Friday, May 12, 2006

Isu Dasar: Tekanan Ekonomi dan Tanggung Jawab Sosial Media Massa

Bahwa saat ini pertumbuhan pasar yang semakin bersaing membuat institusi media menjadi ekspansi bisnis para pengusaha, sehingga banyak keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan keuntungan komersil belaka.

Semua media berlomba-lomba membuat tayangan yang kreatif dan menarik perhatian para konsumen, sehingga merebut hati pemirsa. Dan hal ini di manfaatkan oleh para media untuk menayangkan iklan-iklan agar dapat di pertontonkan ke para pemirsa. Tentu saja hal tersebut merupakan pemasukan yang terbesar bagi insitusi media, bahkan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pemasukan keuangan media adalah iklan. Tetapi yang terjadi adalah bahwa pemasang iklan dapat memutuskan apakah suatu program dapat ditayangkan atau tidak, sehingga kekuasan menjadi di tangan pemasang iklan.

Sebuah idealisme jurnalistik terkadang memang dikalahkan oleh sebuah kekuasan keuangan. Manajemen media sudah mulai di rasuki oleh teori-teori marketing yang penuh strategi untuk meraup keuntungan komersil. Sehingga keputusan-keputusan manajemen media hanya berdasarkan sebuah keuangan semata, dan meletakkan idealisme jurnalistik ke urutan paling bawah. Hal ini menyebabkan adanya dilema antara nilai etis antara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.

ISU MORAL

Tekanan ekonomi memang sudah menjadi alasan utama untuk semua orang bebas melakukan sesuatu. Tidak terlepas dari sebuah institusi media, yang pada awalnya menyampaikan informasi yang benar dan akurat tanpa ada pengaruh atau tekanan oleh sesuatu apapun. Tetapi saat ini media dijadikan sebuah sarana untuk para pengusaha-pengusaha memperluas jangkauan pasarnya. Seperti contoh, membentuk opini publik tentang produk mereka, mengangkat citra sebuah perusahaan, menghadirkan sebuah kasus untuk menjatuhkan para pesaing dan semua ini hanya berdasarkan tekanan ekonomi semata.

Alhasil semua tayangan media dijadikan pasar yang memperlihatkan semua produk dari pemasang iklan dan para sponsor-sponsor acara, yang membuat pemirsa menjadi konsumtif. Lain lagi dengan tayangan-tayangan yang memperoleh rating tertinggi adalah tayangan yang bisa mengakibatkan munculnya perilaku anti sosial, dan itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai etis yang berlaku. Saat dilema antara rasa tanggung jawab sosial itu muncul dengan tekanan ekonomi baik itu bagi kepentingan pribadi ataupun perusahaan, maka nilai-nilai etis akan luntur sendirinya dengan kekuasan sebuah tekanan ekonomi.

LATAR BELAKANG

Pertumbuhan pasar yang semakin hari semakin bersaing telah menjadikan kekayaan materil dan keuntungan komersil sebagai tujuan dasar dari sebuah perusahaan. Pendekatan ekonomi menjadikan perusahaan semakin agresif dan tidak mengenal waktu istirahat untuk berkompetisi memperluas jaringan usahanya.

Pada jaman saat ini tidak usah diragukan lagi bahwa ekonomi merupakan motivator yang sangat kuat dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan. Konflik-konflik inilah yang menimbulkan dilema antara pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai etis yang berlaku dan tekanan ekonomi demi keberlangsungan perusahaan.

Seorang idealis yang berprinsip kepentingan moral adalah suatu yang penting dapat ditaklukan semata-mata karena alasan ekonomi dan menolak semua prinsipnya mengenai tanggung jawab sosial. Tetapi banyak pula yang perusahaan yang keuangannya sudah solid, mengalokasikan keuntungannya atas nama tanggung jawab sosial dengan menyumbangkan dana kepada karyawan ataupun masyarakat.

Sebuah pertanyaan muncul di kala pertimbangan ekonomi untuk mencari keuntungan komersil menjadi keputusan yang sangat mendasar dibandingkan pertimbangan moral dan tanggung jawab sosial.

PEMBAHASAN

Di dalam masyarakat kapitalistik, tekanan ekonomi dapat muncul dari berbagai arah. Tetapi biasanya muncul dari 3 arah berikut ini :

1. Para pendukung keuangan, seperti investor, pemasang iklan, klien, para langganan

2. Kompetisi

3. Publik pada umumnya.

Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dihasilkan akan mengaitkan satu faktor dan menimbulkan dampak kepada faktor lainnya, oleh karena itu ketiga faktor ini saling terkait antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh, para pesaing terkadang memaksa perusahaan untuk membuat keputusan-keputusan yang diluar dari kebiasaan demi memenangkan kepentingan keuangan.

Media adalah sesuatu yang unik karena bisnis mereka mengambil keuntungan tidak langsung dari konsumen tetapi langsung dari pemasang iklan. Produk media adalah berita, informasi, dan juga hiburan. Produk tersebut telah memberikan suatu output yang berbeda dengan industri lainnya.

Perkembangan media yang menjadi sorotan para pembisnis membawa setiap keputusan manajemen lebih kearah komersial dan keuntungan semata. Konflik antara keuangan media dan tanggung jawab sosial dapat dicerminkan dalam gejala-gejala sebagai berikut :

1. Kecenderungan ke arah konsentrasi kepemilikan media

2. Penanaman prinsip-prinsi pemasaran dalam manajemen media

3. Pengaruh iklan pada media.

1. Kepemilikan Media

Kepemilikan media telah menjadi trend karena bisnis media saat ini merupakan bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan bagi mereka. Karena itu kekuasaan atas ide-ide yang kreatif harus bersaing ketat dengan kekuasaan ekonomi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam sebuah media kualitas produk dan kualitas editorial merupakan sebuah ukuran sukses bagi para editor ataupun praktisi media. Tetapi sekarang, kualitas dari manajamen dan kesehatan keuangan juga merupakan dua faktor yang sangat penting, bahkan untuk tujuan perusahaan kualitas dari para editorial diletakkan pada urutan kesekian.

Ulasan media dapat menghasilkan sebuah penciptaan image pada sebuah produk yang berasal dari sumber polling yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi. Tetapi di lain pihak pemilik modal sering memberikan suntikan dana segar yang mendorong ke arah perbaikan keuangan perusahaan dan berdampak pada editorial dari sebuah produk.

Kecenderungan lain yang akan muncul adalah tekanan-tekanan financial yang merupakan hasil dari gabungan dari non editorial operasional dan berita yang kompetitif.

Ancaman yang paling serius bagi kebebasan institusi media adalah kepemilikan korporasi diluar institusi media yang tidak mempunyai latar belakang dan komitmen terhadap jurnalistik. Dan yang menjadi dasar mereka hanyalah profitibilitas sebuah institusi. Dilema ini pernah di tulis oleh Conrad Fink di dalam etika media: Di dalam dan di luar ruang jurnalistik yang pada intinya menulis. “Seorang editor dan pemimpin redaksi seharusnya lebih memperhatikan kode etik

jurnalistik yang bertanggung jawab sehingga menghasilkan tulisan yang bermutu dan berdampak langsung dengan profitibilitas. Tetapi mata rantai bisnis media pada saat ini tidak seperti itu. Di dalam dunia bisnis manajemen juga memerlukan seorang akuntan, pengacara dan tenaga yang bukan seorang jurnalis. Mereka diperlukan untuk mendukung agar mutu tulisan dan bisnis dapat berjalan seiring”

Kepemilikan media saat ini tidak hanya membawahi satu institusi media tetapi para pengusaha-pengusaha media melebarkan sayapnya sehingga mempunyai banyak media, baik surat kabar, televisi, radio, maupun media online seperti internet. Dan hal tersebut berasal dari pertumbuhan teknologi sehingga terciptalah keanekaragaman program.

Konsolidasi media pada saat ini sudah tidak dapat dihindarkan malah sudah menjadi trend. Kualitas isi berita terkadang memperlihatkan tidak dapat menaikkan rating dan sirkulasi surat kabar, hal ini sangat membuat para eksekutif ketar-ketir karena mereka tujuan mereka adalah profit. Merger dan konsolidasi tidak bisa dihindarkan lagi untuk peningkatan kualitas, tetapi hasil akhir tergantung pengelolaan yang baik dan di sesuaikan nilai dan budaya yang berlaku di suatu masyarakat.

2. Hubungan Marketing dengan Media Massa

Tujuan pokok dari institusi media seperti surat kabar, majalah, telivisi, production house, radio dan media online adalah profit. Sebuah bisnis haruslah menguntungkan karena itu akan menarik para investor untuk menginvestasikan modalnya. Keuntungan tersebut akan digunakan untuk perluasan bisnis mereka dan meningkatkan mutu baik peralatan maupun meningkatkan mutu sumber daya manusia.

Dalam sebuah buku menyebutkan bahwa marketing adalah sebuah peperangan dimana pesaing atau kompetitor adalah musuh dan para konsumen adalah dasar untuk menjadi menang. Analogi ini dapat diterapkan di sebuah media, yaitu petarungan perasaan dan pikiran pada konsumen media tidak akan pernah berakhir. Sirkulasi, rating, berbagi emosional kepada para pendengar dan hasil penjualan karcis dari sebuah film merupakan ukuran sukses di lingkungan media.

Konsep dari marketing untuk media adalah mencakup semua departemen yang terkait termasuk divisi pemberitaan yang harus memberikan kontribusi dengan mengemas berita semenarik mungkin untuk menarik perhatian para pendengar atau pembaca dan juga menggali potensial ekonomi yang ada dan merebut pangsa pasar.

Berita-berita lokal merupakan sarana untuk strategi marketing dan konsultasi dengan membuat program-program dimana para nara sumber membagikan informasi kepada para pendengar mengenai produk dan kegunaan produk tersebut. Penyajian program-program talk show dan informasi-informasi ringan yang dikemas se-kreatif mungkin oleh para produser dan manajeman untuk membujuk para konsumen agar selalu setia dengan media pilihannya.

Sebuah surat kabar pun tidak terlepas dari konsep marketing massa. Informasi ringan saat ini presentasenya meningkat untuk mengisi spot atau space di luar space untuk iklan. Seperti halnya iklan yang menarik perhatian para konsumen tertentu, artikel ini juga dirancang khusus untuk menarik perhatian kepada target pendengar tertentu.

Kecenderungan yang mungkin mengganggu adalah tipisnya atau kaburnya antara kepentingan editorial dan kepentingan komersial. Banyak surat kabar menampilkan supplement dan menawarkan artikel-artikel yang berkaitan dengan sesuatu tema yang menarik para pembaca. Walaupun informasi supplemen ini memang bermanfaat bagi para pembaca tetapi editorial dari isi informasi lebih bersifat etalase bagi para pengiklan.

Variasi dari editorial sebuah produk lebih di sebut advertorias dan penyajiannya di surat kabar atau majalah. Supplemen ini sebenarnya merupakan iklan terselubung karena para pengiklan membayar untuk dikemas sebagai editorial. Editorial ini menyerupai sebuah artikel dengan bahasa-bahasa informatif tetapi pada kenyataannya artikel tersebut merupakan sarana untuk menyampaikan pesan dari sebuah iklan.

Pengemasan berita dan hiburan sebagai produk telah terbukti dalam mencapai sasaran pemasaran. Berita tidak lagi di kemas hanya untuk kepentingan publik semata, tetapi sudah menjadi produk yang dapat dijual kepada konsumen dan dapat memberikan kontribusi terhadap suksesnya rencana pemasaran dan semua biaya operasional.

Sebuah surat kabar harus memposisikan diri mereka sebagai seorang jurnalistik untuk memaksimalkan profit dengan berita-berita mereka yang diasumsikan sebagai produk. Dan juga diperlukan rencana pemasaran yang matang untuk menarik perhatian pembaca yang berpendidikan tinggi dan dengan level ekonomi menengah ke atas. Para direktur pemasaran merasa bahwa tingginya pembaca dengan level ekonomi menengah kebawah akan mengurangi iklan yang masuk ke surat kabar.

Usaha untuk meningkatkan pendapatan institusi media akan menimbulkan benturan-benturan terhadap nilai-nilai etik jurnalistik. Benturan tersebut membuat praktisi media mempunyai dilema terhadap institusi mereka, kepentingan diri sendiri, dan kesejahteraan masyarakat.

Tidak ada hukum yang membenarkan pengorbanan mutu tulisan untuk memenuhi permintaan pasar. Meskipun demikian, ini adalah isu yang dihadapi oleh para pemimpin media saat ini. Dan pada akhirnya keputusan tergantung pada kepekaan terhadap moral para pembuat keputusan. Mereka juga harus mempertimbangkan tanggung jawab sosial di dalam sebuah industri dengan konsep pemasaran.

3. Posisi Iklan Dalam Media

Iklan adalah penyokong ekonomi utama untuk meningkatkan kualitas dari fungsi informasi dan hiburan dari komunikasi massa. Karena dari iklan lah media mendapatkan sokongan keuangan baik dari sektor pemerintahan dan politik, maka dari itu timbullah sebuah pemikiran dimana media sangat bergantung dengan sektor komersil.

Tekanan ekonomi yang timbul akibat dampak dari pengaruh iklan dapat dilihat sedikitnya di tiga area :

1. Jumlah dari materi komersil yang dapat menentukan lamanya iklan tersebut dapat ditampilkan (spot) bukan pada saat jatah untuk iklan melainkan untuk berita ataupun hiburan.

2. Pemotongan anggaran untuk iklan dari para klien yang disebabkan oleh resesi ekonomi, atau pengalokasian dana iklan dari satu media ke media lainnya sangat mempengaruhi perekonomian suatu institusi media. Jika mengalami pergolakan finansial seperti ini divisi pemberitaan akan mengencangkan budget yang ada. Keadaan seperti ini akan berdampak penurunan mutu tulisan.

3. Pesan-pesan komersial akan mempengaruhi isi dari pesan yang bukan komersial dan otomatis juga memberi tekanan kepada para pimpinan media. Pemasang iklan dapat langsung bereaksi bahkan sampai dengan penarikan iklan mereka dari surat kabar jika ada sesuatu hal yang tidak menyenangkan para pemasang iklan.

Tujuan dari iklan adalah untuk mempengaruhi seseorang di dalam suatu lingkungan. Organisasi media yang masih dalam skala kecil terkadang mengalah terhadap permintaan para pemasang iklan seperti menolak suatu berita atau program yang dianggap menyerang jaringan para pemasang iklan. Pemasang iklan juga dapat menyerang program dengan iklan-iklan produk mereka dan para pimpinan media juga tidak dapat menolaknya. Besar dan stabilnya suatu institusi media karena di gencarkan oleh serangan iklan-iklan bahkan kepentingann jurnalistik pun kadang-kadang dikorbankan atas nama kenyataan ekonomi.

Rangsangan psikologis merupakan sasaran utama untuk iklan, dan sekarang konsumen dibuat kebingungan untuk menghadapi rangsangan-rangsangan tersebut. Karena media menyediakan sarana untuk pada pengiklan mengakses emosional dan pikiran para konsumen.

Pengukuran dampak sosial yang diakibatkan oleh pesan-pesan komersil tidaklah mungkin dapat di ukur secara angka-angka. Tetapi dampak tersebut dapat dilihat bahwa iklan dapat meningkatkan daya beli atau konsumtifnya para konsumen.

Riset terbaru menemukan bahwa iklan dapat mempengaruhi emosi konsumen sehingga konsumen tidak memikirkan apakah produk tersebut masuk akal, dapat di terapkan dengan nilai-nilai atau kehidupan sehari-hari. Jika memang riset ini benar apakah kita harus meminta pertanggung jawaban moral para pemasang iklan yang telah menyerbu secara besar-besaran emosi dan nilai-nilai pokok yang dianut oleh para konsumen untuk menggunakan produk mereka.

Iklan adalah komunikasi persuasif dan ini merupakan ketentuan yang berlaku untuk menerima berbagai alasan baik itu menawarkan secara halus atau penyampaian informasi secara selektif untuk menarik para konsumen untuk membeli produk tersebut.

Dengan kata lain pangsa pasar untuk ide dapat diramalkan yaitu individu akan membuat keputusan secara sadar jika mereka memiliki pengaruh untuk mengendalikan informasi yang ada dan itu sangat masuk akal. Selektifnya dan pembatasan informasi produk yang disampaikan oleh kebanyakan iklan telah membatasi manfaat produk itu sendiri. Tetapi pada waktu yang sama para konsumen mulai terbujuk dengan iklan tersebut dan mencari lebih tahu tentang produk tersebut dan pada akhirnya mengambil keputusan untuk membeli.

Analisa terakhir adalah seseorang harus dapat dengan etis bagaimana memandang dengan tepat peran iklan sebagai kepentingan pribadi, kepentingan institusi dan kepentingan moral sebagai tanggung jawab sosial media kepada masyarakat. Tentu saja semuanya harus berjalan seiring, tetapi terkadang sulit terlaksana. Perhatian para pimpinan media terhadap nilai etis telah luntur dan mereka menganggap nilai sebuah iklan lebih penting. Banyaknya iklan sebagai usaha pemasaran dapat menimbulkan image perusahaan dan akan meningkatkan hubungan yang baik dengan para investor. Mereka percaya bahwa iklan dapat berperan menyediakan informasi berharga kepada masyarakat dan meningkatkan kesehatan ekonomi institusi. Dengan demikian fungsi tanggung jawab sosial dari perusahaan seharusnya menjadi dasar etika untuk menghasilkan informasi yang netral kepada masyarakat.

Tekanan Ekonomi : Hipotesa Studi Kasus

Jika berdiskusi tentang tekanan ekonomi tidak akan ada habisnya dan pengambilan keputusan berdasarkan ekonomi adalah keputusan yang paling baik. Tetapi kasus-kasus yang muncul membuat para praktisi media mengalami dilema antara nilai moral dan tekanan ekonomi.

Suatu konsekuensi yang iambil berdasarkan pertimbangan tekanan ekonomi menimbulkan dampak baik jangka panjang maupun jangka pendek. Ada waktu dimana pertimbangan untuk keputusan membutuhkan keberanian, seperti ketika pemasang iklan menarik dukungannya dari suatu program. Pemasangan iklan tidak berhak memberhentikan suatu program karena yang membuat keputusan adalah direktur program tetapi apakah suatu acara atau program dapat disiarkan jika tidak adanya dukungan udara dan pemasang iklan. Berbagai tekanan-tekanan ini dapat mengakibatkan hilangnya kredibilitas dari para institusi media. Dari prespektif kepentingan bahwa moralitas tidaklah sepenting efek potensial dari keputusan-keputusan yang diambil.

Jalan tengah dengan win-win situation tidak selalu menyediakan suatu alternatif sehat dalam menghadapi tekanan ekonomi. Meskipun demikian, mempertimbangkan keputusan yang memihak ide-ide kreatif dan informatif adalah mustahil jika mengabaikan pertimbangan keuangan mungkin juga di beberapa situasi keputusan untuk mengalah pada tekanan ekonomi sangat diragukan, untuk itu dibutuhkan suatu strategi untuk meminimalisasi konflik ini. Karena beberapa institusi ada yang sudah dapat melewati keadaan yang esktrim untuk kepentingan komersil dan nilai-nilai sosial yang ada.

Dalam beberapa kasus keuntungan komersil adalah alat dalam memenuhi kebutuhan dan kewajiban institusi kepada masyarakat. Sebagai contoh stasiun televisi yang dapat menghindari godaan untuk mencari keuntungan yang berlebih dan membakal dapat menghasilkan program yang mutu yang bagus bagi masyarakat.

Kasus 1 : Koran Lokal dan Perseroan

Kerja sama antara kota Portsmouth dan Acme Industries merupakan sesuatu keputusan yang bagus. Karena perkembangan financial kota Portsmouth kurang berkembang. Acme Industri sendiri merupakan perusahaan manufaktur untuk pesawat terbang dan bekerja sama dengan Departemen Pertahanan untuk pengadaan helicopter, tanks dan perlengkapan perang. Sehingga Acme Industries dapat mendukung industri kecil dan otomatis akan meningkatkan financial Portsmouts di masa yang akan datang karena akan meningkatkan jumlah pekerja dan pendidikan yang bagus bagi penduduk Portsmouts.

Untuk meyakinkan bahwa Acme Industries ini sangat penting bagi penduduk Portsmouth, mereka mendirikan Rumah sakit, taman dan meyumbangkan dananya untuk amal. PR Acme Industries sangatlah peka akan hal ini dan ingin membangun citra bahwa Acme Industries sangatlah penting bagi kehidupan penduduk Portsmouth. PR Acme Industries dengan rutin mengirimkan press release ke media-media dengan menuliskan berita-berita mengenai aktivitas-aktivitas perusahaan yang berkaitan dengan perluasan bisnis, kerja sama dengan Departemen Pertahanan dan lain-lain.

The Banner-Herald adalah surat kabar yang menjadi target utama bagi Acme Industri untuk rencana PR mereka. Jim Hale, Managing Director dari Banner Herald sangat berkesan dengan perkembangan kota Portsmouth sejak kedatangan Acme Industries. Ditambah lagi iklan mengenai Acme Industries yang akan mendatangkan keuntungan besar bagi Banner Herald.

Berita-berita mengenai Acme Industries merupakan seusatu yang regular dan isi dari berita selalu dalam pengawasan PR Acme Industries.

Tetapi ada satu reporter yaitu Fred Simons menerima berita via telepon bahwa jatuhnya helikopter militer telah menewaskan beberapa kru merupakan helikopter buatan Acme Industries. Helikopter tersebut di buat dengan kontruksi yang buruk dengan mengurangi standar kualitas yang ada. Dan salah satu pekerja mengatakan hal tersebut di lakukan untuk mempercepat pengiriman dan meningkatkan profit margin.

Telepon kedua datang lagi dengan membenarkan berita tersebut dan mempunyai salinan data-data dari pemotongan biaya yang mengakibatkan pengurangan kualitas.

Hale mempertimbangkan untuk menampilkan berita ini dengan pertimbangan sbb:

· Jika skandal ini di muat maka kontrak dengan departemen pertahanan akan di review kembali.

· Perusahaan-perusahaan kecil yang bergantung dengan Acme Industries akan kehilangan kontrak dan ini akan berdampak pada financial bagi perusahaan.

· Otomatis tidak ada pendapatan dari iklan Acme Industries di surat kabar Banner-Herald.

Dilain pihak insting jurnalistik Hale mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang penting untuk di muat. Karena menyangkut hal kredibilitas surat kabar lokal jika skandal ini lebih dulu sampai ke media nasional. Dan Banner Herald akan di cap sebagai media komersil. Tetapi Hale juga mengakui bahwa Acme Industries sangat meningkatkan perekonomian daerah dan dia percaya bahwa kebenaran di mata masyarakat terkadang sangat selektif.

Ulasan kasus

Ini merupakan kasus yang kompleks karena banyak kepentingan yang terlibat pada kasus ini baik kredibilitas surat kabar, kelangsungan surat kabar maupun perekonomian daerah.

Kasus ini merupakan tanggung jawab sosial bukanlah suatu skandal. Dan ini merupakan dilema bagi surat kabar lokal yang kelangsungannya bergantung pada pangsa pasar. Berharap setiap praktisi media dapat melihat dampak atau efek kasus per-kasus terhadap kesejahteraan masyarakat.

Keputusan Hale untuk memuat berita tersebut adalah tepat karena terjadi pemberitaan berimbang dengan mengakui keberadaan Acme untuk kelangsungan perekonomian di Portsmouth dan Banner-Herald dan juga mengangkat masalah yang terjadi.

Kasus 2 : Iklan Bioskop X-Rated dan Tekanan masyarakat

Meningkatnya kekerasan, perkosaan dan pelecehan seksual di kota Pleasantville diduga karena bergesernya nilai-nilai yang memperbolehkan segala sesuatu dan bergesernya nilai dalam keluarga. Tetapi menurut kelompok masyarakat Peduli Moral dan Susila (KPMS) munculnya bioskop X-Rated dan toko -toko yang menjual buku untuk dewasa sebagai faktor utama meneningkatnya angka kriminalitas, kekerasan, perkosaan dan pelecehan seksual.

Kelompok Masyarakat Peduli Moral dan Susila (KPMS) yang diketuai oleh Elsie Johnson menemui Walter Byers, seorang manager periklanan di surat kabar Pleasantville Beacon. Johnson mengutarakan maksudnya untuk menolak dan mencopot iklan dua bioskop porno yang ada di Pleasantville Beacon karena iklan tersebut secara tidak langsung memberikan keuntungan pada bioskop tersebut. Dan di tambahkan pula bahwa sangatlah tidak bijaksana jika Beacon mendukung penyebaran pornografi yang mengakibatkan peningkatan angka kekerasan seksual.

Jika permohonan ini tidak di penuhi maka (KPMS) akan memboikot para klien Beacon untuk mencabut semua iklan mereka dari Beacon.

Byers berterima kasih atas kunjungan Elsie Johnson dan mengatakan bahwa ketentuan surat kabar menerima hanya menerima berbagai iklan dari bisnis yang sudah di legitimasi, tetapi dia berjanji akan mempertimbangkan permintaan beliau.

Pertimbangan Byers adalah ;

1. Boikot terhadap media kebanyakan tidak selalu berhasil

2. Dampak secara financial tidak terlalu signifikan jika iklan bioskop di turunkan

3. Tetapi jika tidak diturunkan akan berdampak terhadap reputasi Beacon dan sirkulasi surat kabar akan menurun.

4. Bahwa tidak adanya korelasi langsung antara toko buku dewasa dengan kejahatan seksual, karena toko buku tersebut ada sebelum peningkatan kejahatan.

Dan pada akhirnya Byers memutuskan untuk tidak memuat iklan tersebut dengan pertimbangan tanggung jawab sosial yang di emban oleh surat kabar. Dan satu-satunya yang akan komplain jika iklan ini tidak dimuat adalah pemilik X-rated itu sendiri.

KESIMPULAN

Dengan mudahnya sekarang para masyarakat dapat mencari informasi yang dinginkan baik dari informasi politik atau informasi yang hanya sekedar gaya hidup dan sekedar hiburan. Namun sayang kemudahan-kemudahan tersebut mengakibatkan maraknya sajian-sajian acara yang mengarahkan masyarakat untuk lebih konsumtif, pornografi maupun perilaku antisosial. Para media tidak lagi berupaya untuk menciptakan kreatifitas yang bisa dijual dan benar-benar memberi nilai tambah bagi pembelinya. Kecenderungan tayangan ini jelas telah menggeserkan nilai-nilai moral yang telah lama di anut oleh bangsa kita. Idealisme moral yang ada seakan-akan telah di letakkan pada urutan kesekian demi para pebisnis media untuk membesarkan usahanya. Idealisme moral sudah tidak menjadi dasar dalam berkreatifitas, mereka hanya ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

Timbulnya indikasi-indikasi destruktif tersebut sebaiknya dibutuhkan strategi sebagai kontrol berbagai pihak untuk media. Strategi yang paling utama adalah nilai-nilai moral dan agama yang diajarkan dan ditanamkan di dalam setiap anggota keluarga. Sehingga diharapkan para generasi muda mempunyai dasar yang kuat sebagai filter dalam menilai sebuah tayangan.

Pemerintah seharusnya membuat sistem peraturan perundang-undangan yang lebih jelas dan tegas dalam memberikan sanksi kepada yang melanggar. Peraturan mengenai kepemilikan media, memperjelas kaburnya antara pornografi dan artistic, antara privasi dan hak masyarakat untuk tahu. Badan sensor film pun harus lebih dapat lebih mempertegas bagian-bagian yang memang harus disensor. Adanya kontrol sosial dari masyarakat mungkin dengan membentuk badan independen untuk mengawasi apa yang media tayangkan (Media Watch). Dan dari internal media sendiri adanya pelatihan-pelatihan untuk para jurnalistik dan para kreatif agar dapat lebih kreatif mengemas suatu program atau tulisan sehingga dapat memberikan nilai yang positif kepada masyarakat.

Dan pada akhirnya sinergi antara para praktisi media, pemilik media, masyarakat, dan pemerintah untuk saling mengawasi dan mengontrol antar satu dengan lainnya dapat terwujud.

1 comment:

Dimas Rahmat said...

Mantap ulasannya saya sebagai mahasiswa ilmu komunikasi sangat terbantu dengan artikel yang admin sajikan.Terima Kasih saya haturkan.Buat lagi artikel-artikel yang bermanfaat

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here