AG. Eka Wenats Wuryanta
Seiring dengan perkembangan media massa dan
dinamika sosial kemasyarakatan, tak dapat dipungkiri bahwa terjadi juga
beberapa pergeseran atau perubahan dalam teori komunikasi massa. Perubahan ini,
gelagatnya, akan terus terjadi karena mengikuti perkembangan media dan
teknologi informasi yang kian pesat.
Terdapat beberapa perubahan teori komunikasi
massa di antaranya berikut ini:
- Terdapat kecenderungan titik perhatian
atau penekanan akan penggunaan media elektronik dan internet dari masa
sebelumnya. Peran penting aktivitas audiens juga semakin jelas
seiring dengan munculnya bentuk-bentuk baru media.
- Ada pergeseran dalam pendekatan
komunikasi perspektif kognitivis atau teori berkaitan dengan proses
informasi ( Beniger & Gusek, 1995).
Di dalam situasi perkembangan dan perubahan
epistemik teori media komunikasi, setidaknya tercakup tiga aspek penting, yaitu
sebagai berikut:
- Pergeseran dalam variable
independen dari yang semula berupa variable persuasi ( misal kredibilitas
sumber) menjadi konsep-konsep semacam ‘wacana’ (misal sifat dan penggunaan
dari bahasa yang merepresentasikan ideology tertentu) dan ‘framing’ (misal
bagaimana sebuah peristiwa dikemas dan disajikan dalam media). Atau
setidaknya ada pergeseran pola dan titik penelitian yang tadinya banyak
berbicara tentang efek media menjadi berbicara soal makna dan diskursus
ideologi yang menjadi variabel penting dalam studi media.
- Perubahan dalam dependen
variabelnya, dari variable sikap (misal setuju atau tidak setuju
beradasarkan evaluasi terhadap objek) menuju variable kognitif/pengetahuan
( misal pengetahuan atau keyakinan terhadap sesuatu objek)
3.
Perubahan dalam
penekanan dari yang semula diakibatkan oleh kekuatan komunikasi (misal perubahan
sikap atau perilaku) menuju konstruksi ulang (misal perubahan cara
pandang kita atau dikenal dengan pendekatan konstruksi sosial atas
realita)
Perkembangan pesat teknologi komunikasi mau
tidak mau mengharuskan peneliti untuk mencari formulasi teori komunikasi
baru yang bisa mewadahi konsep sejalan dengan sifat media atau teknologi
yang ada. Misalnya, kita harus menghindari konsep atau frase seperti
“pembaca surat kabar” atau “terpaan televisi” dan diganti dengan frase
“perilaku masyarakat mencari informasi”, “ kebutuhan akan persahabatan”,
“tingkatan kontrol pengguna media”, dst. Dengan kata lain, kita sudah
harus berubah dari yang semula disarankan oleh sosiolog Herald Hage ketika
menyebut “specific nonvariable” menuju “ general variable” (Hage, 1972).
Selain itu, bagi para pengkaji media juga harus
mengubah penekanan studi terkait “efek” dengan memusatkan perhatian
“dampak sosial komunikasi”. Bogers (1986) menyarankan beberapa dampak sosial
yang penting dari adanya teknologi komunikasi misalnya bertambahnya
pengangguran, bertambahnya jurang informasi antara si kaya dan si miskin,
meningkatnya ketidasetaraan gender dalam kaitannya dengan akses media,
peluberan informasi, makin berkurangnya privasi, desentralisasi kekuasaan dalam
masyarakat, dan segmentasi audiens media massa.
Teori Media
Produk media merespon
terhadapat perkembangan sosial dan budaya dan selanjutnya media memengaruhi
bagaimana perkembangan social dan budaya tersebut. Adapun contoh media tersebut
adalah televisi. Televisi dapat memengaruhi bagaimana individu berpikir tentang
dunia dan merespon pada dunia.
Teori Media Klasik
Marshall McLuhan
memberikan gagasan bahwa, Media terpisah dari apapun yang disampaikannya,
pengaruh individu ataupun masyarakat. Televisi memengaruhi anda terlepas dari
apa yang anda tonton. Dunia maya memengaruhi masyarakat, terlepas dari situs
yang orang kunjungi. Media pribadi mengubah masyarakat, terlepas dari pilihan
lagu yang dibuat oleh penggunanya. Sebenarnya gagasan sangat dipengaruhi oleh
karya pengajarnya, Harold Adams Innis mengajarkan bahwa media komunikasi adalah
intisari peradaban dan bahwa sejarah diarahkan oleh media yang menonjol pada
masanya. Bagi McLuhan dan Innis, media merupakan perpanjangan pikiran manusia,
jadi media yang menonjol dalam penggunaan membiaskan masa historis apapun.
Tesis McLuhan adalah
bahwa manusia beradaptasi terhadap lingkungan melalui keseimbangan atau rasio
pemahaman tertentu dan media utama dari masa tersebut menghadirkan rasio
pemahaman tertentu yang mempengaruhi persepsi.
Donald Ellis mencatat
bahwa media yang terbesar pada suatu waktu akan membentuk prilaku dan
pemikiran. Ketika media berubah demikian juga cara berpikir kita, cara kita
mengatur informasi, dan berhubungan dengan orang lain.
Pergeseran lain terjadi
ketika media elektronik muncul ke permukaan. Media elektronik seperti televise
dapat cepat dan bersifat sementara, tetapi tidak terikat dengan tempat
tertentu karena dapat disiarkan secara luas.
Pergeseran lain
munculnya dunia maya dan teknologi yang terkait dan komunikasi dengan media
computer telah menciptakan realitas tambahan. Pergeseran ini mengacu pada apa
yang dikenal dengan “media baru”. Pergeseran yang terjadi dari media penyiaran
ke media interaktif dengan munculnya dunia maya membawa lingkungan media ke
permukaan, dengan minat baru dalam teori media anatar para peneliti komunikasi.
Teori Media Baru
Tesis tentang era media
kedua membawa teori media dari kesamaran yang relative pada tahun 1960-an pada
populeritas baru pada tahun 1990-an dan seterusnya. Era media pertama
digambarkan oleh (1) sentralisasi produksi (2) komunikasi satu arah (3) kendali
situasi (4) reproduksi stratifikasi social dan perbedaan melalui media (5)
audiens massa yang terpecah (6) pembentukan kesadaran social. Era media kedua
dapat digambarkan sebagai : (1) desentralisasi (2) dua arah (3) diluar kendali
situasi (4) demokratisasi (5) mengangkat kesadaran individu (6) oriebtasi
individu.
Ada dua pandangan yang
dominan tentang era media. Pertama dengan penekanannya pada penyiaran, dan era
media kedua dengan penekanannya pada jaringan. Kedua pandangan tersebut adalah
pendekatan interaksi social dan pendekatanintegrasi social.
Pendekatan interaksi
social membedakan media menurut seberapa dekat media dengan model interaksi
tatap muka. Ada beberapa masalah dalam membuat perbandingan ini, beberapa orang
yakin bahwa media yang baru lebih “termediasi” daripada yang akan diyakini oleh
para pendukungnya. Media baru juga mengandung kekuasaan dan batasan, kerugian dan
keuntungan, dan kebimbangan.
Pada pendekatan integrasi social menggambarkan
media bukan dalam bentuk informasi, interaksi, atau penyebarannya, tetapi dalam
bentuk ritual, atau bagaimana manusia menggunakan media sebagai cara
menciptakan masyarakat. Menurut pandangan integrasi social, interaksi bahkan
bukanlah sebuah komponen penting dalam integrasi social melalui ritual.
Aplikasi dan Refleksi
Dalam
ilmu komunikasi massa, pembicaraan mengenai relasi antara media dengan
audiens-nya memang dianggap sebagai bagian yang paling sulit dirumuskan secara
teoritis. Dulu ada yang namanya Teori Peluru atau dikenal juga sebagai Teori
Jarum Suntik, yang berasumsi bahwa isi media mempengaruhi audiens layaknya
peluru yang menembus sasaran tanpa hambatan, atau seperti sesuatu yang
disuntikkan ke dalam tubuh. Seiring dengan perkembangan zaman, di mana manusia
semakin pintar dan kritis, maka teori itu pun gugur.
Nyatanya,
audiens media bukanlah sekumpulan orang yang pasif dan menerima begitu saja
pesan yang disampaikan oleh saluran-saluran komunikasi. Maka, kemudian lahirlah
teori-teori lain, salah satu yang penting dan masih relevan sampai sekarang
adalah Teori Agenda Setting. Ide dasarnya: media (komunikasi) massa lebih dari
sekedar pemberi informasi dan opini. Media mungkin tidak atau kurang berhasil
membuat orang untuk memikirkan sesuatu. Namun, teori ini percaya bahwa media
sangat berhasil mendorong audiens-nya untuk menentukan apa yang perlu mereka
pikirkan.
Dengan
kata lain, Agenda Setting menggambarkan betapa “powerful”-nya (pengaruh) media,
terutama dalam kemampuannya menunjukkan kepada kita, ini lho isu-isu yang
penting. Dengan demikian, teori ini mengandung asumsi bahwa media tidak
semata-mata mengabarkan informasi dan opini, melainkan lebih daripada itu, juga
menyeleksi dan menentukan informasi maupun opini tersebut. Artinya, media
sebenarnya hanya berkonsentrasi pada isu-isu tertentu yang jumlahnya mungkin
sedikit, dan kemudian membuat audiens menerima bahwa memang itulah isu-isu yang
lebih penting dibandingkan isu-isu lainnya yang banyak sekali.
Teori
Agenda Setting berkembang pada dekade 60-an, ketika belum ada internet. Tentu
saja, apa yang disebut sebagai pengaruh pers (koran, majalah, radio, televisi)
itu masih ada, dan tetap nyata dan boleh dibilang, juga tetap besar. Namun,
kini peran itu sudah digerogoti, untuk kemudian dibagi, oleh blog dan
situs-situs jaringan sosial di internet. Bahkan, dalam batas dan kasus
tertentu, peran itu sudah bergeser. Apa yang penting bagi publik sekarang ini tidak
lagi (hanya) ditentukan oleh koran nasional atau stasiun TV besar, melainkan
juga oleh postingan di blog, video yang mungkin di-unggah secara iseng di
Youtube, konversasi di Facebook atau bahkan mungkin “status” seseorang (yang
cukup berpengaruh) di Twitter.
Kasus
monster air Pantai Ancol barangkali akan menjadi salah satu contoh klasik untuk
pergeseran peran agenda setting (dari) media massa ke social media. Kabar
mengenai adanya monster air itu berawal dari sebuah video di Youtube, yang
kemudian menjadi obrolan di Forum Kaskus. Detikcom kemudian mengembangkannya,
me-running beritanya, bahkan sampai mewawancarai Wapres Jusuf Kalla segala
sehingga menimbulkan efek dramatis yang mencekam –seolah-olah ini sesuatu yang
sangat gawat, dan oleh karenanya perlu mendapat perhatian semua pihak. Hingga
akhirnya koran-koran dan televisi pun “menindaklanjuti”-nya.
Menarik
untuk mencermati, bagaimana media online seperti Detikcom, yang di awal
kemunculannya diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh para budayawan serius
(yang mengatakan bahwa berita-beritanya dangkal, tidak akurat, dan kurang bisa
dipercaya), dalam perkembangannya justru memainkan peran yang krusial dalam
mengarahkan agenda media-media besar, cetak maupun elektronik.
Dengan
kata lain, suatu isu mendadak menjadi penting ketika dilaporkan oleh Detikcom
–lebih-lebih jika isu itu di-update terus-menerus. Efek dari “running news” ala
dotcom semacam itu memang ampuh dalam meningkatkan nilai berita sebuah
informasi atau isu tertentu, yang tak jarang membuat para redaktur koran dan TV
kalang-kabut. Belakangan, dengan semakin maraknya penggunaan media-media
jaringan sosial di internet macam Facebook dan Twitter, berita-berita dari
media online (tidak hanya Detikcom), tapi (sekarang juga ada) Kompas.com, Vivanews,
Okezone, Inilah.com dan lain-lain) semakin menemukan jalan mulus untuk
memainkan “kepemimpinan”-nya dalam agenda setting komunikasi massa.
Para
blogger, Facebooker, dan pecandu micro-blogging lewat Twitter dan Plurk sering
secara sukarela “membawa” berita-berita dari media-media online tersebut ke
blog dan social media, baik dalam bentuk postingan, informasi link, maupun
pernyataan di status. Dan, semua itu kemudian menciptakan konversasi yang
panjang dan ramai. Waktu terjadi pembunuhan di Pasific Place beberapa waktu
lalu misalnya, seorang teman saya membuat postingan yang selain “mengabarkan
kembali” peristiwa itu, sekaligus juga mengungkapkan kekhawatirannya akan
ibukota yang semakin tidak aman.
Ternyata,
banyak dari pembaca yang berkomentar, baru tahu mengenai berita pembunuhan itu
dari postingan tersebut. Ketika sebuah helikopter militer lagi-lagi terjatuh,
Pemimpin Redaksi Detikcom Budiono Darsono langsung memasang link berita dari
media yang dipimpinnya mengenai peristiwa itu di Facebook-nya. Pada saat yang
berbarengan, sejumlah awak redaksi lainnya juga melakukan hal yang sama.
Bayangkan, kalau semua awak redaksi sebuah media online memasang setiap link
hot news di Facebook dan/atau Twitter masing-masing! Betapa akan sangat besar
dampaknya dalam mempengaruhi agenda setting komunikasi massa.
Kasus
Prita adalah contoh paling segar tentang kedahsyatan konversasi online dalam
mempengaruhi agenda setting media massa secara umum. Begitu ramainya postingan
di blog dan pembicaraan di Facebook yang mengungkapkan keprihatinan, dukungan
maupun simpati atas Prita yang dituntut karena dituduh mencermarkan nama baik
Rumah Sakit Omni Tangerang, koran-koran, majalah dan televisi pun kemudian
beramai-ramai menjadikannya laporan utama. Ini bisa diartikan bahwa secara
tidak langsung blog dan social media telah mampu menjadi kekuatan penekan
–sebuah peran politis yang penting dan strategis, yang sebelumnya, selama ini,
(hanya) dimiliki oleh pers “resmi”.
Referensi :
Beniger,J.R. &
J.A.Gusek, 1995. “The cognitive revolution in public opinion and communication
research”. Dalam TL Glaseer and C.T. Salmon, Public Opinion and the
Communication of Consent. New York : The Guilford Press. Hal. 217-248.
Hage,J. 1972. Techniques
and Problem of Theory Construction in Sociology. New York : John Wiley
McLuhan, Marshal,
1999, Understanding Media, The Extension Of Man. London:
The MIT Press.
Mulyana, Deddy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisik. Yogyakarta: Jalasutra.
Sendjaja, Sasa Djuarsa,
2000. Paradigma Baru dalam Perkembangan Ilmu Komunikasi disampaikan pada Orasi
Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Bandung.
Strinati, Dominic. 2003. Pengantar
Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.
Tester, Keith,
2003, diterjemahkan Muhammad Syukri, Media, Budaya, Moralitas. Yogyakarta:
Kerjasama Juxtapose dan Kreasi Wacana.
Wimmer, Roger D & Joseph R Dominick. Mass Media Research edisi ke 2