Friday, September 26, 2008

Media Massa dan Genre Iklan Politik

Iklan politik semakin banyak menghiasi media massa kita. Perang iklan pun sudah dan sedang terjadi. Umumnya iklan dimaksud diisi oleh partai-partai politik, kandidat bakal calon presiden, dan para calon legislatif. Model dan modusnya pun bervariasi. Tetapi kebanyakan bermuatan sebatas pencitraan diri agar dipilih dan didukung rakyat pada saat pemilu nanti.
Hal itu terlihat dari isi iklan. Partai pemerintah dengan gagah menyodorkan keberhasilan pemerintah sebagai wajah dari iklan politiknya. Sementara partai-partai oposisi tampil dengan cemohan atas serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai kurang pro rakyat. Di lain pihak, ada juga model iklan yang juga menampilkan sosok pahlawan yang kadar kepahlawanannya masih diperdebatkan oleh publik. Materi iklan pun menjadi pergunjingan politik. Iklan yang pada dasarnya ditujukan untuk menambahkan rasa simpatik dari masyarakat pemilih, justru menabur sinisme.
Memang iklan punya cara pandang dan pendekatan tersendiri. Dan cara pandang itu hanya dimiliki oleh sipembuatnya. Namun jangan lupa ketika iklan sudah ditawarkan ke publik, sejatinya sudah menjadi milik publik. Rakyat pun bebas menyampaikan pujian dan juga kritik kepadanya. Umpan balik berupa kecintaan serta kebencian bisa saja terjadi dalam ranah yang sama. Iklan yang baik terlihat dari apakah pesan yang disampaikan olehnya tersampaikan dengan lugas dan jelas.
Dalam kaca mata komunikasi politik, iklan adalah suatu cara untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran kepada masyarakat. Maka iklan politik semestinya berisi visi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat yang jika dipilih dan dipercaya untuk mengemban amanah dan kekuasaan, akan dijalankan dengan baik. Dari serangkaian iklan politik tersebut, satu hal yang kita catat bahwa muatannya belum memiliki substansi yang jelas, selain “memaksakan” kehendak. Padahal, iklan tersebut diharapkan sebagai wahana pendidikan politik dengan menyodorkan serangkai pedoman kebijakan. Bukan sekedar slogan dan pernyataan serampangan semata. Iklan semestinya mencerdaskan dan mengundang rasa simpatik.
Iklan tentu saja dibutuhkan sebagai media komunikasi antara partai dengan rakyat. Iklan merupakan bahagian dari kampanye. Namun iklan dimaksud hendaknya ditata dengan bijak, terkait dengan visi dan misi partai berikut kandidatnya. Sebab siapa yang memiliki visi yang jelas, serta dibarengi dengan program-program yang rasional akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Berdasarkan data dari AC Nielsen yang diliris Media Indonesia (1/12/2008) tentang pengeluaran partai politik untuk iklan dapat disimpulkan, iklan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan dukungan terhadap partai politik. Sebagai catatan, iklan politik tidak selalu berhasil meningkatkan dukungan terhadap suatu partai. Contohnya, PAN, pada Mei dan Juni, gagal mendongkrak dukungan. Hasil survei LSI, April-Juni 2008 dukungan terhadap PAN hanya naik dari 4,0 persen menjadi 4.5 persen.
Yang menarik diperhatikan adalah pengeluaran iklan Gerindra dan PD. Pada Juni lalu, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar. Peningkatan pengeluaran iklan ini ternyata diikuti peningkatan popularitas dan dukungan yang memuaskan.
Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November. Hasil survei Cirus Surveyors Group pada November menunjukkan, dukungan terhadap Gerindra meningkat jika dibandingkan Juni lalu, menjadi sekitar 5,5 persen. Jadi, ada korelasi antara perolehan dukungan Gerindra dan pengeluaran iklan. Begitu juga dengan PD. Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September).
Berdasarkan survei LSI, sejak Pemilu 2004, dukungan terhadap PD mencapai titik terendah pada April dan Juni 2008, yaitu di kisaran 9,0 persen. Namun, dari Juni hingga September 2008, dukungan terhadap PD meningkat menjadi 12 persen. Ini sejalan meningkatnya pengeluaran iklan PD pada Agustus dan September. Dukungan terhadap PD kembali meningkat dan berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah pengeluaran iklan PD pada bulan Oktober.
Data di atas adalah data kuantitatif belanja iklan di media yang berkorelasi dengan dukungan publik. Sementara dalam hal isi maka dapat dipaparkan sebagai berikut: Pada pandangan awam, audiens akan berpendapat bahwa visi calon presiden pada film iklan adalah realitas dasar dari apa yang berada di benak komunikator. Namun, di sisi yang lain fenomena komunikasi seperti ini menyisakan pertanyaan pada aspek pencitraan realitas yang tersimulasi. Sebab, ketika film iklan itu menjadi wacana dari keseharian publik di depan televisi dan ditayangkan berulang-ulang kali, maka ia membantu membentuk simulasi atas realitas substansinya. Penonton tidak pernah merasakan secara langsung apakah memang benar calon presiden tersebut melakukan seperti hal yang ditunjukkan tersebut. Dan ketika penonton tidak mampu menikmati itu sebagai objek langsung, maka film iklan dan televisi membuatnya bisa dinikmati oleh jutaan penonton pada saat yang bersamaan, sebab ia disimulasikan (Lee Kaid, 2004)
Apa yang terjadi adalah penciptaan ‘realitas’ atau agenda setting baru, di mana seolah-olah ia hadir sebagai realitas yang benar-benar real. Ada kesan ketergesaan atas eksistensi seseorang di antara orang lain yang hendak membawa perubahan yang benar-benar nyata.
Sebagian besar isi pesan dari tema iklan politik menyangkut aspek-aspek kemiskinan, pengangguran, daya beli rakyat, kebutuhan pokok rakyat luas, keadilan hukum, keamanan, dan kesatuan-persatuan bangsa. Sementara pada sisi program, tema utama iklan juga cenderung bervariasi. Ada yang berjanji untuk mengembangkan rasa cinta pada produk sendiri, membela petani, penyediaan lapangan kerja, harga bahan pokok yang murah (Cakram, edisi 2008).
Bagaimana dengan tampilan atau kemasan iklan? Berbeda dengan isi tema dan program yang sifatnya relatif masih umum dan penuh janji, tampilan atau kemasan iklan cukup beragam. Begitu pula frekuensinya. Ada yang menampilkan hampir setiap hari dan ada juga yang seminggu sekalipun tidak. Tetapi waktu tayangan hampir semuanya sama yakni ketika waktu prima dimana hampir semua segmen pemirsa menonton televisi. Terbanyak ditayangkan ketika momen laporan berita dan hiburan. Tampilannya, mulai dari yang penuh warna, eksotis, dan gegap gempita sampai ke yang sangat moderat dan warna yang pucat pasi. Ada yang tidak jelas isi pesannya, monoton, kurang greget, serta jauh dari eksotik apalagi estetika.
Yang jelas periklanan politik menjelang pemilu 2009 jauh lebih semarak daripada pemilu tahun 2004, jika ingin dibandingkan. Suasana kompetisi untuk merebut pemilih semakin tinggi intensitasnya. Semua penuh dengan janji warna-warni. Program-program ditawarkan untuk membangun bangsa ini. Namun pertanyaannya apakah sudah dipikirkan dan disiapkan strategi dan taktik pencapaiannya? Bagaimana menggalang dana pembangunan untuk itu? Bagaimana strategi kebijakan moneter dan fiskalnya? Bagaimana dalam waktu relatif singkat ini mereka menyiapkan pilihan konsep mengatasi akibat krisis finansial global terhadap perekonomian rakyat? Ternyata tak satu pun partai yang beriklan menawarkannya secara utuh.

No comments:

 This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here