Thursday, June 22, 2006

Critical Discourse Analysis (Teun Van Dijk)

Oleh Idham Cholik

CDA merupakan jenis discourse analytical research yang terutama mempelajari social power abuse, dominasi, dan ketidaksetaraan (inequality) yang terbentuk, diproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan (talks) dalam konteks sosial dan politik. Prinsip-prinsip (tenets) CDA sudah ditemukan dalam critical theory dari Frankfurt School sebelum Perang Dunia II (Rasmussen, 1996). Aliran ini fokus pada bahasa dan discourse yang diinisiasikan dengan ‘critical linguistics’ yang muncul (terutama di Inggris dan Australia) pada akhir tahun 1970-an (Fowler Hodge, Kress & Treww, 1979; lihat juga Mey, 1985). CDA meliputi seperti pragmatics, conversation analysis, narative analysis, rhetorics, sociolinguistics, ethnography, dan media analysis.

Analisa Wacana dan Masyarakat

Fungsi analis wacana kritis bagi masyarakat yaitu memberikan kesadaran nyata (explicit awareness) atas peran mereka. Pemikiran ini bersumber dari bahwa ilmu itu ‘value-free’.

Critical Discourse Research (CDR) harus memenuhi prasyarat sebagai berikut, agar efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu:

- Karena termasuk riset yang marginal, CDR harus menjadi lebih baik daripada riset lainnya agar dapat diterima.

- Fokus utamanya pada permasalahan sosial dan isu-isu politik, daripada paradigma dan fashions (kebiasaan) saat ini.

- Secara empiris, analisa kritis masalah sosial biasa multidisciplinary.

- Bukan hanya menjelaskan struktur wacana, tetapi ini mencoba menjelaskan pengertian interaksi sosial dan khususnya struktur sosial.

- Lebih khusus lagi, CDA memfokuskan pada struktur wacana yang membuat, mengkonfirmasikan, melegitimasi, mereproduksi, atau menentang hubungan power (kekuasaan) dan dominasi dalam masyarakat.

Fairclough dan Wodak (1997:271-280) menyimpulkan prinsip utama CDA sebagai berikut:

1. CDA tertuju pada masalah sosial

2. Hubungan power itu diskursif

3. Wacana membentuk masyarakat dan budaya

4. Wacana mengkaji (melakukan kerja) ideologi

5. Wacana itu historis

6. Keterkaitan antara teks dan masyarakat itu termediasi

7. Analisa wacana itu interpretif dan eksplanatori

8. Wacana adalah sebuah bentuk social action

Untuk memahami tema ini dengan lebih sistematis lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Faircloug, 1995; Fairclough & Wodak, 1997; Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1979; van Dijk, 1993 b.

Kerangka Konseptual dan Teoritis

Karena banyak jenis CDA, sehingga ini menjadi sangat beragam secara teoritis dan analitis. Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda analisa berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan tujuan CDA yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan reproduksi dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau genre dan konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan CDA yaitu power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial kritis ternama –seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan discourse, cognition, dan society.

Makro versus Mikro

Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi termasuk pada analisa micro-level dari tatanan sosial (social order). Power, dominasi dan ketidaksetaraan antara kelompok sosial termasuk pada analisa macro-level. CDA (sebagai meso-level) secara teoritis bertugas menutup ‘gap’ antara pendekatan makro dan mikro tersebut atau untuk mencapai keutuhan analisa (unified whole) (Alexander, et al, 1987; Knorr-Cetina & Cicourel, 1981).

Dalam mencapai unified critical analysis, ada tiga hal yang sangat penting untuk dianalisa,yaitu:

a. Members-Groups; penguna bahasa (language user) yang menggunakan wacana dianggap sebagai anggota social group, organisasi, atau institusi; dan sebaliknya kelompok tersebut bertindak berdasarkan anggotanya.

b. Action-Process; social act seorang individu menjadi bagian konstituen tindakan kelompok dan proses sosial, seperti legislasi, pemberitaan atau reproduksi rasisme.

c. Context-Social Structure; situasi interaksi diskursif sama halnya dengan struktur sosial, seperti press confrence, ini termasuk konteks ‘lokal’ dan untuk konteks ‘global’ seperti pembatasan wacana.

d. Personal and Social Cognition; pengguna bahasa memiliki personal and social cognition: personal memory, pengetahuan, dan opini. Kognisi ini mempengaruhi interaksi dan wacana seseorang.

Power sebagai Kontrol

Power (kekuasaan), atau lebih khusus lagi social power, adalah kajian sentral dari critical discourse. Social power dapat didefiniskan dengan istilah control. Power digunakan untuk mengkontrol tindakan (act) dan pikiran (mind) anggota kelompok tersebut, sehingga ini juga membutuhkan power base dalam bentuk seperti uang, force, status, popularitas (fame), pengetahuan, informasi, budaya, atau yang terpenting ‘public discourse’ dan komunikasi (lihat Lukes, 1986; Wrong, 1978).

Power dibedakan berdasarkan pada sumberdaya yang menggunakannya seperti orang kaya selalu memiliki power karena uangnya yang banyak, profesor memiliki power karena pengetahuannya, dsb. power pada dasarnya tidak bersifat mutlak (seldom absolute). Dan untuk power yang dimiliki oleh dominant group (kelompok dominan) biasanya terintegrasi dalam bentuk hukum, peraturan, norma, kebiasaan, dan juga konsensus atau disebut oleh Gramsci yaitu ‘hegemony’ (Gramsci, 1971). Dominasi kelas, sexisme, dan rasisme adalah contoh hegemoni. Di sisi lain juga, sebenarnya bahwa power tidak selalu digunakan untuk kegiatan abusif (penyalahgunaan), karena dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan taken-for-granted action (tidakan yang dianggap benar). Demikian pula, tidak semua anggota powerful group (kelompok yang berkuasa) lebih powerful daripada anggota dominated group (kelompok terdominasi); power disini dimiliki oleh semua kelompok.

Untuk analisa hubungan antara wacana dan power, pertama, harus dilihat pada power resource (sumber kekuasaan) seperti politik, media, atau ilmu. Kedua, proses mempengaruhi pikiran seseorang dan secara tidak langsung mengkontrol tindakannya. Dan ketiga, ketika pikiran seseorang terpengaruh oleh teks dan pembicaraan, ini sebenarnya didapati bahwa wacana setidak-tidaknya secara tidak langsung mengkontrol tindakan orang tesebut –melalui persuasi dan manipulasi.

CDA memfokuskan pada abuse of power, dan khususnya pada dominasi, yaitu bahwa adanya discourse control yang digunakan untuk mengkontrol keyakinan dan tindakan seseorang. ‘Abuse’ ini disebut juga norm-violation (pelanggaran norma) dan untuk dominasi didefinisikan sebagai illegitimate exercise of power (penggunaan power yang tak sah/benar).

Ada tiga pertanyaan tentang hal ini dalam riset CDA yaitu:

1. apakah powerful group mengkontrol public discourse?

2. bagaimana wacana tersebut mengkontrol pikiran dan tindakan powerful group, dan apa konsekuensi sosial dari kontrol tersebut, misalnya social inequality ?

3. bagaimana dominated group secara diskursif menentang power tersebut?

Akses dan Kontrol Wacana

Kebanyakan orang melakukan active control atas pembicaraan keluarga, teman atau kolega dan untuk passive control dalam hal penggunaan media. Dan untuk public discourse, biasanya yang memiliki akses dan yang melakukan kontrol tersebut adalah kaum elit dari social group. Misalnya seorang profesor mengkontrol scholarly discourse (wacana ilmiah), jurnalist media discourse (wacana media jurnalis), politician policy (kebijakan politikus), dsb.

Pengertian discourse access (akses wacana) dan discourse control (kontrol wacana) adalah sangat general, dan ini menjadi salah tugas CDA untuk mengartikan bentuk power itu sendiri. Jadi, jika wacana didefinisikan dalam istilah complex communicative events (peristiwa komunikatif yang kompleks), maka akses dan kontrol dapat didefinisikan baik sebagai konteks dan/atau struktur teks dan pembicaraan.

Kontrol Konteks

Konteks didefinisikan sebagai struktur (terrepresentasikan secara mental) dari sifat situasi sosial yang relevan untuk produksi atau komprehensi wacana (Duranti & Goodwin, 1992; van Dijk, 1998). Ini terdiri dari kategori seperti situasi, setting (waktu atau tempat), tindakan yang terjadi (meliputi wacana dan genre wacana), peserta dalam berbagai peran komunikatif, sosial, atau institusional, serta mental representation: tujuan, pengetahuan, opini, sikap, dan ideologi.

Kontrol Teks dan Pembicaraan

Group power (kekuasaan kelompok) digunakan untuk mengkontrol struktur teks dan pembicaraan dan ini dapat menentukan genre wacana atau speech act atas suatu kejadian. Misalnya seorang guru meminta jawaban langsung dari siswa (Wodak, 1984a, 1996). Tetapi seringkali terjadi bahwa powerful speaker melakukan abuse of power.

Dalam kontrol wacana terdapat hal yang kontekstual atau global, kejelasan makna, pilihan lexical items atau jargon dalam suatu kondisi atau tempat tertentu (Martin Rojo, 1994). Misalnya, dalam suatu budaya menginginkan agar wanita menjadi silenced (pendiam) dan ini dianggap baik (Houston & Kramare, 1991). Tapi di sisi lain juga, ada budaya yang mengharuskan agar orang ‘mumble’ (cerewet) sebagai bentuk respek (Albert, 1992).

Jadi mengkontrol wacana adalah kegiatan utama power dan ini merupakan bentuk reproduksi dominasi dan hegemoni –dimana penerima sepenuhnya termanipulasi. Tetapi dalam riset psikologi dan komunikasi massa dinyatakan bahwa penerima sangat otonom (memiliki alternatif atau freedom) dalam menginterpretasikan dan menggunakan teks dan pembicaraan, ini merupakan fungsi gender, kelas, atau budaya (Liebes & Katz, 1990). Dan yang jelas bahwa keyakinan atau pengetahuan kita tentang dunia diperoleh melalui discourse dan komunikasi.

Menganalisa Pikiran

Agar dapat menganalisa bagaimana wacana mengkontrol pikiran seseorang, maka harus dipisahkan antara mental representation dan cognitive operation (yang dipelajari dalam cognitive science). (untuk lebih jelasnya lihat, seperti, Graeser & Brower, 1990; van Dijk & Kinstch, 1983; van Oostendorp & Zwaan, 1994; dan Weaver, Mannes & Fletcher, 1995).

Pemisahan tersebut menghasilkan dua hal yaitu pertama memori pribadi dan memori sosial yang merupakan tempat pengalaman atau subjective representations, ini disebut mental model, yang terdiri dari pengetahuan dan opini yang terakumulasi selama hidupnya atau ini juga disebut context model (van Dijk, 1998b). dan, kedua, social representation seperti pengetahuan sosio-budaya, sikap atau ideologi, atau ini merupakan pengalaman kolektif atau specific historical event.

Kontrol tersebut akan menjadi sebuah bentuk dominasi (power abuse) jika ini merupakan kepentingan dari powerful group dan mengabaikan kepentingan yang lainnya (terjadinya manipulasi). Dalam riset CDA dinyatakan bahwa kontrol tersebut mempengaruhi pengetahuan (factual beliefs) dan socially shared opinions (evaluative beliefs) seperti sikap dan ideologi kelompok.

Strategi Wacana dalam Mengkontrol Pikiran

Wacana dalam mengkontrol pikiran seseorang, dilakukan melalui struktur teks dan pembicaraan serta bersifat kontekstual. Ini dikarenakan bahwa orang tidak hanya memahami dan merepresentasikan teks dan pembicaraan saja, tetapi juga menciptakan communicative situation/event (Giles & Coupland, 1991). Communicative event juga ternyata dapat mengkontrol pikiran seseorang (Martin Rojo & van Dijk, 1997).

Struktur wacana mempengaruhi mental representation dapat dilihat pada dua level yaitu global dan lokal. Contoh level global seperti tema headline berita mempengaruhi pikiran orang dengan lebih powerful, karena ini dianggap sebagai informasi yang sangat penting. Peristiwa ini dinamakan preferred mental model (Duin, et al., 1998; van Dijk, 1991). Dan untuk level lokal, dimana dinyatakan bahwa wacana secara implisit memberikan keyakinan (belief) atau ini dikategorikan sebagai jenis manipulasi.

Struktur wacana dapat berbentuk leksikal dan sintaksis (Gile & Coupland, 1991; Scherer & Gile, 1979). Contoh kata leksikal yang sangat terkenal dalam politik seperti ‘freedom fighter’ vs ‘terorist’. Untuk sintaksis biasanya menggunakan ‘critical linguistics’ yang memfokuskan pada pengunaan kata yang terbiaskan (biased), yang sangat mempangaruhi opini penerima seperti metapora, kiasan, hiperbola, atau eufemisme.

Kompilasi

Seperti dijelaskan di atas, dominant group, khususnya kaum elit, sangat powerful dalam mengkontrol wacana publik dan strukturnya (melalui dominasi atau abuse of power), tetapi yang sebenarnya terjadi bahwa tidak selalu setiap orang dapat terpengaruh oleh teks atau apa yang dibicarakan. Ini menunjukan ternyata struktur wacana tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi formasi dan merubah mental model serta social representation. Inilah yang disebut kompilasi.

Jadi yang menghubungkan wacana dan masyarakat itu ialah kognisi (cognition), dan ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena dalam masyarakat ada banyak kolusi, konsensus, legitimasi, dan bahkan joint production dalam ketidaksetraan (inequality). Kompleksitas ini menjadi menarik dalam analisa wacana –dalam mencapai keutuhan gambaran sosial.

Riset dalam CDA

Teori hubungan antara wacana dan ketidaksetaraan sosial yang dituliskan di atas memperbolehkan kita untuk menguji dan mengevaluasinya dalam bentuk sebuah riset yang berkerangka CDA (lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Fairclough, 1995; Fairclough & Wodak, 1997; van Dijk, 1993).

Dalam persepektif CDA, selain power, dominasi, dan ketidaksetaraan, gender (feminist) juga menjadi satu kajian yang menarik, bahkan feminist ini menjadi satu paradigma dalam CDA –ketika ada dominasi dan ketidaksetaraan sosial (lihat Cameron, 1990, 1992; Kotthoff & Wodak, 1997; Seidel, 1988; Thorne, Kramae & Henley, 1983; dan Wodak, 1997).

Dalam studi feminist ada beberapa isu-isu yang menarik seperti:

- Power membedakan interaksi konvensasional dalam kehidupan sehari-hari antara lelaki dan perempuan.

- Rangsangan seksual verbal pada perempuan.

- Ketidaksetaraan gender dalam teks dan pembicaraan birokratis dan profesional.

- Akses terbatas dan kontrol pada berbagai bentuk wacana media.

- Diskriminasi pada promosi (perempuan seringkali menjadi bintang sebagai daya tarik audiens) yang dilakukan oleh organisasi yang memproduksi wacana seperti industri media dan percetakan.

- Representasi sexis dan stereotip perempuan dalam wacana yang terdominasi lelaki pada umumnya, dan media massa pada khususnya.

Etnosentrisme, Antisemitisme, Nasionalisme, dan Rasisme

Pada tahun 1960-an ada gerakan oposisi menetang ketidaksetaraan etnis dan rasial, ini menjadi bahasan (materi) CDA yaitu fokus pada representasi etnosentris dan rasis dalam media massa, literatur, dan film (Unisco, 1977; Wilson & Gutierrez, 1985; Hartman & Husband, 1974; van Dijk, 1991). Ini diakibatkan pada adanya keterbatasan sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Dominant group mencitrakan bangsa Afrika dan Amerika-Afrika (orang negro) diadaptasikan pada sosio-ekonomi perbudakan, pengasingan, perlawan, penurut (affirmative action), dianggap pemalas, suka pamer, suka memberontak, keras, jahat, dan sekarang ini terkait narkoba dan hidup sejahtera. Keterbatasan sosio-budaya seperti ini akan merubah (melanggar) norma dan nilai tentang hubungan etnis. Selain kedua hal tersebut, ada juga keterbatasan lain yaitu keterbatasan sosio-politik, seperti perang terorisme.

Ini menunjukan bagaimana wacana menggambarkan dan mereproduksi representasi sosial dalam konteks sosial dan politik. Ter Wal 1997), misalnya, telah melakukan studi tentang wacana media politik Italia yang secara bertahap berubah dari anti-racist commitment dan representasi extra-communitary (Non-Eropa) menjadi gambaran yang lebih stereotip dan negatif tentang imigran dengan istilah kejahatan, penyimpangan, dan ancaman.

Selain Ter Wal, ada banyak para ahli yang melakukan penelitian seperti:

- Siegfreid Jager mengkaji struktur wacana dalam pembicaran sehari-hari, serta wacana politik dan media tentang orang Turki dan imigran lainnya di Jerman.

- Ruth Wodak (1990), di Austria, meneliti wacana antisemitik masa lalu dan sekarang terhadap masalah Waldheim. Analisanya menilai banyak genre, obrolan warung kopi (street talk) yang spontan, hingga berita TV dan wacana politik. Selain itu juga ia dengan paradigma wacana historis memfokuskan pada representasi imigran dari Rumania dan tentang nasionalisme.

- Wetherell & Potter (1992), dengan kerangka psikologi diskursif, merekonstruksi representasi tersangka Pakeha (orang kulit putih Selandia Baru) tentang Moaris. Mereka memfokuskan pada praktek diskursif dan tindakan interpretatif (interpretative repertoires), dan menguji bagaimana ketidaksetaraan dan eksploitasi minoritas aborigin terlegitimasi dalam obrolan sehari-hari.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa:

- adanya perbedaan sosio-budaya

- deviasi (penyelewengan) norma dan nilai dominan

- adanya kekerasan dan ancaman

sehingga permasalahan seperti teritorial, nasionalitas, lingkungan, ruang (space), pendapatan, perumahan (housing), pekerjaan, bahasa, agama, kesejahteraan, dsb. menjadi sangat perlu diperhatikan dalam CDA (lihat Whillock & Slayden, 1995).

Dari Dominasi Kelompok ke Power Profesional dan Institusional

Selain mengkaji dominasi kelompok dalam kehidupan masyarakat, ada banyak studi kritis yang memfokuskan pada berbagai genre wacana institusional dan profesional seperti teks dan pembicaraan dalam ruang pengadilan, wacana politik, wacana ilmiah, wacana korporat, wacana media, dsb. Semua hal itu, dimana power dan dominasi diasosiasikan pada social domain tertentu (yaitu politik, media, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan, dsb.) –yang berbasis profesionalisme dan institusional. Untuk memahami konteks ini dengan benar, maka harus dilihat bahwa sebenarnya elit profesional dan institusional serta peraturan dan kebiasaannya yang melatarbelakangi reproduksi diskursif power seperti domain dan institusi tersebut. Kondisi menyatakan akan pentingnya ‘critical studies’ pada bahasa, wacana, dan komunikasi.

Wacana Media

Media memiliki power yang nyata (pengaruh) pada masyarakat dan ini juga telah menginspirasikan banyak ‘critical studies’ dalam berbagai disiplin ilmu, setidak-tidaknya untuk bidang komunikasi massa, dan selain itu juga, untuk studi linguistik, semiotika, pragmatika (pragmatics) dan wacana atas pemberitaan atau program TV. Mengenai representasi perempuan dan kaum minoritas di media, dalam ‘critical media studies’ ada pendekatan tradisional (content-analytical) yang menganalisa citra terbiaskan (biased image), stereotip-sexis atau rasis di media, baik dalam teks serta ilustrasi dan photo (gambar). Critical media studies ini adalah studi yang paling menarik dan banyak dilakukan di Negara Inggris.

Meskipun riset media termasuk dalam discourse studies tetapi Stuart Hall menggkaji media dengan cultural studies paradigm (untuk referensi studi wacana lihat Hal, et al., 1980; dan critical cultural studies lihat Angger, 1992). Studi media ini sebenarnya didasari pada kombinasi Neo-Marxis Eropa (Gramsci, Althusser, Pecheux) dengan pendekatan sosio-budaya Inggris (Richard Hoggart, E.P. Thompson, Raymond Williams) dan analisa film (Screen). Mereka mengabungkan analisa teks dengan analisa citra (images) dalam pendekatan budaya yang luas pada media. Analisa kritis wacana media di sini berkaitan dengan perspektif budaya lebih luas seperti dialektika antara kesadaran sosial dan mahluk sosial (social being) (Hall), seperti praktek sosial –termasuk signifying practices yang memproduksi budaya dan ideologi- terkait dengan yang praktek yang lainnya, dan bagaimana orang mengalami (merasakan) kondisi sosialnya.

Banyak ahli yang melakukan studi media dengan critical paradigm seperti:

- Studi linguistik dan wacana, pertama kali, dilakukan oleh Roger Fowler (lihat Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1997). Ia juga fokus pada media. Di Inggris dan Australia, ada studi yang menggunakan paradigma ini seperti studi ‘transitivity’ pola kalimat sintaksis yang menggunakan kerangka teoritis grammar fungsional-sistemik Halliday (Fowler, 1991; Hodge & Kress, 1993; van Dijk, 1991).

- Fowler (1991) dengan menggunakan paradigma ‘cultural studies’ Inggris mendefinisikan bahwa berita bukan seperti refleksi realitas, tetapi sebuah produk yang terbentuk oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, dia juga fokus pada alat (tool) linguistik untuk studi kritis tersebut seperti analisa transivititas dalam sintaksis, struktur leksikal, modalitas, dan speech act.

- Van Dijk (1988) juga mengaplikasikan teori wacana berita dalam ‘critical stides’ tentang berita internasional, rasisme dalam pers dan cara pemberitaan gelandangan (squatters) di Amsterdam.

Selain riset media tersebut di atas, di Amerika Serikat, Chomsky dan Herman mengkaji struktur wacana seperti dalam propaganda model yang sangat mengkritik media AS yang berkolusi dengan Pejabat AS dalam kebijakan luar negeri, dan jelas mereka merujuk pada penggunaan kata persuasif dan terbiaskan (seperti eufemisme atas kekejaman yang dilakukan AS dan negara sekutunya) yang tidak mengemukakan analisa wacana media yang sebenarnya (lihat Herman & Chomsky, 1988).

Wacana Politik

Wacana politik memiliki peran dalam membentuk, mereproduksi, dan melegitimasi power dan dominasi. Ini ternyata telah memunculkan banyak harapan atas kehadiran ‘critical discourse studies’ pada teks dan pembicaraan politik. Studi tersebut dapat dilakukan melalui analisa linguistik sebab ilmu politik hampir mirip dengan disiplin ilmu sosial, dimana ilmu sosial sangat memungkinkan untuk penggunaan pendekataan postmodernisme atas wacananya (Derian & Shepiro, 1989; Fox & Miller, 1995). Ini tidak bermaksud menyatakan bahwa ilmu politik tidak mengenal ‘citical studies’ atas wacana politik, tetapi biasanya ilmu politik sering dibatasi pada studi kata dan konsep terisolasi (isolated), dan jarang studi teks politik yang sistematis (lihat Edelman, 1977, 1985). Dan untuk studi ilmu komunikasi, tentunya ada juga banyak studi komunikasi politik dan retorika politik, ini sering terjadi overlap (antara ilmu politik dan ilmu komunikasi) dalam discourse analytical approach-nya (Nemmo & Sanders, 1981).

Ada satu hal yang dapat lebih mendekatkan pada analisa wacana teks dan pembicaraan politik yaitu frames approach (satu pengertian yang dipinjam dari ilmu kognitif) (Gramson, 1992). ‘Frames’ tersebut adalah struktur konseptual atau sekumpulan keyakinan yang mengorganisir pemikiran, kebijakan, dan wacana politik, dan sama hal dengan pengertian (super)struktur skematik yaitu ketegori standard dalam persepsi dan analisa tentang sebuah isu. Contoh gerakan sosial dianalisa dalam terminologi collective action, ini terbentuk karena adanya ketidakadilan (injustice), agency, dan identitas.

Selain studi wacana politik dengan pendekatan frames, ada juga pendekatan lainnya seperti linguistik, pragmatika (pragmatics), sosioliguistik, dsb. Yang digunakan para ahli, yaitu:

- Geis (1987) melakukan studi linguistik antara media dan politik, yaitu bagaimana politik diliput atau diberitakan oleh media Amerika Serikat. Ia terpengaruh pada pemikiran Murray Edelman (yaitu Mythic Themes [tema-tema dongeng] seperti ‘The Conspirational Enemy’). Dalam studinya ini, ia fokus pada bahasa politik yang secara tidak langsung berpengaruh (indirect impact) lebih kuat pada pemikiran politik seseorang daripada pikiran yang lainnya.

- Wilson (1990) dengan, pendekatan pragmatika, melakukan studi pada sejumlah fenomena dalam wacana politik seperti penggunaan metafora; pertanyaan, jawaban, dan pengingkaran (evasion); implikasi dan perkiraan (presupposition); dan referensi, inklusi (inclusion), eksklusi (exclusion), dan kesetiaan (allegiances) kelompok.

- Ruth Wodak (1988), di Austria, meneliti antisemitisme dan nasionalisme dalam wacana politik. Ia mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan analisa dalam bentuk discourse-historical approach, meliputi psikologi (sosial dan kognitif), sosio-linguistik dan sejarah (history).

- Di Jerman, banyak studi wacana politik yang telah dilakukan seperti di Jerman Barat Zimmerman (1969) meneliti politikus Bonn dan di Jerman Timur, yang pertama kali, Klaus (1971) meneliti wacana politik sehingga menciptakan semiotic-materialist theory (lihat Bachem, 1979). Kemudian, Pasierbsk (1983) melakukan studi bahasa perang dan damai, dan Holly (1990) mengkaji speech act dalam wacana politik. Selain itu juga ada tradisi yang kuat untuk mempelajari bahasa dan wacana fasis (facist) seperti dalam bentuk lexicon (kosakata), propaganda, media, dan politik bahasa (Ehlich, 1989).

- Di spanyol dan khususnya di Amerika Latin telah banyak dilakukan studi wacana politik kritis, seperti yang sangat terkenal yaitu, studi Donald Duck dengan semiotika kritis (anticolonialist) oleh Dorfman & Mattelart (1972) di Chili. Lavandera, et al. (1986, 1987), di Argentina, dengan menggunakan sociolinguistics approach dalam tipologi wacana otoriter (authoriterian discourse). Ini kemudian dikembangkan oleh Pardo (1996) dalam wacana hukum (legal discourse). Kemudian Sierra (1992), di Mexico, dengan menggunakan wacana ethnogarfi dalam mengkaji proses pembuatan keputusan dan otoritas lokal. Diantara banyak critical studies dalam bidang politik di Amerika Latin, ada yang perlu diperhatikan yaitu Teresa Carbo (1995), di Mexico, dengan menggunakan parliementary discourse (wacana parlemen).

Wacana dan Rasisme

Sistem rasisme terdiri dari dua dimensi utama yaitu kognitif dan sosial. Dimensi kognitif dari representasi sosial prejudiced (tersangka) yang dibuat oleh kelompok atau orang dominan (orang kulit putih, bangsa Eropa, dan terkadang yang lainnya), berdasarkan pada ideologi superioritas dan perbedaan. Dan pengertian dimensi sosial memiliki dua level yaitu level lokal dan level global. Untuk level lokal (mikro), ini didefinisikan dalam istilah everyday racism (rasisme sehari-hari) (Essed, 1991) yaitu adanya banyak ketidaksetaraan interaksional sehari-hari dan bentuk discriminatory exclusion, marginalization, dan problematization terhadap minoritas etnis atau orang asing (foreigners). Sedangkan untuk level global (makro) rasisme, kita dihadapkan pada organisasi ketidaksetaraan etnis, seperti sistem Apartheid dan Segregation (pengasinngan), dan sekarang melaluui kebijakan imigrasi, liputan media terbiaskan, teksbook dan pendidikan yang monokultural dan stereotip (lihat Davido & Gaertner, 1986; Katz & Taylor, 1988; Miles, 1989; Solomos & Wrench, 1993; Wellman, 1993).

Sedangkan D’Souza mendefinisikan rasisme sebagai ideologi rasional dan ilmiah untuk menjelaskan perbedaan besar dalam pengembangan peradaban (civilization development) yang tidak dijelaskan oleh lingkungan (environment). Tetapi jika dilihat dalam konsep rasisme bernilai negatif, adalah apa yang dijelaskan dalam istilah ilmu dan rasionalitas positif, yaitu sebagai bentuk (hallmarks) dari peradaban Barat (western civilization) –yang diagung-agungkan.

¾¾¾¾¾x¾¾¾¾¾

5 comments:

Anonymous said...

Mas.. sayang banyak coding text yg gak kebaca...

tp thx ats tulisannya

Bintang - shiningstar_id@yahooo.com

Anonymous said...

Tau Tentang Feminist Critical Discourse Analysis ga?
Pengen infonya dong...
Thanks

Anonymous said...

ya ampunnn....
kok bisa jelas benget siy melajari CDA...
bagus2...begitu membantu...
makasih...

Anonymous said...

saya gi nyusun thesis nih mas, tentang CDA juga.tp waktu mo nganalisa jadi agak bingung. ada buku referensi selain punya van dijk and fairclough ga?

Unknown said...

makasih banget ya, bantu banget.. apalagi dalam bahasa indonesia gini jadi makin mudah ngerti. thanksss. izin copas..

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here