Thursday, March 23, 2006

Ekonomi Politik Regulasi Media

A. PENDAHULUAN

Berawal dari era keterbukaan

Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlah sekedar ‘kebebasan dari’ (freedom from) absolutisme, kekuasaan otoriter, sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuah Harian melalui fit and proper test yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dari itu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’ (freedom for the people) dan kebebasan manusia (freedom of the people).

Kebebasan untuk dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dan konsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehingga kebebasan manusia, meminjam istilah Feurbach sebagai ‘galthung’ makhluk alamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapat terealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan. Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasi sebagai individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang ‘sesungguhnya’ adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosial menuju demokratisasi, sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi politik publik luas yang didorong oleh mekanisme alur informasi yang bebas.

Dalam wilayah itu, tarik-menarik atas kontroversi RUU Penyiaran yang dibuat oleh tim inisiatif DPR yang kini masih ‘ngendon’ di pemerintah patut dipertanyakan. Pilihan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU tersebut bisa menimbulkan efek yang kontra-produktif bagi jalannya proses transisi demokrasi ini. Di satu sisi, pemerintah hendak membangun kepercayan publik (public trust) bagi upaya recovery / pemulihan ekonomi akibat krisis.

Di sisi lain, pemerintah dihadapkan oleh situasi penolakan baik oleh para pemilik kapital media massa yang juga di dukung melalui pemberitaan media terhadap ‘nasib’ RUU penyiaran yang mereka sebut sebagai ‘pemasung kebebasan pers’. Misalnya, judul pemberitaan yang dimuat oleh media cetak tentang RUU tersebut, misalnya; RUU Penyiaran bentuk penghianatan terhadap agenda reformasi (Kompas, 13 Maret 2001), RUU Penyiaran kekang kebebasan (Suara pembaharuan, 24 Maret 2001), dan seterusnya.

Atau penolakan oleh lembaga semi atau quasi pemerintah seperti Dewan Pers (yang merasa memiliki hak untuk mengatur atau lebih tepatnya mengontrol dan bertanggung-jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pers nasional) terhadap substansi RUU penyiaran. Ketua dewan Pers Atmakusumah Atmaja, menyebut adanya ancaman terhadap pasal-pasal yang ‘memasung kebebasan pers’ yang dipaksakan masuk dalam RUU penyiaran yang mengindikasikan ketakutan-ketakutan pemerintah terhadap eksistensi kebebasan pers.

Pada saat demikian, pilihan penundaan pengesahan RUU tersebut memiliki dua makna yang signifikant. Pertama, belum munculnya political will pemerintah untuk benar-benar memproduksi undang-undang yang partisipatif dan akomodatif bagi keberlangsungan hajat publik bagi terbukanya ruang publik yang terbuka, setara, dan menjamin kepentingan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, penundaan itu bisa dilihat sebagai kasus dari adanya upaya negosiasi elektron kepentingan bisnis dari kelompok-kelompok tertentu dengan pemerintah untuk secara sadar mempengaruhi dan mengubah substansi dasar RUU penyiaran.

Menuju usaha substantif

Mengapa? Secara substantif, memang RUU penyiaran mengandung nilai-nilai kebebasan pers (freedom for dan freedom of the people) sesungguhnya, yang saat ini dikawatirkan akan membatasi celah-celah ekonomi-bisnis mereka atau bisa juga menutup sama sekali ruang monopoli kepemilikan media. Di samping itu, RUU tersebut juga memuat upaya terciptanya perubahan nilai-nilai sosial, semisal terjadinya pluralisme masyarakat, sarana public sphere, dan proses demokratisasi menuju terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang beradab.

Dan kedua, lebih lanjut, penundaan tersebut memperlihatkan praktek-praktek relasi kekuasaan antara state di satu sisi, dengan market di sisi lain yang membangun hubungan mutualistik-otokratik, sebagaimana dipraktekan oleh rezim sebelumnya. Dalam wilayah ini, yang menjadi kekhawatiran publik menjadi jelas dihadapan. Bahwa persekutuan antara state dan market tidak lebih dari usaha mencari keuntungan dalam wilayah ekonomi, dan kehendak untuk memberangus kesadaran politik masyarakat. Praktek ini menunjukan domain publik yang dipinggirkan atas nama ‘kebijakan’ yang sama sekali keluar dari nilai-nilai kebijakan itu sendiri. Pemerintah (state) sebagai decision maker kebijakan tidak lagi mementingkan aspirasi dan kepentingan publik. Pada tahap ini kebuntuan dan monopoli informasi publik menjadi keniscayaan. Problem ini menjadi tanggung-jawab bersama-sama oleh setiap individu dalam masyarakat.

Makalah ini akan berusaha melihat muatan-muatan RUU Penyiaran terhadap ‘ajaran’ civil society, yang dalam konteks ke-Indonesiaa saat ini sedang trend dan menjadi diskursus up to date untuk menggagas perubahan dan transformasi sosial. Juga hendak menunjukan relevansinya terhadap kesadaran politik publik bagi konstruksi sosial baru di masyarakat. Ide-ide pemenuhan domain publik secara luas, bebas dari intervensi, hegemoni negara, sentralisme dan monopolisme kapital, equality (kesetaraan) dan liberty (kebebasan) masyarakat menjadi substere untuk digagas lebih lanjut. Di sinilah letak cepat-lambatnya gerakan sosial yang membawa risalah kesadaran kritis publik terhadap, meminjam istilah Gramsci hegemoni negara yang dominan, untuk menuju civil society.





B. PEMBAHASAN


Pendekatan politik ekonomi media massa

Konseptualisasi

Konsepsi politik ekonomi pada awalnya bermula dari upaya dukungan terhadap akselerasi kapitalis yang menolak sistem politik merkantilis yang dianggap tidak efektif dan efesien pada abad ke-18. Secara historis, The New Palgrave,1 membuat definisi politik ekonomi sebagai studi tentang kesejahteraan dan usaha manusia untuk memenuhi nafsu perolehan (penawaran dan pemenuhan hasrat).

Tidak mengherankan kemudian, Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiment dan The Wealth of Nations, melihat fenomena itu sebagai sebuah karakteristik yang berguna namun tidak dipuji, yang berakibat pada pengejaran nilai kebendaan, yang bila dipandang dari sudut filsafat yang tidak memihak, tampak ‘menjijikan dan remeh’ atau bisa disebut ‘vulgar’. Bahwa hasrat atas nafsu perolehan memiliki konsekwensi-konsekwensi yang banyak dikecam karena menimbulkan perilaku-perilaku kekikiran atau nafsu tamak. Dengan demikian, dorongan bagi pemenuhan kekayaan bisa berpengaruh pada interaksi hubungan produksi komersial ke dalam masyarakat.

Bagi William dalam Etimologi Sosial, sebelum menjadi disiplin ilmu, politik ekonomi didefinisikan sebagai tradisi sosial (social custom), praxis, dan pengetahuan untuk mengatur rumah-tangga, surat-menyurat dan komunitas. Konsep politik ekonomi merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi (oikos dan nomos) terkait pada tata atur rumah tangga, politik (polis) berdimensi kota-negara (city-state). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsi politik ekonomi klasik, ditandai oleh munculnya pandangan liberal yang diawali oleh Adam Smith, David Ricardo, dkk (dikupas bab berikutnya).

Selanjutnya, politik ekonomi dipandang sebagai kombinasi dari kajian relasi negara/pemerintah terhadap aktivitas industri individu (Palgrave, 1917). Dengan demikian, konsepsi politik ekonomi dapat dirumuskan sebagai studi tentang relasi-relasi sosial khususnya relasi kekuasaan yang dalam interaksinya secara bersama-sama menentukan sisi produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (Mosco, 1996).

Bila dikaitkan dalam wilayah komunikasi, khususnya industri media massa, sumber daya yang dimaksud berupa surat kabar, buku, video, film, audien dan seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (resource) untuk didistribusikan ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi, distribusi, dan konsumsi dalam industri media massa melibatkan relasi pihak jurnalis, organisasi media, pemilik modal atau kapitalis (perspektif ekonomi-bisnis), dan negara atau tepatnya pemerintah (perspektif politis). Yang diutamakan terjadinya alur umpan balik proses produksi yang melibatkan jaring-jaring produser, agen, pengecer, dan konsumen beli-sewa dalam mata rantai komersial.

Dalam arti tertentu, politik ekonomi komunikasi mengalami pergeseran pada upaya kontrol dalam rangkaian alur produksi, distribusi, dan konsumsi. Sehingga, bisa saja ia didefinisikan secara lebih umum dan ambisius sebagai studi tentang pengendalian (control) dan ketahanan (survivel) dalam kehidupan sosial. Kontrol terkait pada organisasi internal dari individu dan anggota kelompok politik, yang berproses secara politik dalam hubungannya dengan komunitas. Sedangkan survivel dilihat sebagai usaha produksi dan reproduksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (ekonomi).

Pandangan Liberalisme

Dalam upaya menjelaskan peryataan tersebut, terlebih dahulu dipahami kata kunci kalimat di atas. Liberalisme politik ekonomi merupakan idiologi kelas tertentu yang mencirikan kepentingan tertentu. Asal mulanya erat kaitannya dengan munculnya masa pencerahan (enlightment) dan Revolusi Perancis akhir abad ke-18. Ciri-ciri pemikiran Pencerahan yang universal dan mutlak serta idiologi liberal, seperti semboyan Revolusi Perancis ‘kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity)’ yang menjadi aspirasi kaum borjuis Perancis---pengusaha kelas menengah yang baru muncul, pemilik toko, pedagang, bankir, intelektual, dan seterusnya---yang merasa dikekang oleh kepentingan monarki obsolut Perancis.

Kaum borjuasi Perancis ini yang pada abad ke-18 berusaha mengakhiri penguasaan ekonomi model ‘merkantilisme’ yang telah ketinggalan zaman pada aspek perdagangan, penanaman modal, dan pengembangan usaha. Selain itu, mereka juga menghendaki dikuranginya peranan Gereja Katolik sebagai pemilik harta kekayaan dan lembaga ekonomi dan menuntut pengurangan kekuasaan monarki, penghapusan hak-hak istimewa, tuntutan sistem kontrol terhadap parlemen, dan menuntut sistem perdagangan bebas.

Pemikiran liberal klasik awal melihat perlunya keselarasan sosial oleh masing-masing individu untuk mengejar dan memperoleh hasrat dan kepentingan. Untuk itu, liberalisme memberi pengakuan terhadap pandangan individu sebagai pelaku hidup independen. Sebuah pengakuan terhadap hak-hak individu untuk melakukan aktivitas kehidupan secara bebas, baik atas nama individu atau sosial secara sadar. Menurut John Lock, individu memiliki dua dimensi, etika/moral dan ontologi. Etika dimaknai sebagai individu otonom yang memiliki nilai-nilai dasar hidup, seperti kebahagiaan, kesenangan, dan seterusnya. Sedangkan ontologi kehendak individu untuk mengejar nilai-nilai individu yang dihasratkan. Tindakan individu bisa saja disebut sebagai tindakan rasional/sadar untuk mengorganisasi dirinya secara individual, seperti kooperasi, mengejar keuntungan dan produksi.

Individualitasnya dihayati sebagai manusia yang bebas menentukan tindakannya secara sadar dan disengaja. Ia adalah bebas dalam arti bebas untuk menentukan sendiri apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak. Atau dalam arti lain mau tidak mau ia harus mengambil pilihan sikap terhadap aktivitas sosial di sekelilingnya, bisa saja ia menyesuaikan atau kooperatif terhadap orang-orang lain, tetapi bisa saja ia bertindak menentang mereka, atau sama sekali keluar dari pilihan-pilihan dan membangun pilihan sendiri.

Individu dikatakan bebas apabila ia mampu melihat ruang gerak kemungkinan yang ada dihadapannya atas pilihan-pilihan yang harus dipegang salah satunya. Ketika ia mampu menciptakan pilihannya dan bertanggung-jawab atas pilihannya, dalam arti ini individu memiliki eksistensi diri sebagai individu otonom yang memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam hidupnya. Bahwa ia memiliki otoritas penuh terhadap dirinya dan bertangggung-jawab sepenuhnya terhadap perilaku-perilaku individu. Dengan demikian, bisa dikatakan perwujudan liberalisme sebagai isme adalah adanya kebebasan kodrati yang melekat pada individu-individu manusia.

Karakteristik liberalisme.

Ada dua karakteristik umum liberalisme politik ekonomi, yaitu pasar bebas (kebebasan ekonomi), fungsi negara yang dipersempit (kebebasan politik). Pasar Bebas menurut Adam Smith, Bapak politik ekonomi merupakan konsep tatanan kosmis yang harmonis dalam bidang ekonomi. Sebagai sistem sosial yang ditunjang oleh keadilan sebagai aturan main utama bagi para pelaku ekonomi. Atau bisa disebut sebagai panggung aturan sosial-ekonomi yang menerapkan kemungkinan asas keadilan dapat diwujudkan. Hanya dengan mekanisme pasar bebas keadilan komutatif dalam wilayah ekonomi dapat dipertahankan.

Keadilan komutatif yang dimaksud sebagaimana disebut oleh Aristoteles, dan Smith sebagai keadilan yang terkait dengan pemulihan kembali kerusakan atau kerugian yang terjadi dalam sebuah transaksi sosial serta terkait dengan model pertukarn yang fair dalam transaksi ekonomi. Model keadilan ini dibangun atas dasar konsep filsafati. Dalam arti melihat persamaan yang utuh dan hakiki yang melekat pada setiap individu manusia.

Pada akhirnya, memang Smith memperluas makna keadilan komutatif sebagai no harm, bahwa pasar bebas memiliki prinsip untuk tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Atau juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya hak-hak dan kepentingan orang lain. Dengan demikian, keadilan komutatif menjamin adanya ruang hukum yang memungkinkan terciptanya pemulihan kerugian ekonomi dan terbukanya aturan hukum yang memungkinkan tidak terjadinya pelanggaran hak dan kepentingan orang-orang tertentu.

Ada dua argumen pokok mengenai pasar bebas, argumen ekonomi dan argumen moral. Argumen ekonomi melihat penekanan ekonomi yang mewujudkan efesiensi dan ekfektivitas perekonomian. Bahwa masalah ekonomi dilihat secara utuh dalam wilayah ekonomi yang mengaitkan aspek produksi, distribusi dan konsumsi bagi kesejahteraan individu dan sosial. Argumen moral menekankan aspek-aspek moral dari ekonomi pasar bebas. Ada tiga ciri utama argumen moral dari pasar bebas. Pertama, terdapatnya prinsip-prinsip utilitas. unsur pembentuk utilitas adalah utilitas dilihat secara psikologis, dan secara fungsional. Secara psikologis, bahwa pasar bebas menjembatani ekspresi ekonomi antar individu untuk melakukan transaksi barang sebagai pelaku ekonomi. Pasar bebas mengandung nilai moral, sebab di dalamnya memuat pelayanan pemenuhan kepentingan dan kebutuhan setiap individu. Secara fungsional, pasar bebas dinilai membuka adanya manfaat sosial yang diperoleh. Karena mekanisme yang dipergunakan memungkinkan terdapatnya aturan yang disepakati bersama sebagai kerangka legal, politis, bagi kesejahteraan bersama.

Kedua, moralitas dalam pasar bebas. Menurut Adam Smith, pasar bebas memuat aspek-aspek moral. Sebab, di dalamnya mengandung sebuah pranata sosial yang memungkinkan terciptanya kesejahteraan bersama setiap individu. Bahwa hakikat hidup sesuai dengan kodrat manusia untuk menciptakan sistem hidup yang baik. Bagi Smith, hidup yang baik merupakan sistem hidup yang dimiliki oleh pasar bebas yang memungkinkan setiap individu secara kodrati mengejar dan mengembangkan hajat hidupnya sesuai dengan kodrat yang melekat.

Dan ketiga, pasar bebas tidak memihak. Bahwa sifat pasar bebas yang tidak memihak (impartial) dalam menentukan dan menyediakan barang dan jasa dan karenanya bersikap netral bagi semua orang. Impartial dalam arti tidak adanya pemberian wewenang tertentu bagi orang tertentu, sehingga bisa saja menciptakan monopoli, hak-hak istimewa, dan dukungan lain yang memungkinkan terjadinya kerugian di pihak lain. Bahwa pasar bebas menjadi tempat yang sama bagi setiap orang untuk bertransaksi, berbisnis yang memungkinkan terciptanya kesetaran ekonomi bagi masing-masing orang.

Fungsi negara yang dipersempit (kebebasan politik). Liberalisme melihat perlunya penggabungan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan politik, sehingga fungsi negara harus dipersempit. Sebab pengejaran kepentingan ekonomi tidak dapat secara langsung diatur melalui regulasi ekonomi yang dibuat oleh negara. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan ‘kemakmuran bangsa’oleh Bapak politik ekonomi Adam Smith dilihat sebagai adanya peran negara yang kekuasaanya terbatas.

Oleh karena itu, peran yang memungkinkan diemban negara bahwa negara seharusnya melindungi hak-hak asasi setiap individu untuk memiliki dan memperoleh kekayaan. Proses ekonomi terjadi sebagai akibat dari usaha dn kerja keras individu untuk memperoleh keuntungan ekonomisnya. Sehingga, negara yang membatasi hak-hak pemenuhan ekonomi, berarti menurut John Lock telah mengingkari ‘kontrak sosial’ yang menjadi satu-satunya kekuasaan yang penuh dan sah.

Wewenang negara yang terbatas, menjadi sarana terciptanya mekanisme pasar bebas yang mengapresiasi setiap kepentingan ekonomis orang-orang yang terlibat dalam transaksi ekonomi. Dalam konteks ini, bila negara memiliki wewenang yang luas, maka akan dimungkinkan menimbulkan kendala signifikant bagi laju proses kebebasan individu dalam mekanisme pasar. Campur tangan negara sudah barang tentu menimbulkan gangguan keseimbangan sosial dalam perekonomian. Dengan pembataasn berarti dibatasi pula hak-hak kodrati untuk memenuhi hasrat ekonomisnya. Pada titik ini, sebenarnya negara tidaklah secara langsung mempunyai hak untu bertindak sebagai ‘wali sosial’ untuk mengatur kehidupan private setiap individu untuk mengatur kepemilikan kekayaan dan modal.

Keunikan dari liberalisme bisa dilihat sebagai sistem nilai dan sistem sosial. Sistem nilai, liberalisme memuat nilai-nilai kapitalisme yang bekerja dalam tataran kapitalistik. Atau kapitalisme adalah anak kandung dari liberalisme. Dalam kapitalisme nilai yang muncul adalah nilai instrumentalis. Menurut Franz Magnis Suseno, didalamnya memuat nilai mengabdi, menjalankan, demi sebuah tataran nilai yang lebih luas, berupa nilai dinamisasi kapital. Nilai kapitalisme lebih memintingkan nilai tukar dari pada nilai guna, sebab hal itu memungkinkan terjadinya transaksi modal, bisa berupa barang, jasa, uang untuk memenuhi keuntungan-keuntungan kapital yang lebih besar.

Sebagai sistem sosial, liberalisme memungkinkan hadir sebagai sistem masyarakat modern yang menjadi dasar bagi pembentukan ‘masyarakat pasar’ bersama dalam kerangka pemenuhan sistem produksi dan tenaga kerja. Nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan menjadi perekat bagi usaha membentuk sistem sosial bersama di antara pelaku-pelaku ekonomi di masyarakat.

Kritik Marxisme.

Liberalisme bukan tanpa kritik. Setidaknya yang disebut oleh Karl Marx (1818-1883), seorang filsuf Jerman dan roh pembimbing gerakan sosialisme. Kritik Marx tidak dijelaskan secara luas dalam tulisan ini. Marx melihat bahwa mekanisme pasar bebas yang menjadi fundement liberalisme politik ekonomi justru menimbulkan banyak ketimpangan-ketimpangan sosial di masyarakat. Mark melihat implikasi yang ditimbulkan terjadinya akumulasi modal yang terpusat. Dan keuntungan yang menjadi hak asasi individu, disebut Marx sebagai kondisi pembagian yang ‘tidak adil’ atas produksi antara kerja sebagai proses dan kerja sebagai komoditas.

Pekerja sebagai penggerak proses produksi dilihat hanya menjadi mesin-mesin yang memenuhi hasrat produksi kapitalistik. Dalam konteks ini, hubungan antara kerja dan imbalan yang diperoleh oleh pekerja menjadi tidak seimbang. Menurut Marx nilai kerja mengacu pada nilai terpaksa dalam aktivitas produksi. Sehingga, buruh menjadi terasing pada aktivitas kerja yang dikerjakannya. Sebuah pekerjaan tidak mengembangkan aktivitasnya, melainkan mengasingkan dirinya. Bagi Marx, liberalisme dan kepemilikan pribadi hanya mementingkan keuntungan daripada pertukaran nilai yang seimbang; keduanya mementingkan aspek-apek perdagangan, sehingga yang lebih dahulu muncul adalah aspek investasi ketimbang kebersamaan.

Dalam kondisi ini, kuantitas tenaga kerja manusia dibutuhkan dalam alur produksi saja dan dinilai rendah. Sehingga, para pekerja dan bisa saja seluruh keluarganya bekerja selama sepuluh, dua belas jam, tetapi mereka tetap saja masih miskin. Apa yang terjadi ? Marx menyebut telah terjadi penyumbangan sejumlah besar nilai lebih (surplus value) kepada pemilik pabrik yang kapitalis. Dalam arti sederhana, model liberalisme hanya memungkinkan terciptanya eksploitasi orang sedikit terhadap orang banyak.

Bisa saja disebabkan oleh keadaan yang tidak adil karena faktor ketamakan pribadi-pribadi, dan mekanisme pasar yang teramat ‘kejam’ yang menimbulkan kondisi buruk bagi pekerja yang terpinggirkan oleh mekanisme kapitalistik. Pada titik ini, bagi Mark yang utama bagi pekerja membangun ikatan antara mereka, merencanakan, mengorganisasikan dan menentang seluruh sistem dan mekanisme kapitalistik. Sehingga diperlukan campur tangan negara yang dominan untuk mengatur hasrat politik ekonomi liberalisme.

Campur tangan negara bagi Marx dan kaum marxian, tidak saja diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan negara semata, lebih dari itu diperlukan usaha struktural dan sistemik dari negara untuk mendominasi ranah masyarakat. Hal ini berarti, marx telah menolak total dari mekanisme pasar bebas dan memilih jalan ‘damai’ atas dominasi negara terhadap aspek-aspek perekonomian masyarakat.

Pandangan Neo-Liberalisme

Konsep neo-liberalisme secara sederhana berarti ‘liberalisme baru’. Diperkenalkan oleh John Stuart Mill tentang konsep laissez faire (negara tidak campur tangan, sebagai pengganti dari merkantilisme) yang berakhir pada terkondisinya sistem ekonomi pada sebagian kecil orang, adanya monopoli produksi yang merugikan orang lain. Neo-liberalisme menekankan peranan negara yang lebih besar dalam mengurusi masalah-masalah warga negara. Baik masalah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya.

Kritik Marx dan kaum Marxian terhadap sistem politik ekonomi liberalisme (klasik) atas paradigma pasar bebas-nya, mendorong kaum liberalis untuk melihat kembali akar-akar liberalisme klasik. Kritik itu menjadi awal dari munculnya pembaharuan di tubuh liberalisme. Politik ekonomi neo-liberalisme melakukan reformasi besar-besaran pada sistem kapitalis, yang dimulai dari konsepsinya tentang negara kesejahteraan (welfare state). Konsepsi ini melihat pentingnya peranan negara dalam hubungan politik ekonomi terutama terhadap jaminan kepada masyarakat yang tertinggal dari mekanisme ekonomi bebas. Konsepsi ini bisa berbentuk melalui tunjangan-tunjangan kesehatan, hari tua, penganggur, dan kompensasi optimal atas eksternalitas prroses produksi bagi kalangan miskin yang dirugikan dan lingkungan ekosistem.

Neo-liberalisme juga memandang konsep-konsep keseimbangan (equilibrium) dalam ekonomi klasik yang ternyata justru gagal menyelamatkan dunia dari belenggu depresi politik ekonomi pada tahun 1930. Depresi ini mengakibatkan stagnasi pada sisi produksi atau sisi penawaran (suplay) disebabkan oleh rendahnya daya beli masyrakat waktu itu. Dalam kondisi demikian, J.M. Keynes, ekonom asal Inggris, melihat pentingnya sisi permintaan (demand). Konsep ini menilai bahwa konsepsi equilibrium tidak bisa serta merta mampu memenuhi ‘ambisi’ ekonominya secara sendiri. Untuk itu, diperlukan perangkat lain yang dapat mendorong tercapainya equilibrium, berupa perlunya intervensi nilai permintaan atau sisi daya beli masyarakat melalaui konsumsi negara.

Beda halnya dengan Marx dan Marxian yang memandang perlunya dominasi negara atas sisi perekonomian masyarakat. Keynesian juga memandang sama, tetapi sedikit lunak pengertiannya bahwa intervensi negara memang secara langsung atau tidak mampu untuk menjaga keseimbangan perekonomian masyarakat sebagai akibat dari kesenjangan alur produksi kapitalistik.

Dengan demikian, model intervensi negara dalam kerangka untuk mensejahterakan masyarakat yang dipinggirkan. Misalnya, untuk mempengaruhi majikan/pemilik modal bagi kesejahteraan para pekerja mereka. Jadi, pemakian kekuatan negara secara langsung untuk mendorong atau melindungi kegiatan ekonomis masyarakat bagi kepentingan publik bersama. Dalam perspektif ini, lalu muncul upaya-upaya pengaturan oleh negara untuk mengatur urusan publik. Sehingga, akibat yang ditimbulkan dari alur produksi kapitalistik bisa diminamalisir. Aturan-aturan tersebut menjadi platform bersama setiap individu-individu masyarakat untuk dijalani dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan seterusnya.

Dalam konteks Indonesia, pemikiran yang bersumber dari Keynesian ini mengakar dan menjadi mainstream pola perencanaan pembangunan. Akibatnya intervensi berlebihan dalam wilayah-wilayah ekonomi, politik, sosial menimbulkan efek negatif di masyarakat. Seperti penguasaan berlebihan atas faktor produksi dan sumber daya alam. Dalam kondisi demikian, ketika terjadi manipulasi birokrasi, dan korupsi oleh negara, ada usaha rekayasa sistematik terhadap sumber daya oleh kalangan elit-elit tertentu. Contoh yang relevan dalam kajian makalah ini adalah intervensi negara dalam regulasi siaran di Indonesia.

Regulasi media

Dalam kaitannya dengan komunikasi, model intervensi kebijakan negara juga membuat pengaturan-pengaturan (regulasi) terhadap media dan industrinya. Selama ini, peran negara dalam mengatur kehidupan media teramat besar. Negara menjadi pengatur (regulator) siapa yang berhak dan boleh memasuki wilayah industri media, juga menentukan dan mengatur sekaligus keberadaan dan fungsinya dalam masyarakat.

Kebijakan negara dalam pengaturan industri media bisa saja dilihat dari aras kebijakan politik komunikasi yang dijalankan. Sehingga hal itu akan berpengaruh secara signifikant terhadap usaha-usaha perwujudan kebijakan kebebasan komunikasi masyarakat. Atau dalam arti lain, berbagai kebijakan pemerintah yang dibuat melalui (regulasi, deregulasi) pada wilayah komunikasi mengandung banyak makna budaya dan politik yang ditimbulkan sebagai akibat dari perkembangan sejarah dan politik negara.

Dalam usaha menjelaskan regulasi media dapat dilihat dari aspek pemfungsian media komunikasi yang dilakukan oleh negara. Dimana negara memiliki wewenang untuk mengatur dan mengeluarkan kebijakan apakah media dibuat untuk mendorong terciptanya perubahan sosial di masyarakat, atau bisa saja media diciptakan untuk menjadi corong kekuasan yang menginformasikan kepentingan-kepentingan negara.

Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa media di satu sisi menjadi instrumen politik yang sangat ampuh untuk melakukan indoktrinasi politik masyarakat. Atau di sisi lain justru media merupakan sarana membangun kesadaran masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam medio demokratisasi dan penguatan stabilitas sosial.

Di Indonesia, memperbincangkan regulasi media tidak dapat serta merta melepaskan tiga varian utama, negara (state), pasar (market), dan masyarakat (society). Hubungan di antara ketiganya bisa harmonis, dalam arti terdapat hubungan mutualsitik yang inter-aktif, saling mengisi, dan tidak mendominasi. Pada titik ini, hubungan ketiganya menjadi ideal untuk diciptakan. Tetapi bisa juga hubungan ketiganya merupakan hubungan yang mendominasi.

Misalnya saja, pasar yang mendominasi terhadap masyarakat. Atau hubungan pasar dan negara yang juga mendominasi terhadap kepentingan masyarakat. Dan bisa juga sebaliknya, masyarakat yang justru menekan pada kepentingan negara dan pasar. Tetapi yang perlu diingat adalah hubungan ketiganya tetap harus menempatkan society sebagai prioritas.

Nah, dalam kerangka itu, untuk mewujudkan cita-cita ideal hubungan ketiganya menjadi peran penting yang mesti dilakukan oleh negara. Sebagai fungsi regulator, negara berhak dan memiliki wewenang mengatur kebijakan media sehingga menguntungkan semua pihak. Pada tahap ini, fungsi negara menjadi vital untuk merumuskan kebijakan media yang tidak saling mendominasi di antara ketiganya.

Saat ini, realitas RUU penyiaran dalam media siaran di Indonesia menjadi substere untuk melihat kecenderungan kebijakan itu apakah mengabdi pada kepentingan masyarakat, dalam arti kebijakan negara dalam RUU penyiaran tersebut yang mengatas-namakan kepentingan publik semestinya mampu menyelesaikan dan mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang pemeroleh atau akses atas dan kebebasan infomasi.

RUU Penyiaran

Lahirnya RUU penyiaran kini adalah hasil dari proses dinamika dan transformasi sejarah yang panjang teramat panjang di Indonesia. Dalam catatan sejarah penyiaran Indonesia, RUU penyiaran hari ini (2001--) adalah untuk kedua kalinya termuat dalam bentuk undang-undang setelah undang-undang penyiaran pertama No. 24 tahun 1997. Sebelumnya, dimulai dari munculnya stasiun penyiaran TVRI, stasiun pertama yang ditetapkan melalui Keppres No. 215/1963, tanggal 20 Oktober 1963 tentang pembentukan yayasan Televisi Republik Indonesia dengan pimpinan Presiden RI, yang operasionalisasinya dibantu oleh 3 orang direktur muda (bab 1 pasal 3 Keppres No 215/1963). Selanjutnya, fenomena munculnya stasiun televisi swasta sebagai antisipasi dari mulai maraknya siaran televisi asing yang dapat diterima melalui penggunaan antena parabola melalui satelit palapa.

Regulasi penyiaran televisi swasta pertama kali dibuat melalui Surat keputusan Menteri. Seperti, S.K.Menpen No. 190A/Kep/Menpen/1987 tentang siaran saluran terbatas/SST-TVRI, S.K.Menpen No. 111/Kep/Menpen/1990 tentang penyiaran televisi di Indonesia, dan terakhir adalah Undang-Undang Penyiaran No. 24 tahun 1997.

Dengan demikian, kehadiran RUU penyiaran selain ditunggu-tunggu oleh masyarakat, yang utama apakah RUU tersebut menciptakan produk undang-undang yang berpihak pada kepentingan masyarakat sehingga memungkinkan terbangunya ruang publik yang bebas bagi public sphere. Lebih dari itu, apakah RUU penyiaran mendorong terbentuknya civil society di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya berangkat dari realitas dari UU No. 24 tahun 1997, yang ketika muncul pertama kali mendapat respon positif dan negatif.

Positif dalam arti aturan penyiaran telah terlegalisasi melalui undang-undang yang dianggap lebih maju dari sebelumnya. Negatif, bahwa kelahiran undang-undang ini menjelang jatuhnya rezim diktator Soeharto, sehingga bisa saja secara eksplisit mengandung aspek politis yang kental. Hal itu terbukti melalui pasal-pasal yang ada masih mencerminkan betapa kuatnya hegemoni negara dalam membatasi kegiatan penyiaran. Seperti, tidak adanya pasal yang menjamin kebebasan pers dan aturan wajib relay yang bersifat memaksa, dualisme peridzinan; Dep. Perhubungan untuk frekuensi, dan Dep. Penerangan untuk izin siaran, dan seterusnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, RUU penyiaran sudah pernah untuk ditulis ulang pada masa pemerintahan Habiebie yang seumur jagung. Namun, ketika Gus Dur naik salah satu pilar dunia pers “Dep. Penerangan’, selama orde baru menjadi corong penguasa dibubarkan. Dalam arti lain, dibubarkannya Dep. Penerangan mengindikasikan adanya semangat kebebasan informasi di setiap warga masyarakat. Bahwa hak untuk memperoleh, dan mengakses informasi adalah milik setiap warga masyarakat. Negara dalam arti tertentu tidak berhak memonopoli informasi publik. Paling tidak, dibubarkannya Dep. Penerangan menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong lahirnya RUU penyiaran baru di tengah suasana transisi demokrasi.

Di awal masa transisi ini, keterlibatan publik untuk ikut serta merancang pembuatan RUU penyiaran sebenarnya mutlak diperlukan. Sebut saja, dari kalangan perguruan tinggi, mahasiswa, para cendekiawan komunikasi, organisasi non-pemerintah, dan seterusnya. Mengingat, RUU tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak dan terkait dengan salah satu hak asasi manusia, terdapatnya akses informasi yang bebas bagi setiap warga negara. Aneh memang, justru yang banyak memberikan masukan terhadap materi RUU tersebut berasal dari para insan dan praktisi media. Dalam arti tertentu, para praktisi media bisa saja berkepentingan terhadap muatan-muatan RUU untuk keberlangsungan sisi ekonomi bisnisnya di dunia penyiaran yang disinyalir banyak mendapatkan keuntungan.

Setidaknya ada empat draft RUU penyiaran yang sempat diajukan ke DPR. Yaitu, draft yang diajukan oleh MPPI, Forum Profesional Televisi Swasta, Tobby Mondel (ahli komunikasi Unesco), dan Asosiasi Radio Siaran Swasta Indonesia. Banyaknya para praktisi media yang mengajukan draft RUU paling tidak mengisyaratkan betapa mereka sangat berkepentingan terhadap substere RUU. Yang utama, draft yang mereka ajukan bermuatan ekonomis-bisnis semata. Paling tidak, menurut Prof Dr. A. Muis (pakar Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin), ia menolak model draft RUU yang dibuat oleh MPPI.

Sebab dalam penyusunanya melibatkan kerjasama dan didanai oleh lembaga Internews-lembaga swadaya asing yang bergerak di bidang penyiaran. Selain itu, muatan RUU tersebut memiliki banyak kelemahan di antaranya, tidak adanya dasar teori komunikasi dan jurnalistik. Seperti, adanya keinginan untuk memaksakan kesamaan antara jurnalistik media cetak dan jurnalistik penyiaran atau udara (pasal bahwa UU penyiaran tunduk pada UU pers). (Kompas, sabtu 7 Oktober 2000).

Dengan demikian, terlihat jelas bagaimana upaya para praktisi media untuk memaksakan keinginan subjektif mereka dalam kerangka muatan RUU penyiaran. Oleh karena itu, ketika hasil RUU inisiatif DPR dimunculkan ke pemerintah dan publik. Hampir bisa dipastikan kecaman dan penolakan yang mucul pun berasal dari kalangan media. Bahkan setting pemberitaan yang dilakukan melalui media cetak pun hampir seragam. Yaitu, usaha untuk memunculkan opini publik bahwa RUU penyiaran hasil inisiatif DPR dianggap memberangus kebebasan pers, dan melanggar hak-hak asasi manusia di tengah nuansa reformasi.

Belajar dari sejarah

Pada titik ini, kasus penolakan RUU di atas menunjukan bahwa yang paling berkeberatan terhadap muatan-muatan RUU datang dari media. Bahwa media dengan nuansa relasi kapitalistik di sekelilingnya terancam kepentingan bisnisnya. Sebab, nilai ekonomis dari industri media menjadi lahan menarik untuk diperebutkan oleh para pemilik stasiun penyiaran swasta di Indonesia. Sebut saja hasil perolehan dari iklan yang ditayangkan televisi swasta. Belum lagi terkait dengan sedikitnya jumlah televisi swasta yag beredar di Indonesia.

Hingga kini, (selain fenomena munculnya Metro TV, Trans TV, Global TV, dst) baru terdapat lima stasiun swasta televisi yang beredar secara bebas tanpa adanya regulasi ketat. Masing-masing RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dan AN-Teve ). Realitas demikian tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan sistem politik yang melingkupinya, sistem politik orde baru yang banyak diwarnai oleh intervensi atas nama negara bagi kepentingan bisnis tertentu.

Misalnya, kasus di RCTI yang mengudara tahun 1989. Berawal dari S.K. Menpen No.190A/Kep/Menpen/1987 tentang siaran saluran terbatas /SST-TVRI. Yang dimaksud dengan SST adalah siaran televisi gambar yang menggunakan kabel, serat optik, atau dengan cara memutarbalikan (scrambel) melalui sinyal audio dan video televisi. Maka, untuk menangkap siaranya diperlukan perangkat tambahan alat pembuka kode sinyal atau decoder. Dan itupun beredar hanya di Jakarta. Akan tetapi, hanya dalam tempo dua tahun. Pihak RCTI berhasil mendesak pemerintah untuk memandulkan regulasi S.K. Menpen tersebut.

Maka pada tahun 1990, muncul S.K.Menpen No.111 /Kep / Menpen / tentang penyiaran televisi di Indonesia. Dimana, disebut dalam regulasi tersebut tentang perubahan mendasar dengan diperbolehkannya televisi swasta beredar secara nasional. Dengan demikian, untuk menangkap siaran televisi swasta tidak lagi diperlukan decoder (Siaran saluran Umum). Artinya, siaran televisi dalam bentuk gambar dan suara dengan sistem gelombang radio dapat ditangkap dan diterima langsung oleh publik melalui pesawat televisi tanpa alat khusus.

Kasus di RCTI ini, pada akhirnya berimbas bagi munculnya televisi swata SCTV yang mengudara pada 24 Agustus 1990 tanpa menggunakan decoder. Pada titik ini, sebagai akibat dari deregulasi penyiaran tersebut mengakibatkan problem serius; pertama, munculnya struktur kepemilikan stasiun televisi swasta yang berputar di sekitar lingkaran elit-dekat penguasa rezim orde baru. Dari kelima stasiun swasta tersebut dimiliki oleh orang-orang dekat rezim, sebut saja RCTI dan SCTV milik Bambang Trihadmojo (putra tertua Soeharto), TPI milik Siti Hardiyanti ‘tutut” Rukmana (puteri tertua Soeharto), An-Teve milik Agung Laksono dan Abu Rizal Bakri (orang Golkar dan relasi bisnis), dan Indosiar milik Soedono Salim (relasi bisnis). Bahkan Metro TV juga dikuasai oleh rekan bisnis keluarga Cendana Surya Paloh dkk.

Kedua, kebijakan deregulasi secara jelas menguntungkan bagi televisi swasta. Dengan mengudara secara nasional, berarti para konsumennya pun berskala nasional. Dalam wilayah ini, tentunya kesempatan untuk menambah jumlah iklan pun menjadi bertambah. ketiga, paraktek siaran yang dimunculkan oleh televisi swasta membentuk sebuah pola konsumerisme yang ditampilkan secara bebas, terbuka dan vulgar. Informasi-informasi publik yang berdimensi sosial-politik sangat jarang dimunculkan, kecuali melalui wawancara dan talkshow saja. Keempat, munculnya sentralisasi informasi bagi publik. Publik (bc; masyarakat) dikondisikan atau bisa disebut dipaksa untuk mengkonsumsi informasi yang hanya di produksi oleh sejumlah kecil stasiun televisi swasta yang notabene ngendon di Jakarta.

Dan kelima, yang terpenting, sentralisasi informasi tersebut menyebabkan masyarakat tercerabut eksistensinya sebagai zoon politicon atau tercipta depolitisasi masyarakat, sehingga kesadaran kritis masyarakat menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Dalam perspektif ini, tayangan-tayangan yang dimunculkan mendorong terciptanya homogenisasi, konsumeristik, dan individualistik. Sehingga, isu-isu yang menyangkut kepentingan publik sense of public jarang direspon secara aktif.

Berangkat dari realitas sejarah perkembangan kebijakan media dan industri media, menjadi menarik untuk dikaji lebih jauh agar munculnya hak-hak istimewa yang diperoleh oleh kelompok-kelompok terbatas bisa dikurangi atau ekstreamnya dibatasi dan dihilangkan. Momentum transformasi sejarah baru Indonesia, yang ditandai oleh dinamisasi politik semestinya dijadikan platform bersama setiap stakeholder untuk membangun produk UU penyiaran yang akuntable bagi publik bersama.

Muatan-muatan RUU penyiaran

Realitas munculnya kecaman dan gugatan terhadap muatan-muatan RUU penyiran hasil inisiatif DPR tidak bisa dipungkiri. Bahwa ada Kelompok-kelompok yang begitu intens menggugat muatannya yang dianggap dapat mengganggu pluralitas dan kebebasan ekspresi manusia sudah disinggung sebelumnya. Barangkali, sebagai kenyataan, untuk membuat produk Undang-undang penyiaran yang benar-benar ideal bagi kepentingan publik (hubungan seimbang antara negara, pasar, masyarakat) dengan segala keterbatasan dan kelemahannya sulit untuk diwujudkan. Ia akan tetap menjadi tantangan yang mesti ditempuh rasionalisasinya. Dan oleh karena rasionalisasi selalu dibatasi oleh kekurangan-kekurangan. Maka membongkar RUU penyiaran hasil inisitaif DPR adalah dalam kerangka merasionalisasikan untuk kemudian menyusun usaha-usaha sistematis (di dalamnya kritik) yang berguna untuk mewujudkannya.

Untuk itu, jika kita baca seksama bab demi bab, pasal demi pasal, ayat demi ayat terhadap content RUU tersebut (yang hingga kini masih terdampar di pemerintah karena alasan masih dalam tahap pembahasan) sulit rasanya untuk menemukan pasal-pasal yang bisa disebut mengekang kebebasan media. Dalam pengertian ini, industri media justru dibuka secara terbuka dan dalam arti tertentu boleh didirikan di setiap daerah tertentu di Indonesia. Tidak semata-mata terpusat di Jakarta.

Secara sederhana, muatan-muatan RUU penyiaran dapat dikategorisasikan dalam tiga kategori utama, kategori substantif/isi, kategori teknis administratif, dan kategori lain-lain. Kategori substantif mengandung pokok-pokok aturan dan prinsip-prinsip dasar penyiaran. Yang masuk dalam kategori ini antara lain;

  • bab 1 ketentuan umum (pasal 1, ayat 1-11)

  • bab 2 dasar, tujuan, fungsi dan arah (pasal 2, 3, 4 ayat 1-2, dan 5 point a-h)

  • bab 3 penyelenggaraan penyiaran, terdiri atas;

    • bagian umum (pasal 6 ayat 1-4),

    • komisi penyiaran (pasal 7 ayat 1-4, 8 ayat 1-3, 9 ayat 1-6, dan 10 ayat 1-4),

    • jasa penyiaran (pasal 11, ayat 1-2),

    • lembaga penyiaran publik (pasal 12 ayat 1-5, dan 13 ayat 1-2),

    • lembaga penyiaran swasta (pasal 14 ayat 1-2, 15 ayat 1-4, 16 ayat 1-2, dan 17),

    • lembaga penyiaran komunitas (pasal 18 ayat 1-5),

    • lembaga penyiaran asing (pasal 19 ayat 1-3), dan

    • stasiun penyiaran dan wilayah jangkauan siaran (pasal 20 ayat 1-5, dan 21 ayat 1-2)

  • bab 6 peran serta masyarakat (pasal 37 ayat 1-3), dan

  • bab 7 pertanggung-jawaban (pasal 38 ayat 1-2, dan 39).


Penjelasan secara lengkapnya akan dikaitkan secara langsung terhadap implikasi yang ditimbulkan dari muatannya dengan usaha mendorong penguatan gerakan civil society di masyarakat pada penjelasan selanjutnya. Sedangkan, kategori teknis administratif bisa dilihat dalam bab-bab yang mengandung muatan aturan teknis pembatasan, aturan main, dst. Yang bisa dikelompokan dalam kategori ini antara lain;

  • bab 3 penyelenggaraan penyiaran, peridzinan (pasal 22 ayat 1-8, dan 23 ayat 1-4)

  • bab 4 pelaksanaan penyiaran, terdiri atas;

    • isi siaran (pasal 24, dan 25 ayat 1-6)

    • bahasa siaran (pasal 26 ayat 1-6)

    • rilai dan siaran bersama (pasal 27 ayat 1-2, dan 28)

    • kegiatan jurnalistik (pasal 29)

    • hak siar (pasal 30 ayat 1-4)

    • ralat siaran (pasal 31 ayat 1-3)

    • arsip siaran (pasal 32 ayat 1-2)

    • siaran iklan (pasal 33 ayat 1-10)

    • pedoman perilaku (pasal 34 ayat 1-5, 35 ayat 1-5, dan 36 ayat 1-2)

  • bab 8 ketentuan pidana (pasal 40 ayat 1-3, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, --60)


Dan terakhir kategori lain-lain, yang tidak termasuk dua kategori sebelumnya. Dalam arti lain, bab dan pasal; hanya menjelaskan aturan peralihan dan penutup. Kategori ini yaitu;

  • bab 9 ketentuan peralihan (pasal 61 ayat 1-3), dan

  • bab 10 ketentuan penutup (pasal 62, dan 63).


Dalam hubungan itulah wacana civil society diletakan sebagai alat untuk menunjukan terhadap muatan-muatan RUU penyiaran yang di satu sisi bisa saja mencakup nilai-nilai yang mendorong kuatnya gerakan civil society, atau bisa juga muatan-muatannya belum menampakan relevansinya secara ideal.

Civil society sebagai alat

Yang membedakan perkembangan gerakan civil society di Indonesia dengan di Barat, sebagaimana disebut oleh Habermas adalah pada fungsi media/pers. Bagi Habermas, hal itu ditentukan oleh terciptanya ruang publik yang bebas (public sphere). Fungsi media adalah menjembatani dan menjaga wacana bebas bagi publik. Dimana setiap warga negara secara bebas dapat ikut serta melibatkan diri dalam diskursus tentang realitas sosial untuk mengawasi negara (state) dan pasar (market).

Ruang tersebut bisa dipergunakan oleh media untuk menyebarluaskan dan menginformasikan fakta-fakta empirik yang dibutuhkan bagi pemenuhan dan penentuan sikap warga, baik sikap sosial, ekonomi, budaya, terlebih sikap politik. Pada sisi ini, media bisa menempatkan diri secara independen, otonom yang membuka jalan bagi terciptanya perdebatan publik secara dewasa, bukan memihak apalagi memanipulasi informasi yang berdampak pada manipulasi publik secara vulgar.

Praktek-praktek wacana bebas, jika menggunakan pendekatan kultural ‘aseli’ Indonesia (biasanya kita menengok pada model coffe house Inggeris, salon Perancis, dan tichgesllchaften Jerman, menurut Habermas) bisa dilihat pada model diskursus yang ada pada masyarakat Minang Sumatera Barat. Model ‘Lapau’ dan Balai desa ala Minang juga mempunyai kemiripan dengan konsep ‘wacana hidup’ sebagaimana yang disebut oleh Habermas. Pada Lapau, secara tradisi warga berkumpul di warung-warung untuk mencoba menggagas realitas kultural di satu sisi, biasanya bermula dari obrolan tentang masalah perdagangan, keluarga, adat dst. Pada sisi lain, obrolan tersebut justru menjadi arena publik untuk menciptakan diskursus masalah-masalah negara, seperti; kejadian ekonomi, politik, sosial, budaya, dst.

Oleh karena itu, yang utama harus dimengerti bahwa ruang publik adalah sebagai sebuah proses sosiologis yang bisa saja berbeda oleh karena faktor geografis dan kultural yang berbeda. tetapi secara substantif mempunyai ide dasar yang serupa. lebih dari itu, ia juga bisa mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran, serta kelemahan dan kekurangan seiring perkembangan sejarah.

Sebagai sebuah ruang publik, media adalah suatu sarana yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, sikap, dan refleksi diri, cita-cita diri warga negara. Pada space ini, terjadi pertemuan fungsi ideal media dengan pemaknaan dari civil society, jika kita menggunakan konseptualisasi ala Tocqueville, yang menyebut civil society, disebut oleh Hikam, sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain; kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting) kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warga negaranya.

Pada dataran ini, terlihat bahwa ada pembagian yang tegas antara warga negara dengan negara sendiri. Dengan demikian, negara sebagai pembuat produk undang-undang di satu sisi dapat menciptakan konstruksi sosial di warga negara dengan produknya. Di sisi lain, warga negara bisa mendorong kontrol yang kuat bagi negara. Bagaimana dengan RUU penyiaran?

Muatan RUU

bagi masa depan civil society

Selanjutnya, jika dilihat dengan kacamata penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa secara garis besar muatan-muatan yang ada dalam RUU penyiaran hasil inisiatif DPR membuka jalan bagi terciptanya penguatan gerakan civil society di Indonesia. Peryataan ini bisa dilihat melalui pasal-pasal yang mengatur model penyiaran baik televisi atau radio bagi warga negara. Substansi dasar yang menjadi argumentasi penguatan civil society melalui RUU penyiaran adalah sebagai berikut;

Pertama, diakuinya spektrum gelombang elegtromagnetik yang dipergunakan dalam media penyiaran sebagai ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 6, dan bab 3 pasal 6 ayat 2. ini berarti, spektrum gelombang dikuasai oleh negara bagi kepentingan dan kesejahteraan publik. Sebab, wilayah udara adalah domain publik yang tidak bisa secara sengaja dimiliki oleh swasta.

Kedua, diterimanya lembaga penyiaran publik dan penyiaran komunitas. Lihat bab bab 1 pasal 7, bab 3 pasal 12 dan 13 (penyiaran publik), bab 3 pasal 18 (penyiaran komunitas). Melalui media komunitas ini, warga negara mampu secara langsung melakukan kontrol bagi negara dan pasar. Sebab, aspirasi komunitas di setiap level warga dapat tertampung secara langsung di penyiaran komunitas. Dalam konteks ini, munculnya penyiaran komunitas dapat memperkuat potensi warga. Dengan demikian, setiap daerah bisa membuat media penyiaran yang mengakar pada tradisi daerahnya sendiri.

Ketiga, dihilangkannya peran penyuluhan, pembimbing, pengaturan oleh lembaga pemerintah, semisal Departemen pemerintah untuk mengkontrol media penyiaran. Dengan dialihkan melalui pembentukan komisi penyiaran Indonesia, baik di tingkat pusat dan daerah. Lihat bab 1 pasal 1 ayat 11, bab 3 pasal 7, 8, 9, dan 10. komisi ini membuka jalan bagi terciptanya perwakilan publik yang menjadi fasilitasi terhadap pengaturan media penyiaran.

Selain, metode pemilihan anggota komisi yang ditentukan oleh DPR RI untuk KPI pusat, dan DPRD untuk KPI daerah dengan prosedur fit and proper test, setidaknya menjanjikan personal-personal independen, dan imparsial yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai penguatan civil society. Pada tahap ini, keberadaan KPI menjadi vital. Dalam arti, KPI harus memposisikan diri sebagai katalisator bagi usaha penciptaan kesadran kritis publik melalui pengaturn media penyiaran yang akuntable.

Keempat, kembalinya fungsi penyiaran sebagai fungsi budaya. Lihat bab 2 pasal 4 ayat 1. Dengan berlatar pada keberagaman budaya yang ada, nilai-nilai pluralisme bisa diwujudkan. Bersentuhan dengan budaya berarti menempatkan diri sebagai warga negara yang bersikap toleran, anti kekerasan, dan humanis terhadap sesama warga negara. Budaya adalah seni interaksi sosial.

Kelima, pelarangan terhadap kepemilikan silang (monopoli kepemilikan) dan mendorong persaingan sehat dibidang penyiaran. Lihat bab 2 pasal 5 point g. monopoli kepemilikan mediadi satu sisi hanya menguntungkn pihak pemilik media. Di sisi lain menciptakan monopoli informasi publik, yang itu berarti mematikan kreativitas dan potensi warga negara. Dan menyebabkan adanya keseragaman berita yang ditayangkan. Monopoli kpemilikan bis dilihat pada kasus kepemilikan surat kabar, televisi, dan radio. Sebut saja, Kompas + Global TV, Media Indonesia + Metro TV, atau Indosiar + Indofood, dst.

Keenam, adanya pembatasan jangkauan wilayah siaran setiap televisi dan radio (menjadi bersifat lokal, dan bila dimungkinkan untuk menjangkau secara nasional, diperlukan sistem jaringan yang melibatkan stasiun televisi lokal/daerah). Lihat bab 3 pasal 20 dan 21. ini berarti membuka peluang terciptanya keberagaman informasi di masyarakat. Dan ini mendorong pluralisme informasi yang bisa diakses oleh setiap warga negara.

Ketujuh, hilangnya kewajiban relay terhadap stasian pemerintah. Lihat bab 4 pasal 27-28. bahkan dalam RUU ini jelas-jelas menghilangkan konsep televisi pemerintah. Sehingga, citra keberpihakan pada publik dan usaha mendorong penguatan warga masyarakat dapat diderivasikan secara langsung. Misalnya, kewajiban relay acara TVRI Laporan Khusus pada televisi swasta, pukul 21.30 WIB.

Kedelapan, terdapat pembatasan porsi iklan yang bisa ditayangkan dalam keseluruhan jam siaran. Lihat bab 4 pasal 33. kesembilan, dibukanya ruang peran serta masyarakat dalam usaha pengembangan media penyiaran. Lihat bab 5 pasal 37. Peran serta dan partisipasi warga diberi tempat secara terbuka. Hal ini bisa mempercepat keterlibatan publik dalam memantau sepak terjang negara dan pasar.

Dan kesepuluh, adanya sangsi pidana bagi mereka yang secara sadar dan langsung melanggar atuyran dan kode etik penyiaran, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya. Lihat bab 7 pasal 40 sampai 60.


C. PENUTUP

Regulasi media penyiaran yang dijelaskan melalui pembuatan RUU penyiaran tahun 2001—jika dicermati secara seksama mencerminkan penguatan-penguatan kekuatan civil society, yang pada masa orde baru mengalami tekanan sedemikian rupa. Sebagai, salah satu pilar pembentuk demokrasi, maka media penyiaran sudah saatnya memuat prinsip-prinsip civil society untuk mendukung transformasi sosial pada perubahan sikap, nilai, dan kesadaran kritis warga negara. Dengan demikian, setelah melalui analisa ‘sejenak’ pada RUU penyiaran, paling tidak ada tiga hal mendasar yang menarik;

Pertama, bahwa RUU penyiaran mendorong terciptanya public sphere yang luas. Diskursus di antara sesama warga dan akses setara dalam pemerolehan informasi membuka ruang publik yang terbuka untuk menentukan pilihan dan sikap hidupnya sebagai warga.

Kedua, mendorong terbangunnya nilai pluralisme di warga negara. Pluralisme bisa juga disebut sebagai penguatan nilai-nlai komunitarianisme. Berasal dari komunitas, ruang cerdas yang berakar pada kekuatan-kekuatan warga pada level komunitas. Lawan dari puritanisme.

Dan ketiga, membuka celah desentralisasi media penyiaran. Sebagai sebuah kebijakan, minimal bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk melihat sejauh mana kerelaan negara pusat untuk melakukan desentralisasi kebijakan ke daerah-daerah.

Kandungan pada tiga hal mendasar tersebut sesungguhnya yang menjadi pra-syarat bagi terbangunnya kekuatan civil society yang mapan di Indonesia. Catatan, 1) KPI masih berfungsi administratif, masih terkesan ada campur tangan negara pada level penentu kebijakan, dan 2) bab 4 pasal 29, jurnalistik, tunduk pada ruu dan uu pers.





Daftar bacaan;


Gibbons, Thomas, ‘Regulating The Media’ second edition, (1998), London; Sweet 7 Maxwell.

Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, 1999, Jakarta; LP3ES

Jacob, T, membongkar Mitos Masyarakat Madani, 2000, Yogyakarta; Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

Keraf, A. Sony, Pasar bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, 1996, Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).

Lichtenberg, Judith, ‘Democracy and Mass Media’ (1990), New York; Combridge University Press.

Mosco, Vincent, ‘The Political Economy o Communiction’ (1996), London; SAGE Publication.

Rodee, Carlton Clymer, Pengantar Ilmu Politik, 1988, Jakarta; Rajawali Press.

Wahyuni, Hermin Indah, Televisi dan Intervensi negara, Konteks Politik kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi, 2000, Yogyakarta; Media Pressindo.


Undang-Undang

Draft RUU Penyiaran hasil inisiatif DPR RI.



No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here