Oleh:
Susi Sakti Andarini
Susi Sakti Andarini
I. Latar Belakang
Di era globalisasi ini, kebutuhan akan informasi yang cepat menjadi sangat penting bagi masyarakat. Media massa merupakan bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang terjadi. Media sebagai bagian dari komunikasi massa memegang posisi penting dalam masyarakat dimana menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan.
Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya yaitu dari data AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga kuartal ke-3 tahun 2006, Grup Media Nusantara Citra (MNC) sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya sekedar berorientasi pada penenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan antara pengiklan dengan khalayak pengkonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisien dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh dapat maksimum. Menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam bisnis media massa yang memerlukan kekuatan sosial ekonomi ini, maka terjadi kecenderungan konsolidasi media yang kemudian mengarah kepada munculnya kelompok pemain raksasa media massa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan media massa.
Konsentrasi media ini banyak terjadi tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di luar negeri, seperti misalnya Dow Jones yang dibeli oleh Rupert Murdoch di mana Dow Jones merupakan induk dari beberapa media di Amerika Serikat, atau contoh lainnya yaitu ketika News Corp dan Dow Jones bergabung yang menghasilkan 74,1 milyar dollar Amerika . Di Amerika ada lima pemain besar industry media massa, yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan Disney.
Gejala konsentrasi media juga terjadi di Indonesia, contohnya yaitu MNC yang memiliki RCTI, TPI, GLOBAL TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Indovision, dan Okezone.com, atau Group Bakrie yang memiliki ANTV dan TVOne. Setelah Orde Baru tumbang, stasiun-stasiun televisi baru ramai bermunculan. Hal ini sebagai akibat dari euforia demokratisasi seperti yang telah dipaparkan di awal tulisan. Pada waktu yang sama, korporasi-korporasi media mulai terbentuk. Menurut Satrio Arismunandar, sekarang ini telah terbentuk setidaknya tiga kelompok korporasi media . Korporasi media pertama adalah PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corp, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TvOne. Kelompok ketiga adalah PT Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi Trasnformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh).
Konsentrasi media yang terjadi dikhawatirkan membawa sejumlah dampak negatif, tidak hanya pada perkembangan kelangsungan sistem media di Indonesia, melainkan juga dampak pada isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia yang telah melihat akan potensi merugikan dari adanya konsentrasi suatu perusahaan mencoba mengintervensi dengan menghadirkan sejumlah peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan perusahaan namun pengusaha mampu melihat dan memanfaat celah-celah kebolongan dari regulasi yang ada untuk dapat membuat sejumlah strategi, termasuk strategi konsentrasi media guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
II. Permasalahan
Konsentrasi media biasa disebut juga dengan konglomerasi media karena tujuan kehadirannya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Konglomerasi media adalah gambaran dari perusahaan berskala besar yang memiliki bagian unit usah media massa yang berbeda seperti suatu perusahaan yang menaungi televisi dan koran, majalah dan lain sebagainya . Konsentrasi kepemilikan media ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi, sehingga keuntungan ekonomi maksimal dapat diperoleh. Media massa kini berusaha untuk mencari pengeluaran minimal demi mendapatkan penghasilan yang maksimal, hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya komersialisasi media massa.
Konsentrasi dari pemilik media juga merupakan hal yang penting untuk dilihat dalam menentukan struktur pasar media. ….the concentration of sellers is the most important factor because it determines a great deal of the structure of a market, and most researchers use this criterion to define the type of market structure (Lin and Chi, 2003) . Konsentrasi kepemilikan media massa di Indonesia mengakibatkan struktur pasar media massa Indonesia memiliki bentuk oligopoli, yaitu kondisi yang hanya terdapat sejumlah pemain besar dalam industri media massa dengan produk yang terdiferensiasi. Di Indonesia, pemain besar tersebut antara lain Group Media Nusantara Citra (MNC), Group Media Indonesia, Trans Corp, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Dalam pasar oligopoli, tindakan yang dilakukan oleh salah satu pemain pasar akan mempengaruhi pemain lainnya, baik dalam kebijakan maupun performa dari pemain lain. Selain itu, apabila ada pemain baru yang hendak memasuki pasar, maka akan sulit untuk memasuki pasar tersebut apabila tidak memiliki kemampuan atau kekuatan yang sama dengan pemain yang telah ada sebelumnya yang telah memiliki teknologi dan pengalaman yang lebih kuat, karena persaingan yang terjadi tidak hanya persaingan isi dan jenis program tapi juga persaingan infrastruktur dan teknologi. Sulitnya memasuki pasar tersebut mengakibatkan konsentrasi akan semakin memusat pada pelaku pasar yang kuat.
Kompleksnya industri media massa mengakibatkan adanya konsentrasi kepemilikan media menjadi suatu proses yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap pelaku industri media massa untuk tetap dapat berproses sebagai sebuah institusi sosial dan ekonomi. Konsentrasi kepemilikan media tersebut mempengaruhi apa yang terjadi di pasar media massa, misalnya apa yang dilakukan oleh media tertentu akan menentukan tindakan yang diambil oleh media lain dan juga berpengaruh terhadap masyarakat itu sendiri. Konsentrasi kepemilikan media ini ini bukanlah semata-mata fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan. Contohnya. Lima korporasi media terbesar di AS berhasil mengajukan sebuah UU baru untuk meningkatkan dominasi korporat mereka dan menghilangkan UU atau peraturan yang membatasi kontrol atas media. Misalnya, UU Telekomunikasi tahun 1996. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sejak lama, media terutama televisi telah menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis dan politik para penguasa .
Media massa yang berupaya untuk mengejar tujuan ekonomi mereka akan cenderung berusaha untuk terus meningkatkan rating mereka dengan menyajikan tayangan yang hanya sebatas mainstream, bahkan tak sedikit yang menyajikan berita atau tayangan yang tidaksesuai dengan etika media. Persaingan pasar bebas media dapat berakibat sebagian pemilik dan praktisi media menjual profesionalitas, kode etik, dan tanggung jawab moral jurnalisme. Semua ini dilakukan demi meraih keuntungan untuk bertahan terbit di tengah pasar yang amat ketat. Selain faktor ekonomi, faktor politik juga berpengaruh besar terhadap kepentingan media dalam konsentrasi media massa di Indonesia, contohnya media yang dekat dengan pemerintah cenderung menghadirkan pemberitaan yang pro pemerintah atau ketika pemilik media merupakan tokoh politik, ia akan cenderung menggunakan media miliknya sebagai alat politiknya. Hal tersebut mengesampingkan hak masyarakat akan tayangan atau informasi yang memuat kebenaran karena berita atau informasi yang disampaikan cenderung bias memihak pihak-pihak tertentu. Di sinilah, terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap. Monopoli di bisnis media berbahaya bagi demokratisasi karena adanya pengurangan hak publik berupa frekuensi untuk memperoleh suatu berita atau informasi sesuai dengan kebutuhan dari publik itu sendiri. Seperti monopoli informasi, monopoli frekuensi, monopoli ekonomi (pendapatan), monopoli program acara yang dikhawatirkan homogen, serta pemanfaatan media-media tersebut untuk kepentingan pribadi bagi keuntungan pemilik semata.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu, “Bagaimana Pengaruh Konsentrasi Media dan Pemilik Media di Indonesia terhadap Penyampaian Kebenaran kepada Masyarakat?”
III. Konsentrasi Kepemilikan Media Massa di Indonesia
Sejak tahun 1990an terjadi beberapa proses integrasi media yaitu gelombang merger dan akusisi yang terjadi di antara raksasa media global. Ini memperlihatkan munculnya susunan pasar media global. Susunan utamanya adalah media besar yang berintegrasi secara vertikal. Di Indonesia juga terjadi sejumlah integrasi yang dilakukan oleh perusahaan media massa besar. Di bawah naungan yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo, terintegrasi sejumlah lembaga penyiaran seperti RCTI, TPI, Global TV, dan beberapa stasiun televisi lokal, sejumlah radio seperti Women Radio dan Trijaya, TV berlangganan Indovision, surat kabar Seputar Indonesia, majalah Trust, sejumlah tabloid seperti Genie dan Mom and Kiddie, serta situs berita Okezone.com. Contoh integrasi tersebut juga menunjukkan adanya diversifikasi yang ditunjukkan dengan keberagaman jenis media massa yang dimiliki oleh MNC dan adanya berbagai jaringan yang dapat digunakan oleh MNC untuk dapat saling mempromosikan jenis medianya satu sama lain. Diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media
Selain MNC, beberapa Group Besar pemilik media yaitu Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group milik Abu Rizal Bakrie, Trans TV dan Trans 7 di bawah Trans Corp milik Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama, atau Metro TV dan Media Indonesia di bawah Group Media Indonesia milik Surya Paloh. Kebanyakan pemilik industri media tersebut merupakan orang yang membangun bisnisnya dengan menggunakan kekuasaan atau hubungan khusus dengan pemerintahan.
Beberapa pemain besar dalam industri media massa Indonesia itu memiliki penghasilan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan dari perusahaan yang berdiri sendiri, tidak berintegrasi. Misalnya dalam industri penyiaran televisi, sebagian besar jumlah iklan dikuasai oleh stasiun televisi milik group besar. AGB Nielsen Media Research, lembaga pemeringkat acara TV, mengatakan bahwa hingga kuartal ke-3 tahun 2006, pendapatan iklan hanya dikuasai oleh Group MNC, Bakrie dan Trans Corp. Ketiganya menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan, atau 71,8% dari total yang Rp14,7 triliun. Porsi terbesar diraup Grup Media Nusantara Citra (MNC) yang sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). Group Bakrie berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3. Sementara itu, dari penguasaan pasar (audience share) ketiganya sukses menjaring 70,3% pemirsa. Rinciannya, MNC di posisi pertama dengan audience share 35,7%, Trans TV dan Trans 7 dengan jumlah 21,1% dan ANTV dan Lativi dengan jumlah 13,5%
Demikian pula halnya dengan apa yang terjadi pada bisnis media cetak yang hanya dikuasai oleh sejumlah pemain besar, yaitu Kelompok Kompas Gramedia, Group Femina, Group Tempo, dan Jawa Post. Hal inilah bahwa bentuk pasar media massa di Indonesia merupakan bentuk pasar oligopoli. Menurut Ade Armando, integrasi horizontal di bawah naungan suatu holding company kepemilikan media di Indonesia sangat sulit dibatasi dan walaupun memiliki berbagai sisi negatif, integrasi horisontal ini memang masih diperlukan dalam menghadapi kondisi pasar global .
IV. Kepentingan Pemilik
Sudut pandang yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana peran pemilik media dari segi ekonomi politik terhadap media massa dapat dengan menggunakan pandangan dari teori ekonomi politik. Teori Ekonomi-politik merupakan sebuah teori yang berangkat dari pendekatan kritis yang muncul sebagai respon terhadap akselerasi kapitalisme. Ekonomi politik secara umum digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara sistem ekonomi, sistem politik dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme global. Teori ini fokus pada hubungan antara struktur ekonomi, dinamika industri media, dan ideologi media (yang pada akhirnya tercermin dalam isi media tersebut). Media (massa) tidak lebih dari satu bagian dalam sistem ekonomi yang juga sangat dekat pada sistem politik. Teori ini menjelaskan bahwa pasar dan ideologi memiliki pengaruh besar dalam penentuan isi (content) media. Perbedaan isi media antara satu dengan yang lainnya bergantung pada kepemilikan dan modal yang dimiliki. Curran, Gurevitch, dan Woollacott (1982) menganggap bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan menanamkan kesadaran palsu bagi khalayak.
Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan . Pola kepemilikan dan produk-produk yang disampaikan media adalah perangkat ideologis yang melangengkan dominasi kelas pemodal terhadap terhadap publik yang diperlukan semata mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi regulasi yang pro pasar. Media juga menjadi medium pengiklan utama yang secara significant mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa juga menyebarkan dan memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu.
Faktor kepemilikan media tersebut menyebabkan isu ekonomi politik media memiliki konsekuensi:
a. Homogenisasi
Homogenisasi dapat diartikan sebagai : “Financial pressures ands other forces lead all media products to becom similar, standard and uniform” atau penyeragaman bentuk tayangan atau program.
b. Agenda setting
Merupakan upaya media untuk membuat pemberitaan tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa melainkan ada strategi dan kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan memiliki nilai lebih yang diharapkan oleh media.
c. Hegemoni Budaya
Merupakan pandangan bahwa telah terjadi dominasi oleh salah satu kelas di masyarakat atas kelas-kelas lainnya. Hegemoni budaya mengidentiļ¬kasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling- class values. Contoh: konsumerisme, budaya Jawa, dan Islam
V. Analisis : Konsentrasi Media, Kepentingan Pemilik, dan Kebenaran
Tekanan ekonomi adalah salah satu pemicu terbesar terjadinya conflict of interest. Pada organisasi media setidaknya terdapat tiga pihak yang bisa mendatangkan tekanan ekonomi. Pihak-pihak itu antara lain pemangku modal yang menjadi nafas bagi kehidupan organisasi media. Contohnya pemodal, pengiklan dan investor. Efeknya adalah konten yang ditampilkan oleh media hanya konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik tapi kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih kapital yang besar untuk mampu bertahan hidup. Konflik kepentingan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fairness dan justice (keseimbangan dan keadilan).
Menurut Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, media dalam operasionalisasinya akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik) dan eksternal (kepentingan politik, ekonomi, dan sosial). Media tidak saja powerful tapi juga powerless. Tekanan-tekanan ini akan mengakibatkan pemberitaan menjadi tidak obyektif . Akibatnya masyarakat disuguhi berita rekayasa seperti misalnya yang terjadi ketika pemilihan ketua umum Partai Golkar dengan berita yang disajikan di Metro TV dan Surat Kabar Media Indonesia. Agenda Setting Metro TV dan Media Indonesia mencoba memperlihatkan sosok Surya Paloh sebagai calon pemimpin yang baik dikarenakan Ia merupakan orang penting dalam media massa tersebut. Hal tersebut sesuai seperti apa yang dikatakan Reese dan Shoemaker bahwa pemilik media dapat mempengaruhi tayangan karena mempengaruhi perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri.
Adanya konsentrasi media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media . Masyarakat akan sulit untuk mencari referensi lain dan sulit untuk melihat sisi lain dari suatu kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas tersebut akibat kepemilikan yang berpusat. Contohnya yaitu berita yang disajikan di RCTI, Global TV, TPI, Okezone.com, Harian Seputar Indonesia dan Radio Trijaya akan memiliki sudut pandang yang sama terhadap suatu kasus. Masyarakat hanya akan dicekoki berita dan infomrasi yang itu-itu saja. Ketika masyarakat mencoba untuk beralih dari suatu media ke media lain, yang akan tetap mereka temui adalah pemberitaan yang serupa karena faktor kepemilikan yang sama.
Dalam hal isi siaran, berita merupakan hal yang paling dikontrol. Krishna Sen dan David T. Hill membandingkan pemberitaan media-media ini terhadap kasus 27 Juli 1996 (penyerangan kantor PDI Perjuangan di Jl. Diponegoro, Jakarta) dan terbukti bahwa media-media seperti RCTI yang dekat dengan penguasa lebih menampilkan narasumber pemerintah dan militer dalam menanggapi kasus ini. Seperti yang terjadi di AS, media yang dikontrol elit, akan semakin memiliki pengaruh besar baik bagi masyarakat maupun pemerintah .
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemilik Group besar tersebut merupakan seseorang yang dekat dengan kekuasaaan. Hal itu tidak menutup kemungkinan mereka membangun perusahaan media untuk memuluskan kepentingannya selain dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu. Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideologi dominan. Ideologi dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya .
Permintaan dari sang pemilik media memang tidak akan jauh dari aspek ekonomi. Aspek ekonomi muncul karena sang pemilik ingin modal yang telah ia keluarkan kembali dan mendapatkan margin keuntungan. Kemudian berikutnya untuk memaksimalkan keuntungan berarti mengorbankan objektivitas berita, lalu sumber-sumber berita yang akhirnya harus bertahan yang berdasarkan bias, sehubungan dengan berita di mana mereka memiliki konflik kepentingan. Aspek lainnya yang menarik adalah bahwa media yang ia miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan kesan yang positif dari diri sang pemilik.
Pada tahun 2006, arus berita mengenai kasus NCD (Negotiable Certificate of Deposit) fiktif terkait Hary Tanoesoedibjo, demikian deras dibicarakan di lintas media, baik cetak maupun elektronik, berkaitan dengan kemungkinan tindak pidana korupsi yang bisa menimbulkan kerugian negara. Bila melihat pemberitaan media massa nasional umumnya menempatkan pemilik MNC tersebut sebagai orang yang jahat (pihak negatif). Tetapi pemberitaan di media-media yang dimilikinya terlihat berlawanan dengan berita yang umumnya ada, diantaranya pemberitaan di RCTI, Trijaya FM, dan Trust. Dalam pemberitaan di RCTI, kasus NCD fiktif Hary Tanoe muncul secara khusus dalam Dialog Khusus pada tanggal 20 Februari 2006. Dalam tayangan berjudul “kontroversi NCD Bodong” terlihat ada upaya pemberitaan yang membela Hary Tanoe. Sementara dari pihak redaksi yang diwakili Arief Suditomo mengatakan, “sebenarnya, penonton tidak tertarik pada isu ini, namun saya tertantang untuk menampilkan acara ini. Banyak sekali produser yang tidak mau menampilkan karena rating-nya turun”. Dari penyataan tersebut dapat kita cermati bahwa para pelaku media (pekerja), redaksi melakukan pilihan yang cukup berat. Bukan masalah terhadap rating atau tantangan untuk menampilkan acara ini, tetapi lebih kepada bagaimana redaksi RCTI bekerja di bawah kekuasaan pemilik media yang mau tidak mau harus dapat mengakomodasikan keinginan atau permintaan sang pemilik.
Dalam pemberitaan di Trijaya FM, pembelaan yang dilakukan untuk membela pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Selanjutnya media Trust mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI?” Sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 ini berjudul “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu terlihat sekali bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih mentikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Dan muncul kesan mengalihkan fokus yang sangat menunjuk Hary Tanoesoedibjo. Dari semua pemberitaan tersebut memang secara jelas terlihat ada hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang berpihak kepada Hary Tanoe. Selanjutnya apakah pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat dikatakan monopoli dan mempengaruhi pandangan publik
Hal ini dapat dilihat dari media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa. Contohnya adalah sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa Metro TV milik Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Golkar, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menujukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-class values yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka.
Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya menentukan sifat dari media. Pemilik bebrapa media yang berbeda-beda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan.
Media massa yang melakukan konsolidasi itu akan semakin powerfull dan memiliki ideologi di dalamnya sehingga menyebabkan terjadinya hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Keperpihakan media terhadap sejumlah kekuasaan merupakan bentuk dari hegemoni. Melalui media massa kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Media massa akan senantiasa menjadi ajang hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai hegemoni. Media massa tidak pernah lepas dari intervensi pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki beragam kepentingan seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Konsolidasi media mampu menghilangkan keberagaman informasi yang akan diterima oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena adanya monopoli dans entralisasi infomasi. Karena kepemilikan yang sama, media massa cenderung menyebarluaskan informasi dan program-program yang sejenis. Misalnya adalah dalam suatu pemberitaan, sudat pandang atau framming yang dibentuk oleh media massa cenderung sama dan tidak beragam sehingga menyebabkan terjadinya praming yang sama pada tingkat khalayak. Pada akhirnya, akibat paling parah dari situasi sentralisasi informasi adalah terciptanya masyarakat yang apatis dengan proses politik yang berkembang.
Karena kepentingan ekonomi media massa yang sudah berkembang, maka pers akan berubah tidak lagi menjadi pers yang idealis karena ada cempur tangan pemilik media yang akan menjadi gatekeeper utama menentukan informasi dan opini “pilihan” untuk diterima oleh masyarakat luas. Hal ini akan membuat informasi yang sampai ke masyarakat telah diatur sedemikian rupa tanpa disadari dan menjadi tidak seimbang. Selain itu, perkembangan industri yang berkiblat pada perkembangan di dunia barat dan masuknya modal asing dalam kepemilikian konsolidasi media akan mampu membawa masuk budaya barat ke delam masyarakat melalui isi yang ditampilkan oleh media sehingga dapat berakibat pada penjajahan budaya di masyarakat. Kepemilikan silang media yang bisa memicu adanya monopoli media massa yang pada akhirnya akan mengakibatkan soal hegemoni dan dominasi perusahaan media besar terhadap opini serta kebenaran yang dibentuk. Perluasan kepemilikan akan berpengaruh terhadap budaya yang berkembang di masyarakat karena industri ekonomi media yang besar berasal dari dunia barat.
Adanya pengaruh pemilik media terhadap isi program media massa sangat berimbas kepada khalayak. Khalayak dihadapkan pada minimnya alternative pilihan sumber informasi karena informasi yang ada sudah dikuasai oleh segelintir kelompok tertentu yang seringkali informasi tersebut bersifat bias. Selain itu, dalam suatu berita yang paling penting untuk disampaikan adalah adanya kebenaran yang menyangkut akurasi (didasari oleh bukti nyata, keraguan harus tetap diberitahukan kepada publik, mengutip harus sesuai dengan sumber, persaingan kadang menurunkan kualitas pemberitaan), memberikan pemahaman publik ( pemberitaan harus menyeluruh, informasi lengkap, sumber jelas, tidak memihak) serta jujur, adil, dan berimbang menghindari informasi yang bias. Ketika sumber informasi sudah dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, maka kebenaran yang ada ikut tersembunyikan. Khalayak tidak lagi dapat memperoleh haknya akan kebenaran informasi yang ada dan mengakibatkan terjadinya distorsi informasi bagi publik. Ketika masyarakat membutuhkan fakta yang sebenarnya, justru banyak pemberitaan yang berupaya menyembunyikannya. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan publik sebagai konsekuensinya.
Semua itu tidak terlepas dari adanya agenda setting dan framing yang dilakukan media massa yang disesuaikan dengan kepentingan pemiliknya. Hal tersebut bertentangan dengan fungsi utama jurnalisme media, yakni menyampaikan kebenaran publik, bukan kebenaran subyektif pemilik media atau pasar yang sifatnya sensasional. Kenyataan menunjukkan, keterlibatan media dalam membentuk suatu opini publik adalah sebuah kekuatan tersendiri yang dimilikinya dan itu sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan di masyarakat.
Konglomerasi media dimana pemilik media besar yang memiliki beragam jenis media massa dapat secara terus menerus menyampaikan informasi walaupun informasi tersebut sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Ketika masyarakat terus menerus diinternalisasi dengan informasi tersebut dan masyarakat tidak memiliki ruang dan waktu cukup untuk berpikir, maka yang terjadi menurut AG Eka Wenats, orang tidak lagi peka membedakan mana yang benar atau tidak. Khalayak akhirnya tidak bisa membedakan dan membuat keputusan etis. Hal tersebut membatasi kebebasan orang ketika tidak ada kebebasan tidak ada keputusan etis. Dalam Filsafat, ketika hak seseorang sudah dibatas, bagaimana orang tersebut dapat mengambil keputusan yang benar? Akibatnya masyarakat tidak dapat memutuskan mana kebenaran yang benar dan akhirnya menerima begitu saja apa yang ditampilkan oleh media massa. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai hegemoni yang dilakukan oleh media massa dimana media berusaha membujuk masyarakat untuk mengikuti kebenaran yang diyakini oleh pengelola dan/atau pemilik media itu, padahal kebenaran yang diyakini media itu belum tentu benar, dan sebagian masyarakat mungkin mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang lain.
VI. Kesimpulan dan Saran
VI.1. Kesimpulan
Konsentrasi media dan pemilik media itu sendiri sangat berpengaruh terhadap isi atau program yang disampaikan kepada masyarakat dimana isi atau program tersebut merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik pemilik media. Akibatnya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran menjadi hilang. Semua itu karena adanya proses agenda setting dan framing yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan pemilknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi media massa.
Selain itu, pemngaruh lainnya adalah kesempatan masyarakat untuk mendapat tayangan atau program alternatif yang lebih berimbang sulit untuk didapatkan karena telah terjadi pemilikan banyak media oleh segelintir kelompok tertentu yang mana tentunya juga berakibat pada terjadinya homogenisasi informasi.
VI.2. Saran
• Manajemen media haruslah memisahkan antara redaksi pemberitaan dan unsur bisnis, sehingga menghindari adanya intervensi pemberitaan karena faktor bisnis,
• Media haruslah menyadari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik media sebaiknya dipisahkan dengan objektifitas media tersebut. Media haruslah independen dan loyal kepada masyarakat
• Pemberitaan yang mengandung informasi kepada publik yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur dan berimbang. keseimbangan dalam pemberitaan atau penyiaran termasuk menyangkut sebuah opini dan perspektif atas suatu kasus.
VII. Referensi
Ade Armando dalam Mata Kuliah Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) Ilmu Komunikasi S1 reguler semester genap tahun 2009.
Albaran, Alan B. Media Economics:Understanding Markets, Industries and Concepts. Ames, Iowa: Iowa State Univewrsity; 1996
Bahaya, kepemilikan stasiun televisi Terkonsentrasi. www.kompas.com/read/xml/2008/03/27/18321983 Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 03.05 WIB.
Edward S. Herman and Noam Chomsky. Manufacturing Consent. Pantheon Books, 1988
Fasta, Feni. “Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa”, jurnal penelitian komunikasi departemen ilmu komunikasi FISIP UI, volume VI/ no. 1, hlm.19-41, 2007.
Hand Out Lembaga Penyiaran : Komersil, Publik, dan Komunitas. Mata Kuliah Kebijakan Media Semester ganjil 2009, Dosen: Soraya. Ilmu Komunikasi S1 Reguler FISIP UI.
Hand Out Teori Kritis Media Mata Kuliah Komunikasi Global Semester Ganjil 2009, Dosen : Innaya Rakhmani. Ilmu Komunikasi S1 Reguler FISIP UI.
Kisah Trans TV dan Trans 7. http://jurnalismedia.blogspot.com/2008/06/kisah-trans-tv-dan-trans-7.html Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 00.20 WIB
Konglomerasi Media dalam Grup MNC . http://pravdakino.multiply.com/journal/item/27/Konglomerasi_Media_dalam_Grup_MNC_Media_Nusantara_Citra. diakses pada 26 Mei 2010 Pukul 20.00
Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik. pangerankatak.blogspot.com/.../konglomerasi-media-massa-sebagai-ajang.html. Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 04.26 WIB.
Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi Massa. ekawenats.blogspot.com/.../perspektif-ekonomi-politik-komunikasi.html – Diakses pada 1 Januari 2010 pukul 00.16 WIB
Raja-Raja TV : raja TV…Raja Akuisisi. scylics.multiply.com/journal/item/187 Diakses pada 2 Januari 2010 Pukul 22.12 WIB
Realitas dalam Kehidupan. mebear-vocation.blogspot.com/.../konglomerasi-media-dalam-bidang-ekonomi.html – Diakses pada 2 Januari 2010 Pukul 23.25
Shoemaker and Reese, Mediating the Message.1996. USA: Longman Publisher. Hal 164
Sudibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran.Yogyakarta : LKiS. 2004. Hal 1
Di era globalisasi ini, kebutuhan akan informasi yang cepat menjadi sangat penting bagi masyarakat. Media massa merupakan bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan akan informasi yang cepat mengenai apa yang terjadi. Media sebagai bagian dari komunikasi massa memegang posisi penting dalam masyarakat dimana menurut Lasswell dan Wright, komunikasi massa memiliki fungsi sosial sebagai surveillance, korelasi dan interpretasi, transmisi budaya dan sosialisasi, serta sebagai media hiburan.
Peranannya yang penting inilah yang membuat industri media massa berkembang sangat pesat dan membuat media massa tidak hanya sebagai sebuah institusi yang idealis, seperti misalnya sebagai alat sosial, politik, dan budaya, tetapi juga telah merubahnya menjadi suatu institusi yang sangat mementingkan keuntungan ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media massa hadir menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha. Keuntungan yang diperoleh media massa di Indonesia misalnya yaitu dari data AGB Nielsen Media Research, terlihat hingga kuartal ke-3 tahun 2006, Grup Media Nusantara Citra (MNC) sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). ANTV dan Lativi, berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3 . Hal itu mengakibatkan pengusaha media kini tidak lagi hanya sekedar berorientasi pada penenuhan hak masyarakat akan terpenuhinya informasi tetapi juga berorientasi untuk mengejar keuntungan ekonomi sebesar-besarnya.
Pasar media merupakan suatu pasar yang memiliki karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan jenis pasar lainnya. Media tidak hanya memproduksi suatu barang, tetapi media juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan adalah tayangan program dari media itu sendiri, dan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa sebagai medium untuk menghubungkan antara pengiklan dengan khalayak pengkonsumsi media massa. Media massa mencoba untuk mencari jalan untuk mengefisien dan mengefektifkan produksi mereka agar keuntungan yang mereka peroleh dapat maksimum. Menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam bisnis media massa yang memerlukan kekuatan sosial ekonomi ini, maka terjadi kecenderungan konsolidasi media yang kemudian mengarah kepada munculnya kelompok pemain raksasa media massa yang kemudian mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan media massa.
Konsentrasi media ini banyak terjadi tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di luar negeri, seperti misalnya Dow Jones yang dibeli oleh Rupert Murdoch di mana Dow Jones merupakan induk dari beberapa media di Amerika Serikat, atau contoh lainnya yaitu ketika News Corp dan Dow Jones bergabung yang menghasilkan 74,1 milyar dollar Amerika . Di Amerika ada lima pemain besar industry media massa, yaitu Time-Warner, Viacom, News Corp., Bertelsmann Inc., dan Disney.
Gejala konsentrasi media juga terjadi di Indonesia, contohnya yaitu MNC yang memiliki RCTI, TPI, GLOBAL TV, Radio Trijaya, Koran Seputar Indonesia, Indovision, dan Okezone.com, atau Group Bakrie yang memiliki ANTV dan TVOne. Setelah Orde Baru tumbang, stasiun-stasiun televisi baru ramai bermunculan. Hal ini sebagai akibat dari euforia demokratisasi seperti yang telah dipaparkan di awal tulisan. Pada waktu yang sama, korporasi-korporasi media mulai terbentuk. Menurut Satrio Arismunandar, sekarang ini telah terbentuk setidaknya tiga kelompok korporasi media . Korporasi media pertama adalah PT Media Nusantara Citra, Tbk (MNC) yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo yang membawahi RCTI (PT Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV (PT Global Informasi Bermutu). Kelompok kedua berada di bawah PT Bakrie Brothers (Group Bakrie) yang dimiliki oleh Anindya N. Bakrie. Grup Bakrie ini membawahi ANTV (PT Cakrawala Andalas Televisi) yang kini berbagi saham dengan STAR TV (News Corp, menguasai saham 20%) dan Lativi yang sekarang telah berganti nama menjadi TvOne. Kelompok ketiga adalah PT Trans Corpora (Group Para). Grup ini membawahi Trans TV (PT Televisi Trasnformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh).
Konsentrasi media yang terjadi dikhawatirkan membawa sejumlah dampak negatif, tidak hanya pada perkembangan kelangsungan sistem media di Indonesia, melainkan juga dampak pada isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia yang telah melihat akan potensi merugikan dari adanya konsentrasi suatu perusahaan mencoba mengintervensi dengan menghadirkan sejumlah peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan perusahaan namun pengusaha mampu melihat dan memanfaat celah-celah kebolongan dari regulasi yang ada untuk dapat membuat sejumlah strategi, termasuk strategi konsentrasi media guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
II. Permasalahan
Konsentrasi media biasa disebut juga dengan konglomerasi media karena tujuan kehadirannya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Konglomerasi media adalah gambaran dari perusahaan berskala besar yang memiliki bagian unit usah media massa yang berbeda seperti suatu perusahaan yang menaungi televisi dan koran, majalah dan lain sebagainya . Konsentrasi kepemilikan media ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi, sehingga keuntungan ekonomi maksimal dapat diperoleh. Media massa kini berusaha untuk mencari pengeluaran minimal demi mendapatkan penghasilan yang maksimal, hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya komersialisasi media massa.
Konsentrasi dari pemilik media juga merupakan hal yang penting untuk dilihat dalam menentukan struktur pasar media. ….the concentration of sellers is the most important factor because it determines a great deal of the structure of a market, and most researchers use this criterion to define the type of market structure (Lin and Chi, 2003) . Konsentrasi kepemilikan media massa di Indonesia mengakibatkan struktur pasar media massa Indonesia memiliki bentuk oligopoli, yaitu kondisi yang hanya terdapat sejumlah pemain besar dalam industri media massa dengan produk yang terdiferensiasi. Di Indonesia, pemain besar tersebut antara lain Group Media Nusantara Citra (MNC), Group Media Indonesia, Trans Corp, Jawa Pos, dan lain sebagainya. Dalam pasar oligopoli, tindakan yang dilakukan oleh salah satu pemain pasar akan mempengaruhi pemain lainnya, baik dalam kebijakan maupun performa dari pemain lain. Selain itu, apabila ada pemain baru yang hendak memasuki pasar, maka akan sulit untuk memasuki pasar tersebut apabila tidak memiliki kemampuan atau kekuatan yang sama dengan pemain yang telah ada sebelumnya yang telah memiliki teknologi dan pengalaman yang lebih kuat, karena persaingan yang terjadi tidak hanya persaingan isi dan jenis program tapi juga persaingan infrastruktur dan teknologi. Sulitnya memasuki pasar tersebut mengakibatkan konsentrasi akan semakin memusat pada pelaku pasar yang kuat.
Kompleksnya industri media massa mengakibatkan adanya konsentrasi kepemilikan media menjadi suatu proses yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap pelaku industri media massa untuk tetap dapat berproses sebagai sebuah institusi sosial dan ekonomi. Konsentrasi kepemilikan media tersebut mempengaruhi apa yang terjadi di pasar media massa, misalnya apa yang dilakukan oleh media tertentu akan menentukan tindakan yang diambil oleh media lain dan juga berpengaruh terhadap masyarakat itu sendiri. Konsentrasi kepemilikan media ini ini bukanlah semata-mata fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan. Contohnya. Lima korporasi media terbesar di AS berhasil mengajukan sebuah UU baru untuk meningkatkan dominasi korporat mereka dan menghilangkan UU atau peraturan yang membatasi kontrol atas media. Misalnya, UU Telekomunikasi tahun 1996. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Sejak lama, media terutama televisi telah menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis dan politik para penguasa .
Media massa yang berupaya untuk mengejar tujuan ekonomi mereka akan cenderung berusaha untuk terus meningkatkan rating mereka dengan menyajikan tayangan yang hanya sebatas mainstream, bahkan tak sedikit yang menyajikan berita atau tayangan yang tidaksesuai dengan etika media. Persaingan pasar bebas media dapat berakibat sebagian pemilik dan praktisi media menjual profesionalitas, kode etik, dan tanggung jawab moral jurnalisme. Semua ini dilakukan demi meraih keuntungan untuk bertahan terbit di tengah pasar yang amat ketat. Selain faktor ekonomi, faktor politik juga berpengaruh besar terhadap kepentingan media dalam konsentrasi media massa di Indonesia, contohnya media yang dekat dengan pemerintah cenderung menghadirkan pemberitaan yang pro pemerintah atau ketika pemilik media merupakan tokoh politik, ia akan cenderung menggunakan media miliknya sebagai alat politiknya. Hal tersebut mengesampingkan hak masyarakat akan tayangan atau informasi yang memuat kebenaran karena berita atau informasi yang disampaikan cenderung bias memihak pihak-pihak tertentu. Di sinilah, terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap. Monopoli di bisnis media berbahaya bagi demokratisasi karena adanya pengurangan hak publik berupa frekuensi untuk memperoleh suatu berita atau informasi sesuai dengan kebutuhan dari publik itu sendiri. Seperti monopoli informasi, monopoli frekuensi, monopoli ekonomi (pendapatan), monopoli program acara yang dikhawatirkan homogen, serta pemanfaatan media-media tersebut untuk kepentingan pribadi bagi keuntungan pemilik semata.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu, “Bagaimana Pengaruh Konsentrasi Media dan Pemilik Media di Indonesia terhadap Penyampaian Kebenaran kepada Masyarakat?”
III. Konsentrasi Kepemilikan Media Massa di Indonesia
Sejak tahun 1990an terjadi beberapa proses integrasi media yaitu gelombang merger dan akusisi yang terjadi di antara raksasa media global. Ini memperlihatkan munculnya susunan pasar media global. Susunan utamanya adalah media besar yang berintegrasi secara vertikal. Di Indonesia juga terjadi sejumlah integrasi yang dilakukan oleh perusahaan media massa besar. Di bawah naungan yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo, terintegrasi sejumlah lembaga penyiaran seperti RCTI, TPI, Global TV, dan beberapa stasiun televisi lokal, sejumlah radio seperti Women Radio dan Trijaya, TV berlangganan Indovision, surat kabar Seputar Indonesia, majalah Trust, sejumlah tabloid seperti Genie dan Mom and Kiddie, serta situs berita Okezone.com. Contoh integrasi tersebut juga menunjukkan adanya diversifikasi yang ditunjukkan dengan keberagaman jenis media massa yang dimiliki oleh MNC dan adanya berbagai jaringan yang dapat digunakan oleh MNC untuk dapat saling mempromosikan jenis medianya satu sama lain. Diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media
Selain MNC, beberapa Group Besar pemilik media yaitu Lativi dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group milik Abu Rizal Bakrie, Trans TV dan Trans 7 di bawah Trans Corp milik Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama, atau Metro TV dan Media Indonesia di bawah Group Media Indonesia milik Surya Paloh. Kebanyakan pemilik industri media tersebut merupakan orang yang membangun bisnisnya dengan menggunakan kekuasaan atau hubungan khusus dengan pemerintahan.
Beberapa pemain besar dalam industri media massa Indonesia itu memiliki penghasilan yang lebih besar bila dibandingkan dengan penghasilan dari perusahaan yang berdiri sendiri, tidak berintegrasi. Misalnya dalam industri penyiaran televisi, sebagian besar jumlah iklan dikuasai oleh stasiun televisi milik group besar. AGB Nielsen Media Research, lembaga pemeringkat acara TV, mengatakan bahwa hingga kuartal ke-3 tahun 2006, pendapatan iklan hanya dikuasai oleh Group MNC, Bakrie dan Trans Corp. Ketiganya menguasai Rp10,5 triliun belanja iklan, atau 71,8% dari total yang Rp14,7 triliun. Porsi terbesar diraup Grup Media Nusantara Citra (MNC) yang sukses meraup Rp4,8 triliun atau 32,9% dari total belanja iklan TV. Urutan ke-2 diduduki Trans TV dan Trans 7, dengan Rp3,4 triliun (23,2%). Group Bakrie berhasil memperoleh pendapatan Rp2,3 triliun (15,7%), berada pada peringkat ke-3. Sementara itu, dari penguasaan pasar (audience share) ketiganya sukses menjaring 70,3% pemirsa. Rinciannya, MNC di posisi pertama dengan audience share 35,7%, Trans TV dan Trans 7 dengan jumlah 21,1% dan ANTV dan Lativi dengan jumlah 13,5%
Demikian pula halnya dengan apa yang terjadi pada bisnis media cetak yang hanya dikuasai oleh sejumlah pemain besar, yaitu Kelompok Kompas Gramedia, Group Femina, Group Tempo, dan Jawa Post. Hal inilah bahwa bentuk pasar media massa di Indonesia merupakan bentuk pasar oligopoli. Menurut Ade Armando, integrasi horizontal di bawah naungan suatu holding company kepemilikan media di Indonesia sangat sulit dibatasi dan walaupun memiliki berbagai sisi negatif, integrasi horisontal ini memang masih diperlukan dalam menghadapi kondisi pasar global .
IV. Kepentingan Pemilik
Sudut pandang yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana peran pemilik media dari segi ekonomi politik terhadap media massa dapat dengan menggunakan pandangan dari teori ekonomi politik. Teori Ekonomi-politik merupakan sebuah teori yang berangkat dari pendekatan kritis yang muncul sebagai respon terhadap akselerasi kapitalisme. Ekonomi politik secara umum digunakan untuk mendeskripsikan hubungan antara sistem ekonomi, sistem politik dan sistem komunikasi dalam struktur kapitalisme global. Teori ini fokus pada hubungan antara struktur ekonomi, dinamika industri media, dan ideologi media (yang pada akhirnya tercermin dalam isi media tersebut). Media (massa) tidak lebih dari satu bagian dalam sistem ekonomi yang juga sangat dekat pada sistem politik. Teori ini menjelaskan bahwa pasar dan ideologi memiliki pengaruh besar dalam penentuan isi (content) media. Perbedaan isi media antara satu dengan yang lainnya bergantung pada kepemilikan dan modal yang dimiliki. Curran, Gurevitch, dan Woollacott (1982) menganggap bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan menanamkan kesadaran palsu bagi khalayak.
Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan . Pola kepemilikan dan produk-produk yang disampaikan media adalah perangkat ideologis yang melangengkan dominasi kelas pemodal terhadap terhadap publik yang diperlukan semata mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi regulasi yang pro pasar. Media juga menjadi medium pengiklan utama yang secara significant mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa juga menyebarkan dan memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu.
Faktor kepemilikan media tersebut menyebabkan isu ekonomi politik media memiliki konsekuensi:
a. Homogenisasi
Homogenisasi dapat diartikan sebagai : “Financial pressures ands other forces lead all media products to becom similar, standard and uniform” atau penyeragaman bentuk tayangan atau program.
b. Agenda setting
Merupakan upaya media untuk membuat pemberitaan tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa melainkan ada strategi dan kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan memiliki nilai lebih yang diharapkan oleh media.
c. Hegemoni Budaya
Merupakan pandangan bahwa telah terjadi dominasi oleh salah satu kelas di masyarakat atas kelas-kelas lainnya. Hegemoni budaya mengidentiļ¬kasi dan menjelaskan dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling- class values. Contoh: konsumerisme, budaya Jawa, dan Islam
V. Analisis : Konsentrasi Media, Kepentingan Pemilik, dan Kebenaran
Tekanan ekonomi adalah salah satu pemicu terbesar terjadinya conflict of interest. Pada organisasi media setidaknya terdapat tiga pihak yang bisa mendatangkan tekanan ekonomi. Pihak-pihak itu antara lain pemangku modal yang menjadi nafas bagi kehidupan organisasi media. Contohnya pemodal, pengiklan dan investor. Efeknya adalah konten yang ditampilkan oleh media hanya konten yang secara ekonomi mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa muncul akibat persaingan yang ketat dengan kompetitornya. Akhirnya, media itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik tapi kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih kapital yang besar untuk mampu bertahan hidup. Konflik kepentingan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan mendasar berkaitan dengan fairness dan justice (keseimbangan dan keadilan).
Menurut Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, media dalam operasionalisasinya akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik) dan eksternal (kepentingan politik, ekonomi, dan sosial). Media tidak saja powerful tapi juga powerless. Tekanan-tekanan ini akan mengakibatkan pemberitaan menjadi tidak obyektif . Akibatnya masyarakat disuguhi berita rekayasa seperti misalnya yang terjadi ketika pemilihan ketua umum Partai Golkar dengan berita yang disajikan di Metro TV dan Surat Kabar Media Indonesia. Agenda Setting Metro TV dan Media Indonesia mencoba memperlihatkan sosok Surya Paloh sebagai calon pemimpin yang baik dikarenakan Ia merupakan orang penting dalam media massa tersebut. Hal tersebut sesuai seperti apa yang dikatakan Reese dan Shoemaker bahwa pemilik media dapat mempengaruhi tayangan karena mempengaruhi perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri.
Adanya konsentrasi media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversifikasi media, yaitu proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media . Masyarakat akan sulit untuk mencari referensi lain dan sulit untuk melihat sisi lain dari suatu kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas tersebut akibat kepemilikan yang berpusat. Contohnya yaitu berita yang disajikan di RCTI, Global TV, TPI, Okezone.com, Harian Seputar Indonesia dan Radio Trijaya akan memiliki sudut pandang yang sama terhadap suatu kasus. Masyarakat hanya akan dicekoki berita dan infomrasi yang itu-itu saja. Ketika masyarakat mencoba untuk beralih dari suatu media ke media lain, yang akan tetap mereka temui adalah pemberitaan yang serupa karena faktor kepemilikan yang sama.
Dalam hal isi siaran, berita merupakan hal yang paling dikontrol. Krishna Sen dan David T. Hill membandingkan pemberitaan media-media ini terhadap kasus 27 Juli 1996 (penyerangan kantor PDI Perjuangan di Jl. Diponegoro, Jakarta) dan terbukti bahwa media-media seperti RCTI yang dekat dengan penguasa lebih menampilkan narasumber pemerintah dan militer dalam menanggapi kasus ini. Seperti yang terjadi di AS, media yang dikontrol elit, akan semakin memiliki pengaruh besar baik bagi masyarakat maupun pemerintah .
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemilik Group besar tersebut merupakan seseorang yang dekat dengan kekuasaaan. Hal itu tidak menutup kemungkinan mereka membangun perusahaan media untuk memuluskan kepentingannya selain dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal perpolitikan dan penyebaran ideologi tertentu. Dalam perspektif Marxian, media massa berpotensi menyebarkan ideologi dominan. Ideologi dominan biasanya disebarkan oleh orde yang berkuasa dalam rangka mengekalkan kekuasaannya .
Permintaan dari sang pemilik media memang tidak akan jauh dari aspek ekonomi. Aspek ekonomi muncul karena sang pemilik ingin modal yang telah ia keluarkan kembali dan mendapatkan margin keuntungan. Kemudian berikutnya untuk memaksimalkan keuntungan berarti mengorbankan objektivitas berita, lalu sumber-sumber berita yang akhirnya harus bertahan yang berdasarkan bias, sehubungan dengan berita di mana mereka memiliki konflik kepentingan. Aspek lainnya yang menarik adalah bahwa media yang ia miliki digunakan untuk mendongkrak atau membela pemilik bila sang pemilik sedang diterpa isu. Hal ini dapat dengan mudah dilakukan oleh pemilik dengan meminta spot khusus dalam program medianya yang dapat menciptakan kesan yang positif dari diri sang pemilik.
Pada tahun 2006, arus berita mengenai kasus NCD (Negotiable Certificate of Deposit) fiktif terkait Hary Tanoesoedibjo, demikian deras dibicarakan di lintas media, baik cetak maupun elektronik, berkaitan dengan kemungkinan tindak pidana korupsi yang bisa menimbulkan kerugian negara. Bila melihat pemberitaan media massa nasional umumnya menempatkan pemilik MNC tersebut sebagai orang yang jahat (pihak negatif). Tetapi pemberitaan di media-media yang dimilikinya terlihat berlawanan dengan berita yang umumnya ada, diantaranya pemberitaan di RCTI, Trijaya FM, dan Trust. Dalam pemberitaan di RCTI, kasus NCD fiktif Hary Tanoe muncul secara khusus dalam Dialog Khusus pada tanggal 20 Februari 2006. Dalam tayangan berjudul “kontroversi NCD Bodong” terlihat ada upaya pemberitaan yang membela Hary Tanoe. Sementara dari pihak redaksi yang diwakili Arief Suditomo mengatakan, “sebenarnya, penonton tidak tertarik pada isu ini, namun saya tertantang untuk menampilkan acara ini. Banyak sekali produser yang tidak mau menampilkan karena rating-nya turun”. Dari penyataan tersebut dapat kita cermati bahwa para pelaku media (pekerja), redaksi melakukan pilihan yang cukup berat. Bukan masalah terhadap rating atau tantangan untuk menampilkan acara ini, tetapi lebih kepada bagaimana redaksi RCTI bekerja di bawah kekuasaan pemilik media yang mau tidak mau harus dapat mengakomodasikan keinginan atau permintaan sang pemilik.
Dalam pemberitaan di Trijaya FM, pembelaan yang dilakukan untuk membela pemiliknya ini tersaji dalam acara rutin diaolg interaktif Trijaya FM dalam acara Jakarta First Channel. Selanjutnya media Trust mengeluarkan dua buah artikel. Judulnya “Ini Tinggal Urusan Bayar atau Tidak Bayar” dan “Ada Apa dengan BI?” Sampul majalah berita ekonomi dan bisnis edisi 19 Tahun IV, 20-26 Februari 2006 ini berjudul “Kisah di Balik NCD Unibank”. Sementara dalam artikel online, Trust versi online mengeluarkan artikel berjudul “Mengikuti Jejak Lama Sukanto Tanoto, Aktor Utama Kasus NCD” pada tanggal 9 April 2006. Dari ketiga artikel itu terlihat sekali bahwa artikel tersebut berpihak kepada Hary Tanoe dan lebih mentikberatkan pihak negatif ke pihak yang lain. Dan muncul kesan mengalihkan fokus yang sangat menunjuk Hary Tanoesoedibjo. Dari semua pemberitaan tersebut memang secara jelas terlihat ada hubungan antar pemilik media, yaitu Hary Tanoe dengan media-medianya untuk menciptakan pemberitaan yang berpihak kepada Hary Tanoe. Selanjutnya apakah pemberitaan-pemberitaan tersebut dapat dikatakan monopoli dan mempengaruhi pandangan publik
Hal ini dapat dilihat dari media yang mereka bentuk, di mana saat ini banyak media yang mengawal kepentingan penguasa. Contohnya adalah sudah banyak kajian yang menyatakan bahwa Metro TV milik Surya Paloh lebih banyak memihak pada kekuatan politik tertentu saja, yaitu Partai Golkar, atau misalnya keberpihakan TVOne terhadap kepentingan politik dan ekonomi PT Lapindo, sehingga TVOne jarang mengungkit pemberitaan mengenai kasus Lumpur Sidoarjo dan apabila pemberitaan itu ada, TVOne cenderungan menggunakan kata Lumpur Sidoarjo ketimbang menggunakan kata Lumpur Lapindo. Hal itu menujukkan adanya kepentingan penguasa terhadap isi media. Penyebaran ideologi itu melalui proses hegemoni, yaitu suatu proses dominasi dan upaya mempertahankan kekuasaan, metode yang dipakai mereka yang berkuasa atas kelas-kelas yang subordinat untuk menerima dan mengadopsi the ruling-class values yang tanpa mereka sadari telah tertanamkan dalam diri mereka.
Reese dan Shoemaker mengatakan bahwa kepemilikan media dapat mempengaruhi tayangan karena terjadinya perubahan kebijakan perusahaan menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan budaya kerja . Jadi kepemilikan media maka akan berakibat dengan berubahnya kebijakan dan tujuan media itu sendiri. Pemilik medialah yang akhirnya menentukan sifat dari media. Pemilik bebrapa media yang berbeda-beda jenisnya, seperti misalnya tidak hanya memiliki stasiun televisi saja, tetapi juga memiliki berbagai bentuk media massa mampu mempengaruhi khalayak lebih kuat dengan menggunakan berbagai media miliknya.Pengaruh konsentrasi ini begitu kuat terhadap kognitif khalayak. Keberpihakan media terhadap kepentingan sejumlah elit penguasa itu secara tidak sadar mampu mempengaruhi kognisi khalayak. Padahal jika mengacu pada konsep Habermas, media massa merupakan public sphere yang seharusnya dijaga dari berbagai kepentingan.
Media massa yang melakukan konsolidasi itu akan semakin powerfull dan memiliki ideologi di dalamnya sehingga menyebabkan terjadinya hegemoni media. Teori hegemoni ini dicetuskan oleh Gramsci yang merujuk pada kekuasaan dan praktis. Keperpihakan media terhadap sejumlah kekuasaan merupakan bentuk dari hegemoni. Melalui media massa kelompok dominan terus-menerus menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasainya. Media massa akan senantiasa menjadi ajang hegemoni bagi kelompok yang berkuasa artinya masyarakat patuh pada pada kehendak penguasa dan mereka secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan tersebut. Dalam rangka mengekalkan kekuasaan tersebut, kelompok yang dominan melalui media cenderung menyuarakan kepentingannya dan berusaha agar kelas lain turut serta berpartisipasi dengan sukarela, atau tanpa mereka sadari dan itulah yang disebut sebagai hegemoni. Media massa tidak pernah lepas dari intervensi pemilik modal yang dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki beragam kepentingan seperti kepentingan ekonomi, politik dan ideologi tertentu.
Konsolidasi media mampu menghilangkan keberagaman informasi yang akan diterima oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena adanya monopoli dans entralisasi infomasi. Karena kepemilikan yang sama, media massa cenderung menyebarluaskan informasi dan program-program yang sejenis. Misalnya adalah dalam suatu pemberitaan, sudat pandang atau framming yang dibentuk oleh media massa cenderung sama dan tidak beragam sehingga menyebabkan terjadinya praming yang sama pada tingkat khalayak. Pada akhirnya, akibat paling parah dari situasi sentralisasi informasi adalah terciptanya masyarakat yang apatis dengan proses politik yang berkembang.
Karena kepentingan ekonomi media massa yang sudah berkembang, maka pers akan berubah tidak lagi menjadi pers yang idealis karena ada cempur tangan pemilik media yang akan menjadi gatekeeper utama menentukan informasi dan opini “pilihan” untuk diterima oleh masyarakat luas. Hal ini akan membuat informasi yang sampai ke masyarakat telah diatur sedemikian rupa tanpa disadari dan menjadi tidak seimbang. Selain itu, perkembangan industri yang berkiblat pada perkembangan di dunia barat dan masuknya modal asing dalam kepemilikian konsolidasi media akan mampu membawa masuk budaya barat ke delam masyarakat melalui isi yang ditampilkan oleh media sehingga dapat berakibat pada penjajahan budaya di masyarakat. Kepemilikan silang media yang bisa memicu adanya monopoli media massa yang pada akhirnya akan mengakibatkan soal hegemoni dan dominasi perusahaan media besar terhadap opini serta kebenaran yang dibentuk. Perluasan kepemilikan akan berpengaruh terhadap budaya yang berkembang di masyarakat karena industri ekonomi media yang besar berasal dari dunia barat.
Adanya pengaruh pemilik media terhadap isi program media massa sangat berimbas kepada khalayak. Khalayak dihadapkan pada minimnya alternative pilihan sumber informasi karena informasi yang ada sudah dikuasai oleh segelintir kelompok tertentu yang seringkali informasi tersebut bersifat bias. Selain itu, dalam suatu berita yang paling penting untuk disampaikan adalah adanya kebenaran yang menyangkut akurasi (didasari oleh bukti nyata, keraguan harus tetap diberitahukan kepada publik, mengutip harus sesuai dengan sumber, persaingan kadang menurunkan kualitas pemberitaan), memberikan pemahaman publik ( pemberitaan harus menyeluruh, informasi lengkap, sumber jelas, tidak memihak) serta jujur, adil, dan berimbang menghindari informasi yang bias. Ketika sumber informasi sudah dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, maka kebenaran yang ada ikut tersembunyikan. Khalayak tidak lagi dapat memperoleh haknya akan kebenaran informasi yang ada dan mengakibatkan terjadinya distorsi informasi bagi publik. Ketika masyarakat membutuhkan fakta yang sebenarnya, justru banyak pemberitaan yang berupaya menyembunyikannya. Hal tersebut menyebabkan kepercayaan publik sebagai konsekuensinya.
Semua itu tidak terlepas dari adanya agenda setting dan framing yang dilakukan media massa yang disesuaikan dengan kepentingan pemiliknya. Hal tersebut bertentangan dengan fungsi utama jurnalisme media, yakni menyampaikan kebenaran publik, bukan kebenaran subyektif pemilik media atau pasar yang sifatnya sensasional. Kenyataan menunjukkan, keterlibatan media dalam membentuk suatu opini publik adalah sebuah kekuatan tersendiri yang dimilikinya dan itu sangat berpengaruh dalam tatanan kehidupan di masyarakat.
Konglomerasi media dimana pemilik media besar yang memiliki beragam jenis media massa dapat secara terus menerus menyampaikan informasi walaupun informasi tersebut sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik tertentu. Ketika masyarakat terus menerus diinternalisasi dengan informasi tersebut dan masyarakat tidak memiliki ruang dan waktu cukup untuk berpikir, maka yang terjadi menurut AG Eka Wenats, orang tidak lagi peka membedakan mana yang benar atau tidak. Khalayak akhirnya tidak bisa membedakan dan membuat keputusan etis. Hal tersebut membatasi kebebasan orang ketika tidak ada kebebasan tidak ada keputusan etis. Dalam Filsafat, ketika hak seseorang sudah dibatas, bagaimana orang tersebut dapat mengambil keputusan yang benar? Akibatnya masyarakat tidak dapat memutuskan mana kebenaran yang benar dan akhirnya menerima begitu saja apa yang ditampilkan oleh media massa. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai hegemoni yang dilakukan oleh media massa dimana media berusaha membujuk masyarakat untuk mengikuti kebenaran yang diyakini oleh pengelola dan/atau pemilik media itu, padahal kebenaran yang diyakini media itu belum tentu benar, dan sebagian masyarakat mungkin mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang lain.
VI. Kesimpulan dan Saran
VI.1. Kesimpulan
Konsentrasi media dan pemilik media itu sendiri sangat berpengaruh terhadap isi atau program yang disampaikan kepada masyarakat dimana isi atau program tersebut merepresentasikan kepentingan ekonomi maupun politik pemilik media. Akibatnya kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran menjadi hilang. Semua itu karena adanya proses agenda setting dan framing yang dilakukan oleh media yang disesuaikan dengan kepentingan pemilknya. Kebenaran yang tidak didapatkan masyarakat tersebut dapat menyebabkan masyarakat terhegemoni dengan menerima kebenaran versi media massa.
Selain itu, pemngaruh lainnya adalah kesempatan masyarakat untuk mendapat tayangan atau program alternatif yang lebih berimbang sulit untuk didapatkan karena telah terjadi pemilikan banyak media oleh segelintir kelompok tertentu yang mana tentunya juga berakibat pada terjadinya homogenisasi informasi.
VI.2. Saran
• Manajemen media haruslah memisahkan antara redaksi pemberitaan dan unsur bisnis, sehingga menghindari adanya intervensi pemberitaan karena faktor bisnis,
• Media haruslah menyadari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat sehingga faktor kepentingan pemilik media seperti kepentingan politik pemilik media sebaiknya dipisahkan dengan objektifitas media tersebut. Media haruslah independen dan loyal kepada masyarakat
• Pemberitaan yang mengandung informasi kepada publik yang disampaikan harus mengandung kebenaran yang mencakup akurasi, pemahaman publik, jujur dan berimbang. keseimbangan dalam pemberitaan atau penyiaran termasuk menyangkut sebuah opini dan perspektif atas suatu kasus.
VII. Referensi
Ade Armando dalam Mata Kuliah Sistem Komunikasi Indonesia (SKI) Ilmu Komunikasi S1 reguler semester genap tahun 2009.
Albaran, Alan B. Media Economics:Understanding Markets, Industries and Concepts. Ames, Iowa: Iowa State Univewrsity; 1996
Bahaya, kepemilikan stasiun televisi Terkonsentrasi. www.kompas.com/read/xml/2008/03/27/18321983 Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 03.05 WIB.
Edward S. Herman and Noam Chomsky. Manufacturing Consent. Pantheon Books, 1988
Fasta, Feni. “Kontestasi Antara Kepemilikan Silang Dengan Isi Pemberitaan Media Massa”, jurnal penelitian komunikasi departemen ilmu komunikasi FISIP UI, volume VI/ no. 1, hlm.19-41, 2007.
Hand Out Lembaga Penyiaran : Komersil, Publik, dan Komunitas. Mata Kuliah Kebijakan Media Semester ganjil 2009, Dosen: Soraya. Ilmu Komunikasi S1 Reguler FISIP UI.
Hand Out Teori Kritis Media Mata Kuliah Komunikasi Global Semester Ganjil 2009, Dosen : Innaya Rakhmani. Ilmu Komunikasi S1 Reguler FISIP UI.
Kisah Trans TV dan Trans 7. http://jurnalismedia.blogspot.com/2008/06/kisah-trans-tv-dan-trans-7.html Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 00.20 WIB
Konglomerasi Media dalam Grup MNC . http://pravdakino.multiply.com/journal/item/27/Konglomerasi_Media_dalam_Grup_MNC_Media_Nusantara_Citra. diakses pada 26 Mei 2010 Pukul 20.00
Konglomerasi Media Massa sebagai Ajang Hegemoni Pembentukan Opini Publik. pangerankatak.blogspot.com/.../konglomerasi-media-massa-sebagai-ajang.html. Diakses pada 3 Januari 2010 Pukul 04.26 WIB.
Perspektif Ekonomi Politik Komunikasi Massa. ekawenats.blogspot.com/.../perspektif-ekonomi-politik-komunikasi.html – Diakses pada 1 Januari 2010 pukul 00.16 WIB
Raja-Raja TV : raja TV…Raja Akuisisi. scylics.multiply.com/journal/item/187 Diakses pada 2 Januari 2010 Pukul 22.12 WIB
Realitas dalam Kehidupan. mebear-vocation.blogspot.com/.../konglomerasi-media-dalam-bidang-ekonomi.html – Diakses pada 2 Januari 2010 Pukul 23.25
Shoemaker and Reese, Mediating the Message.1996. USA: Longman Publisher. Hal 164
Sudibyo, Agus. Ekonomi Politik Media Penyiaran.Yogyakarta : LKiS. 2004. Hal 1
2 comments:
Bagaimana Relasi kuat antara media massa ( cetak,Elektronik dan online )Arus globalisasi dan distribusi kesejahteraan hidup penduduk di indonesia saat ini ?
Makasiih..ijin buat jd referensi y kak.. :-)
Post a Comment