Oleh Patresia Kirnandita
(Peserta Perkuliahan Etika dan FIlsafat Komunikasi Universitas Indonesia)
1. Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya, kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) belum diterima sebagaimana orang-orang berorientasi seksual normal (heteroseksual). Meskipun secara psikologis kaum LGBT tidak digolongkan sebagai orang-orang ’berpenyakit’, masyarakat Indonesia masih menganggapnya sebagai momok dan patut dijauhi. Baik masyarakat yang tinggal di kota metropolitan – di mana nilai-nilai global yang telah membuka celah penerimaan kaum LGBT dimungkinkan berpenetrasi lebih banyak – maupun masyarakat di daerah terpencil kerap mengucilkan kaum LGBT. Kontroversi fenomena LGBT dapat menular ke orang lain menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat merasa perlu menjauhi kaum tersebut[1]. Persepsi semacam ini bisa terjadi karena ada peran media massa dalam pencitraan kaum LGBT tersebut.
Media massa merupakan agen sosialisasi sekunder yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa tidak secara langsung terjadi, namun cukup signifikan dalam mempengaruhi seseorang, baik dari segi kognisi, afeksi, maupun konatifnya[2]. Media massa dapat membentuk pencitraan tertentu dari suatu peristiwa atau suatu kelompok dan dipahami sebagai kebenaran umum dalam masyarakat. Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam benak masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotipe yang kemudian diteruskan intra dan inter generasi. Salah satu stereotipe yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai kaum LGBT yang dianggap menyimpang dari norma.
Adanya revolusi seksual pada tahun 1960 mendorong lahirnya konsep LGBT. Sebelumnya ada sebutan third gender yang mengacu pada kaum non-heteroseksual dan dianggap paling tidak merendahkan kaum ini. Konsep LGBT kemudian berkembang pada tahun 1990-an. LGBT merupakan adaptasi dari inisial LGB yang menggantikan frase komunitas gay yang dirasakan tidak representatif bagi kaum non-heteroseksual. LGBT digunakan untuk menekankan keberagaman budaya identitas seksual dan gender[3]. Kaum LGBT menggunakan simbol-simbol yang dipahami secara internasional seperti bendera pelangi dan segitiga merah muda[4].
Media massa menggambarkan kaum LGBT sebagai kaum yang menyimpang. Media massa Barat yang memiliki peran utama dalam penyebaran informasi dalam proses globalisasi telah menyebarkan stereotipe yang diskriminatif terhadap kaum ini. Generalisasi dari masyarakat yang telah menganut stereotipe dari media massa seperti ini menyebabkan kaum LGBT kehilangan haknya untuk mengekspresikan diri serta akses-akses politik tertentu. Melalui proses framing oleh media, ketidakadilan sosial terus berjalan. Tekanan-tekanan dari kepentingan seperti agama tidak bisa terelakan dari bagaimana media massa mengonstruksi realita tentang LGBT. Atas ketidakadilan yang dirasakan sebagian orang ini, media massa bertanggung jawab dalam pemberitaannya.
Dalam perkembangan pengonstruksian realita oleh media, yang menarik adalah munculnya kepentingan kelompok penekan yang berpengaruh terhadap pemberitaan di media massa. Munculnya film-film bertema lesbian, gay, dan transgender seperti Berbagi Suami, Detik Terakhir, dan serial Barat The ’L’ Word menjadi suatu bentuk kritik sosial atas ketidakadilan yang terjadi sekian lama. Namun demikian, hegemoni dari kelompok dominan yang menentang keberadaan kaum LGBT tampaknya belum dapat dipatahkan sepenuhnya. Masih banyak pemberitaan kekerasan yang disangkutpautkan dengan latar belakang orientasi seksual si pelaku. Sebut saja kasus mutilasi yang dilakukan oleh Ryan terhadap beberapa teman laki-lakinya dan kasus Mochammad Davis Suharto, pemerkosa berantai di Bali yang disebut-sebut sebagai homoseksual dan pedofilia. Pemberitaan semacam ini semakin menguatkan pemahaman masyarakat bahwa LGBT itu menyimpang dan berpotensi melakukan tindak kekerasan yang merugikan orang lain.
Makalah ini akan membahas bagaimana media massa menciptakan stereotipe, dampak yang ditimbulkannya, munculnya kepentingan dari institusi lain yang mendorong media massa menciptakan stereotipe, dan bagaimana kelompok penekan berusaha membuat media massa menggeser pencitraan yang buruk tentang LGBT. Pembahasan tidak terlepas dari isu-isu etika yang berkaitan dengan tanggung jawab dalam pemberitaan stereotipe LGBT oleh media massa.
2. Konsep dan Teori
a. Etika media massa berbagai perspektif
Ada dua macam penekanan dalam etika, yang pertama menekankan pada apa yang dianggap baik/benar oleh masyarakat (disebut etika komunitarian) dan yang kedua menekankan pada apa yang dianggap baik/benar oleh individu (disebut etika individu). Walaupun keduanya bertolak belakang, etika komunitarian tidak mengabaikan individualitas dan juga sebaliknya. Dalam jurnalisme misalnya, penganut etika komunitarian akan memublikasikan sesuatu yang dianggap mampu mempersatukan masyarakat, bukan yang memecah belah mereka. Etika komunitarian mengusung kesamaan kedudukan atau egalitarian dan sifat altruis dalam masyarakat. Sementara itu etika individu menekankan pada pencerahan liberal dan eksistensi individu. Etika komunitarian menganggap solidaritas universal sebagai inti normatif dari keteraturan sosial dan moral, sedangkan etika individu menganggap kebebasan personal dalam membuat keputusan sebagai hal yang utama.
Dalam teori etika terdapat tiga kelas. Pertama, deontologis (etika kewajiban). Di sini seorang pekerja media menjalankan etika sebagaimana yang seharusnya dilakukan olehnya. Apa yang baik dan benar telah ditentukan masyarakat atau institusi dan diwajibkan pada pekerja media tersebut. Kebenaran atau kebaikan bersifat absolut di sini. Kedua, teleologis (etika konsekuensi). Seseorang bertindak dengan memprediksi konsekuensi yang diterimanya kelak. Di sini etika menjadi relatif.Pertimbangan konsekuensi dalam kelas ini ada tiga, bisa untuk diri sendiri (egoism), banyak orang (utilitarianism), dan untuk satu atau beberapa orang (altruism). Kelas ketiga dalam teori etika adalah subyektif (etika personal). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi etika individu di sini: intuisi, emosi, spiritual, dan faktor moral personal lainnya. Etika subyektif bersifat lebih spontan, berdasarkan pada insting atau kehendak yang termotivasi. Karena kelas ketiga ini bersifat subyektif, sulit untuk membuat generalisasi mana yang dianggap baik/buruk dan benar/salah dalam tataran komunikasi massa[5].
b. Subteori Etika
Ada beberapa subteori etika yang dapat digunakan dalam pembahasan mengenai pemberitaan stereotiping kaum LGBT di media massa:
· Relativisme budaya.
Etika ini disoroti oleh antropolog seperti Ruth Benedict. Ia menganggap etika berlaku relatif sesuai dengan budaya di mana seseorang berada. Hal ini juga berkaitan dengan etika kontekstual.
· Moralitas keagamaan.
Di sini etika ditentukan oleh ajaran agama yang tercakup dalam kitab suci agama-agama di dunia. Apa yang baik/benar dan buruk/salah harus sesuai dengan kehendak Tuhan: apa yang semestinya dilakukan manusia dan larangan yang tidak boleh dilanggar manusia.
· Etika antinomian (I. Kant).
Etika ini mengatakan bahwa orang tidak boleh mengandalkan diri sendiri saja, ia harus mendapat dukungan dari lingkungan sosialnya. Ketika terjadi tindakan buruk/salah maka yang dipersalahkan adalah lingkungan sosial yang membentuk individu untuk melakukan hal tersebut. Etika ini kemudian berkembang menjadi etika situasional.
· Subteori kontrak sosial.
Etika berdasarkan subteori ini ditentukan oleh negara. Moralitas telah ditetapkan oleh negara sehingga membentuk perilaku tertentu yang diterapkan oleh masyarakat. Kontrak sosial ini menciptakan situasi di mana orang-orang saling peduli terhadap sesamanya. Peran negara sangat kuat dalam mengorganisasi harapan sosial dan moral dalam masyarakat[6].
c. Stereotipe
Stereotipe adalah konsepsi, opini, atau pencitraan yang bersifat konvensional, ada formulasinya, dan oversimplifikasi[7]. Stereotipe juga dapat diartikan sebagai citra mental yang tetap dari sebuah kelompok yang diterapkan pada seluruh anggotanya. Melakukan stereotipe merupakan bagian dari kondisi manusia, jalan pintas yang sebagian besar dari kita gunakan untuk membawa keteraturan pada cara pandang mengenai dunia kita secara pribadi. Stereotipe bisa juga digunakan sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri untuk menyembunyikan kekurangan kita atau untuk menjustifikasi perasaan superioritas kita.
Stereotipe selalu dilihat sebagai sesuatu yang negatif. Stereotipe dipahami sebagai pandangan yang menggambarkan tipikal orang, peristiwa, atau obyek tertentu. Orang membentuk stereotipe berdasarkan pengalaman masa lalunya, kemudian menemui hal yang sama secara berulang-ulang dan akhirnya mereka mengharapkan suatu peristiwa atau orang tampak sesuai dengan pengalaman dan pemahamannya tersebut[8].
Stereotipe mendorong orang melakukan justifikasi atas tindakan orang berdasarkan kategori tertentu. Justifikasi semacam ini merupakan akar dari ketidakadilan. Stereotipe menjadi dasar untuk membuat keputusan dan berpengaruh dalam tindakan-tindakan para profesional, misalnya para pekerja media.
Hingga saat ini penggambaran stereotipikal dari hubungan homoseksual masih tetap menjadi hal tabu, misalnya dalam film-film Hollywood. Karakter gay digambarkan menghibur atau lucu dengan karakter flamboyannya atau sebagai korban dari kekerasan[9]. Di Indonesia, tayangan stereotipikal kaum LGBT bisa ditemui dalam film-film ataupun reality show seperti Be A Man.
d. Proses framing oleh Media Massa
Dalam pemberitaan LGBT oleh media massa, terdapat proses framing. Robert N. Entman, mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi[10]. Entman berpendapat bahwa ada beberapa aspek utama dari framing yaitu definisi masalah, diagnosa penyebab, membuat penilaian moral, dan menyarankan perbaikan atasnya[11]. Framing menjauhkan khalayak untuk mendapatkan obyektivitas pemberitaan. Framing dapat terjadi melalui cara pengambilan gambar atau sudut pandang berita, penyuntingan, dan penyajian berita. Dalam proses framing terdapat berbagai kepentingan yang menempel dengannya, bisa berasal dari pemilik/pemegang saham terbesar media, pengiklan, atau dari institusi penekan lain seperti agama.
Framing dapat mengarahkan pandangan atau persepsi orang mengenai sesuatu. Ketika framing dilakukan berulang-ulang oleh media massa dan khalayak menerimanya, maka akan terjadi stereotiping atau pengategorian dari suatu hal dalam kehidupannya dan khalayak akan berlaku sesuai dengan stereotipe yang dipahaminya.
3. Uraian Kasus
Ada beberapa kasus yang menggambarkan ada stereotiping terhadap kaum LGBT di Indonesia. Pertama, penampilan tokoh banci yang diperankan oleh Tessy. Dalam berbagai kesempatan pertunjukan komedi dan Srimulat, Tessy selalu identik dengan tokoh banci berdandanan tebal dan berperilaku ceroboh sehingga mengundang tawa dari penonton. Tokoh banci Tessy ini disukai penonton sehingga akhirnya muncullah berbagai tokoh banci lain, contohnya yang dilakoni oleh Aming, Tora Sudiro, dan Sogi Indradhuaja dalam acara Extravaganza di TransTV. Ketiganya berpenampilan serupa dengan Tessy: berdandanan tebal a la perempuan, bersuara tinggi, dan kerap melakukan kecerobohan yang disengaja untuk mengundang tawa. Penampilan tokoh banci kemudian mendapat larangan dari KPI (yang didukung oleh MUI). Alasan pelarangan oleh KPI berdasarkan pasal 12 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf a Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran (SPS) menyatakan bahwa lembaga penyiaran dilarang memuat program yang melecehkan kelompok masyarakat yang selama ini diperlakukan negatif dan kelompok masyarakat yang kerap dianggap memiliki penyimpangan seperti: waria, banci, laki-laki yang keperempuanan, perempuan yang kelaki-lakian, dan sebagainya[12].
Kedua, pemberitaan kriminal yang melibatkan pelaku berlatar belakang homoseksual. Kasus pertama adalah Very Idham Heryansyah alias Ryan – pelaku mutilasi berantai yang didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan dan berorientasi seksual sesama jenis. Kasus kedua adalah perkosaan berantai yang terjadi di Bali, dilakukan oleh Mochammad Davis Suharto yang juga seorang homoseksual dan baru-baru ini dibekuk polisi. Kedua kasus kriminal yang diberitakan tersebut mengangkat sisi orientasi seksual pelaku yang kemudian dikaitkan dengan tindak kejahatan yang mereka lakukan.
Selagi pemberitaan yang menyudutkan kaum LGBT terus menerus ditampilkan, beberapa sineas mendukung kepentingan kaum LGBT yang menginginkan kesetaraan perlakuan dalam masyarakay mulai membuat karya-karya yang menampilkan sisi lain dari kaum yang dikucilkan masyarakat tersebut. Salah satunya adalah film Detik Terakhir yang menampilkan dua tokoh lesbian yang diperankan Cornelia Agatha dan Sauzan. Film ini menjadi kontroversial selain penggambaran penggunaan narkoba di dalamnya, juga karena adanya penggambaran lesbianisme yang dianggap tabu oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Tidak lama setelah diluncurkan, film ini diminta untuk ditarik dari peredaran[13]. Stereotipe dalam masyarakat yang disebarkan oleh media telah berhasil memberi ruang sesak bagi film-film bertema LGBT. Kontroversi yang ditimbulkan pada akhirnya mulai mengikis kebebasan berekspresi sineas Indonesia atas nama norma sosial yang berlaku di sini.
Pencitraan bahwa kaum LGBT itu negatif semakin diperkuat dengan munculnya reality show Be A Man. Di dalam acara tersebut digambarkan ada beberapa waria yang dilatih sampai benar-benar menjadi laki-laki sejati; berpenampilan dan berkelakuan maskulin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia sosok laki-laki semacam inilah yang bisa diterima sedangkan yang lain (kaum waria tersebut) tidak.
4. Analisis
Dalam kasus yang pertama, penampilan tokoh banci di media massa, khususnya televisi dijadikan komoditas yang mempunyai nilai jual untuk khalayak dan pengiklan. Framing terus menerus dilanggengkan media massa dalam pencitraan terhadap banci. Hal ini berimbas negatif pada kaum transgender yang tidak ada kepentingan komersial sama sekali dalam dunia hiburan. Mereka mendapat perlakuan yang sama, diperolok dalam kehidupan nyata sebagaimana khalayak memperlakukan tokoh-tokoh banci di televisi. Sisi lain dari seorang transgender tidak dipandang oleh kebanyakan orang yang sudah memiliki stereotipe seperti yang telah ditanamkan media massa.
Untuk kasus kedua, media massa lebih tertarik untuk menampilkan sesuatu yang kontroversial. Maka dalam pemberitaan kriminal Ryan dan Davis, sisi homoseksual mereka yang dikaitkan dengan kejahatan lebih memiliki daya tarik bagi khalayak dan hal inilah yang menjadi sudut pandang utama dalam pemberitaan di media massa. Media massa mengarahkan opini khalayak lewat proses framing dan sekaligus menanamkan stereotipe kepada mereka bahwa homoseksual kerap identik dengan kekerasan. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat untuk berhubungan atau bersosialisasi dengan kaum LGBT. Ketika akses untuk bersosialisasi semakin terhambat, kaum LGBT akan memiliki self esteem yang rendah dan perasaan bersalah yang terus menerus karena ditekan oleh masyarakat.
Media massa sendiri bukanlah institusi yang netral dalam memberitakan sesuatu. Adanya stereotipe negatif mengenai kaum LGBT tidak terlepas dari peran institusi agama yang memiliki posisi kuat dalam masyarakat Indonesia. Agama mayoritas menolak keberadaan kaum non-heteroseksual dengan basis ajaran dari Tuhannya. Di Barat sendiri, di mana agama Kristen banyak berkembang juga mengajarkan hal serupa. Kaum LGBT belum mendapat tempat untuk diterima oleh agama tersebut karena hubungan kaum LGBT tidak bertujuan prokreasi, sekalipun sekarang sudah ada teknologi yang memungkinkan pasangan lesbian bisa memiliki keturunan.
Media massa yang melakukan framing memberikan kemungkinan sangat kecil bagi cara pandang berbeda dari masyarakat dalam melihat kaum LGBT. Sekalipun ada pemberitaan positif mengenai kaum LGBT, media menyeleksi informasi tersebut dan ketika suatu hal yang pro kaum LGBT menyeruak, maka yang terjadi adalah kontroversi. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak umum diterima masyarakat yang sudah terlanjur memaknai LGBT sebagai suatu momok sesuai arahan media massa.
Ditinjau dari segi etika deontologis, media massa memiliki kewajiban untuk memberitakan sesuatu seobyektif mungkin. Hal ini tidak terjadi dalam media massa yang melakukan stereotiping terhadap suatu kelompok dan dengan demikian, secara deontologis media tersebut melakukan tindakan tidak etis. Jarang kita melihat pemberitaan negatif tentang kaum LGBT dihadapkan dengan testimonial dari kaum yang terlibat, atau dengan kata lain ada cover both sides. Hal ini menuntun masyarakat untuk melakukan penilaian yang tergeneralisasi terhadap kaum LGBT.
Dari segi etika teleologis, konsekuensi yang terjadi akibat pemberitaan stereotiping media massa telah menimbulkan kerugian bagi kaum LGBT. Tertutupnya akses sosialisasi dan politik bagi mereka menjadi salah satu contoh kerugiannya. Konsekuensi lain terjadi di level kepribadian kaum LGBT yang mengalami penolakan. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, kaum LGBT memiliki self esteem yang rendah. Kebutuhan dasar manusia seperti yang disebutkan Abraham Maslow seperti kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, kasih sayang, dan aktualisasi diri juga tidak dapat terpenuhi bagi mereka. Menurut sudut pandang ini, media massa bisa dikatakan melakukan tindakan tidak etis karena dengan stereotiping yang dilakukannya, suatu kelompok menjadi dirugikan. Hal ini semakin tidak etis karena juga bersinggungan dengan hak-hak kaum LGBT untuk mendapat penerimaan dalam masyarakat.
Dari segi etika subyektif, media massa dapat dikatakan bertindak tidak etis ketika melakukan stereotiping kaum LGBT. Nilai-nilai azasi manusia dikesampingkan demi kepentingan komersialisasi media massa. Kebebasan memilih sesuai orientasi seksual kaum LGBT harus dipatahkan dengan adanya pemberitaan yang menyudutkan kaum LGBT. Sineas yang coba mengangkat isu LGBT juga mendapat kendala dalam berekspresi ketika harus berhadapan dengan kontroversi yang menyebabkan sulitnya mendapat penerimaan dari masyarakat. Semangat liberasi dalam berpendapat tidak didukung oleh media massa yang telah mendominasi cara pandang masyarakat yang menolak keberadaan LGBT.
Ada isu moralitas agama, etika antinomian, dan kontrak sosial yang tidak terlepas dari stereotiping yang dilakukan media massa. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, nilai-nilai agama dalam masyarakat Indonesia sangat erat mengikat masyarakat. Media massa yang melakukan stereotiping juga seolah mendapat dukungan dari masyarakat tersebut untuk mengesampingkan kepentingan kaum LGBT. Peraturan negara sendiri yang tidak membolehkan perkawinan sejenis juga membuat media massa semakin mendapat posisi aman dalam memberitakan kaum LGBT secara negatif. Berkenaan dengan relativisme budaya Indonesia yang menabukan homoseksualitas, stereotiping menjadi suatu kewajaran dibanding masyarakat dengan budaya yang lebih liberal seperti di Amerika atau Eropa. Gerakan penolakan stereotiping di negara Barat bisa banyak berperan dalam mempengaruhi cara pencitraan kaum LGBT di sana. Misalnya serial Melrose Place atau yang lebih menggambarkan kehidupan kaum lesbian yaitu serial The L Word. Dalam serial The L Word digambarkan secara berani hubungan sejenis para tokoh perempuan di dalamnya. Keberadaan serial ini menunjukkan bahwa di negara Barat lesbianisme sudah menjadi hal yang umum meski tidak serta merta diterima oleh semua masyarakat. Ada indikasi kebebasan dalam berekspresi yang dituangkan dalam sebuah karya visual dibanding dengan sineas di Indonesia yang masih sangat sedikit menelurkan film atau serial bertema serupa.
Dari stereotiping yang dilakukan oleh media massa terdapat isu tanggung jawab sosial atas ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum LGBT. KPI yang melarang penampilan tokoh banci dengan alasan meremehkan kaum tersebut sebenarnya melakukan suatu tindakan bertujuan baik, yaitu agar media massa bertanggung jawab atas efek yang ditimbulkan dari penayangan tokoh banci tersebut. Kaum LGBT sudah cukup mendapat tekanan sosial dari masyarakat dan media massa tidak perlu menambahkan tekanan berupa pencitraan negatif yang semakin menimbulkan ketidakadilan bagi mereka.
Pencitraan negatif atau stereotiping oleh media massa dan pemahaman masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Sekali media massa menanamkan suatu stereotipe tertentu dan masyarakat mengamininya, maka hal ini yang akan diteruskan ke generasi selanjutnya. Dari pemahaman masyarakat yang seperti ini muncul dorongan agar media massa mencitrakan hal serupa seterusnya dan hal ini menjadi lingkaran hitam di mana kaum LGBT tidak akan pernah terlepas dari anggapan negatif masyarakat dan institusi media massa.
5. Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa media massa melakukan stereotiping terhadap kaum LGBT melalui proses framing. Stereotiping yang dilakukan oleh media massa dinilai tidak etis dari tiga sudut pandang yaitu deontologis, teleologis, dan subyektif.
Secara deontologis, media massa tidak etis karena tidak melakukan pemberitaan berimbang atau obyektif mengenai kaum LGBT. Secara teleologis, media massa yang melakukan stereotiping berimbas buruk bagi kaum LGBT yaitu berupa penolakan dalam masyarakat. Secara subyektif, stereotipe media massa telah mengesampingkan nilai-nilai yang lebih esensial seperti hak azasi manusia dan akses untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi kaum LGBT.
Stereotiping memunculkan terjadinya ketidakadilan bagi kaum LGBT. Adapun stereotiping itu terjadi tidak lepas dari kepentingan institusi sosial lain seperti agama dan kepentingan komersialisasi atau motif ekonomi dalam mengomodifikasi karakter banci dalam berbagai tayangan di televisi.
Stereotiping mengakibatkan masyarakat Indonesia jauh dari keberagaman pendapat dan pilihan dalam hal orientasi seksual. Pilihan masyarakat dalam hal orientasi seksual seolah disetir oleh media massa yang terus menerus mengategorikan hubungan yang normal dan tidak normal (kaum non-heteroseksual).
Media massa dalam melakukan stereotiping sering menciptakan disfungsi dalam penyampaian pesannya. Hal ini terjadi ketika masyarakat tidak bisa membedakan antara tokoh banci yang sengaja dibuat di media massa dengan karakter waria asli yang memilih jalan hidup yang berbeda dari orang kebanyakan. Perlakuan yang sama terjadi terhadap tokoh banci di televisi dengan kaum LGBT yang tidak memiliki kepentingan komersial dalam pilihan hidupnya.
6. Saran
Saran yang dapat diberikan dari kasus stereotiping media massa terhadap kaum LGBT adalah dimungkinkannya pemberitaan berimbang dari media massa yang mewakili kepentingan kaum LGBT. Media massa menjadi sarana politik kaum LGBT untuk menyampaikan aspirasinya yang selama ini tidak didengar masyarakat.
Munculnya media massa alternatif yang menyajikan akses untuk kaum LGBT mengekspresikan diri menjadi saran lain yang bisa dijalankan. Sebagai contoh, situs sepocikopi.com yang merupakan wadah kreasi kaum lesbian memberi ruang bagi kaum tersebut untuk berekspresi dan menghasilkan sesuatu yang positif. Adanya suara-suara yang mendengungkan kepentingan kaum LGBT, khususnya lesbian juga dimediasi oleh Jurnal Perempuan. Film-film bertema LGBT bisa merupakan tandingan dari media massa yang tidak mewujudkan keadilan sosial terhadap kaum LGBT. Sebut saja film Berbagi Suami atau Detik Terakhir. Film-film semacam ini akan mengundang wacana yang memungkinkan penerimaan kaum LGBT dalam masyarakat Indonesia pada akhirnya. Media-media inilah yang bisa dikatakan merealisasikan bentuk tanggung jawab sosial yang selama ini tidak ditunjukkan media massa kebanyakan.
Peran institusi sosial lain dan negara juga berpengaruh terhadap pengemasan berita mengenai kaum LGBT. Keterbukaan terhadap pluralitas pilihan orientasi seksual mendorong lahirnya tanggung jawab sosial dari media massa.
Referensi
Buku
Day, Louis A, 2000, Ethics in Media Communications: Cases and Controversies, Wadsworth.
Gerbner, George, 2007, Cultivation Analysis dalam West and Turner, Introducing Communication Theory, New York: McGraw Hill.
McQuail, Dennis, 2000, Mass Communication Theory (4th Ed.) hal 343, London: Sage Publications.
Merril, John C., 1996, Foundations for Media Ethics dalam Gordon D. Kittross et. al. Controversies in Media Ethics, Longman.
Wilkins and Coleman, 2005, The Moral Media: How Journalists Reason about Ethics hal 83, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Websites
http://health.detik.com/read/2010/03/15/180058/1318755/766/bisakah-perilaku-gay-menular diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.12
http://en.wiktionary.org/wiki/stereotype diakses 9 Mei 2010 pukul 20.32
http://en.wikipedia.org/wiki/LGBT diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.41
http://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_symbols diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.44
Robert N. Entman,framing: Toward Claryfication Of A Fractured Paradigma, Jurnal Of Communication, hal.43 diakses dari . http://ekawenats.blogspot.com/2006/03/perempuan-dan-konstruksi-media.html pada 26 Mei 2010 pukul 16.00
http://www.kpi.go.id/index.php?etats=detail&nid=784 diakses pada 26 Mei 2010 pukul 16.30
http://leonie.multiply.com/reviews/item/1 diakses pada 26 Mei 2010 pukul 16.45
[1] http://health.detik.com/read/2010/03/15/180058/1318755/766/bisakah-perilaku-gay-menular diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.12
[2] Gerbner, George, 2007, Cultivation Analysis dalam West and Turner, Introducing Communication Theory, New York: McGraw Hill.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/LGBT diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.41
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_symbols diakses pada 26 Mei 2010 pukul 10.44
[5] Merril, John C., 1996, Foundations for Media Ethics dalam Gordon D. Kittross et. al. Controversies in Media Ethics, Longman.
[6] Merril, John C., ibid.
[7] http://en.wiktionary.org/wiki/stereotype diakses 9 Mei 2010 pukul 20.32
[8] Wilkins and Coleman, 2005, The Moral Media: How Journalists Reason about Ethics hal 83, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
[9] Day, Louis A, 2000, Ethics in Media Communications: Cases and Controversies, Wadsworth.
[10] Robert N. Entman,framing: Toward Claryfication Of A Fractured Paradigma, Jurnal Of Communication, hal.43 diakses dari . http://ekawenats.blogspot.com/2006/03/perempuan-dan-konstruksi-media.html pada 26 Mei 2010 pukul 16.00
[11] McQuail, Dennis, 2000, Mass Communication Theory (4th Ed.) hal 343, London: Sage Publications.
[12] http://www.kpi.go.id/index.php?etats=detail&nid=784 diakses pada 26 Mei 2010 pukul 16.30
[13] http://leonie.multiply.com/reviews/item/1 diakses pada 26 Mei 2010 pukul 16.45
2 comments:
met siang, menurut anda, sejauh manakah media pers di Indonesia sudah mengaplikasikan etika tersebut???
Mas,,,,,Thanks ya atas Infonya,,,,,,,,,,,
www.immanueladmin.blogspot.com
Post a Comment