Istilah
etika memiliki banyak definisi. Salah satu definisi etika adalah nilai-nilai
dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens K. , 1997,
hal. 6). Secara singkat, etika diartikan sebagai baik atau buruk dari
suatu hal. Dalam hal ini, dapat terlihat bahwa etika mirip dengan moral.
Dalam
dunia modern situasi etis memiliki tiga ciri (Bertens
K. , 1997, hal. 31). Yang pertama adalah adanya pluralisme moral, yaitu
keadaan dimana terdapat banyak etika yang dianut masyarakat sebagai konsekuensi
atas kemajemukannya. Yang kedua adalah timbul banyak masalah etis baru yang
dulu tak terduga, misalnya hadirnya teknologi internet membawa konsekuensi pada
bertambahnya jenis masalah etis yang ada. Sedangkan yang terakhir adalah dalam
dunia modern tampak semakin jelas juga suatu kepedulian etis yang universal,
yang bisa jadi merupakan suatu petunjuk bahwa masyarakat modern telah memiliki
kesadaran etis.
Media
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat juga termasuk ke dalam ranah yang
diatur oleh etika. Apalagi terkait ciri di atas, perkembangan media yang
dinamis menimbulkan celah bagi munculnya masalah etis baru. Sehingga didapati
istilah etika media dalam cabang filsafat komunikasi. Etika media adalah cabang
pencarian filosofis untuk membantu jurnalis dan insan media lain dalam
menentukan bagaimana bersikap dalam pekerjaan mereka (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 5). Jadi, etika
media, seperti di bidang lain, merupakan pedoman bagi para insan media dalam
berkarya.
Dalam
buku Ethics in Media Communications (Day, 2006) terdapat tiga cabang etika, yaitu
metaetika, etika normatif, dan etika terapan. Metaetika berkaitan dengan kajian
karakteristik atau sifat etika. Metaetika membahas hal-hal yang mendasar
seperti istilah-istilah abstrak, misalnya baik, benar, keadilan, dan kejujuran.
Selanjutnya, yaitu etika normatif, membahas mengenai pengembangan teori-teori,
aturan, dan prinsip umum kewajiban moral. Etika normatif menyediakan pondasi
bagi pengambilan keputusan etis dalam dunia yang yang sebenarnya. Beberapa
larangan dalam masyarakat seperti larangan berbohong, menyontek, dan mencuri
datang dari kepedulian kita terhadap etika normatif. Dan yang terakhir, etika
terapan, merupakan cabang penyelesaian masalah dari filsafat moral. Tugas etika
terapan ini adalah untuk menggunakan pengetahuan yang didapat dari metaetika
serta prinsip dan aturan umur dari etika normatif dalam membahas isu serta
kasus konkrit etis tertentu.
Dalam
mempelajari etika, terdapat tiga megateori yang dijadikan pendekatan utama.
Yang pertama adalah megateori deontologis. Deontologi berhubungan dengan
kewajiban, dengan mengikuti aturan formalistis, prinsip, atau maksim. Megateori
teleologis mengatakan bahwa orang yang mencoba memutuskan apa yang dilakukan
mencoba memprediksi konsekuensi yang ada jika A dilakukan daripada B. Sedangkan beberapa subteori yang tidak
termauk ke dalam keduanya dianaungi oleh megateori subyektif yang menekankan
bahwa etika bersumber dari diri sendiri, termasuk keasadaran (conscience) (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 7).
Tinjauan
etis pada makalah ini berangkat dari megateori teleologis. Megateori teleologis
berawal dari tokoh John Stuart Mill yang memformulasikan teori utilitarianisme,
yaitu yang bertujuan “to bring the
greatest happiness (or pleasure) to the greatest number” (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 8).
Dalam teori ini, suatu tindakan dipandang etis apabila tindakan tersebut
membawa kebahagiaan bagi jumlah orang yang paling banyak. Semakin banyak jumlah
orang yang bahagia atas suatu tindakan, maka semakin etis tindakan tersebut.
Begitupula sebaliknya.
Definisi
di atas diperjelas dengan kutipan berikut:
‘The Encyclopia
of Ethics says utilitarianism holds tahat human conduct should promote the
interests or welfare of those affected (Lyon, 2001). A shorthand definition is
that utilitarianism insists the right action is that which benefits the
greatest number of people or harms the least number of people. This utilitarian
approach has a fundamental justification: The theory seems democratic.’ (Black & Roberts, 2011, hal. 317)
Jadi
yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan suatu tindakan adalah orang-orang
yang terpengaruh. Pilihannya ada dua: menguntungkan paling banyak orang atau
membahayakan paling sedikit orang. Jadi teori ini nampak demokratis.
Etika
utilitarian berbeda dengan Machiavellian
ethics yang memiliki aksioma “the end
justifies the means”. Etika ini tidak sepragmatis Machiavellian ethics karena menekankan pada “the importance of means and ends”. Dalam hal ini berarti ada syarat
lain selain akibat, yaitu dimensi cara. “The
ends would justify the means if the ends were the greatest happiness for the
greatest number” (Gordon, Kittross, Merill,
& Reuss, 1999, hal. 11).
Seperti
yang telah dikatakan sebelumnya, etika utilitarian identik dengan demokrasi.
Oleh karena itu etika ini sering dipakai di banyak negara, terutama yang
menganut demokrasi. Apalagi dalam politik, walaupun terkadang pada praktiknya
yang terjadi adalah etika pragmatis seperti Machiavellian,
namun secara ideal, utilitarian inilah yang sering digunakan. Seperti yang
dijelaskan dalam kutipan berikut:
‘Utilitarian
ethics works hand-in-glove with the democratic process. The best way to
maximize human satisfaction is for everybody to exercise their own preference.
In facts, Mill’s on Liberty (1859/1975), written two years before
Utilitarianism (1861/1979), is the Bible of democratic politics, arguing for
the greatest possible liberty, limited only by harm to others’ (Cheney, May, & Munshi, 2011, hal. 191).
Dalam
perkembangannya, penerapan etika tidak hanya dibutuhkan teori. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, etika memiliki tiga cabang. Dalam pengejawantahannya,
cabang etika terapan muncul sebagai pedoman praktis dalam bertindak dan
memutuskan suatu hal. Etika terapan yang sering juga disebut etika profesi ini
banyak dijumpai di berbagai bidang dan ilmu. Termasuk dalam komunikasi. namun
dalam komunikasi etika terapan diturunkan lagi dalam cabang-cabang profesi yang
berkaitan dengan komunikasi.
Nama
etika terapan harus dimengerti konteks historisnya. Nama ini mau menunjukkan
orientasi praktis etika sekarang, bertentangan dengan kecondongannya yang serba
teoretis dulu. Ciri etika terapan sekarang antara lain terdapat: hubungan
timbal balik antara teori dan praktek; tekanan pada keterbukaan komunikasi,
dialog; serta usaha multidisipliner (Bertens K., 2003, hal. 47-48).
Dalam
pembahasan mengenai film yang ditujukan untuk generasi muda, terdapat beberapa
perundangan yang bisa dijadikan dasar etika terapan. Khusus untuk konteks film
horor Indonesia, terdapat dua perundangan yang sering dijadikan pedoman dalam
menilai suatu film etis atau tidak. Penilaian ini biasanya dikaitkan pada
konten mesum yang sering mengisi beberapa adegan dalam film horor. Berikut
beberapa pasal yang berkaitan dengan pembahasan kali ini yang diambil dari
Undang-undang Perfilman dan Undang-undang Pornografi.
UU Nomor 33 Tahun 2009
Tentang Perfilman
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan
berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya
bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan
usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
- mendorong
khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
- menonjolkan
pornografi;
- memprovokasi
terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau
antargolongan;
- menistakan,
melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
- mendorong
khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
- merendahkan
harkat dan martabat manusia.
Pasal 45
Masyarakat
berhak:
- memperoleh pelayanan
dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
- memilih dan
menikmati film yang bermutu;
- menjadi
pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman;
- memperoleh
kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film; dan
- mengembangkan
perfilman.
Pasal 48
Setiap insan perfilman berkewajiban:
- memenuhi
standar kompetensi dalam bidang perfilman;
- melaksanakan
pekerjaan secara profesional;
- melaksanakan
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
- menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 50
- Setiap
pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
- memiliki
kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
- menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa
dalam kegiatan perfilman.
- Setiap
pelaku usaha perfilman berkewajiban:
- memiliki
kompetensi dan sertifikat usaha dalam bidang perfilman;
- menjunjung
tinggi nilai-nilai agama, etika,moral, kesusilaan, dan budaya bangsa
dalam usaha perfilman; dan
- membuat
dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra kerja yang dibuat secara
tertulis.
UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1) Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4
1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a. persenggamaan,
termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan
seksual;
c. masturbasi
atau onani;
d.
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat
kelamin; atau
f. pornografi
anak.
CONTOH KASUS
Industri
perfilman Indonesia mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Industri
ini sempat terpuruk sekitar tahun 1998-2001. Di tahun 1998 yang merupakan tanda
masuknya Indonesia ke dalam era reformasi, tercatat hanya 11 judul film yang
diproduksi oleh sineas dalam negeri. Jumlah ini kian menyusut pada tahun 1999,
2000, dan 2001. Secara berurutan, jumlah judul film yang diproduksi pada tiga
tahun tersebut adalah 10, 6, dan 4 judul (PPPI,
2010, hal. 101).
Dunia
perfilman Indonesia mulai bangkit sejak awal dekade lalu. Dimulai sejak
munculnya film musikal “Petualangan Sherina” besutan sutradara Riri Riza di
tahun 2000 yang dibintangi Sherina Munaf serta beberapa artis kawakan. Sejak
itu banyak film Indonesia muncul dan menghiasi bioskop di Indonesia dengan
berbagai macam genre. Salah satu genre film yang cukup bisa bertahan selama
beberapa tahun adalah genre horor. Dari data sepuluh film terlaris 2011, tujuh
dari sepuluh film tersebut adalah film horor (Film
Indonesia, 2011).
Di
Indonesia, film dengan genre horor telah hadir sejak dulu. Ada dua film yang
sering dijadikan tonggak film horor di Indonesia, yaitu Tengkorak Hidoep (1941)
karya Tan Tjoei Hock dan Lisa karya M. Shariefuddin yang diproduksi
tahun 1971. Setelah itu, di tahun 1970-an film horor banyak bermunculan,
seperti Beranak dalam Kubur (1971) yang menceritakan hantu perempuan
yang bangkit dari kubur demi membalas dendam pada kakak yang membunuhnya untuk
menguasai perkebunan milik keluarga dan film Ratu Ular (1972),
menceritakan seorang janda cantik kaya yang memiliki perjanjian dengan setan.
Film Beranak dalam Kubur bahkan menandai kelahiran “sang ratu” abadi
film horor Indonesia, Suzanna, yang kemudian merajai dunia horor di Indonesia
era tahun 70-80an (Rusdiarti, 2009).
Saat
ini, film horor masih tetap menjadi industri yang bertahan. Dalam artikel
“Selamat Datang di Republik Hantu” (Kompas, 25 Maret 2007) tercatat data
film-film horor yang diproduksi dan diedarkan tahun 2006-2007 yang secara
meyakinkan mampu meraup penonton lebih dari 500 ribu orang. Tidak mengherankan
film horor menjadi andalan bagi para produser karena cukup cost effective dan cepat menghasilkan untung.
Di
Indonesia, film horor selalu lebih dekat kepada pasar ketimbang mutu atau
pencapaian artistik (Firdaus, 2008). Film
horor di Indonesia sering dianggap asal diproduksi untuk mencari untung. Sebuah
laporan Majalah Tempo yang ditulis Seno Joko Suyono dan Dwi Arjanto pada tahun
2003 pernah dengan sinis “meledek” sejumlah film horor Indonesia yang,
alih-alih membikin takut jika ditonton, membuat geli dan dipenuhi unsur-unsur
yang menjengkelkan (Firdaus, 2008).
Kritik bisanya mencakup logika cerita yang ganjil, “pandangan dunia”
hitam-putih yang naif, adegan-adegan aneh, dan akting yang pas-pasan.
Untuk
menutupi kekurangan dalam hal cerita atau logika, seks adalah ramuan yang
dianggap pas dalam film horor. Sejak tahun 1970-an, seks telah mulai dikenal
sebagai bumbu. Dosisnya lama-lama meningkat, dan pada akhirnya justru menjadi
menu utama. Logika cerita dan akting akhirnya dijadikan soal nomor sekian.
Demikianlah, kita akhirnya menemukan “trilogi” Nyi Blorong-nya Suzanna tahun
1980-an yang dibumbui seks, dilanjutkan dengan sejumlah film horor-seks lain,
dan mencapai heboh tatkala Yurike Prastika tampil dalam Pembalasan Ratu Laut
Selatan (1989). Film yang bukan hanya hangat tapi panas itu akhirnya ditarik dari
peredaran karena protes keras sejumlah kalangan (Firdaus,
2008).
Memang
ada perbedaan dalam film-film horor Indonesia saat ini yang tidak lagi
tergantung pada legenda-legenda tradisional, seperti Nyai Roro Kidul atau Nyi
Blorong. Sebagian besar film malah menghadirkan karakter-karakter remaja dan
lingkungan perkotaan yang sebelumnya tidak pernah disentuh oleh film horor
Indonesia. Namun bumbu seks tetap menjadi ramuan andalan dalam hampir setiap
film horor. Karl Heider dalam bukunya Indonesian Cinema. National Culture On
Screen (1991: 44) menyatakan bahwa film horor Indonesia pada masa Orde Baru
tidak bisa dilepaskan dari tiga hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya
menjadi formula ampuh yang membuat film-film horor Indonesia digemari
penontonnya. Tampaknya formula itu masih digunakan di beberapa film horor baru,
hanya saja untuk tema religi sedikit berkurang (Rusdiarti,
2009). Film-film hantu yang cenderung mengeksploitasi tubuh perempuan
dan seks dapat ditemukan dalam film Tiren (2008), Tali Pocong Perawan
(2008), Hantu Budeg (2009), Hantu Jamu Gendong (2009), dan Pocong
Kamar Sebelah (2009), Paku Kuntilanak (2009), Diperkosa Setan (2011), dan lain-lain.
Film-film
yang kini dikenal dengan sebutan film ‘horor-seks’ alias ‘horor mesum’ ini
makin sering diproduksi. Yang menjadi permasalahan adalah film tersebut
seringkali ditujukan kepada remaja. Dari latar cerita hingga pemain kebanyakan
adalah remaja dan kaum muda. Pada kenyataan di lapangan pun, penonton film-film
semacam ini juga banyak terdiri dari remaja. Dari pengamatan terhadap film Pelet Kuntilanak di sebuah bioskop di
kawan Depok, terlihat bahwa sekitar 90% penonton yang masuk ke dalamnya adalah
remaja. Yang mengejutkan adalah sekitar 70% dari penonton tersebut adalah
perempuan.
Materi
seks dalam film horor bisa ditelusuri dengan mudah hanya lewat poster dan trailer film tersebut. Gambar perempuan
dengan pakaian minim sering menghiasi dinding-dinding bioskop yang memutar film
semacam ini. Belum lagi trailer yang
berisi cuplikan adegan-degan yang mengisyaratkan kegiatan seks. Kebanyakan
adegan seks yang diceritakan adalah seks di luar ikatan pernikahan, entah
dengan manusia maupun makhluk halus yang menjadi obyek film tersebut.
Nina
Mutmainnah Armando dalam artikel berjudul “Film Horor Seks untuk Remaja, PR
untuk Orangtua” dalam majalah Ummi edisi Mei 2011 menilai bahwa yang sebenarnya
ingin dijual film-film semacam ini adalah seks. Beliau menyebutkan bahwa dalam
industri hiburan berlaku pakem sex sells,
yaitu seks merupakan materi yang menjual. Namun jika film ini disebut sebagai
‘film seks’, tentu saja akan menimbulkan reaksi di masyarakat, karena sebutan
semacam ini melanggar norma kesusilaan.
Di
sisi lain, data dari Nielsen menunjukkan bahwa penonton film bioskop di
Indonesia dari kalangan anak muda mengalami pengingkatan dari tahun ke tahun.
Dari kuartal kedua tahun 2005 hingga tahun 2009, penonton usia belasan
jumlahnya terus meningkat secara konstan dengan kisaran peningkatan sebesar
1-2% per tahun. Hal ini tentu menjadi permasalahan baru, ternyata seiring
dengan meningkatnya jumlah film horor seks di Indonesia, terjadi pula
peningkatan jumlah penonton dari kalangan anak muda.
Film
Horor Mesum dan Pornografi
‘Pleasure becomes, in pornography debates, a matter
of crucial ethical import as it is the only ‘product’ that is assumed to be
certain to issue from the production of porn, and it is not the product that
can be put to good utilitarian or social use’ (Downing & Saxton, 2010, hal. 79).
Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi
eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual yang
tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke
publik. Mesum, cabul, atau tidak senonoh dipahami sebagai sebagai sesuatu yang
melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan
representasi seksualitas (Haryatmoko, 2007, hal. 93).
Ada yang perlu digarisbawahi dari pengertian di atas,
yaitu kata-kata ‘representasi eksplisit’. Disini bisa diartikan bahwa harus ada
bentuk yang jelas menggambarkan atau menjelaskan hal ini secara tersurat.
Pengertian ini sedikit berbeda dengan pengertian dalam pasal 1 Undang-undang
Pornografi yang tidak mencantumkan kata-kata semacam itu. Namun pasal ini
menekankan pentingnya peran media dalam mengkategorikan suatu konten sebagai
sebuah pornografi atau bukan.
Dalam kasus film horor mesum, beberapa adegan
sekilas terkesan ‘porno’. Namun beberapa pihak yang berkepentingan dalam hal
ini beralasan bahwa adegan tersebut tidak secara eksplisit menggambarkan
adegan-adegan mesum. Beberapa konten seperti suara erangan bisa diklaim sebagai
sesuatu yang tidak eksplisit menunjukkan suatu tindakan yang masuk dalam kategori
pornografi.
Oleh karena itu, akan terasa sulit dan rumit untuk
melakukan tinjauan etis terhadap pornografi dalam film. Hal ini juga
dikarenakan pornografi itu sendiri tidak cocok diletakkan dalam kegunaan
sosial. Dalam perspektif utilitarian, pornografi dimoderasi dengan pengaturan
distribusi agar kebahagiaan tetap dimiliki paling banyak jumlah orang dan
bahaya bagi sekecil-kecilnya jumlah orang.
Menyoal
Representasi
Representasi tubuh manusia, termasuk dalam film,
telah menstimulasi serangkaian debat mengenai batasan gambar tubuh manusia yang
diterima (Baldwin, Longhurst, McCracken, Ogborn, & Smith, 2004). Hal ini menjadi sorotan yang cukup banyak dalam
kajian mengenai film horor mesum. Beberapa adegan seringkali menunjukkan
representasi tubuh manusia dengan balutan busana yang minim. Beberapa adegan
bahkan mengesankan ketelanjangan, seperti sosotan kamera dari belakang yang
menunjukkan punggung sampai pinggang tanpa busana sehelai pun. Dalam
perdebatannya, pihak dari film tidak mau diklaim berlebihan dalam menyorot
bagian tubuh tertentu yang bagi sebagian orang telah masuk ke dalam batasan gambar
tubuh yang boleh diperlihatkan. Apalagi batasan pornografi yang diterapkan
melalui Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi longgar dalam
menilai apakah suatu konten termasuk pronografi atau bukan. Padahal jelas-jelas
ada pasal yang menekankan kewajiban menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral,
kesusilaan, dan budaya bangsa. Memakai bikini dan pakaian minim lain dan ditunjukkan ke muka umum bagi
sebagian masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan asusila dan tidak sesuai
dengan budaya bangsa.
Selain itu, representasi perempuan dalam media
diiringi dengan stereotip yang merusak persepsi diri perempuan dan membatasi
peran sosial mereka (Thornham, 1998, hal. 213). Dalan film-film semacam ini perempuan sering
ditampilkan denagn balutan busana yang minim dan kesan telanjang. Film seperti Diperkosa Setan berkali-kali menampilkan
adegan pesta yang menampilkan para wanita berbalut pakaian renang alias bikini.
Hal ini dapat merusak persepsi perempuan hingga perempuan dianggap sebagai
sosok yang murahan, cabul, suka menggoda, dan tidak senonoh.
Mengenai representasi perempuan ini, beberapa kajian
tentang film horor mesum juga memfokuskan analisisnya pada hal ini. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, representasi tubuh dalam film horor mesum
dapat dinilai tidak mewakili representasi masyarakat secara keseluruhan. Dan
pihak yang sering direpresentasikan dengan balutan busana semacam ini tidak
lain adalah perempuan.
Yang menjadi sorotan adalah ketika representasi
tubuh manusia, khususnya perempuan, dalam film horor mesum tidak mewakili
keseluruhan nilai dan budaya yang dianut masyarakat. Hal ini tidak dapat
memberi kebahagiaan bagi paling banyak orang mengingat Indonesia didominasi
oleh masyarakat yang menganut budaya ketimuran.
Apalagi jika mengingat konsumen film-film ini adalah
remaja. Karakteristik remaja yang labil dan penuh rasa keingintahuan sangat
sensitif terhadap hal-hal semacam ini. Ketika perempuan direpresentasikan
seperti tadi, maka tak heran remaja putri banyak yang mengikuti gaya berbusana
dan bergaul para tokoh di film tersebut.
Ketika
Uang Berbicara
Bisnis film adalah sesuatu yang beresiko (Albaran,
1996, hal. 124). Bagaimana
tidak, untuk pembuatan satu film saja tidak hanya dibutuhkan puluh bahkan ratus
juta, melainkan sudah pada satuan milyar rupiah. Jumlah sebesar itu belum
digaransi dengan jumlah penonton. Dengan kata lain ada kemungkinan jumlah
tersebut tidak kembali bahkan merugi jika pada kenyataannya di pasaran film
tersebut sepi penonton.
Mengapa film horor mesum dipilih? Tak lain karena
ada dimensi ekonomis yang mendukungnya. Setiap rumah produksi yang ingin
bertahan hidup tentu harus memproduksi film. Dari segi biaya produksi, film
semacam ini mungkin hanya membutuhkan biaya sekitar satu dua milyar rupiah.
Jauh berbeda bila dibandingkan dengan biaya film sekelas Laskar Pelangi yang bisa menghabiskan dana sekitar delapan milyar
rupiah. Biaya ini dapat ditekan karena efisiensi sana-sini. Dari skenario,
biasanya film semacam ini tidak membutuhkan skenario yang orisinil karena
cerita biasanya itu-itu saja. Selain itu alur tidak perlu begitu rumit karena
akan terdapat banyak improvisasi yang ditujukan untuk menciptakan suasana mencekam.
Dari segi latar tempat juga bisa diefisienkan. Latar kehidupan renaja perkotaan
yang berkisar di tempat-tempat seperti kampus/sekolah, rumah, rumah kos, maupun
tempat tempat hiburan dapat dengan mudah disewa karena proses riset dan
perizinan yang tidak begitu memakan biaya. Yang penting adalah efek grafis yang
suram dan gelap. Begitu pula dengan pemain film yang biasanya itu-itu saja.
Sesekali pemain utama berganti, sengaja mendatangkan artis kontroversial
seperti Maria Ozawa dan Rin Sakuragi yang memiliki rekam jejak sebagai bintang
film porno. Dan lebih dari itu semua, film semacam ini selalu laku di pasaran.
Entah karena bumbu mesum atau karena tidak ada pilihan lain, belum jelas benar
alasannya.
Eksploitasi pasar dalam hal ini bisa saja terjadi.
Pasar anak muda yang cenderung meningkat tiap tahunnya dimanfaatkan. Dengan
psikografis yang biasanya adalah movie
goer dan gampang penasaran dengan hal baru, mereka dilihat sebagai pasar
yang potensial. Ibarat disuguhkan apapun mereka mau dan malah penasaran,
keadaan semacam ini mendukung berlangsungnya industri film semacam ini. Padahal
film semacam ini tidak layak dikonsumsi karena dapat mengancam moralitas
generasi muda. Apalagi masa remaja merupakan masa-masa pencarian jati diri dan
pembentukan karakter. Apa jadinya bila mereka diempa dengan film yang isinya
hanya percintaan dan seks belaka.
Film
sebagai Media Propaganda
Sejak
dulu pada masa-masa pasca kemerdekaan, film telah dijadikan alat untuk
membangun ideologi. Film memliki karakateristik sebagai alat propaganda yang
dipercaya sejak dulu. Misalnya ketika pasca kemerdekaan, film dibuat untuk
membangun persatuan dengan menanamkan nasionalisme. Pun ketika Orde Baru, film
dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Mungkin masih terang dalam ingatan
bagaimana film G30S/PKI sukses
menjadi alat mebangun ideologi anti komunis.
Kepercayaan
akan film semacam itu nampaknya juga masih bertahan hingga sekarang. Film
dijadikan sebuah alat propaganda. Bukan lagi menyoal bangsa, melainkan ideologi
global yang sedang merajalela, yaitu hedonisme dan konsumerisme. Kehidupan seks
bebas kini menjadi tontonan yang biasa. Gaya berpakaian a la Barat juga bukan barang baru, bahkan kini sudah diterapkan
banyak remaja.
Meski
diklaim membawa pesan moral yang bagus, namun yang ditonjolkan justru
kemasannya yang mengancam moral. Mengaku ingin memberi efek jera namun yang
diulang-ulang justru adegan yang menimbulkan rasa penasaran bahkan kecanduan.
Kalaupun berakhir dengan penyelesaian, namun itu hanya sebagian kecil dari alur
film yang ada. Porsi terbesarnya diserap oleh konten-konten immoral dan
membahayakan karakter remaja.
Mungkin
benar adanya bahwa moralitas media saat ini mandek pada tingkat kebiasaan (Gordon, Kittross, Merill, & Reuss, 1999, hal. 6).
Media mengkonstruksi film-film semacam ini sebagai produk budaya yang biasa dan
etis ditampilkan, sehingga bukannya menjadi makin bermoral, media seperti film
justru makin terperosok dalam etika subyektif yang bukan berasal dari
kesadaran, tapi lebih kepada keuntungan pribadi dan materi.
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
Kecenderungan
hadirnya konten seks dalam film horor saat ini nampaknya perlu mendapat
perhatian serius. Walaupun bukanlah hal baru, namun kecenderungan ini berbeda.
Kalau diamat-amati, sebenarnya kondisinya berbalik, bukan film horor dibumbui
seks, melainkan film-film seks yang dibungkus dengan horor. Parahnya, beberapa
rumah produksi dengan pertimbangan ekonomi lebih memilih memproduksi, meminjam
istilah Garin Nugroho, film “esek-esek” dengan alasan selera pasar. Konten
semacam ini tidak etis karena tidak memberi kebahagiaan bagi paling banyak
jumalah orang.
Padahal
pangsa pasar film semacam ini banyak diisi oleh remaja, disertai peningkatannya
tiap tahun. Remaja sebagai bagian dari masyarakat yang masih labil dan dalam
masa pembangunan karakter dan jati diri perlu dilindungi dari hal-hal yang
mengancam moralitas. Industri film semacam ini memperlakukan remaja sebagai
pangsa pasar dengan tidak etis karena terus dieksploitasi.
Film
semacam ini bukannya memberi kebahagiaan malah membahayakan banyak jumlah
orang, dalam hal ini remaja sebagai pihak yang dipengaruhi. Etika terapan yang
tersirat dalam perundangan nyatanya tak mampu banyak bicara. Karena kelemahan
kata-kata yang multiinterpretatif maupun ketidakjelasannya.
Sebagai
rekomendasi, diperlukan evaluasi terhadap undang-undang sebagai wujud etika
terapan sehingga dapat memenuhi fungsinya dengan efektif, yaitu sebagai pedoman
praktis insan perfilman. Selain itu, penting kiranya untuk memberikan
pendidikan literasi media, baik di lingkup keluarga maupun pendidikan, agar
generasi muda tumbuh menjadi generasi yang kritis dalam mengkonsumsi media dan
terhindar dari bahaya kerusakan moral.
Daftar Pustaka
Albaran, A. B.
(1996). Media Economics. Iowa: Iowa State University Press.
Armando, N. M.
(2011, Mei). Film Horor Seks untuk Remaja, PR untuk Orangtua. Majalah Ummi
, hal. 66-67.
Baldwin, E.,
Longhurst, B., McCracken, S., Ogborn, M., & Smith, G. (2004). Introducing
Cultural Studies (Revised 1st Edition ed.). Harlow: Pearson Education.
Bertens, K.
(1997). Etika. Jakarta: Gramedia.
Bertens, K.
(2003). Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika. Yogyakarta:
Kanisius.
Black, J., &
Roberts, C. (2011). Doing Ethics in Media. New York: Routledge.
Cheney, G., May,
S., & Munshi, D. (2011). The Handbook of Communication Ethics. New
York: Routledge.
Day, L. A. (2006).
Ethics in Media Communications: Cases and Controversies. Belmont, CA:
Thomson Wadsworth.
Downing, L., &
Saxton, L. (2010). Film and Ethics: Foreclosed Encounters. New York: Routledge.
Film Indonesia.
(2011, Mei). Data Penonton. Dipetik Mei 18, 2011, dari Film Indonesia:
http://filmindonesia.or.id/
Firdaus, H. (2008,
Oktober 18). Suzanna: Sebuah Obituari. Dipetik Mei 18, 2011, dari Rumah
Mimpi: http://rumahmimpi.net
Gordon, D., Kittross,
J. M., Merill, J. C., & Reuss, C. (1999). Controversies in Media Ethics.
Massachusetts: Longman.
Haryatmoko.
(2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi.
Yogyakarta: Kanisius.
PPPI. (2010). Indonesia
Media Index. Jakarta: PPPI.
Rusdiarti, S. R.
(2009). Film Horor Indonesia: Dinamika Genre. Dipetik Mei 18, 2011, dari
Web Dosen Universitas Indonesia: http://staff.ui.ac.id/
Thornham, S.
(1998). Feminist Media and Film Theory. Dalam S. Jackson, & J. Jones
(Penyunt.), Contemporary Feminist Theory (hal. 213). New York: New York
University Press.
No comments:
Post a Comment