Tuesday, May 16, 2006

Wacana Media dan Propaganda: Menelisik peran Koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha tahun 1965-1968

WACANA MEDIA DAN PROPAGANDA1

Usaha menelisik peran “Angkatan Bersenjata dan “Berita Yudha”

dalam situasi krisis 1965 –1968

(AG. Eka Wenats Wuryanta)

Pra-Tesis:

1. Peristiwa G30S masih menyimpan misteri dan kontroversi, terutama dalam proses pemberangusan PKI sebagai partai politik dan pola kekerasan horizontal pasca G30-S yang terjadi (peristiwa pembantaian massa PKI di Jawa-Bali atau pelaksanaan Operasi Trisula di Jawa Timur).

2. Setelah tumbangnya Orde Baru, banyak literatur baik literatur lokal maupun terjemahan; yang mau mencoba merekam peristiwa G30S 1965 dengan beragam versi. Hal ini terjadi karena selama pimpinan Soeharto, telah terjadi monopoli wacana sejarah, di mana peristiwa tersebut diolah dan direkonstruksi sesuai dengan kepentingan elite pemerintahan pada waktu itu.

3. Dari sekian literatur yang menonjol, sebut saja; tulisan Saskia Wieringa, Hermawan Sulistyo, Memoar Soebandrio, Latief, Atmadji, Harsutejo, CIA dan lain-lain; literatur-literatur tersebut lebih berpola pada soal:

  • Siapa yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut ? (Cornell paper, Siapa menebar angin, Mendung di atas Istana Gerakan 30 September – versi pemerintah, Soeharto sisi gelap sejarah Indonesia dan lainnya.)
  • Kejanggalan-kejanggalan macam apa yang dibentuk Angkatan Darat atas peristiwa tersebut ? (Penghancuran Gerakan Perempuan-Saskia W, G30S:sejarah yang dikaburkan-Harsutejo)
  • Pola konflik sosial apa yang terjadi menyusul peristiwa G30S ? (Palu Arit-Hermawan S, Pembantaian PKI di Jawa-Bali-Robert Cribbs
  • Usaha pembersihan atau rehabilitasi nama oleh institusi atau perorangan yang diduga oleh AD terlibat (Kesaksian Soebandrio, memoar Oei Tju Tat, Mengungkap kabut Halim 1965)
  • Kesaksian-kesaksian korban pasca peristiwa G30S (Kesaksian Tapol Orde Baru, Aku bangga menjadi anak PKI, Memoar Pulau Buru, Aku Eks Tapol, Tahun yang Tak Pernah Berakhir, dan lainnya)
  • Sejumlah wacana historiografi tentang peristiwa G30S (Kontroversi Sejarah di Indonesia –Syamdani, Mematahkan Pewarisan Ingatan-Budiawan)

4. Dari pola-pola di atas, terlihat bahwa narasi tragedi dan situasi krisis tahun 1965 berkutat pada soal narasi sejarah, narasi pelaku dan penanggung jawab, narasi korban serta konsekuensi yang membayangi generasi anak-cucu anggota PKI. Narasi tentang peran media tidak begitu nampak menyolok, kalau pun ada; terdapat asumsi propagandis dan sisi negatif konstruksi media yang dipakai Angkatan Darat pada waktu itu.

Tesis Antara:

1. Penelitian yang telah dilakukan dan diuji secara ilmiah sebenarnya ingin melihat pola atau representasi krisis macam apa yang sebenarnya mau dibentuk oleh Koran “Angkatan Bersenjata” dan “Berita Yudha” dalam konteks legitimasi dan delegitimasi sosial yang sedang terjadi pada waktu itu ?

2. Fokus penelitian: Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha (dua koran militer waktu itu, dengan tidak melepas kemungkinan memang koran tersebut memang menjadi koran propagandis)

3. Pada sisi makro penelitian ini menemukan bahwa situasi sosial-ekonomi dan politik global - Indonesia mempengaruhi keberadaan dua harian tersebut. Setidaknya, pers berbasis militer ini membawa kepentingan Angkatan Bersenjata, terutama Angkatan Darat dalam melakukan perubahan mendasar, melegitimasikan kepentingan kapitalisme birokratik dengan simbol “amanat penderitaan rakyat” dan mendelegitimasikan idea - kepentingan pemikiran sosialistik-komunis, diktatorial-populistik Soekarno dan praktek politik borjuistik tradisional.

4. Pada tataran meso, penelitian ini mengidentifikasi bahwa industri pers militer diadakan dan dibentuk untuk melakukan wacana tandingan terhadap media berbasis komunis dan Orde Lama. Segala bentuk massifikasi dan pengontrolan media massa dilakukan oleh faksi militer (pembatasan kertas koran, pengetatan aturan terbit koran, pembatasan tinta cetak sampai penggunaan mesin cetak) demi tujuan ekonomi-politik militer waktu itu. Ada proses politik dagang sapi yang dilakukan oleh militer kepada para pelaku media waktu itu. Angkatan Darat memetik keuntungan opini publik yang didistribusikan oleh industri media massa tersebut tapi di lain pihak industri media massa non militer secara umum diberi kesempatan hidup sejauh relevan dan berkepentingan sama dengan faksi Angkatan Darat.

5. Pada tataran mikro, terlihat bahwa teks memberikan pembingkaian penuh pada proses mendelegitimasikan sekaligus meminggirkan PKI dan Soekarno, melegitimasikan Angkatan Darat sebagai pelaku perubahan sosial yang konstruktif, pemulihan ekonomi menuju sistem kapitalistik, baik secara global maupun nasional (lihat gambar 01)

6. Temuan lain yang menonjol dan layak diperhatikan adalah bahwa pola pembingkaian dalam serial editorial dan beberapa teks utama yang ada dalam Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata memakai pola alterasi-konflik-negasi- dan legitimasi. Strategi pembingkaian kedua harian militer rupanya mengarahkan opini publik dalam tiga ragam strategi, yaitu strategi opini, strategi kontroversi dan strategi moral.

7. Dalam ragam pembingkaian pemberitaan macam di atas, maka penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa media dimanfaatkan untuk memulai “kudeta yang sesungguhnya” dengan rangkaian framing teks berita sebagai berikut (Contoh hasil yang didapatkan):

Deskripsi dan konstruksi kejadian G30S dijelaskan secara sistematis dan seolah-olah “logis”. Kebejatan sosial dan politik yang dilabelkan pada kelompok komunis semakin dipertajam dengan penilaian kebejatan moral yang memang patut untuk dikikis habis. Pembiaran siaran RRI sampai dua kali menyiarkan pengumuman Dewan Revolusi dan penerbitan “Harian Rakyat pada tanggal 2 Oktober 1965 (meski gerakan 30 september sudah tidak efektif semenjak tanggal 1 Oktober sehingga bisa dipertanyakan siapa yang sesungguhnya menerbitkan Harian Rakyat pada 2 Oktober 1965). Ada indikasi bahwa pembiaran tersebut dilakukan untuk membiarkan situasi krisis yang memuncak dan menjadi alasan rasional untuk “menggebuk” G30S secara lebih keras. Bahkan harian Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa momen dan kelompok G30S tidak perlu ada penyelesaian hukum tapi penyelesaian politik secara tuntas, bahkan dengan proposisi “dikikis habis”

Dalam proses pembingkaian kelompok komunis, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha sangat jelas dan terang-terangan. Interpelasi teks yang sangat jelas dalam editorial atau tajuk rencana ini merupakan bahan-bahan otentik yang bisa diperlihatkan bahwa media Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha telah dengan sengaja melaksanakan strategi propagandis dengan strategi opini, kontroversi dan moral-etis. Ketiga strategi ini menjadi strategi yang kurang lebih efektif dalam mengisi kekosongan informasi yang dialami masyarakat pada waktu itu
Pola pembingkaian teks media yang dilakukan melalui beberapa bingkai konflik terhadap PKI sebagai konflik terhadap ideologi sosialisme-komunis serta perbuatan yang hina-biadab dan brutal, bingkai konflik terhadap sistem pemerintahan sipil yang korup dan secara moral tidak legitim lagi, bingkai penyadaran pemulihan ekonomi sebagai usaha melegitimasi proses kapitalisasi Indonesia sekaligus mendelegitimasikan praktek ekonomi yang terlalu percaya pada diri sendiri, bingkai delegitimasi kekuasaan kepresidenan yang tidak dilakukan secara frontal tapi mengerosi sumber-sumber legitimasi sosial politik Presiden Soekarno, bingkai pembangunan ekonomi yang lebih pragmatis demi kepentingan rakyat.

Anti Tesis:

1. Beberapa ragam narasi tentang peristiwa G30S mencatat bahwa media massa Indonesia berpengaruh dalam memberikan konstruksi eforia anti-komunis pasca G30S 1965 (lihat Wieringa) tapi pertanyaan kritis yang belum terjawab secara tuntas: bagaimana media massa waktu itu mengkonstruksi emosi anti komunis ? Jawaban Saskia dalam bukunya tidak memperlihatkan dinamika produksi teks koran yang direkamnya. Dengan model seperti apa ? (tidak banyak yang meneliti)

2. Penelitian media massa era 1965-1968 merupakan arena penelitian yang berada dalam “dark area”, dalam arti bahwa sulit atau tidak mudah menemukan penelitian ilmiah media massa tahun-tahun tersebut (Disertasi Daniel Dhakidae saja hanya menyinggung sedikit atau tulisan atau tulisan tentang dinamika pers mahasiswa pada tahun-tahun tersebut). Banyak keterbatasan yang muncul: keterbatasan akses informasi atas media atau pelaku media, keterbatasan sumber-sumber media yang otentik (arsip otoritatif)

3. Timbul kecurigaan bahwa sebetulnya media massa yang berperan aktif dalam proses krisis pasca G30S adalah radio. Tingkat “melek huruf” masyarakat yang tinggi, terutama masyarakat tradisional waktu itu patut dipertanyakan. Maka sebetulnya, ada dugaan bahwa radio (pembawa pesan tradisi lisan c.q Radio Republik Indonesia) justru yang lebih bisa diterima akal sebagai media yang efektif menyebarkan pesan manipulatif-destruktif selama pasca G30S.

4. Dugaan diperkuat dengan model “two step flow information” dalam arti bahwa sebenarnya media massa telah diterjemahkan atau ditafsir oleh para “gate-keeper” dalam hal ini para pemimpin sipil - militer daerah, pemimpin agama (bisa dibandingkan dengan naskah Anthony Reid yang menyatakan bahwa telah terjadi permusuhan laten antara komunisme dengan Islam sejak 1948, atau tulisan Hermawan Sulistyo dalam bukunya Palu dan Arit). Para “gate-keeper” ini menjadi “editor” lanjutan sebelum informasi yang disebarkan oleh media massa diterima oleh masyarakat umum.

5. Masih ada banyak pertanyaan yang menggantung mengenai peran media pada eforia anti komunis pada waktu itu. Apakah memang pada waktu itu terjadi “bulan madu” antara militer dengan pers Indonesia ? Apakah memang pada waktu itu terjadi “dominasi hati nurani” di kalangan para wartawan atau pekerja pers ? Apakah memang pertimbangan ekonomi –politik pragmatis industri pers Indonesia waktu itu lebih menang dibandingkan dengan objektivitas dan prinsip jurnalistik yang fair dan benar ? Apakah memang pantas pers pada waktu itu dijuluki sebagai “pers patriotik” atau dengan sebutan “pers Pancasila” ?

6. Atau memang harus dikatakan telah terjadi sejarah gelap pers Indonesia. Gelap dalam arti bahwa pers ikut-ikutan menjadi alat efektif kekuasaan gelap. Atau gelap dalam arti bahwa pers Indonesia mengalami kebuntuan dinamikanya sebagai penjaga demokrasi.

1 Makalah ini merupakan bentuk ringkas dari tesis program pascasarjana Universitas Indonesia yang oleh penulis diberi judul IDEOLOGI, MILITERISME DAN MEDIA MASSA: Representasi Legitimasi dan Delegitimasi Ideologi dalam Media Massa (Studi Analisis Wacana Kritis Media Massa dalam Situasi Krisis di Indonesia terutama untuk Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha periode 1965-1966) Jakarta 2004. Penulis bisa dihubungi di ekawenatsw@yahoo.com

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here