Wednesday, April 05, 2006

Post-Marxist Society ?

“POST-MARXIST SOCIETY”:

mungkinkah berkembang di Indonesia ?

Post-Marxisme sebagai sebuah pemikiran telah menjadi gerakan intelektual menyusul kemenangan praksis dan pemikiran neo-liberalisme serta memudarnya semangat reformasi di kalangan pekerja. Ruang politik publik yang ditinggalkan oleh kaum reformis kiri kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok agamawan fundamentalis dan tradisional (setidaknya aliran Pantekosta dan “pemerintahan” Vatikan). Padahal di masa lalu ruangan ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis, politisi kerakyatan dan aktivis gereja yang berafiliasi pada ajaran teologi pembebasan. Ruang kosong yang tadinya diisi oleh kaum kiri radikal kini diganti oleh intelektual politik atau setidaknya oleh perserikatan-perserikatan publik modern, misalnya serikat buruh, kelompok miskin kota.

Situasi perubahan hegemoni ideologi dari kiri radikal menjadi kiri tengah yang cenderung pragmatis ini tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan situasi politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi global yang sedang terjadi. Perdebatan antara sosialisme dan liberalisme, antara kiri dan kanan menjadi sangat relatif atau bahkan tidak menjadi signifikan lagi. Pernyataan Anthony Giddens yang mau mencoba menyempurnakan bangun ilmu sosial yang merefleksikan situasi global mempunyai implikasi yang tidak sedikit bagi perdebatan Marxisme pada khususnya dan Sosialisme pada umumnya.

Kenyataan globalisasi yang mentransfigurasikan ruang dan waktu dengan kekuatan teknologi informasi membuat manusia juga sedikitnya tidak dipengaruhi oleh dimensi kesejarahan. Ketika manusia dicoba untuk dilepas dari dimensi kesejarahan, maka apakah masih diperlukan ideologi yang de facto selalu mengacu pada pengalaman post factum ? Apakah dengan demikian (meminjam istilah Francis Fukuyama dan Samuel Huntington) sekarang ini adalah tanda waktu yang jelas untuk mengatakan terjadi “kematian ideologis” yang dipicu oleh kekuatan budaya global ? Kalau memang terjadi “kematian ideologis” lalu apakah ada sistem pemikiran yang kurang lebih masih bisa merepresentasikan pengalaman manusia tanpa harus dibatasi oleh kekuatan dominasi gender, budaya, ras, sosial dan lainnya ?

Perkembangan pemikiran post-marxist tidak terlepas dari perkembangan yang ada. Tapi masalahnya apakah memang trend post-marxist ini memang mau mengulangi sejarah filsafat yang memunculkan post-strukturalisme ilmu sosial atas aliran strukturalisme yang sudah ada ? Atau meniru trend pasca modernitas dalam grand naratives-nya Marxisme ? Tentu saja hal itu masih harus dikaji secara lebih mendalam.

Beberapa komponen diskursus pemikiran post-marxist yang sempat dicatat adalah pertama, wacana kegagalan sosialisme dan ideologi sosialisme yang berbasiskan pemikiran Karl Marx. Kegagalan ideologi sosial berikut Marxisme dalam dunia global adalah karena ideologi sosial yang diyakini sampai sekarang sekedar representasi dominasi satu sistem pemikiran, entah dengan bias gender entah dengan bias ras.

Kedua, marxisme sebagai sebuah ideologi secara epistemologis memang bersifat reduksionistis, terutama dengan pandangan tentang kelas sosial. Globalisasi telah mengubah tatanan kelas sosial dan refleksi sosial atas kelas dalam pemikiran Marx menjadi sangat picik dan reduksionis. Hal yang terpenting dalam pembangunan sosial mendatang dan teraktualisasikan adalah pembangunan dan pengembangan kebudayaan serta mempunyai basis pada perbedaan identitas (ras, gender/seks, etnis dsb)

Ketiga, perkembangan civil-society tetap relevan untuk menggantikan peran negara yang cenderung korup dan bertendensi untuk melakukan trade-off atas kebebasan dan demokrasi. Di tambah lagi nation-state dalam era teknologi informasi telah kehilangan batas-batas konvensionalnya (K. Ohmae, 1999). Di tambah lagi dengan fakta bahwa negara-bangsa dengan alasan luhur dan tidak, telah menjadi aktor intelektual bagi munculnya tindak kekerasan (violence).

Keempat, perjuangan kiri tradisional sering berakhir menjadi pemerintahan yang korup dan berakibat pada kemunculan rezim yang tidak kalah otoriter yang pada akhirnya akan mengsubordinasikan civil-society. Perjuangan lokal dengan isu domestik adalah agenda perubahan yang lebih demokratis dan efisien. Tentu saja perjuangan lokal dengan isu yang terdesentralisasikan tetap dimanfaatkan untuk memberikan tekanan pada pimpinan nasional dan internasional.

Kelima, perubahan revolusioner belum tentu akan membuahkan perubahan yang mendasar, justru revolusi akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Maka pilihan lainnya adalah berjuang dengan membangun konsolidasi dan transisi demokratis dengan jalan pemilihan umum.

Keenam, solidaritas atas basis kelas adalah bagian dari emosi masa lalu, yang merefleksikan politik dan realitas masa lalu. Kelas menjadi tidak signifikan. Bentuk yang masih ada adalah fragmentasi penduduk daerah di mana kelompok (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan swa-sembada dan interdependensi untuk melangsungkan kehidupan berdasarkan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritaa adalah fenomena persilangan kelas. Solidaritas adalah gestur kemanusiaan belaka.

Ketujuh, kematian imperalisme tradisional. Ekonomi global yang terjadi sekarang adalah ekonomi yang mengembangkan kesalingtergantungan. Dunia yang berkembang adalah dunia yang saling bekerja sama dan bekerja secara internasional dalam usaha dinamika kapital, teknologi dan kebudayaan

Dari ketujuh fragmen diskursus post-marxist tersebut terlihat usaha untuk mengatasi perdebatan klasik antara pemikiran Karl Marx dan teman-temannya dengan pemikiran Adam Smith, John Locke dan teman-temannya. Dalam masyarakat dunia global yang sekarang terjadi rekonsiderasi pemikiran sosial untuk bisa mengantisipasi high-consequence risk-nya dunia teknologi, kapital/pasar, tata etika global dan asumsi run away world-nya Giddens. Oleh sebab itu masih harus ada diskusi yang lebih mendalam atas tema ini:

1. Trend post-marxist ini, sebuah trend intelektual saja atau memang sebuah pemikiran yang mempunyai dasar pemikiran yang kokoh ? Apa rasionalismenya ? Di mana karakter epistemologis sosialnya ?

2. Apa yang sesungguhnya menjadi raison d’etre post-marxis ini ? Sebuah keprihatinan atas akibat perubahan sosial dalam dunia global atau usaha penafsiran baru tradisi marxisme yang sudah tidak bisa diaktualisasikan lagi ? Dengan dasar hak intelektual apa rasionalisasi post-marxis ini harus dikembangkan ?

3. Apakah bentuk masyarakat modern dan global sekarang memang membutuhkan a new ideology yang mewakili kegelisahan sosial mereka dalam kehidupan kesehariannya ? Atau meminjam pernyataan Jurgen Habermas: apakah memang masyarakat perlu mengembangkan die neue Unübersichtlichkeit ? Ketika marxisme tradisional tidak lagi bisa menampung perkembangan global yang dipenuhi oleh ketidakpastian, ketakterdugaan dan ketidakjelasan, lalu sistem pemikiran post-marxist bisa memberikan kontribusi apa ?

4. Kalau masyarakat selalu dipenuhi dengan ketidakjelasan, ketakterdugaan dan ketidakpastian, sistem sosial macam apa yang harus dibangun: solidaritaskah, kerakyatankah, stateless society, masyarakat full-kompromi, civil society ?

5. Apa yang bisa disumbangkan oleh pemikiran sosialisme kontemporer dalam pengembangan wacana masyarakat yang harus semakin humane, sosial, saling mendukung ?

6. Bentuk-bentuk konkret macam apa yang bisa disumbangkan oleh mereka yang percaya pada sosialisme pada masyarakat yang semakin jamak meski di sana-sini ada juga primordialisme, dinamis tapi tetap saja ada masyarakat yang apatis dan ahistoris, konsumeris meski tetap saja ada masyarakat yang selektif, liberal tapi juga ada yang begitu fundamentalis ? Dalam paradoksal-paradoksal macam ini, isi moral apa yang bisa dididikkan kepada manusia muda mengantisipasi perkembangan budaya yang semakin deras, massif dan instan.

2 comments:

Anonymous said...

"Kenyataan globalisasi yang mentransfigurasikan ruang dan waktu dengan kekuatan teknologi informasi membuat manusia juga sedikitnya tidak dipengaruhi oleh dimensi kesejarahan" apa iya? dimensi kesejarahan berlaku umum dimana-mana mulai dari sekedar deskripsi hingga legitimasi. Artinya pengaruhnyapun tidak terlepas dari penafsiran baik sepenggal maupun utuh, obyektif maupun subyektif. Justru pengaruh sejarah dalam transfigurasi tersebut sangatlah kuat hanya saja sejarah tidak berupa mitos di tahap awal tetapi juga justifikasi di tahap akhir. tidak penting apakah sosialis atau kapitalis sebagai si empunya cerita tetapi bagai parodi klise BharataYudha selalu silih berganti entah hitam atau putih akhirnya tidak penting

Anonymous said...

"Kenyataan globalisasi yang mentransfigurasikan ruang dan waktu dengan kekuatan teknologi informasi membuat manusia juga sedikitnya tidak dipengaruhi oleh dimensi kesejarahan" apa iya? dimensi kesejarahan berlaku umum dimana-mana mulai dari sekedar deskripsi hingga legitimasi. Artinya pengaruhnyapun tidak terlepas dari penafsiran baik sepenggal maupun utuh, obyektif maupun subyektif. Justru pengaruh sejarah dalam transfigurasi tersebut sangatlah kuat hanya saja sejarah tidak berupa mitos di tahap awal tetapi juga justifikasi di tahap akhir. tidak penting apakah sosialis atau kapitalis sebagai si empunya cerita tetapi bagai parodi klise BharataYudha selalu silih berganti entah hitam atau putih akhirnya tidak penting

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here