber pemberitaan dan wacana berita yang terbentuk.

Ketiga, delegitimasi juga dapat ditempatkan pada isu kemungkinan-kemungkinan efek wacana. Dapat saja proses delegitimasi dilakukan dengan penayangan posisi berita di halaman depan, sisi halaman yang tidak menarik, menghambat proses produksi wacana, mempersulit distribusi media dan lain-lainnya.

Strategi legitimasi dan delegitimasi akan sangat efektif bila mampu berasosiasi dengan akal sehat, norma dan ideologi yang berlaku secara umum. Wajar apabila dalam kepentingan ini, kelompok dominan cenderung mengontrol institusi yang mempunyai akses terhadap ilmu pengetahuan dan opini publik. Institusi ilmu pengetahuan dan opini publik mempunyai otoritas yang kuat bahkan dapat disebut sebagai pusat “klaim kebenaran”. Klaim kebenaran bukan semata-mata karena mereka mempunyai akses utama terhadap media massa atau wacana publik, tapi semata-mata karena institusi tersebut mempunyai hasil atau produk yang incontrovertible, dapat diandalkan, dan ilmiah.

Dalam konteks pembahasan di atas, setidaknya ada beberapa titik kritis dalam hal ini yang bisa diungkapkan. Titik kritis pertama adalah soal pemahaman tentang fakta yang diangkat oleh media atau teks berita yang ada. Fakta yang diangkat oleh media lebih banyak dipahami sebagai fakta semu. Maka dapat dikatakan berita lebih merupakan ranah pergulatan wacana antara berbagai ideologi wartawan atau media. Set fakta yang dibuat dalam media massa lebih merupakan area konfliktual kepentingan sosial.

Titik kritis kedua adalah posisi media itu sendiri. Titik kritis ini mau mengatakan bahwa media adalah instrumen elit untuk menyebarkan ideologi dominan (David Barrat, 1994: 48-52). Media dan berita media massa adalah subjek yang mengkonstruksi realitas melalui simbol dan pemaknaan yang dibuat oleh media massa, lengkap dengan pandangan, bias dan keberpihakannya. Titik krusial lainnya untuk memahami posisi media adalah soal politik simbol dan pemaknaan yang dibuatnya. Makna tidak dipengaruhi oleh struktur tapi lebih banyak dibentuk oleh praksis pemaknaan yang ada dalam masyarakat. Media massa menentukan definisi realitas melalui pemilihan simbol dan bahasa yang tepat. Masalah penting yang ditemukan oleh paradigma kritis dalam konteks ini adalah siapa yang memegang kendali dalam proses definisi dan pemaknaan realitas yang dilakukan oleh media massa ? Dalam struktur sosial, kelompok mana yang lebih banyak diuntungkan dalam proses pemaknaan dominan yang terjadi ? Siapa yang mendefinisikan apa ? Kelompok mana yang terus menerus menjadi objek penderita dalam proses pemaknaan seperti itu ?

Pada era tahun 1965-1968, akan sangat terlihat bahwa perspektif pemanfaatan media massa mempergunakan pendekatan fungsionalisme struktural. Perspektif fungsionalisme struktural menjelaskan begitu banyak kegiatan yang melembaga berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pers. Masyarakat merupakan sistem, dan media massa adalah subsistem di dalamnya. Media diharapkan menjadi fungsi integrator, dinamisator, adaptor dan motivator masyarakat. Ini berarti media harus memampukan dirinya menjadi alat respons yang tepat bagi realitas yang sebenarnya.

Media dipandang berfungsi sebagai cermin yang menceritakan realitas secara objektif. Dalam kaitan ini, koran atau surat kabar era tahun 65-68 berada dalam situasi yang sangat krusial. Di satu pihak, pers Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ke arah jurnalisme yang lebih profesional. Di lain pihak, pers Indonesia juga ditarik untuk tetap menjadi pers politik yang berada dalam situasi krisis.

Masalahnya adalah dalam hal balance news, banyak pemberitaan situasi krisis memuat ragam sumber yang relevan. Ketika beberapa surat kabar hanya mengutip atau diberi pernyataan sumber berita yang mendukung kepentingan tertentu atau sikap wartawan, bagaimana soal nilai pemberitaan yang seimbang ? Bagaimana kalau memang terjadi monopoli pemberitaan berita yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang mempunyai kekuatan memaksa ? Apakah memang benar terjadi manipulasi pemberitaan pada era 65-68 sehinggap opini publik terbentuk karena pers secara tidak seimbang memuat pemberitaan yang diberikan oleh Dinas Penerangan Angkatan Darat ?

Dalam situasi krisis, media sering tidak menjadikan dirinya sebagai mediator, tapi telah digunakan untuk menebarkan sikapnya mengenai “suatu hal” kepada publik (McQuail, 1994). Hal ini bisa menjebak surat kabar justru menjadi media propaganda. Dalam konteks tahun 65-68, apakah memang terjadi proses dominasi dan hegemoni yang pada akhirnya menjadikan pers Indonesia pada waktu itu menjadi koran propaganda, terutama untuk Angkatan Darat ? Di mana letak kebebasan pers yang diperjuangkan ? Dalam situasi krisis, bagaimana kita harus mengartikan dan mengimplementasikan kebebasan pers ?

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perspektif kualitatif dengan paradigma kritis. Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma kritis adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol ? Ada kepentingan apa ? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan.

Selanjutnya, teori kritis melihat bahwa media adalah pembentuk kesadaran. Representasi yang dilakukan oleh media dalam sebuah struktur masyarakat lebih dipahami sebagai media yang mampu memberikan konteks pengaruh kesadaran (manufactured consent). Dengan demikian, media menyediakan pengaruh untuk mereproduksi dan mendefinisikan status atau memapankan keabsahan struktur tertentu. Inilah sebabnya, media dalam kapasitasnya sebagai agen sosial sering mengandaikan juga praksis sosial dan politik.

Reproduksi realitas dalam media pada dasarnya dan umumnya akan sangat dipengaruhi oleh bahasa (Littlejohn, 2002:210-211), simbolisasi pemaknaan dan politik penandaan. Bahasa di samping sebagai realitas sosial, tetap bisa dilihat sebagai sebuah sistem penandaan. Sistem penandaan dalam arti bahwa bahasa atau suatu realitas yang ingin menandakan realitas lainnya (peristiwa atau pengalaman hidup manusia).

Dengan demikian, sebuah realitas dapat ditandakan secara berbeda pada peristiwa yang sama. Atau, dapat dikatakan bahwa pemaknaan yang tidak sama bisa dilekatkan kepda peristiwa yang sama. Masalah terjadi ketika suatu makna yang ditafsirkan dan dikonstruksi ulang oleh kelompok tertentu dari peristiwa yang sama tersebut cenderung mendominasi penafsiran. Bagaimana mungkin sebuah makna tertentu bisa lebih unggul dan lebih diterima dibandingkan pemaknaan lainnya ?

Kedua, bahasa dalam konteks wacana - terutama dalam konteks wacana komunikasi - sebetulnya mencakup pengiriman pesan dari sistem syaraf satu orang kepada yang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna sama dengan yang ada dalam benak si pengirim[2] (Tubs & Moss, 1994: 66). Pesan verbal selalu memakai kata. Kata selalu merujuk pada keberadaan sebuah bahasa. Ini berarti kita sepakat bahwa kita menggunakan simbol bahasa dalam aktivitas komunikasi.

Ketiga, politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi. Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang[3] (M.Shapiro, 1992: 1-6). Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.

METODE PENELITIAN

Berkaitan dengan metode yang mau dipakai dalam penelitian ini, maka perlu disampaikan bahwa penelitian ini akan memakai dua pendekatan metodis dalam penelitian. Ini berarti bahwa penelitian ini menempuh dua tahap, yaitu tahap yang memakai metode framing dan analisis wacana kritis.

Adapun model analisa framing yang digunakan adalah model Robert N. Entman. Perspektif framing Entman digunakan untuk mendeskripsikan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas. Framing Entman memasukkan dua dimensi besar dalam teks media, yaitu seleksi isu dan penekanan aspek tertentu dari realitas. Dalam perspektif Entman, framing isi media meliputi proses pendefinisian masalah, proses prakiraan masalah, proses pembuatan keputusan moral dan proses penekanan penyelesaian. Pada jenjang teks, fokus penelitian akan menitikberatkan pada tajuk rencana, head line berita, dan kolom editorial dalam harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha

Bagan Elemen dalam Framing Robert Entman

Define problems (pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa atau isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

Diagnose causes (memperkirakan masalah atau sumber masalah)

Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa aktor yang dianggap sebagai penyebab masalah?

Make moral judgement (membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasikan atau mendelegitimasikan suatu tindakan?

Treatment recommendation (penekanan penyelesaian masalah)

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah atau isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

(Eriyanto, 2002:188-189)

Penelitian tahap kedua akan dilakukan dengan memakai metode analisis isi secara kualitatif, yaitu dengan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Model yang menjadi kerangka besar analisis wacana kritis dalam penelitian ini memakai model kerangka yang dikembangkan oleh Norman Fairclough.

ANALISIS SOSIO-KULTURAL MAKRO

Ada beberapa tema besar yang bisa dimasukkan dalam diskursus makro politik Indonesia. Pertama adalah diskursus suhu politik Indonesia dalam kancah perang dingin setelah perang dunia II selesai. Faktor tema pertama ini akan membawa Indonesia pada arena persaingan hegemonik antara negara-negara yang menganut ideologi kapitalisme dengan faksi-faksi negara yang menganut ideologi sosialisme-komunisme

Tema kedua adalah tema eksperimentasi demokrasi Indonesia. Setidaknya, eksperimentasi ini sendiri setidaknya merupakan proses, ekonomi, sosial yang semestinya menjadi ajang pembelajaran politik Indonesia kontemporer, setelah menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda tahun 1949. Tapi di lain pihak, eksperimentasi sosial politik Indonesia juga membawa pengaruh negatif yang tidak sedikit bagi rakyat Indonesia, misalnya ketidakstabilan politik, maraknya pemberontakan militer daerah.

Hal lain yang menjadi penting dalam bahasan ini adalah dinamika hubungan antara penguasa politik sipil dan kecenderungan pemimpin militer Indonesia untuk turut berkepentingan dalam seluruh proses politik masyarakat Indonesia waktu itu. Dalam tema kedua ini sesungguhnya ada beberapa pemeran penting dalam struktur sosial politik Indonesia. Pemeran penting itu adalah Presiden Soekarno, faksi-faksi militer yang ada di Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan pihak-pihak yang berafiliasi pada kepentingan kapitalisme di Indonesia.

Tema ketiga adalah tema peristiwa G 30-S. Tema ini merupakan tema pemicu pergantian rejim sekaligus menjadi acuan pokok delegitimasi kelompok Komunis di Indonesia. Tema ini juga menjadi tema anti klimaks sistem politik demokrasi terpimpin yang ditawarkan oleh Presiden Soekarno pada waktu itu[4]. Peristiwa G 30-S ini juga menjadi awal peristiwa yang sengaja dikaburkan oleh rezim Orde Baru.

Tema keempat adalah delegitimasi peran Soekarno dalam sistem politik Indonesia waktu itu. Proses peminggiran Soekarno juga merupakan proses berjalannya proses legitimasi sistem kapitalisme di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan bahwa diskursus besar dalam pembentukan opini publik di Indonesia tahun 1965 sampai tahun 1968 adalah tema diskursus proses ideologisasi kapitalisme liberal di Indonesia. Sementara itu, delegitimasi peran sosial politik Soekarno merupakan titik pijak yang harus dilalui kalau proses ideologisasi kapitalisme liberal mau berhasil[5]. Meskipun demikian, wacana kapitalisme dalam tema keempat ini tidak bermuka satu, melainkan banyak. Inilah yang menyebabkan bahwa opini kapitalisme di Indonesia tidak bersifat monolitik.

ANALISIS PRAKSIS WACANA

Secara historis dapat dikatakan bahwa pendirian dan pembentukan harian “Berita Yudha” dan “Angkatan Bersenjata” tidak bisa dipisahkan dengan situasi politik dan ekonomi Indonesia pada waktu itu. Secara khusus, pembentukan dua harian yang dikelola oleh faksi militer di Indonesia merupakan tanggapan aktif dari pembubaran dan pemberangusan harian-harian yang berafiliasi dengan Badan Pendukung Soekarnoisme.

Pada tanggal 15 Maret 1965, harian Angkatan Bersenjata diterbitkan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal R. H. Sugandhi dan Letnan Kolonel Jusuf Sirath. Angkatan Bersenjata merupakan harian militer yang dikoordinasikan oleh Kepala Penerangan Umum Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Harian ini diterbitkan untuk menandingi dan menyediakan alternatif wacana media massa yang dibentuk oleh Partai Komunis Indonesia.

Harian Berita Yudha sendiri sebetulnya berdiri tidak terkonsentrasi di Jakarta atau dapat dikatakan bahwa Berita Yudha juga diterbitkan melalui markas komando militer daerah setempat. Terdapat juga edisi-edisi Berita Yudha daerah yang tentu saja dilindungi oleh pejabat-pejabat Angkatan Darat daerah. Berita Yudha edisi Jakarta sesungguhnya merupakan harian yang dihasilkan dari pengambilalihan harian Berita Indonesia.

Dengan demikian sebetulnya, tenaga-tenaga pers atau para wartawan Berita Yudha merupakan tenaga-tenaga pers Berita Indonesia. Berita Yudha sendiri merupakan harian militer yang dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Republik Indonesia. Berita Yudha secara resmi terbit sejak tanggal 9 Februari 1965 dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Ibnusubroto, Sukarno H. Wibowo dan Daradjad, Brigadir Jenderal M. Nawawi Alif serta Moh. Moedasir.

ANALISIS TEKS

Pada tataran teks mikro, penelitian mendapatkan beberapa pembingkaian yang dilakukan oleh harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Secara umum ada empat pembingkaian yang dilakukan oleh kedua harian tersebut, terutama yang banyak tertuang dalam tajuk rencana dan editorialnya. Pembingkaian itu meliputi bingkai peristiwa G 30-S sebagai kasus politik kontra revolusioner, bingkai kelompok komunis sebagai lawan dan kelompok jahat, bingkai krisis kepemimpinan Politik dan kabinet Dwikora, bingkai pemulihan politik dan ekonomi. Berikut ini disampaikan ringkasan hasil penelitian framing ala Robert Entman dalam teks-teks koran yang diteliti.

Bingkai I

Problem Identification

Masalah Politik yang mengakibatkan krisis nasional yang parah, terutama krisis sosial politik dan kepemimpinan nasional.

Causal Interpretation

Siapa saja yang terlibat dengan kelompok G 30-S yang selanjutnya disebut oleh Angkatan Darat sebagai Gestapu.

Angkatan Darat, Para Jenderal dan Presiden merupakan korban konspirasi makar politik yang dilakukan

Moral Evaluation

Kelompok G 30-S secara etis atau moral dipersalahkan, terdapat fitnah sistematis dan penculikan serta pembunuhan yang terencana

Treatment Recommendation

Diselesaikan secara politis, kalau perlu dikikis habis sampai ke akar-akarnya

Bingkai II

Problem Identification

Kelompok komunis merupakan kelompok politik yang secara tegas menolak keragaman ideologi di Indonesia, dengan demikian menolak keragaman masyarakat Indonesia. Kelompok komunis adalah kelompok petualang politik yang terlalu berani memainkan teror politik atas masyarakat.

Causal Interpretation

Secara keseluruhan, kelompok komunis ditafsirkan sebagai kelompok kepentingan yang memancing di air keruh atas situasi politik Indonesia

Moral Evaluation

Kelompok komunis digambarkan sebagai kelompok yang jahat, tidak berperikemanusiaan, secara moral bejat, para wanita komunis digambarkan sebagai pelacur murahan. Kelompok komunis adalah kelompok yang secara sepihak “menusuk dari belakang” jalannya revolusi Indonesia.

Treatment Recommendation

Pembasmian secara kolektif, aksi spontanitas mempertahankan diri dari ancaman teror kaum komunis.

Bingkai III

Problem Identification

Masalah yang menyertai krisis kepemimpinan Soekarno adalah ketidakstabilan politik yang mengakibatkan ketidaktertiban dan situasi yang buruk bagi keamanan nasional.

Causal Interpretation

Kalau mau lebih pendek, dapat dikatakan bahwa seluruh permasalahan Indonesia waktu itu adalah Partai Komunis Indonesia dengan ideologi komunismenya, Pemerintahan sipil Soekarno yang tidak memihak pada kepentingan kesejahteraan sosial, Presiden Soekarno sendiri dengan seluruh ajaran Nasakom dan praksis politiknya yang mendasarkan diri pada demokrasi terpimpin yang sangat berbau sosialisme

Moral Evaluation

Secara moral, krisis kepercayaan terhadap pemerintahan sipil Soekarno yang diakibatkan oleh sekian rangkaian krisis ekonomi, sosial dan politik menyebabkan delegitimasi kekuasaan Presiden.

Treatment Recommendation

Dalam konteks krisis kepemimpinan yang dialami oleh pemerintah sipil pimpinan Presiden Soekarno, sebetulnya posisi sudah jelas, yaitu menghendaki pembaruan dalam sistem pemerintahan.

Bingkai IV

Problem Identification

bahwa permasalahan dan krisis negara pada waktu itu bersumber pada masalah ekonomi dan politik.

Causal Interpretation

Masalah kebobrokan ekonomi politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari soal pilihan mendasar pemerintahan sipil Soekarno yang terlalu menekankan iklim dan pilihan politik demi kepentingan politik kepentingan Orde Lama waktu itu. Penyebab lain adalah kesalahan dalam mengelola sumber-sumber ekonomi politik Indonesia waktu itu.

Moral Evaluation

Pemulihan ekonomi dan sosial-politik Indonesia pasca peristiwa G 30-S dan krisis legitimasi Soekarno berikut ajaran-ajarannya merupakan keharusan moral elit Indonesia baru.

Treatment Recommendation

bahwa persoalan ekonomi merupakan persoalan yang segera harus dituntaskan, persoalan ekonomi merupakan soko guru perbaikan situasi nasional, persoalan ekonomi menjadi pertimbangan utama pembangunan nasional setelah peristiwa G 30-S, persoalan ekonomi menjadi dasar legitimasi kepemimpinan yang ditawarkan oleh faksi militer.

ANALISIS INTERTEKSTUALITAS

Dalam kerangka teoritis sudah disebutkan bahwa salah satu unsur dalam perwacanaan penelitian ini terletak pada soal keterkaitan antar teks, terutama di dalam teks mikro. Setiap rangkaian teks media dilihat sebagai rantai komunikasi yang tidak terpisah satu dengan yang lain.

Dalam penelitian harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha terlihat bahwa kedua harian tersebut memakai rangkaian komunikasi sebagai langkah pembingkaian isu atau topik yang ditawarkan kepada masyarakat. Tentunya, masalah intertekstualitas dapat dilihat dalam aspek manifest intertextuality.

Ada beberapa unsur yang terlihat dalam proses intertekstualitas. Pertama yang sangat terlihat adalah jenis pengandaian (presupposition). Intertekstualitas jenis ini lebih banyak melihat proposisi teks yang diterima oleh pembuat teks yang siap ditempatkan sebagai sesuatu yang dipandang benar dan ditempatkan dalam organisasi teks secara keseluruhan. Presuposisi tersebut mempengaruhi opini publik yang tergalang untuk memberikan dukungan atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap segala tindakan yang mengacu pada surat keputusan atau pengumuman Presiden tersebut.

Kedua, dalam konteks intertekstualitas juga terlihat bahwa Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata melakukan representasi wacana. Representasi wacana ini terlihat dengan rujukan pada istilah bagaimana sebuah peristiwa dilaporkan kepada khalayak.

Ada beberapa ragam representasi peristiwa yang digambarkan oleh Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Tipe pertama adalah tipe posisi pertama dalam hal pelaporan peristiwa atau pihak yang terlibat langsung dalam peristiwa tertentu. Tajuk rencana Berita Yudha pada tanggal 4 dan 7 Oktober 1965 merupakan contoh paling jelas bahwa harian tersebut mengambil posisi sebagai bagian yang terlibat langsung dalam usaha menolak dan mengingkari gerakan 30 September. Tipe kedua adalah tipe posisi kedua di mana Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata menempatkan diri sebagai person kedua jamak. Dalam setiap tajuk atau editorial, terutama yang berkaitan dengan faksi komunis atau faksi orde lama maka kedua harian akan mengambil posisi sebagai person kedua jamak, yaitu KITA. Ini menandakan bahwa kedua harian mengambil posisi dirinya sebagai pihak yang sama dengan masyarakat atau kelompok yang anti dengan faksi komunis. Tipe ketiga adalah bahwa kedua harian mengambil sikap sebagai pihak ketiga jamak untuk semakin mempertajam kubu atau bipolarisasi dalam masyarakat.

Bentuk ketiga dari jenis intertekstualitas dalam harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha adalah bentuk negasi. Bentuk negasi dalam proses intertekstualitas adalah bentuk kalimat negasi yang banyak digunakan untuk tujuan polemik. Kalimat negasi dalam beberapa teks tertentu mengandaikan negasi pada teks yang lain.

Bentuk keempat dari intertekstualitas yang jelas dalam harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha adalah metadiskursus. Ragam keempat ini membuat sebuah teks ada pada tingkatan yang berbeda dan membuat jarak teks tertentu dengan tingkat teks yang lain. Dapat dikatakan bahwa metadiskursus adalah penampilan pembicara teks dalam situasi yang dominan dan memposisikan objek pada kelompok yang tidak dominan atau menjadi objek yang didefinisikan.

Pemberian definisi secara sepihak sering dilakukan Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Media-media ini menyebut kelompok komunis yang mencoba memberontak dengan sebutan GESTAPU (gerakan September 30) yang merujuk pada kelompok intel kejam jaman Nazi Jerman, atau kelompok kontra revolusioner (kelompok yang mengkhianati revolusi Indonesia). Media massa yang berafiliasi dengan militer ini juga menyebut politikus sipil simpatisan komunis dengan sebutan “para durno” atau kelompok durnoisme. Tidak jarang media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menyebut kelompok era Soekarno sebagai Orde Lama yang bobrok.

DISKUSI DAN BEBERAPA KESIMPULAN SEMENTARA

Pertama, pola pembingkaian dalam serial editorial dan beberapa teks utama yang ada dalam Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata memakai pola alterasi-konflik-negasi- dan legitimasi. Dalam arti, bahwa pola pembingkaian teks media yang dilakukan melalui beberapa bingkai konflik terhadap PKI sebagai konflik terhadap ideologi sosialisme-komunis, bingkai konflik terhadap sistem pemerintahan sipil yang korup dan secara moral tidak legitim lagi, bingkai penyadaran pemulihan ekonomi sebagai usaha melegitimasi proses kapitalisasi Indonesia sekaligus mendelegitimasikan praktek ekonomi yang terlalu percaya pada diri sendiri, bingkai delegitimasi kekuasaan kepresidenan yang tidak dilakukan secara frontal tapi mengerosi sumber-sumber legitimasi sosial politik Presiden Soekarno, bingkai pembangunan ekonomi yang lebih pragmatis demi kepentingan rakyat.

Dalam konteks ideologisasi, jelas pola pembingkaian di atas telah melakukan apa yang disebut dengan konteks interpelasi atau tindakan penyapaan. Interpelasi dalam Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menempatkan posisi faksi militer sebagai faksi yang berkepentingan untuk memperbaiki situasi yang krisis di satu sisi, tapi juga menempatkan faksi kekuatan lawan (dalam hal ini Presiden Soekarno, faksi komunis, faksi politikus sipil yang oportunis) sebagai faksi yang jelas mengkhianati mandat atau kepercayaan atas kekuasaan yang diberikan rakyat kepada mereka.

Kedua, masalah ideologisasi yang tersirat dalam proses pembingkaian ternyata tidak melulu memperlihatkan perlawanan terhadap ideologi komunisme. Tapi juga proses tarik ulur mendefinisikan warna kapitalisme di Indonesia. Dalam teks-teks yang ada dalam editorial atau sering terjadi pandangan negatif terhadap kapitalisme liberal, padahal di sisi lain, jelas dikatakan bahwa Indonesia dinyatakan tergantung pada konteks kapitalisme global. Ini berarti bahwa bahwa wacana ideologi yang dibingkai atau diseleksi oleh kedua harian tersebut bukan wacana yang bersifat bipolaristik tapi juga di sana-sini ditunjuk secara jelas pertarungan wacana ideologi kapitalistik itu sendiri. Setidaknya yang terlihat adalah wacana kapitalisme global dengan wacana kapitalisme birokratik nasional.

Hal lain yang menarik dalam temuan data-data penelitian juga menunjukkan bahwa sangat jelas bahwa dalam dinamika redaksional sendiri terasa dinamika faksional kapitalisme Indonesia. Harian Berita Yudha lebih condong pada faksi militer kapital yang cenderung lebih pragmatis dalam menyikapi pola pemulihan ekonomi. Pragmatisme ekonomi politik ini terjadi karena faksi militer ini lebih condong pada faksi Soeharto yang mempunyai lingkaran kelompok kapitalisme pasar dengan dukungan pemegang modal nasional yang berorientasi pada relasi ekonomi pasar. Memang hal ini tidak absolut untuk dipercayai karena sikap faksi militer Soeharto juga baru mengalami konsolidasi kapital dengan para pemegang kapital yang berorientasi pada relasi ekonomi nasional. Harian Angkatan Bersenjata lebih kompleks dalam bersikap. Dalam setiap editorialnya, harian ini tidak begitu jelas dan tetap mendukung faksi militer kapital tertentu. Kadang Angkatan Bersenjata lebih dekat dengan lingkaran Nasution, tapi di lain waktu Angkatan Bersenjata juga memainkan peranan penting dalam proses propaganda faksi militer kapital di bawah pimpinan Soeharto.

Arena berita yang tidak bipolaristik secara ideologis menjadikan Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha berkesan belum menemukan proses identifikasi ideologi yang matang. Meskipun di sana-sini terdapat kemenduaan sikap ideologis dalam seluruh isi media yang dihasilkan, tapi sangat terlihat jelas bahwa dua media tersebut melakukan aliansi taktis dengan elite politik yang sedang melakukan konsolidasi politik. Hal ini bisa dipahami karena situasi ekonomi politik Indonesia sendiri yang masih belum terbentuk secara lebih matang.

Ketiga, masalah yang selalu menjadi bahan diskusi dalam isi media adalah soal objektivitas pemberitaan. Dari sekian pembingkaian yang dilakukan oleh kedua harian faksi militer, terlihat bahwa nilai objektivitas perlu didiskusikan lebih mendalam, terutama ketika harus merumuskan objektivitas realitas dalam waktu krisis. Objektivitas pemberitaan yang diangkat oleh Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata mempunyai beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

Objektivitas situasi krisis akan sangat ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa atau setidaknya yang mempunyai akses yang luas terhadap penyebaran arus informasi. Maka yang perlu dilihat adalah sejauh mana Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata merekonstruksi objektivitas pemberitaan yang ada. Ada sejumlah fakta yang memang memenuhi syarat kalau disebut sebagai realitas yang objektif. Tapi masalahnya adalah ketika objektivitas tersebut “dimanfaatkan” untuk mengusung kepentingan subjektif kelompok atau ideologi tertentu.

Pertimbangan ekonomi politik sangat mewarnai konteks proses pembingkaian teks media, terutama ketika kedua harian tersebut dipakai untuk melegitimasikan ideologi baru dan mendelegitimasi ideologi yang sudah bangkrut. Dalam hal ini, kedua harian tersebut telah berhasil membuat ruang konsensus sosial terhadap isu-isu tertentu. Keberhasilan ini tidak berhenti begitu saja tapi pembingkaian tersebut juga membuat ruang kontroversi dan menentukan ranah penyimpangan dalam wacana yang berkembang dalam masyarakat dan sejarah Indonesia. Keterbatasan oplah media dan kertas surat kabar tidak menutup efektivitas kedua harian tersebut dalam membentuk wacana legitimasi dan delegitimasi. Penelitian ini mencoba membuka pada pemikiran bahwa efektivitas kedua harian tersebut disebabkan pula oleh pola komunikasi dua tahap dan tradisi lisan yang masih menghinggapi sebagian besar masyarakat Indonesia pada waktu itu.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ternyata media massa bisa terjebak pada situasi di mana media massa dipaksa untuk menjadi media massa patriotik. Terutama dalam situasi krisis, jurnalisme media massa bisa tergoda untuk masuk pada tataran embedded journalism demi mengejar tuntutan objektivitas pemberitaan atau mengejar tuntutan moral krisis nasional yang dialami. Masalahnya adalah sejauh mana jurnalisme media massa tetap mengambil jarak dalam merekonstruksi pemberitaan yang sangat diokupasi dengan pertimbangan-pertimbangan keamanan dan ketertiban. Pembingkaian yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha merupakan contoh paling jelas dan kasar dari penerapan atas apa yang disebut embedded journalism, terutama dalam konteks komunikasi krisis.

Diskusi lainnya adalah makna kebebasan pers itu sendiri. Dari beberapa pendapat dan anggapan yang berkembang pada para agen media menyebutkan bahwa periode tahun 1965 sampai 1968 adalah periode bulan madu media dengan pemerintah Indonesia waktu itu. Yang perlu didiskusikan adalah apakah memang terjadi hubungan yang serasi antara media massa dengan rejim penguasa waktu itu ? Memang benar bahwa beberapa pers Indonesia mengalami hubungan yang harmonis dengan rejim kepentingan tapi masalahnya ada trade off yang harus pers bayar, yaitu loyalitas dengan rejim militeristik waktu itu. Masalahnya adalah kontrol pers dari militer yang sedemikian kuat. Apalagi dengan kebijaksanaan “uang ketat” yang dilakukan oleh rejim baru waktu itu dalam rangka pemulihan ekonomi yang carut marut. Apabila segala macam sumber informasi dimanfaatkan untuk memulihkan keamanan dan krisis sosial politik oleh pihak militer maka pers harus membayar kebebasan persnya untuk turut “membantu” proses pemulihan tersebut. Di mana persis posisi kebebasan pers dalam konteks komunikasi krisis ?

Ada beberapa kesimpulan umum yang bisa ditarik dari seluruh konstelasi konteks dan teks yang diperoleh dalam penelitian ini. Pertama, bahwa proses pembingkaian isu dan topik yang berpengaruh pada opini publik masyarakat Indonesia waktu itu sangat dipengaruhi oleh proses legitimasi ideologi baru. Dalam proses legitimasi ideologi baru, maka terdapat bahwa Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha membingkai kerangka ideologi. Setidaknya ada kesan bahwa pola ideologisasi media massa melalui proses ideologisasi kelompok kemudian menjadi alat represif ideologisasi dan pada akhirnya media tersebut menawarkan ideologi negara. Dalam hal ini, pertarungan legitimasi dan delegitimasi ideologi tidak terbatas pada ideologi kapitalisme dengan sosialisme-komunis tapi juga pertarungan legitimasi kapitalisme global dengan kapitalisme nasional-birokrat yang sangat mewarnai sistem dan struktur ekonomi Indonesia.

Kedua, sangat jelas bahwa Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menggunakan strategi penyeleksian isu, taktik pencarian sumber masalah yang sering dimunculkan dalam bentuk pengkambinghitaman kelompok tertentu, penonjolan akibat destruktif masalah yang bersangkutan, penilaian moral yang selalu menyertai akibat dan rekomendasi tindakan penyelesaian yang sangat berpihak pada kelompok kepentingan.

Ketiga, strategi pembingkaian kedua harian militer rupanya mengarahkan opini publik dalam tiga ragam strategi antara, yaitu strategi opini, strategi kontroversi dan strategi moral. Strategi opini lebih mau menyatakan bahwa pembingkaian kedua harian tersebut mengarahkan opini yang di satu sisi melakukan pembusukan kepada kelompok komunis atau kelompok kontra revolusi tapi di lain pihak menggiring opini bahwa kelompok militer (faksi Soeharto) merupakan kelompok “penyelamat” masyarakat. Strategi kontroversi mau menyatakan bahwa pembingkaian kedua harian tersebut menarik dua kutub yang berlawanan, yaitu kelompok “baik” (kelompok Angkatan Darat, masyarakat) dan kelompok lawan atau kelompok “jahat” yang menyebabkan kesengsaraan dan kekacauan. Strategi moral mau menyatakan bahwa kedua harian mengarahkan nilai, cara pandang, sistem nilai dan ideologi tertentu.

IMPLIKASI TEORITIS

Pada tingkatan akademik, penelitian ini menemukan bahwa proses komunikasi krisis terutama ketika kepentingan ideologi masuk menjadi penentu signifikan maka pers atau media massa merepresentasikan kekuasaan militer yang mempunyai sifat represif dan koersif dalam proses konsolidasi ekonomi politiknya. Dapat dikatakan bahwa pada kasus Indonesia, momen Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha tahun 1965 – 1968 adalah contoh paling jelas dari penerapan prinsip Ideological State Apparatus dan Represif State Apparatus. Dalam kadar tertentu, media massa merepresentasikan realitas yang membawa pada kesadaran palsu. Masalahnya adalah kesadaran palsu tersebut menjadi konsensus sosial yang secara kolektif disetujui oleh masyarakat.

Persekongkolan media massa dengan faksi militer membuahkan spiral rangkaian kekuasaan yang mampu mengendalikan emosi bahkan histeria massa, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia dalam kurun waktu dan situasi tertentu. Argumentasi di atas sudah bisa memberikan peneguhan bahwa media mass mampu menjadi sarana penyebaran dan hegemonisasi ideologi. Ini berarti media massa merupakan garda paling depan alat ideologi negara atau alat represif ideologi. Padahal di sisi lain, media massa diharapkan menjadi alat kritik dan pengawasan sosial masyarakat terhadap negara. Sekali lagi diteguhkan bahwa media massa merupakan alat yang tidak bebas nilai. Dengan kata lain, bahwa media massa harus menjadi pilar keempat demokrasi tidak sepenuhnya bisa begitu saja diakomodir oleh media massa. Memang dalam kondisi normal, media massa diperlukan untuk proses demokratisasi.

Tapi di lain pihak, perlu disadari pula media massa bisa berubah menjadi raksasa mengerikan dalam melegitimasi praktek-praktek kebohongan sistem politik atau ideologi tertentu. Persoalan ekonomi politik kritis menjadi faktor signifikan yang bisa diungkap untuk membongkar topeng-topeng ideologis yang ada di balik signifikansi media dalam kehidupan manusia modern. Elaborasi teori ekonomi politik media memberikan konteks yang lebih luas dalam memahami perubahan sosial politik yang otoriter menjadi demokratis, juga sebaliknya dari sistem yang demokratis berubah menjadi sistem ekonomi politik yang otoriter.

Kedua adalah implikasi metodologis. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. Salah satu kriteria penilaian keberhasilan dari penelitian ini adalah kemampuan untuk menemukan latar sejarah yang tepat, menginterpretasikan latar tersebut sebagai konteks teks-teks yang ada dan akhirnya menemukan benang merah pembingkaian teks yang ada. Sisi lainnya adalah bahwa penelitian ini sudah mengambil posisi untuk memihak “korban” dari teks-teks tersebut. Dari opsi preferensial ini, maka penelitian mengacu pada pendekatan komunikasi selain pendekatan linguistik atau kesejarahan. Faktor kesejarahan dan komunikasi sangat kental menjadi alat efektif mengungkap apa saja yang dirasakan “tersembunyi” dalam setiap teks. Hal tersebut mengakibatkan bahwa penelitian memang harus mengambil sikap multidisipliner. Pemahaman yang tepat bagi penelitian selanjutnya adalah bahwa hasil penelitian ini merupakan hasil awal untuk menjejaki sejarah komunikasi atau salah satu episode peran media massa bagi pembangunan Indonesia. Selain masih ada keterbatasan metodis yang dilakukan dalam proses penelitian juga dirasakan bahwa diskursus relasi media massa dengan militer, ideologi kapitalisme dan situasi krisis menerbitkan permasalahan-permasalahan baru, terutama ketika kapitalisme global menjadi faktor penentu kekuatan militer, sosial politik negara dan krisis yang dialami oleh sebuah komunitas tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

Abar, Akhmad Zaini, 1995. Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974. Yogyakarta:LKIS

Anderson, Benedict dan Ruth T. McVey. A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. New York:Cornel University

Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication

Brackman, Arnold. 1969. The Communist Collapse in Indonesia. New York: Norton

Chomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:Pantheon

Cribb, Robert (Ed). 2003. Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965 – 1966. Jakarta:Mata Bangsa

Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan

Currant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward Arnold

Denzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage Public

Dhakidae, Daniel. 1991. The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economi of Indonesian News Industry. a dissertation for the degree of Ph. D in Cornell University

Entman, R.M,. 1993. Framing:Toward Clarification of A Fractured Paradigm; dalam Journal of Communication, Vol 43/4

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS

Eriyanto, 2002, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta:LKIS

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:Longman

Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward Arnold

Feith, Herbert. 2001. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan

Fiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:Routledge

Guba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage Books

Hall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:Routledge

Hardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius

Harsutejo. 2003. G 30-S Sejarah yang Digelapkan: Tangan berdarah CIA dan Rejim Soeharto. Jakarta:Hasta Mitra

Hill, David. T,. 1995. The Press in New Order Indonesia. Jakarta:PT Pustaka Sinar Harapan

Isak, Joesoef (ed). 2001, DOKUMEN CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S-1965. Jakarta:Penerbit Hasta Mitra

Ispardiarno, Lukas B. dkk (eds). 2002. Media - Militer - Politik; Crisis Communication: Perspektif Indonesia dan Internasional. Yogyakarta:Galang Press

Katoppo, Aristides cs (eds). 2000. Menyingkap Kabut Halim 1965. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan

Kolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon Press

Latif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:Mizan

Legge, JD. 1972. Soekarno , A Political Biography. Sidney:Allen & Unwin

Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing Company

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOI

Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius

Magnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:Gramedia

Mannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:Routledge

May, Brian. 1978. The Indonesian Tragedy. Singapore:Graham Brash LTD

Mcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil Blackwall

Mcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage Publications

Mortimer, Rex. 1974. Indonesian Communism under Sukarno, Ideology and Politics 1959 – 1965. Ithaca:Cornell University

Muhaimin, Yahya A,. 2002. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press

Neuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and Bacon

Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 1993. Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30-S/PKI di Indonesia. Jakarta:Penerbit Intermasa

Raboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage Publication

Raillon, Francois. 1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta:LP3ES

Ramadhan K.H dan G. Dwipayana. 1989. Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Biografi Presiden Soeharto. Jakarta:Citra Lamtoro Gung

Reese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum Publisher

Robinson, Richard,. 1988. Indonesia: The Rise of Capital. Australia:Sage Publication

Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti Nusantara

Setiyono, Budi dan Bonnie Triyana (eds), 2003. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September – Pelengkap Nawaksara. Jakarta:Mesiass

Shoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman Group

Smith, Edward C,. 1983. Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia. Jakarta:Grafiti Press

Sumarkidjo, Atmadji. 2000. Mendung di Atas Istana Merdeka: menyingkap peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G 30-S. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan:

Sundhaussen, Ulf. 1982. Road to Power: Indonesian Military Politics 1945 – 1967. London:Oxford University Press

Surjomihardjo, Abdurrachman. 1980. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta:Deppen-Leknas LIPI

Sulistyo, Hermawan. 1999. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang terlupakan 1965 – 1966. Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia

Wieringa, Saskia E,. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta:Garba Budaya

Winters, Jeffrey A. 1999. Power in Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa (Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia). Jakarta:Pustaka Sinar Harapan

Vatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:Routledge

Dokumentasi Koran dan Harian

Berita Yudha (BY) 22 Mei 1965 – Desember 1965

_______________ 1 Januari 1966 – 12 Desember 1966

_______________ 20 Februari 1967 – 14 November 1967

_______________ 2 Januari 1968 – 27 November 1968

Angkatan Bersenjata (AB) Oktober 1965 – Maret 1966

_____________________ Januari 1967 – November 1967

_____________________ Januari 1968 – November 1968


CATATAN AKHIR



[1] Sesungguhnya Gramsci meletakkan kritik baru terhadap proses kapitalisasi modern (dan hal ini melengkapi kritik Marx terhadap kapitalisme) yang cenderung mendominasi seluruh kehidupan manusia.

[2] Tubs dan Moss dalam bukunya yang berjudul Human Communication mengatakan bahwa communication involves sending messages from one person’s nervous system to another’s with the intention of creating a meaning simirlar to the one in the sender’s mind. The verbal message does this through words, the basic elemets of language, and words, of course, are verbal symbols.

[3] Shapiro mengatakan bahwa a politics of discourse is inextricably tied to a politics of space. Moreovver, this intmate relationship between space and discourse is no one between disparate modes. Because “space” is constituted by the way locations are imagined or given meaning, ii is always already a largely discursive phenomenon

[4] Soekarno dalam ajaran ideologinya memperkenalkan sinergi politik antara unsur Nasionalis (NAS), unsur Agama (A) dan unsur Komunis (KOM), yang kemudian disingkat menjadi NASAKOM. Ajaran NASAKOM ini merupakan intisari pemikiran Soekarno yang mau menyatakan bahwa iklim imperialisme dan kolonialisme rakyat Indonesia bisa terkikis dengan mengadakan sinergi politik, sosial, ekonomi, kebudayaan atas unsur-unsur nasionalis, kaum agama dan praksis komunisme.

[5] Soekarno dilihat sebagai penghalang keberhasilan penyebaran pengaruh kapitalisme liberal karena dia dianggap sebagai tokoh kunci yang mempunyai pengaruh yang sedemikian besar dalam usaha resistensi pengaruh kapitalisme liberal di Asia khususnya dan negara-negara berkembang pada umumnya.

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here