Oleh: Santi Indra Astuti
(Dimuat di harian Pikiran Rakyat, 27 Desember 2007)
Sejak 1927, majalah TIME memilih tokoh-tokoh paling berpengaruh di dunia. Man of the Year, atau Person of the Year. Yang pernah terpilih adalah nama-nama besar seperti Martin Luther King, Jr. (1964), Ayatollah Khomeini (1979) sampai Bono, Bill dan Melinda Gates (2005).
Tapi, tahun 2006, dalam edisi yang semestinya menampilkan Person of the Year, TIME tidak memasang foto siapapun. Pada sampulnya, hanya terpajang foto seperangkat komputer putih, dengan kata YOU tertulis di monitornya.
YOU. Anda. Itulah Person of the Year 2007. Bukan presiden, bukan aktivis, bukan artis. Bukan siapapun. Tokoh penting alias tokoh kunci tahun 2007 adalah kita semua.
Publik, khalayak, rakyat, komunitas, masyarakat, orang-orang kebanyakan. Sejak kapan orang biasa (ordinary people) menjadi orang penting (important people)? Jawabannya, sejak tumbuhnya kesadaran bahwa publik bukan lagi khalayak yang bodoh, kosong, dan mengambang.
Publik adalah kekuatan, atau wujud kuasa itu sendiri. Publik adalah khalayak yang (semestinya) berdaya.
Banjir Informasi, Kejenuhan Informasi
Dalam konteks Masyarakat Informasi, tahun ini memang harus dimaknai sebagai tahun khalayak.
Inilah tahun milik publik. Saat dimana kedaulatan informasi mestinya dikembalikan pada publik. Mengapa publik, atau khalayak, yang menjadi kunci Masyarakat Informasi? Mengapa bukannya pemimpin-pemimpin politik, atau para penguasa teknologi? Nah, mari kita tengok sejenak ‘sejarah’ Masyarakat Informasi.
Istilah ini ramai didengungkan pada tahun 80-an, ketika para futurolog seperti Alvin Toeffler, John C. Naisbitt, sampai Francis Fukuyama, meramalkan transformasi Masyarakat Industri menjadi Masyarakat Informasi.
Masyarakat Informasi, mengutip definisi Melody (1990) dalam McQuail (1992), adalah masyarakat yang bergantung pada jejaring informasi dan komunikasi elektronik, serta mengalokasikan sebagian besar sumberdayanya bagi aktivitas-aktivitas informasi dan komunikasi.
Masyarakat Informasi adalah masyarakat berbasis data digital. Artinya, perikehidupannya dioperasikan lewat pertukaran data digital.
Janji Masyarakat Informasi adalah membebaskan umat manusia dari kesengsaraan, lewat peningkatan kesejahteraan dan demokratisasi yang dicapai berkat pemanfaatan teknologi informasi.
Pertukaran informasi secara bebas diyakini sebagai kunci kemajuan. Tak heran jika seluruh dunia berupaya mengejar ketertinggalan teknologi lewat proyek-proyek digitalisasi seperti e-government, e-learning, e-banking, segala macam e-revolution. Media
Sayangnya, limpahan informasi tak kunjung mencerdaskan khalayak. Konvergensi media memang membuka pasar industri yang ramai.
Tapi keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh para pelaku pasar.
Maraknya media
Maka, pada era ini, kita dipusingkan oleh banjir informasi, perdebatan berlarut seputar hak penguasaan frekuensi, perebutan ranah publik, komodifikasi khalayak, sentralisasi dan censorship, information security, serta penciptaan pasar yang dikendalikan oleh instrumen-instrumen seperti rating.
Sementara, khalayak ditinggalkan sendirian, dibiarkan terseret-seret banjir informasi hingga mencapai titik kejenuhan informasi—information saturated.
Publik, dalam situasi seperti ini, hanya diposisikan sebagai khalayak pasif. Publik tak lebih dari konsumen, yang habis-habisan dieksploitasi oleh pasar media mau pun bisnis informasi.
Melek Informasi
Ilustrasi tadi memberi kita pelajaran berharga. Masyarakat Informasi mustahil terwujud andai tidak dibarengi dengan pembekalan information literacy (melek informasi) kepada publik.
Informasi yang melimpah sesungguhnya bisa menjadi sumberdaya yang bermanfaat, andai publik cukup melek informasi.
Melek informasi, berarti bisa mengakses sumber-sumber informasi, bisa menyeleksi informasi sesuai kebutuhannya, bisa menganalisis informasi secara kritis, dan bisa mengelola informasi.
Tanpa bekal melek informasi, publik hanya menjadi bulan-bulanan pasar dan penguasa teknologi informasi.
Information literacy dapat dijabarkan setidaknya dalam dua aspek: literacy of Information Technology (IT literacy) dan media literacy.
Mengapa IT literacy penting? Tidak ada gunanya melakukan percepatan teknologi atau menyelenggarakan proyek digitalisasi yang mahal, ketika khalayak tidak tahu mau dibawa kemana dengan teknologi tersebut.
Mengapa media literacy itu penting? Tidak ada gunanya membuka saluran media
Maaf-maaf saja, proyek e-government, e-learning, e-banking, dan lain-lain, akhirnya tak lebih dari otomatisasi perkantoran saja, yang keuntungannya dinikmati oleh makelar proyek dan distributor perangkat elektronik.
Sementara, hasil akhirnya sendiri hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Sejumlah langkah kini harus dilakukan untuk memberdayakan khalayak agar melek informasi.
Pertama, strategi decentring atau pemecahan konsentrasi kekuasaan pada simpul-simpul yang lebih kecil. Dalam konteks Masyarakat Informasi, decentring harus diterjemahkan sebagai pemecahan konsentrasi penguasaan teknologi informasi, yang saat ini hanya terpusat pada lokus-lokus tertentu.
Peran pemerintah dalam hal diperlukan sebagai regulator atau fasilitator yang bijak dan berpihak pada publik, tidak egois menghamba pada kepentingan ideologis atau kepentingan pasar.
Peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga diperlukan, sebagai jembatan penghubung antara pusat-pusat kekuasaan dengan publik.
Adalah suatu indikasi yang baik, jika pemerintah via Depkominfo kini bisa duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), guna mendiskusikan langkah-langkah menjadikan frekuensi sebagai ranah publik.
Sesungguhnya, ini merupakan upaya decentring untuk memecah konsentrasi penguasaan ranah penyiaran, yang tadinya hanya berada di tangan pemerintah.
Proyek Koran Masuk Desa, pengadaan Internet bagi wilayah pedesaan, atau pendirian pusat-pusat informasi masyarakat di tingkat RW juga bisa dibaca sebagai strategi decentring.
Tujuannya tidak lain menjadikan teknologi informasi dan pertukaran informasi tak cuma terfokus di kota-kota besar.
Namun, bisa dinikmati hingga ke sentra-sentra masyarakat terkecil. Decentring tidak sekadar membuka akses, tapi juga membuka ruang-ruang partisipatori.
Informasi yang lazimnya bersifat top down (dari pusat ke pinggiran) kini bisa diseimbangkan dengan alur bottom-up (dari bawah ke atas).
Tapi, decentring saja tidak cukup. Strategi kedua yang harus dilakukan adalah memberdayakan publik lewat pendidikan melek media dan melek informasi.
Menempatkan komputer di desa-desa, mengembangkan jaringan internet sampai tingkat RW, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan, pelatihan, dan pendampingan mengenai cara memanfaatkannya, sungguh-sungguh merupakan tindakan yang tidak bertanggungjawab.
Berapa banyak komputer dan perangkat instalasi Internet yang teronggok tanpa guna di rumah-rumah pemuka desa, atau ketua-ketua RW, gara-gara masyarakat tidak tahu cara menggunakannya? Perlu dilakukan pendataan menyangkut komunitas mana yang memang memerlukannya.
Bila komunitas belum membutuhkan teknologi komputer dan Internet, serta tidak punya daya dukung, semisal listrik yang memadai, tentu tidak perlu dipaksakan.
Mereka bisa diberdayakan melalui perangkat informasi lain. Itu pun kalau informasi memang diyakini sebagai kunci kemajuan masyarakat.
Mengembangkan radio komunitas, mendirikan perpustakaan gratis, atau memberdayakan majelis taklim sebagai pusat pertukaran informasi masyarakat, misalnya, bisa menjadi upaya alternatif untuk membuat masyarakat melek informasi dan melek media.
Dalam konteks media literacy dan information literacy, hal-ihwal apa yang mesti ditransfer pada publik? Pertama-tama adalah pengenalan mengenai jenis-jenis informasi dan media informasi.
Selanjutnya, mendampingi publik agar bisa memproduksi sendiri informasi yang dibutuhkan. Dengan cara ini, publik tidak sekadar mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga bisa memelihara content dan mengelola medianya sendiri.
Inilah sesungguhnya esensi demokratisasi informasi—publik yang berdaya menjadi produsen, sekaligus konsumen informasi!
Strategi ketiga adalah mengembangkan jejaring advokasi media dan informasi. Jejaring ini penting untuk menguatkan publik, menjamin akses agar senantiasa terbuka ke segala pihak, termasuk melakukan kontrol bersama untuk menjaga agar wahana informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai secara sepihak—oleh siapapun.
Stakeholder yang bisa dilibatkan meliputi kalangan pendidik dan akademisi, praktisi atau profesional-profesional media, teknokrat dan industrialis, publik pada umumnya, biro-biro pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
Ringkasnya, siapapun yang memiliki concern pada isu pemberdayaan publik, media literacy, information literacy, dan IT literacy.
Dari aspek teknologi, semua ini dimungkinkan berkat berkembangnya teknologi open source, personal-based-technology, dan user-friendly-gadget.
Tapi, yang tak kalah penting, hendaknya seluruh strategi pemberdayaan publik dilakukan seiring sejalan. Bukan jamannya lagi menjalankan kebijakan parsial, atau setengah-setengah, karena hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu (dan biasanya bukan publik!).
Pada dasarnya, yang mesti dilakukan adalah pekerjaan mahabesar, yaitu menegakkan atau merekonstruksi kedaulatan publik di ranah informasi.
Nah, kembali pada YOU yang dinobatkan sebagai Person of The Year 2006. Mau tahu apa alasan TIME menempatkan Anda semua, kita, sebagai sosok berpengaruh tahun 2006? TIME menulis, “YOU control the Information Age”.
Pada kitalah, terletak kendali atas Abad Informasi. Maka, sangat beralasan untuk menjadikan daulat informasi di tangan publik sebagai isu Abad Informasi di tahun-tahun mendatang.
No comments:
Post a Comment