AG.Eka Wenats Wuryanta
BAGIAN I
Pendahuluan
Ketika ilmu komunikasi berangkat dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan maka tidak mengherankan bahwa ilmu komunikasi dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Ketika manusia niscaya berkomunikasi, sementara kehidupan manusia berada dalam konteks-konteks yang beragam maka komunikasi itu sendiri bersifat kontekstual dan unik (Bradac-Bowers, 1982).
Sejarah komunikasi sendiri sudah berkembang jauh sebelum ilmu tentang komunikasi itu sendiri berkembang. Sejarah retorika Aristoteles memperlihatkan bahwa tindakan komunikasi sudah berkembang pada era Yunani-Romawi. Ketika komunikasi berada di dalam khasanah ilmu pengetahuan, maka ilmu komunikasi yang dikenal sampai sekarang adalah disiplin ilmu yang berumur relatif lebih muda jika dibandingkan dengan sosiologi, biologi, astronomi, fisika bahkan filsafat.
Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, kajian ilmu komunikasi berakar dari ilmu politik (Dahlan, 1990:6). Schramm sendiri mengindikasikan Harold Lasswell sebagai salah satu Perintis Komunikasi modern, adalah juga ahli ilmu politik. Komunikasi waktu itu lebih banyak menelaah masalah propaganda dan opini publik. Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi mulai dilihat sebagai ilmu ketika sosiologi (dimulai oleh P. Lazarsfeld) dan psychologi social (yang dirintis oleh Carl Hovland) memberikan kontribusi terhadap telaah fenomena komunikasi massa waktu itu. Rintisan sosiologi dan psikologi sosial memberikan kontribusi soal perspektif masyarakat yang mendapatkan pengaruh media massa.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam perkembangan ilmu komunikasi maka terdapat tiga bidang ilmu yang memberikan kontribusi konkret terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu politik, ilmu sosial dalam hal ini adalah sosiologi, dan psikologi. Ilmu politik memberikan ruang pertama pada pembahasan propaganda politik berikut pengaruhnya kepada masyarakat. Sosiologi memberikan tempat di mana komunikasi tidak bisa melepaskan diri dari masalah interaksi antar manusia. Psikologi memberikan kajian pelengkap mengenai masalah komunikasi yang berkaitan dengan perilaku psikologis seorang manusia (individu) maupun tindakan masyarakat.
Meski demikian bantuan atau kontribusi ilmu selain yang di atas juga tidak bisa dipungkiri seperti ilmu matematika (yang persis juga dipakai oleh Shannon dalam menjelaskan persoalan mendasar komunikasi), linguistik (yang turut membantu komunikasi dalam mempelajari karakteristik pesan dalam sebuah bahasa), biologi (yang turut membantuk komunikasi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan yang saling terhubung satu sama lain). Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa komunikasi harus dipahami sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Jalinan erat antara komunikasi dengan bidang ilmu di luar komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan disiplin ilmu yang masih berkembang, seturut dengan manusia yang mempunyai kecenderungan berkembang pula.
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, penulis berfokus pada penyelidikan kaitan atau visi perspektif dari 2 bidang ilmu di luar ilmu komunikasi, yaitu filsafat dan matematika dengan ilmu komunikasi itu sendiri. Penulis membagi beberapa bagian penting dari makalah ini. Bagian pertama adalah bagian pendahuluan yang ingin memperlihatkan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu yang multidisipliner dan dengan situasi semacam itulah ilmu dan teori komunikasi masih berkembang sampai sekarang. Bagian kedua adalah terdiri dari 2 sub bagian besar. Sub bagian pertama adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik antara filsafat, matematika dan komunikasi sebagai disiplin ilmu pengetahuan. Sub bagian kedua adalah bagian yang memperlihatkan pengaruh timbal balik tersebut terhadap dua kajian komunikasi, yaitu pemaknaan dan interaksi dalam komunikasi. Sub bagian ketiga adalah eksposisi sejauh mana implikasi teoretis hubungan multiperspektif tersebut dalam perkembangan teori komunikasi.
BAGIAN II
FILSAFAT, MATEMATIKA, ILMU KOMUNIKASI: Lintasan Hubungan
a. Definisi dan Perspektif Dasar
Bagian ini mau membahas hubungan antara filsafat, matematika dengan komunikasi. Yang perlu dipahami dalam bagian ini adalah salah satu atau bagian kecil dari sekian banyak perspektif dari ilmu pengetahuan dalam pembahasan tentang komunikasi. Tapi sebelum masuk pada hubungan timbal balik antara ketiga cabang ilmu pengetahuan tersebut maka penulis ingin meletakkan beberapa hal pokok dari ketiga ilmu tersebut dalam beberapa hal diskusi, yaitu definisi, perspektif dasar, dan konsep pokok.
Pertama, filsafat sebagai disiplin ilmu yang mempunyai sistematika dan logika telah dikembangkan oleh peradaban Yunani sejak abad VI sebelum masehi (Bertens, 1989: 13-26). Kata falsafah atau filsafat merupakan kata serapan bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari philosophy (Inggris), philosophia (Latin), Philosophie (Jerman, Perancis). Kata-kata tersebut diambil dari bahasa Yunani philo dan sophia. Kata ini merupakan gabungan dua kata philein berarti mencintai atau philos berarti persahabatan, cinta dan sophos berarti bijaksana atau Sophia berarti kebijaksanaan. Filsafat adalah usaha untuk memahami dan mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Ia juga termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya dan bertujuan untuk memahami (understanding) dan kebijaksanaan (Wisdom). Dengan kata lain, filsafat adalah kajian atau ilmu yang mempelajari, merefleksikan secara kritis, rasional dan radikal realitas untuk mendapatkan kebenaran realitas yang bersifat asali dan mendasar. Perspektif dasar dari ilmu filsafat adalah pemahaman dan refleksi terhadap seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas dapat dilihat secara kritis dan mendasar untuk mendapatkan penjelasan tentang asal usul, tujuan, manfaat dan alasan keberadaan realitas tersebut (Kattsof, 2004: 3-16). Konsep pokok, dengan demikian, dalam filsafat adalah pemahaman, refleksi dan kritis-mendasar.
Kedua, matematika adalah disiplin ilmu tertua yang telah dikembangkan oleh manusia (Borchert, 2006: 20-21). Matematika adalah ilmu yang mempelajari bilangan, hubungan antar bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam menyelesaikan atau mendapatkan akurasi pemahaman masalah atau realitas. Matematika bisa dilihat sebagai proses dan menyediakan perangkat untuk mengukur presisi gejala. Perspektif utama matematika adalah bahwa pengukuran yang tepat seakurat mungkin atas seluruh gejala atau untuk keperluan yang beragam. Dalam perspektif ini, tujuan matematika adalah untuk mendapatkan definisi yang persis dan akurat. Konsep pokok, dengan demikian, dalam matematika adalah pengukuran, akurasi-presisi, randomness.
Ketiga, komunikasi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mulai tumbuh sehabis perang dunia I sampai perang dunia II. Penelitian ilmu komunikasi semakin meningkat pada perang dunia II melalui antara lain Office of War Information Amerika Serikat (Dahlan, 2003). Definisi komunikasi sendiri sangat banyak bahkan Dance dan Larson (dalam Miller, 2005:3) pernah menyatakan terdapat 126 definisi komunikasi. Penulis ingin mengangkat beberapa definisi. Komunikasi adalah keseluruhan prosedur yang mana prosedur tersebut membuat pesan tertentu mempengaruhi yang lain c.one which would inclue the procedures by means of which one mechanism affects another mechanism (Weaver, 1949:3). Carl Hovland menyatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana seorang individu (komunikator) mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi atau mengubah perilaku individu lainnya (Hovland, 1953). Grebner (dalam Miller, 2005: 4) menyatakan bahwa komunikasi adalah interaksi sosial melalui simbol dan sistem pesan. Maka, penulis menyatakan bahwa komunikasi tidak mempunyai definisi tunggal. Komunikasi lebih merupakan proses penyampaian pesan melalui simbol-tanda yang dilakukan secara transaksional antara penyampai pesan dengan para penerima pesan dengan tujuan tertentu (disesuaikan dengan kepentingan komunikator atau komunikasi, vis a vis). Karena definisi yang begitu banyak maka tidak mengherankan apabila dalam konseptualisasi komunikasi terdapat point of convergence dan point of divergence.(Miller, 2005: 5-11).
Definisi umum (point of convergence) dari komunikasi terdiri dari definisi komunikasi sebagai proses, komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional dan komunikasi sebagai sesuatu yang simbolik. Komunikasi sebagai proses adalah pemahaman bahwa titik utama yang menjadi perhatian sekian banyak definisi komunikasi terletak pada proses. Komunikasi sebagai proses menyiratkan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang berkelanjutan, kompleks dan tidak arbitrer (mana suka). Komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional berarti bahwa komunikasi tidak hanya sekedar prosesual dan interaksional melainkan terjadinya intensifikasi hubungan timbal balik antara komunikator, komunikan, pesan, efek dan sebagainya. Komunikasi merupakan sesuatu yang simbolik menyiratkan bahwa ketika komunikasi berproses melalui sesuatu yang transaksional maka hal esensial yang dibutuhkan adalah pemaknaan yang berangkat dari simbol-simbol yang dipakai dalam tindakan komunikasi tersebut. Definisi umum memperlihatkan betapa pun definisi komunikasi tersebar dengan berbagai macam sudut pandang maka setidaknya ada yang menyatukan definisi-definisi tersebut.
Berbeda dengan sudut pandang dalam konteks definisi umum, point of divergence lebih melihat pusaran definisi tersebar dalam beberapa karakteristik. Point pertama adalah poin komunikasi sebagai aktivitas sosial. Point ini merujuk konseptualisasi yang tidak sama tapi berada dalam konteks relasi sosial yang beragam dan mempunyai impak terhadap kehidupan sosial. Konseptualisasi relasi sosial dan komunikasi mengakibatkan bahwa komunikasi mempunyai level sosial dari antar pribadi sampai komunikasi massa, termasuk di dalamnya proses kognitif dalam proses interaksi komunikatif. Point kedua adalah komunikasi berhubungan dengan tindakan komunikatif dan intensionalitas. Poin ini berangkat dari adagium Watzlawick yang menyatakan bahwa manusia tidak bisa tidak berkomunikasi. Dalam poin ini terdapat pula bahwa perspektif komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perspektif sumber komunikasi melainkan juga sampai pada masalah perpektif penerima, dan perspektif pesan.
Tiga point di atas sebenarnya mau memperlihatkan beberapa hal penting dalam terminologi filsafat, matematika dan ilmu komunikasi itu sendiri. Tentunya tiga point di atas lebih mau dielaborasikan lebih jauh pada bagian selanjutnya.
b. Hubungan Filsafat, Matematika dan Ilmu Komunikasi
Perspektif dasar filsafat adalah pemahaman menyeluruh dan refleksi kritis atas seluruh realitas sedemikian rupa sehingga realitas tersebut dapat dilihat secara mendasar untuk mendapatkan makna kebenaran yang lebih mendasar. Sementara itu, matematika mempunyai perspektif dasar sebagai proses atau setidaknya penalaran melalui pengukuran sedemikian rupa mendapatkan hasil yang benar, akurat dan presisi dalam melihat realitas. Dua perspektif di atas mempunyai kesamaan dalam memandang titik tolak realitas dan tujuan akhir masing-masing perspektif, yaitu untuk mendapatkan pemahaman atas kebenaran realitas dalam usaha dalam mengurangi ketidakpastian-ketidakpastian yang melingkupi realitas itu sendiri. Hanya perbedaannya adalah pada soal cara memandang, di mana filsafat mau mencoba memahami realitas sebagai sesuatu yang reflektif dan mendasar dengan segala asumsi dan derajad kepastiannya (Ewing, 2003:14-20). Matematika memahami realitas sebagai sesuatu yang harus bisa dipastikan presisi dan akurasinya (sekaligus menyederhanakan konsep yang mendasari sejumlah besar kompleksitas) karena realitas mempunyai asumsi ketidakpastian.
Berangkat dari persamaan dan perbedaan antara filsafat dan matematika maka filsafat memberikan dasar-dasar penalaran yang benar (logika) yang diperlukan untuk menyusun argumen-argumen yang mempunyai tingkat kejelasan dan akurasi yang bisa dipertanggungjawabkan (Ewing, 2003: 18-19). Matematika sendiri memberikan kepada filsafat rangkaian perangkat atau instrumen yang dipergunakan untuk melakukan sistematisasi rasional atas sebuah realitas, sebut saja dengan perhitungan, ukuran, simbolisasi dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi maka dapat dijelaskan sebagai berikut: perspektif filsafat yang memposisikan sebagai proses tidak kunjung selesai dalam pemahaman yang mendasar atas realitas memberikan warna kepada komunikasi yaitu sejauh mana proses pemahaman mendasar atas realitas (secara ontologis, epistemologis, aksiologis) menentukan bagaimana proses komunikasi dilakukan (mulai dari makna mendalam komunikator sampai makna terdalam dari efek komunikasi). Komunikasi sendiri memberikan peran bagi filsafat dengan sejauh mana serta bagaimana pengolahan dan proses komunikasi atas informasi-informasi yang lengkap, jelas dan argumentatif bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar benar rasional sedemikian rupa mampu masuk pada inti masalah yang paling dasar atau fundamental.
Hubungan perspektif matematika dengan komunikasi dapat dinyatakan sebagai berikut: bahwa perspektif matematika memberikan pengukuran yang akurat pada proses komunikasi yang dilakukan sehingga tindakan komunikasi bisa dilakukan dengan maksimal. Sebaliknya, komunikasi memberikan pendasaran simbolik dan pemaknaan yang bisa digunakan untuk menyederhanakan, mengkomunikasikan sejumlah besar konsep abstrak yang digunakan dalam matematika. Ketika sebuah konsep informasi matematika diberikan oleh seorang kepada yang lain untuk mendapatkan bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi matematika dari komunikator kepada komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi tadi.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon itu seringkali menjadi masalah istimewa. Hal ini sebagai salah satu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang sarat dengan istilah dan simbol. Karena itu, kemampuan berkomunikasi dalam matematika menjadi tuntutan khusus. Kemampuan berkomunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: mereflesikan benda-benda nyata, gambar, atau ide-ide matematika; membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode oral, tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar; menggunakan keahlian membaca, menulis, dan menelaah, untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematika; merespon suatu pernyataan/persoalan dalam bentuk argument yang meyakinkan. Secara umum, matematika dalam ruang lingkup komunikasi mencakup keterampilan atau kemampuan menulis, membaca, discussing and assessing, dan wacana (discourse).
c. Implikasi Relasi Perspektif Filsafat Matematika dengan Ilmu Komunikasi
Dengan konteks di atas maka terdapat relasi langsung dan tidak langsung antara perspektif filsafat, matematika dengan komunikasi sebagai disiplin ilmu. Di satu sisi, perspektif filsafat dan matematika sangat berfokus pada soal proses pemahaman terhadap realitas secara keseluruhan meskipun dengan cara dan metode yang berbeda. Tapi yang jelas adalah bahwa kedua perspektif tersebut menekankan pada proses (yang terlihat secara jelas). Dalam konteks ini, ketika komunikasi dilihat sebagai sebuah proses maka perspektif yang lain pun mengafirmasikannya. Konseptualisasi definisi umum yang menyatakan komunikasi sebagai sebuah proses merupakan kepastian. Penekanan definisi proses sebagai sesuatu yang kompleks, berkelanjutan dan tidak bersifat manasuka juga merupakan karakteristik perspektif filsafat dan matematika. Ini menandakan juga bahwa interaksi pun juga tidak sederhana. Sifat holistik juga terlihat dalam perspektif komunikasi.
Tindak komunikasi tidak hanya dipahami sebagai pecahan-pecahan pengalaman tapi pengalaman secara menyeluruh. Komunikasi sederhana yang berangkat dari interaksi yang sederhana juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang kompleks. Dengan demikian, model matematika Shannon atau model Berlo (model SMCR) tidak bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat linear, dan simplistik melainkan harus dilihat secara utuh. Persamaan matematika Shannon dan model Berlo SMCR memuat persamaan yang memperlihatkan proses komunikasi yang utuh.
Apakah memang perspektif matematika dan filsafat hanya berhenti pada masalah prosesual komunikatif? Dari 2 perspektif terdahulu juga memperlihatkan tingkat intensitas hubungan antara refleksi, eksplanasi dan estimasi dengan realitas yang diamati atau dieksplanasi atau diestimasi. Perspektif matematika yang menekankan kejernihan dan akurasi mengandaikan unsur transaksionalitas. Matematika dan filsafat menekankan hubungan dan intensifikasi timbal balik antara subjek dengan objek. Demikian juga halnya ilmu komunikasi. Komunikasi sebagai transaksi. Pandangan ini menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang dinamis yang secara berkesinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan atau pesan nonverbal.
Beberapa definisi yang sesuai dengan konsep transaksi:
a. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss: Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih.
b. Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson: Komunikasi adalah proses memahami danberbagi makna.
c. William I. Gordon : Komunikasi adalah suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan.
d. Donald Byker dan Loren J. Anderson: Komunikasi adalah berbagi informasi antara dua orang atau lebih.
Dalam konteks selanjutnya, komunikasi dalam definisi transaksional merujuk pada masalah kontekstualitas dalam proses komunikasi. Perspektif filsafat ketika menekankan masalah refleksi dan pemahaman menyeluruh mengandaikan juga masalah kontekstualitas. Proses kebenaran tidak bisa dilihat secara terpisah dan tidak terhubung pada konteks yang menyertainya. Matematika dalam mencari dan berproses melakukan estimasi, penyederhanaan kompleksitas realitas tetap memperhitungkan kontekstualitas supaya persamaan yang dibuat juga tetap bisa disesuaikan dengan faktor atau variabel yang mempengaruhinya.
Perspektif matematika dan filsafat juga berpengaruh pada masalah definisi umum komunikasi sebagai sesuatu yang bersifat simbolik. Perspektif filsafat dan matematika menyiratkan adanya simbol atau tanda yang berhubungan dengan proses pemaknaan dalam sebuah proses komunikasi. Dalam konteks perspektif matematika, penggunaan simbol dalam proses pengkomunikasian realitas dengan tujuan mencari penyederhanaan konsep yang mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi serta mencari pemahaman yang lebih presisi merupakan pengandaian yang tidak bisa dihindarkan. Simbol adalah sesuatu yang secara sengaja digunakan untuk menunjukkan sebuah realitas lainnya. Benda yang ditunjuk oleh seimbol itu adalah apa yang dimaksudkan oleh kelompok sosial tertentu. Ciri utama simbol, menurut Hoebel (1966: 299) adalah kepadatannya. Hoebel menyatakan bahwa dalam satu bentuk atau lainnya, simbol itu selalu bersifat terbuka, ia harus terlihat, terdengar, dirasakan atau dibaui. Simbol-simbol itu memadatkan abstraksi ke dalam objek yang terbatas. Simbol-simbol inilah yang dimaknai oleh para pelaku proses komunikasi, menjadi media pesan dan sebagainya. Ketika simbol berhubungan dengan proses pemaknaan maka simbol selalu bersifat kontekstual.
Dalam perspektif matematika dan komunikasi, simbol digunakan dalam menyampaikan pesan sedemikian perlu diukur untuk mendapatkan proses komunikasi yang maksimal. Dalam perspektif filsafat dan komunikasi, simbol digunakan untuk melakukan pemaknaan mendalam melalui refleksi simbolik.
Definisi khusus tentang komunikasi berdasarkan perspektif matematis dan filosofis lebih dititikberatkan pada masalah sejauh mana pemahaman mendalam reflektif dan ukuran akurasi informasi membentuk komunikasi sebagai aktivitas sosial dan berdimensi intensional. Relasi sosial tentunya akan dipengaruhi sejauh mana seseorang mampu mereduksi ketidakpastian kepada yang lain sehingga membentuk relasi yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah bagaimana cara berkomunikasi dengan yang lain. Tentunya relasi sosial yang mengandaikan tindakan komunikasi yang tepat merujuk bahwa komunikasi selalu bersifat intensional (sadar dan terarah). Sebaliknya, ketika proses komunikasi dilakukan secara tepat, akurat dan jelas maka akan mempengaruhi sejauh mana seseorang secara tepat, akurat dan jelas menentukan sikap sosial (Miller, 2005: 7). Demikian juga halnya, pemahaman yang mendalam atas sebuah realitas akan menentukan bagaimana proses produksi pesan dan pemaknaan pesan bisa dilakukan secara optimal (Miller, 2005:7). Sebaliknya pesan optimal yang jelas akan menentukan pemahaman mendalam atas realitas (perspektif filsafat)
d. Implikasi Telaah Komparasi pada Domain Konseptual Ilmu Komunikasi
Pada bagian-bagian sebelumnya, kita bisa melihat pemaparan komparasi antara filsafat, matematika dan komunikasi. Telah dipahami bersama bahwa perspektif matematika dan perspektif filsafat mempunyai kesamaan dalam melihat proses pemahaman atas realitas (dalam hal ini proses komunikasi berikut gejala-gejalannya), yaitu bahwa kedua perspektif tersebut berusaha melihat proses pemahaman secara menyeluruh sehingga sebuah realitas dapat diambil maknanya.
Dalam kajian ilmu komunikasi pun ketika dihadapkan pada perspektif matematika dan filsafat maka domain konseptual yang terjadi berkembang dalam konteks yang lebih terinci. Terdapat 2 domain utama yang berkembang dalam teori komunikasi terutama yang berkait dengan perspektif matematika dan filsafat. Dua domain utama tersebut adalah domain konsep komunikasi sebagai model transmisi komunikasi dan model konstitutif komunikasi. Craig menyatakan bahwa model transmisi komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan atau proses transfer informasi dari satu ke yang lain. Model konstitutif komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan unsur konstitutif atau mendasar dari sebuah proses sosial itu sendiri. Dalam tataran tertentu perspektif matematika akan banyak berbicara pada domain model transmisi komunikasi. Tuntutan ketepatan informasi, akurasi dan kapabilitas media komunikasi merupakan karakter utama dari proses transmisi komunikasi. Sementara itu perspektif komunikasi banyak lebih berbicara dalam domain komunikasi: model konstitutif komunikasi. Ketika filsafat ingin membawa pada refleksi mendalam dan realitas itu adalah tindakan manusia di mana salah satunya adalah komunikasi maka komunikasi merupakan unsur konstitutif dari manusia itu sendiri. Tapi dengan melihat kompleksitas dan perkembangan ilmu komunikasi maka pembatasan yang jelas antar perspektif baik itu matematis maupun filosofis menjadi tidak ketat.
Dalam ilmu komunikasi, penelitian terhadap gejala-gejala atau realitas komunikasi telah berkembang sejak lama sehingga dalam ilmu komunikasi dikenal tradisi-tradisi yang unik. Robert Craig, telah memetakan tujuh (7) bidang tradisi dalam teori komunikasi yang disebut sebagai 7 tradisi (dalam Griffin 2000:22-35 dan Miller, 2005:13), yakni :
1. Tradisi Retorika (komunikasi sebagai ilmu bicara yang sarat seni)
Perspektif teoretis komunikasi dalam tradisi ini menyatakan seni praktikal dari wacana yang berkembang. Problem tradisi ini terletak pada eksigensi sosial mengandaikan pertimbangan dan penilaian kolektif. Keistimewaan yang mencirikan tradisi ini adalah bahwa keyakinan bahwa berbicara membedakan manusia dari binatang. Ada kepercayaan bahwa pidato publik yang disampaikan dalam forum demokrasi adalah cara yang lebih efektif untuk memecahkan masalah politik. Retorika merupakan sebuah strategi di mana seorang pembicara mencoba mempengaruhi seorang audiens dari sekian banyak audiens melalui pidato yang jelas-jelas bersifat persuasif. Public speaking pada dasarnya merupakan komunikasi satu arah. Pengertian Retorika lebih merujuk kepada seni bicara daripada ilmu berbicara.
2. Tradisi semiotic (komunikasi sebagai proses membagi makna melalui tanda)
Perspektif utama teoritis tradisi ini terletak adanya mediasi intersubjektif melalui tanda-tanda yang dibuat. Permasalahan teoritisnya terletak pada kemungkinan adanya misunderstanding atau gap di antara cara pandang subjektif para pelaku komunikasi. Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Sebuah tanda adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tradisi ini lebih memusatkan pada perhatian lambang-lambang dan simbol-simbol, dan memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk membawa makna-makna tertentu kepada khalayak. Sehingga dalam tradisi ini memungkinkan bahwa individu-individu akan memaknai tanda-tanda secara beragam.
3. Tradisi Fenomenologi (Komunikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog)
Perspektif teoritis tradisi ini adalah dialog atau kebersamaan dengan yang lain. Problematika teoritisnya terletak pada ketidakhadiran dan masalah otentisitas relasi antar manusia. Meski fenomenologi adalah sebuah filosofi yang mengagumkan, pada dasarnya menunjukkan analisis terhadap kehidupan sehari-hari. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Bagi seorang fenomenologis, cerita kehidupan seseorang lebih penting daripada axioma-axioma komunikasi. Seorang psikologis, Carl Rogers percaya bahwa kesehatan kliennya akan pulih ketika komunikasinya menciptakanlingkungan yang nyaman baginya untuk berbincang. Dia menggambarkan tiga kondisi yang penting dan kondusif bagi perubahan suatu hubungan dan kepribadian, yakni: kecocokan/kesesuaian, hal positif yang tidak bersyarat, pemahaman empatik.
4. Tradisi Cybernetic (komunikasi sebagai pemrosesan informasi)
Perspektif dasar tradisi ini adalah proses informasi. Hanya memang ada beberapa masalah teoritis yang muncul dalam tradisi ini, yaitu noise, overload information, kerusakan dalam sistem komunikasi. Ide komunikasi sebagai pemrosesan informasi pertama kali dikemukakan oleh ahli matematika, Claude Shannon. Karyanya, The Mathematical Theory Communication yang diterima secara luas sebagai salah satu benih studi komunikasi. Teori ini memandang komunikasi sebagai transmisi pesan. Karyanya berkembang selama Perang Dunia kedua di Bell Telephone Laboratories di AS. Eksperimennya dilakukan pada saluran kabel telepon dan gelombang radio bekerja dalam menyampaikan pesan. Meski eksperimennya sangat berkaitan dengan masalah eksakta, tapi Warren Weaver mengklaim bahwa teori tersebut bisa diterapkan secara luas terhadap semua pertanyaan tentang komunikasi insani (human communication). Jadi dalam tradisi ini konsep-konsep penting yang dikaji antara lain pengirim, penerima, informasi, umpan balik, redundancy, dan sistem.
5. Tradisi Sosio-Psikologi (komunikasi merupakan pengaruh antarpribadi)
Konsep pokok dalam tradisi ini adalah ekspresi, interaksi dan pengaruh. Sementara itu, permasalahan yang timbul di dalam tradisi ini adalah situasi yang menuntuk manipulasi hubungan sebab akibat dari perilaku untuk mencapai hasil yang diinginkan. Penganut tradisi ini percaya bahwa kebenaran komunikasi bisa ditemukan melalui pengamatan yang teliti dan sistematis. Tradisi ini mencari hubungan sebab-akibat yang dapat memprediksi kapan sebuah perilaku komunikasi akan berhasil dan kapan akan gagal. Adapun indikator keberhasilan dan kegagalan komunikasi terletak pada ada tidaknya perubahan yang terjadi pada pelaku komunikasi. Semua itu dapat diketahui melalui serangkaian eksperimen. Jadi perhatian penting dalam tradisi ini antara lain perihal pernyataan, pendapat(opini), sikap, persepsi, kognisi, interaksi dan efek (pengaruh).
6. Tradisi Socio Kultural (Komunikasi sebagai penciptaan dan pembuatan realitas sosial)
Premis tradisi ini adalah ketika orang berbicara, mereka sesungguhnya sedang memproduksi dan memproduksi kembali budaya. Sebagian besar dari kita beranggapan bahwa kata-kata mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi. Pandangan kita tentang realitas dibentuk oleh bahasa yang telah kita gunakan sejak lahir. Ahli bahasa Universitas Chicago, Edwar Sapir dan Benyamin Lee Whorf adalah pelopor tradisi sosio kultural. Hipotesis yang diusungnya adalah struktur bahasa suatu budaya menentukan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan realitas tanpa menggunakan bahasa, dan bahwa bahasa hanya semata-mata digunakan untuk mengatasi persoalan komunikasi atau refleksi tertentu.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa proses berpikir kita dan cara kita memandang dunia dibentuk oleh struktur gramatika dari bahasa yang kita gunakan. Secara fungsional, bahasa adalah alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared), karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Bahasa diungkapkan dengan kata-kata dan kata-kata tersebut sering diberi arti arbiter (semaunya). Contoh; terhadap buah pisang, orang sunda menyebutnya cau dan orang jawa menyebutnya gedang. Secara formal, bahasa adalah semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan bahasa. Setiap bahasa dapat dikatakan mempunyai tata bahasa/ grammarnya tersendiri. Contoh: sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbunyi di mana saya dapat menukar uang ini?, maka akan ditulis dalam bahasa Inggris where can I Change some money?
7. Tradisi Kritis (komunikasi adalah refleksi penolakan terhadap wacana yang tidak adil).
Tiga asumsi dasar tradisi kritis: Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usahanya mengungkap struktur-struktur yang seringkali tersembunyi.
Istilah teori kritis berasal dari kelompok ilmuwan Jerman yang dikenal dengan sebutan Frankfurt School. Para teoritisinya mengadopsi pemikiran Marxis. Kelompok ini telah mengembangkan suatu kritik sosial umum, di mana komunikasi menjadi titik sentral dalam prinsip-prinsipnya. Sistem komunikasi massa merupakan focus yang sangat penting di dalamnya. Tokoh-tokoh pelopornya adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno serta Herbert Marcuse. Pemikirannya disebut dengan teori kritis. Ketika bangkitnya Nazi di Jerman, mereka berimigrasi ke Amerika. Di sana mereka menaruh perhatian besar pada komunikasi massa dan media sebagai struktur penindas dalam masyarakat kapitalistik, khususnya struktur di Amerika.
Teori kritis menganggap tugasnya adalah mengungkap kekuatan-kekuatan penindas dalam masyarakat melalui analisis dialektika. Teori kritis juga memberikan perhatian yang sangat besar pada alat-alat komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi merupakan suatu hasil dari tekanan antara kreativitas individu dalam memberi kerangka pesan dan kendala-kendala sosial terhadap kreativitas tersebut. Salah satu kendala utama pada ekspresi individu adalah bahasa itu sendiri. Kelas-kelas dominan dalam masyarakat menciptakan suatu bahasaa penindasan dan pengekangan, yang membuat kelas pekerja menjadi sangat sulit untuk memahami situasi mereka dan untuk keluar dari situasi tersebut. Kewajiban dari teori kritis adalah menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang memungkinkan diruntuhkannya paradigma dominan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas, tokoh terkemuka kelompok Franfurt School di era berikutnya.
Beberapa tradisi di atas dinyatakan untuk melihat sejauh mana tradisi tersebut memuat beberapa karakteristik utama dalam proses komunikasi. Permasalahannya adalah bahwa komunikasi tidak hanya difragmentasikan dalam beberapa disiplin ilmu dan perspektif tapi juga dikarakterisasikan dengan level yang tinggi dari studi multidisipliner apalagi ketika studi multidisipliner tersebut ditinjau dalam beberapa asosiasi profesional. Pada bagian atau isu ini lebih didasarkan pada masalah bagaimana konteks-konteks perkembangan teknologi komunikasi, fokus penelitian dalam ilmu komunikasi tambah berkembang pesat (Miller, 2005: 14-16).
e. Implikasi Perspektif Filsafat dan Matematika dalam Kajian Pemaknaan dan Interaksi dalam Komunikasi
Bagian pertama, penulis ingin menguraikan sejauh mana pengaruh perspektif matematika dalam proses interaksi dan pemaknaan komunikasi. Perspektif matematika adalah perspektif presisi dan ukuran. Dalam konteks pemaknaan dan interaksi komunikasi maka dapat dikatakan bahwa matematika membantu proses komunikasi secara optimal.
Hal pertama yang perlu dibicarakan adalah bahwa pemaknaan dalam konteks komunikasi merupakan konsep yang abstrak. Kata makna dalam komunikasi berhubungan dengan konsep komunikasi itu sendiri. Karakteristik utama makna dalam proses pemaknaan adalah kebersamaan.Makna dalam konsep komunikasi mencakup lebih daripada penafsiran atau pemahaman individu. Makna mencakup banyak pemahaman. Aspek kebersamaan dan pemahaman inilah yang menyatakan bhwa makna berhubungan dengan masalah communality of meaning. Dalam proses kebersamaan atau in common, penting untuk mendapatkan informasi yang jelas agar pesan yang ditangkap ditafsirkan sama. Berarti, pesan harus sampai tanpa harus dihalangi oleh beberapa hambatan. Entropi dalam informasi harus minimal. Kita perlu berasumsi bahwa semua tujuan komunikasi adalah mengatasi ketidakpastian (uncertainty). Teori yang dikembangkan Shannon dan Weaver menyederhanakan persoalan komunikasi ini dengan memakai pemikiran-pemikiran probabilitas (kemungkinan).
Jika kita melakukan undian dengan melempar sebuah uang logam, hasil undian itu dianggap bernilai satu bit informasi karena mengandung dua kemungkinan dan setiap kemungkinan mengandung nilai 0,5 alias sama besar dari segi kesempatan undian. Dari pemikiran dasar yang sederhana ini, Shannon dan Weaver menyatakan bahwa semua sumber informasi bersifat stochastic alias probabilistik (bersifat kemungkinan). Jika kemungkinan tersebut bersifat tidak mudah diduga, maka derajat ketidakmudahan ini disebut sebagai entropy.
Melalui pernyataan-pernyataan matematis, Shannon (dan lalu juga Weaver) menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi, yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal, dalam sebuah proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding.
Teori informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian, atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal tertentu.
Keunggulan teori Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Kritik terhadap teori mereka datang dari kaum yang mencoba mengaitkan informasi dengan makna dan kandungan nilai sosial-budaya di dalam informasi. Sampai sekarang, perdebatan tentang apakah informasi adalah sesuatu yang kuantitatif atau kualitatif masih terus berlangsung. Ada yang mencoba mengambil kebaikan dari kedua pihak dengan mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang berwujud dan sekaligus bersifat abstrak.
Hal kedua yang perlu didiskusikan adalah masalah interaksi dalam perspektif matematika adalah komunikasi yang terukur dan pasti melibatkan rangkaian interaksi antar subjek yang terkandung dalam proses tersebut. Perspektif matematika merujuk bahwa proses interaksi sosial berangkat dari kejelasan dan akurasi informasi sosial di mana setiap individu saling berinteraksi satu sama lain.
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan. Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial.
Bagian kedua bagian ini akan lebih membahas bagaimana perspektif filsafat berpengaruh pada kajian pemaknaan dan interaksi komunikatif. mempunyai hubungan yang erat dengan komunikasi baik secara praktek maupun komunikasi sebagai disiplin ilmu. Sumbangan filsafat untuk komunikasi adalah dalam logika. Aristoteles menyatakan bahwa roh utama dari retorika adalah logika. Logika adalah prinsip penalaran manusia. Logika diekspresikan melalui retorika (Craig, 1999).
Pada sisi lain, filsafat memberikan pendasaran filosofis kepada komunikasi sebagai sebuah ilmu. Pendasaran ilmiah dan rasional melalui ontologi, epistemologi dan aksiologi memberikan arah dalam perkembangan komunikasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, beberapa aliran pokok filsafat analitik (filsafat yang lebih berhubungan dengan logika bahasa) memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu komunikasi. Filsafat analitik sendiri berangkat dari asumsi-asumsi fenomenologi, hermeneutika, filsafat eksistensialisme. Analisis bahasa dan beberapa tradisi pokok dalam ilmu komunikasi berangkat dari tradisi filsafat idealisme, fenomenologi, hermeneutika. Kalau melihat model tradisi komunikasi yang ditawarkan oleh Robert Craig maka setidaknya ada empat tradisi yang mempunyai akar dari filsafat, yaitu retorika, fenomenologi, semiotika dan kritis (Griffin, 2000; Littlejohn, 2008).
Kajian pemaknaan dalam perspektif filsafat tidak bisa dipisahkan dengan tradisi filsafat yang bersumber dari semiotika dan hermeneutika. Pemaknaan tidak bisa dipisahkan dengan masalah penafsiran. Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Hermeneutika kritis di sisi lain menawarkan pengungkapan kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas.
Kajian interaksi yang mempunyai akar filsafat lebih banyak disandarkan pada kajian fenomenologi yang dikembangkan dalam tradisi interaksionisme simbolik dan menyatakan adanya kebersamaan yang diandaikan dalam praktik komunikasi (Griffin, 2000).
f. Eksplorasi Teori Komunikasi tentang Interaksi dan Pemaknaan (keterkaitan dengan perspektif matematika dan filsafat)
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa teori besar yang merujuk pada kajian interaksi dan pemaknaan (berikut keterkaitannya dengan matematika dan filsafat)
1. Teori Informasi
Pendekatan matematis dan mekanistis tentang komunikasi menyandang nama teori informasi., yang secara filosofis berasal daru Norbert Wiener dan secara sibernetis dan statis dari teori kounikasi yang matematis dari Shannon dan Weaver (1949). Meskipun filsafat mekanistis teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan di antara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Bahan adukan beton yang mengikat sistem fisik menjadi kesatuan adalah energi; bagi sistem sosial maka informasi merupakan energi. Hubungan-hubungan struktural dan fungsional di antara komponen-komponen menyatakan adanya informasi. Apabila komunikasi terjadi dalam sistem sosial, maka individu terlibat dalam pengolahan informasi. Prasyarat bagi pembahasan komunikasi secara pragmatis adalah adanya pemahaman menyeluruh tentang hakikat informasi itu. Teori informasi memberikan salah satu cara untuk memperoleh pemahaman itu.
Informasi ini dengan segala sifat dan bentuknya memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia di luar dirinya. Lebih dari itu, melalui informasi juga memungkinkan terjalinnya hubungan antara berbagai sistem dengan sistem lainnya, atau antara sistem dan subsistem dalam konteks sosial. Beberapa pandangan (persepsi) pokok mengenai teori informasi:
Pilihan dan Ketidakpastian
Informasi menurut teori informasi eksis dalam bentuk jumlah. Manusia dalam teori ini dipandang aktif dalam sistem sosial. Aktif dalam arti bahwa manusia sebagai unsur dalam sistem sosial berperan secara aktif melakukan pilihan-pilihan dari populasi selama interaksi sosial berlangsung. Memilih adalah salah satu karakteristik yang memisahkan manusia sebagai suatu spesies yang unik di antara dunia hewan. Manusia melakukan pemilihan terhadap populasi informasi yang eksis secara kuantitatif itu. Tujuan pilihan ini adalah mengurangi jumlah ketidakpastian. Proses mencari dan menggunakan informasi untuk mengurangi ketidakpastian merupakan karakteristik komunikasi manusia yang alamiah, tidak terelakkan meskipun tidak dijalankan secara sadar.
Redudansi dan Kendala
Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga prilaku pengolahan-informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Apabila urutan perilaku atau peristiwa tertentu terjadi berulangkali, maka urutan itu dapat dikatakan memerlihatkan keteraturan kejadian pada tingkat atau probabilitas tertentu. Apabila tingkat urutan itu mencapai probabilitas yang cukup, kita dapat dapat membedakan urutan itu sebagai suatu pola yang dapat dikenal. Teori informasi memandang bahwa makin redudan suatu urutan peristiwa, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung peristiwa itu.
Perspektif pragmatik tidak memandang perilaku manusia sebagai produk atau efek tindakan komunikatif, melainkan sama. Pandang inilah juga yang menyebabkan adanya diskrepansi (kesenjangan) antara perpspektif psikologis dan perspektif pragmatisme. Titik pandang yang menimbulkan kesenjangan adalah kesenjangan antara sikap dan perilaku individu dalam komunikasi manusia. Tetapi hal ini tidak ditemukan di dalam perspektif pragmatik karena memang perspektif ini hanya berfokus pada sistem sosial. Fokus perspektif pragmatik tidak terjun ke hirarki terbawah dan melakukan penelitian mikroskops; yakni, fokusnya tidak pada individu sebagai perorangan akan tetapi pada sistem sosialnya\minimal terdiri dari dua orang atau lebih. Dengan memusatkan perhatian pada tingkat sistem sosial, maka sub-sistem yang terkecil adalah individu. Namun demikian bahwa sikap dan perilaku merupakan subsistem individu itu sendiri, tetap saja perspektif pragmatik tidak berfokus ke sana.
Berikut akan kita lihat bagaimana teori sistem umum dan teori informasi bekerja secara konseptual dalam penelitian ilmu komunikasi. Karena perspektif pragmatis memandang komunikasi manusia sebagai sistem yang memerlukan eksistensi sistem sosial yang di dalamnya teradi komunikasi manusia, maka persepsi kita tentang komunikasi betul-betul fokus hanya pada aktivitas komunikasi manusia. Konseptualisasinya adalah komunikasi sebagai aktivitas manusia.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa komunikasi berbeda dengan piranti keras komunikasi seperti alat telekomunikasi atau media massa. Yang disebut terakhir ini hanya instrumen komunikasi manusia dan bukan merupakan bagian integral studi komunikasi manusia. Jadi, aktivitas manusialah yang memiliki peran aktif dalam sistem sosial, bukan alat-alat komunikasi itu. Hal ini berarti bahwa dalam sistem sosial itu, konseptualisasi komunikasi memusatkan perhatian pada pengolahan informasi pada tingkat sistem dan tidak pada subsistem (individu).
Selain konseptualisasi komunikasi manusia secara sistem sosial, koseptualisasi itu juga berlangsung secara perilaku (perilaku yang bukan subsistem individu). Fokusnya adalah organisasi hirarki sistem memainkan peranan. Terdapat tiga tingkatan sistemik dalam hal ini, yakni subsistem, sistem, dan suprasistem.
Yang terakhir dari konseptualisasi ini adalah pola-pola interaksi yang berurutan. Urutan aktivitas komunikasi manusia (antara partisipan) menunjukkan pengelompokan unsur-unsur ke dalam pola yang telah dikenal atau dapat dikenal. Tanpa adanya pola itu, struktur interaksi tidak dapat dikenal.
2. Teori Pemaknaan Gadamer
Teori hermeneutika ini dikembangkan oleh Hans Georg Gadamer ( Littlejohn, 2008: 135-136). Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks. Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika.
Daftar Pustaka
Bertens, Kees, 1990, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:Penerbit Kanisius
Ewing, AC, 2003. Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miller, Katherine. 2005. Communication Theories: Perspectives, Processes And Contexts. Chicago:McGraw Hill.
Griffin, EM. 2000. A First Look at Communication Theory. Chicago:McGraw Hill
Littlejohn. S,. 2008. Theories of Human Communication. New York:Thomson
Shannon and Weaver, 1949. The Mathematical Theory of Communication. Urbana:The University of Illinois Press
Rogers, Everett, 1997. A History of Communication Study. New York:The Free Press
Fisher, Aubrey, 1978, Perspectives on Human Communication. Boston:McGraw Hill
Craig, Robert, 2007. Theorizing Communication. London:Sage Publication
Schramm, Wilbur, Ferment in The Field. Journal of Communication volume 33 Number 3.