Tidak bisa dipungkiri, perkembangan media cetak dan pertelevisian di Indonesia telah memberikan ruang yang lebih luas bagi komunikasi politik antara partai atau kandidat pemimpin politik dengan publik. Ada beberapa point pokok penting yang perlu disimpulkan.
Pertama, di era informasi audio-visual yang serba digital seperti sekarang ini, kampanye politik melalui iklan televisi adalah sarana komunikasi politik yang sangat efektif. Efek pesan yang kemudian dikemas dalam komputerisasi gambar dan suara melalui iklan televisi menimbulkan kesan yang tidak bisa diberikan media kampanye konvensional yang lain. Para pekerja iklan bukan sekadar mencoba menyampaikan pesan politik kepada khalayak pembaca dan pemirsa televisi, tetapi juga menciptakan kesan dan pencitraan partai atau tokoh politik tertentu. Citra lebih berarti daripada isi. Maka yang terjadi kemudian adalah kampanye pencitraan, dan bukan penyampaian visi konkrit dari partai atau tokoh tokoh politik yang bersangkutan.
Kedua, ketersendatan peralihan budaya komunikasi oral munuju budaya komunikasi verbal di tengah masyarakat kita menjadi salah satu pendorong suburnya “politik tebar pesona” ini. Masyarakat Indonesia masih lebih suka akan kesan dan simbol-simbol heroik yang diharapkan dapat membebaskan Indonesia dari keterpurukan, daripada memperhatikan dan mencerna visi yang matang dari para calon pemimpin mereka. Maka bisa dimaklumi jika tayangan iklan yang mempertontonkan seorang tokoh politik yang “dekat” dan “berjuang” bersama rakyat mempunyai dampak “magis” yang seolah mampu menghipnotis masyarakat. Padahal kita semua tahu bahwa apa yang ada di dalam iklan politik tersebut bisa saja sangat jauh dari realita. Dengan demikian, media telah menciptakan kesan dan citra yang manipulatif serta menyesatkan terhadap seorang tokoh politik tertentu, yang notabene sama sekali tidak pernah berperan dalam penyelesaian persoalan masyarakat.
Ketiga, kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengemas, mengatur dan mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik.
Keempat, perang citra melalui agenda media massa telah menjadi trend dalam sistem politik nasional. Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Tujuan akhir dari persuasi adalah khalayak. Jika persuasi masuk dalam agenda setting, proses dialektis yang diharapkan adalah tindakan yang merefleksikan perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan. Sehingga, kaitannya dengan agenda setting adalah bagaimana mempengaruhi khalayak itu dengan isu-isu yang ingin disampaikan persuader dengan menggunakan media.
No comments:
Post a Comment