Akhir dekade '80-an, contohnya, reformasi politik di Rusia dan Eropa Timur yang digerakkan oleh klaim-klaim keberlakuan universal dari rasionalitas dan moralitas sejumlah metanarasi proyek pencerahan (yang memuat ide-ide demokrasi, hak-hak asasi, kebebasan, dan keadilan), harus menerima kenyataan adanya berbagai keyakinan, ide, visi, dan tingkah laku regresif yang menyelinap sebagai free riders dalam proses reformasi di kawasan itu. Elemen-elemen regresif tersebut-yang dipenuhi oleh irasionalitas klaim-klaim primordial dan lokal, dan yang seharusnya telah lama terkubur dalam sejarah hitam peradaban manusia-bisa diamati melalui sejumlah fenomena. Satu di antaranya adalah munculnya konflik berdarah di Rusia dan Yugoslaviadi mana manusia membunuh sesamanya hanya karena perbedaan ciri-ciri etnik, ras, atau agama. Kemudian bisa juga diamati dari kembalinya neo-Nazisme di Jerman dan Austria yang meyakini mitos superioritas ras "Arya" dan memandang manusia ras lain sebagai sub-human, ataupun lahirnya kelompok ultrakanan Vladimir Zhirinovsky yang berusaha menghidupkan kemaharajaan Rusia.
Dalam bobot yang tidak jauh berbeda, proses-proses yang berlangsung selama reformasi politik di negeri kami pun juga telah menciptakan peluang bagi terbukanya kotak Pandora, memunculkan kembali beragam keyakinan, ide serta tingkah laku yang justru bertentangan dengan hakikat rasionalitas dan moralitas dilakukannya reformasi itu sendiri. Reformasi politik untuk mengakhiri tirani kekuasaan rezim Orde Baru, demi terciptanya kehidupan politik yang lebih demokratis berdasarkan mayoritas pendapat yang dihasilkan melalui pertukaran opini secara rasional, ternyata telah dibayangi oleh tendensi munculnya democrazy yang lebih didasarkan atas kemampuan unjuk kekuatan massa (secara fisik), melalui agitasi dan pemanfaatan irasionalitas simbol-simbol dan sentimen-sentimen tertentu yang masih bisa digali dan dieksploitasi dari budaya masyarakat kita.
Fenomena reformasi politik di Tanah Air, seperti halnya di Eropa Timur, merupakan kasus di mana peluang demokratisasi justru tercipta oleh keruntuhan ekonomi-berlawanan dengan tesis bahwa demokratisasi politik merupakan produk pertumbuhan ekonomi kapitalis, melalui penciptaan kelas menengah independen. Masalah yang kemudianmuncul adalah bagaimana dalam kondisi ekonomi yang buruk, proses demokratisasi bisa berjalan mulus tanpa harus membuka kotak Pandora yang penuh berisi sentimen primordial dan irasionalitas politik.
Robohnya rasionalitas politik jelas terlihat melalui berbagai tingkah laku politik kelompok elite ataupun
Irasionalitas, dengan demikian, bisa muncul di tiap bagian yang ada dalam mata-rantai antara tujuan tindakan - keyakinan - keinginan - dan bukti serta argumen. Dalam kasus Maluku, contohnya, tindakan kekerasan serta unjuk kekuatan yang dilakukan, jelas bukan merupakan pilihan terbaik untuk mencapai tujuan politik tiap kelompok yang terlibat dan menginginkan penyelesaian; semua tindak kekerasan serta unjuk kekuatan ternyata hanya membuat masalah semakin berlarut-larut serta merugikan semua pihak. Tindakan politik itu pun lebih didorong oleh keinginan untuk meniadakan kelompok lain atau balas dendam. Lebih jauh, keinginan seperti itu juga banyak didasarkan keyakinan atau konsepsi tentang realitas politik yang tidak tepat, yang terbentuk oleh sentimen primordial, argumen-argumen tidak logis, bukti-bukti tidak memadai, yang diperoleh secara selektif, hasil manipulasi informasi atau sekadar rumor. Kesemuanya bahkan mungkin hanya didasarkan pada dikotomi artifisial tentang "kita" dan "mereka", ataupun stereotipe dan prasangka negatif tentang kelompok lain.
Irasionalitas politik serupa juga bisa diamati dalam berbagai tindakan politik yang dilakukan elite ataupun massa dalam berbagai proses politik selama era reformasi, dari pembentukan platform partai, penyelenggaraan kampanye politik, pemilihan partai dan pimpinan politik, hingga penyelesaian berbagai masalah politik yang terjadi di Tanah Air.
Irasionalitas politik bisa pula muncul sebagai apa yang disebut the weakness of will ataupun the excess of will (Elster, 1991). Yang pertama merujuk pada kondisi di mana tindakan politik yang dilakukan bertentangan dengan pilihan tindakan politik terbaik yang secara rasional harus dilakukan; itu antara lain disebabkan oleh faktor ketidakmampuan menahan keinginan untuk melakukan tindakan atas dasar solidaritas primordial semata-mata. Sementara the excess of will bisa mengambil contoh di mana tindakan untuk turut memperjuangkan reformasi bukan mengarah pada tujuan demi terciptanya kehidupan politik yang lebih demokratis, melainkan justru terutama sekali untuk menciptakan peluang bagi muncul dan berkuasanya suatu partai atau kelompok politik pembawa visi serta ideologi totaliter tertentu (yang mungkin tidak kalah represifnya dibanding yang dimiliki rezim penguasa sasaran reformasi itu sendiri).
Moralitas dan pers
Rasionalitas politik, bagaimanapun, bukanlah satu-satunya isu pokok. Sebab, rasionalitas politik bisa ditampilkan untuk tujuan-tujuan penindasan dan dominasi politik. Semua tindakan irasional yang dilakukan masyarakat dalam konflik berdarah di Maluku, contohnya, bisa merupakan bagian suatu desain akbar tindakan rasional kelompok elite politik tertentu untuk pencapaian tujuan-tujuan politik mereka-yang bertentangan dengan nilai-nilai universal etika dan moralitas politik-dengan memanfaatkan irasionalitas serta sentimen-sentimen primordial yang masih bisa digali dari budaya masyarakat.
Rasionalitas politik hanya menunjukkan apa yang harus dilakukan agar secara optimal bisa mencapai suatu tujuan politik, tanpa sedikit pun mengatakan tujuan apa yang sebaiknya harus dicapai. Rasionalitas politik seperti itu lebih mewakili suatu instrumental rationality, atau formal rationality, yang didasarkan atas pragmatisme kalkulasi rasional untuk tujuan-tujuan efisiensi dan maksimalisasi kekuasaan politik.
Dalam konteks rasionalitas instrumental, maka nilai-nilai humanisme substansif-yang berlaku lintas etnis, agama dan ras, seperti keadilan sosial, hak-hak asasi manusia, serta perikemanusiaan yang adil dan beradab-bisa menjadi sekadar nilai instrumental, yang dipegang hanya sejauh masih bisa berfungsi sebagai instrumen pencapaian tujuan maksimalisasi kekuasaan politik tertentu.
Di lain pihak, reformasi-reformasi politik besar yang berlangsung sejak beberapa abad lalu, tidaklah semata-mata digerakkan oleh rasionalitas politik, tetapi didasarkan pula atas elemen-elemen non-rational yang berkaitan dengan etika dan moralitas politik tertentu. Lahirnya negara kesejahteraan (welfare state), contohnya, tidaklah dihasilkan melalui gerakan sosial yang semata-mata didasarkan atas kekuatan rasionalitas politik belaka, melainkan juga oleh adanya moral resources, berupa komitmen terhadap nilai-nilai keadilan sosial yang berlaku untuk semua kelompok etnik, ras, agama, dan sosial-politik.
Karena itu, sebenarnya yang diperlukan adalah suatu rasionalitas politik yang memuat elemen-elemen nonrasional, berupa nilai-nilai etika dan moralitas politik yang berlaku universal, yang kesemuanya ditempatkan sebagai bagian dari cara (means) sekaligus sebagai tujuan akhir (ends) untuk melakukan aktivitas berpolitik. Rasionalitas dan moralitas politik suatu bangsa-ataupun robohnya kedua hal tersebut-bisa tercermin melalui teks isi media. Isi media merupakan produk dari praktik-praktik wacana (discource practices) pada level industri media, yang berkaitan dengan rasionalitas dan moralitas di balik proses-proses memroduksi dan mengkonsumsi teks. Artinya, teks isi media tidak terlepas dari rasionalitas dan moralitas yang mendasari berlangsungnya interaksi antara berbagai kekuatan, baik yang melekat pada struktur pasar dan kepemilikan dalam industri media, ideologi politik dan "ideologi" profesi jurnalis, selera khalayak, dan kekuatan berbagai kelompok politik dalam masyarakat. Keseluruhan praktik wacana itu sendiri tidak terlepas dari rasionalitas dan moralitas praktik-praktik sosial-budaya (socio-cultural practices) yang menjadi konteks proses memproduksi dan mengkonsumsi teks isi media.
Namun, secara bersamaan, rasionalitas dan moralitas teks isi media juga mampu mempengaruhi praktik-praktik wacana ataupun sosial-budaya yang melekat dalam struktur industri media dan struktur sosial-budaya. Atas dasar premis adanya interaksi antara structure dan agency-yang salah satu intinya mengakui bahwa individu adalah produk struktur sosial-budaya, namun secara bersamaan individu yang menempati struktur tertentu memiliki pula potensi untuk mengubah struktur-maka posisi jurnalis, sebagai human agencies, dalam keseluruhan struktur yang ada, sebenarnya amat strategis.
Karenanya, prospek pengembangan rasionalitas dan moralitas politik dalam reformasi di Tanah Air akan turut ditentukan oleh kelompok jurnalis. Pertama, sebagai kekuatan profesional yang independen, yang hanya berpihak pada rasionalitas kaidah-kaidah memroduksi teks isi media; kedua, sebagai kekuatan moral independen, yang menunjukkan keberpihakannya bukan pada kelompok tertentu, namun pada nilai-nilai etika dan moral universal melalui tes isi media yang diproduksinya.Bagaimanapun, adanya media sebagai suatu public sphere yang menjadi wadah diskursus rasional, dan mengacu pada kaidah-kaidah etika serta moralitas politik yang berlaku universal, merupakan suatu legitimate principle bagi demokrasi, apa pun nama demokrasi tersebut.
* Dedy N Hidayat, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI).
1 comment:
Bung Eka, terimakasih telah meng-upload artikel saya. Saya sudah browsing weblog anda. Bagus juga. Saya sendiri baru belajar, dan sedang coba kumpulkan artikel2 saya.
Keep in touch
Post a Comment