(AG. Eka Wenats Wuryanta)
Perkembangan perspektif kritis dan budaya dalam memahami komunikasi massa, akhir-akhir ini, menjadi penting dan menjadi perspektif alternatif. Akar perspektif kritis berangkat dari asumsi-asumsi teori Marxis selain bahwa juga dipengaruhi dengan kritisisme bahasa. Argumentasi teoretisi menyatakan bahwa media massa selalu mendukung status quo dan mencampuri usaha gerakan perubahan sosial. Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Pengaruh idea marxisme - neo marxisme dan teori kritis mempengaruhi filsafat pengetahuan dari paradigma kritis. Asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah pembebasan nilai dominasi dari kelompok yang ditindas. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis memcoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian atau analisis kritis tentang teks media. Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas.
Beberapa teoretisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite domina mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoretis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.
Perspektif Kritis dan Kultural
Teori kultural dalam posisi tertentu merupakan juga teori kritis. Sistem nilai kurang lebih menjadi dasar dari posisi epistemologis tersebut. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyaraakt dipakai untuk mengkritisi institusi sosial yang ada dan praktik tindakan sosial. Institusi dan tindakan sosial meminggirkan beberapa nilai penting yang dikritisi. Alternatif-alternatif institusi atau tindakan sosial ditawarkan. Teori digunakan untuk melakukan tujuan praksis. Teori dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria.
Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.
Dalam perkembangan ilmu komunikasi modern, bahasa adalah kombinasi kata yang diatur dan dikelola secara sistematis dan logis sehingga bisa dimanfaatkan sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, kata merupakan bagian integral dari keseluruhan simbol yang dibuat oleh suatu kelompok tertentu. Jadi, kata selalu bersifat simbolik. Simbol dapat diartikan sebagai realitas yang mewakili atau merepresentasikan idea, pikiran, gagasan, perasaan, benda atau tindakan manusia yang dilakukan secara arbitrer, konvensional dan representatif-intrepretatif. Oleh sebab itu, tidak ada hubungan yang berlaku secara alamiah dan selalu bersifat koresponden antara simbol dengan realitas yang disimbolkan.
Politik penandaan lebih banyak bermakna pada soal bagaimana praksis sosial pembentukan makna, kontrol dan penentuan suatu makna tertentu. Peran media massa dalam praksis sosial penentuan tanda dan makna tidak melepaskan diri dari proses kompetisi ideologi.
Relasi dominasi dan kompetisi ideologis tidak hanya berproses pada tataran aparatur kelompok dominan saja tapi juga melalui produksi dan reproduksi kekuasaan yang berada dalam ruang budaya - tempat di mana makna hidup disusun. Pada proses inilah, terungkap bahwa produksi - konstruksi realitas menghubungkan dimensi politik wacana dengan dimensi politik ruang. Hal ini disebabkan bahwa hanya dalam ruang tertentu saja praksis wacana yang lahir dari sejarah dominasi dan kompetisi kultur yang panjang hingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan paling dominan dan hegemonis yang pada gilirannya menentukan rekayasa politik wacana.
Salah satu ciri kajian budaya adalah menempatkan teori kritis sebagaim basis analisa. Pengertian teori kritis di sini mencakup metode metadisiplin atau mengabaikan satu ilmu alat ketika analisa dirasakan telah mencapai upaya membangun perspektif yang lebih baru. Sebagaimana galibnya sebuah tujuan penelitian ilmu, ia tidak diharapkan hanya mengisi ulang alasan-alasan yang telah ada, tetapi bagaimana memunculkan dan mematikan alasan-lasan lama bila dianggap tidak berbasis pada teks yang dituju. Kearifan cultural studies akan menggiring kita kepada pemahaman bahwa setiap waktu atau satuan era, lokalitas, dan konteks masyarakat memiliki hasrat sosial yang tidak sama. Pencapaian pemahaman tinggi dapat terjadi jika kita dengan lunak mencerdasi setiap fenomena sosial melalui sebuah format ingin tahu, meneliti, dan berbicara sebagai subyek pelaku.
Catatan Kritis
Namun demikian yang lebih penting untuk diuraikan berikutnya tentu saja adalah teori-teori media dan kritisisme sosio-kultural yang mampu menyediakan wacana kritik dan telah memungkinkan suatu praksis politik. Disamping beberapa konsep dan metode yang diderivasi dari wacana filosofis tersebut, teori media dan teori kritik media juga tak mungkin di cerai-beraikan dari teori budaya. Perjumpaan perspektif yang eklektif itu bisa dimengerti jika kita menelisik pengertian budaya. Pengertian yang cukup representatif diusulkan oleh Raymond Williams dalam Keywords (1983:87) yang mengoleksi tiga definisi untuk kata ‘budaya’; pertama, budaya dapat digunakan untuk menunjuk pada proses umum intelektualitas, spiritualitas dan perkembangan estetika.
Kita dapat, misalnya, berbicara tentang perkembangan budaya Aceh dan hanya menunjuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, dan estetikanya -- ulama’-ulama’, para seniman, dan sajak-sajak. Kedua, kata ‘budaya’ untuk menunjuk pada cara pandang tertentu, apakah itu suatu masyarakat, jaman maupun suatu kelompok. Ketiga, Williams menyarankan bahwa budaya dapat digunakan untuk mengacu pada karya-karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas artistik. Dengan kata lain, ‘teks-teks’ dan ‘praktik-praktik’ yang fungsi utamanya adalah untuk menandakan dan untuk memproduksi makna. Definisi ketiga inilah yang memiliki persinggungan dengan apa yang biasa disebut oleh para strukturalis dan pasca-strukturalis sebagai ‘praktik-praktik penandaan’.
Berbicara tentang budaya, kiranya wilayah antropologi dan sosiologi tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Dalam pemahaman antropologis, budaya adalah “suatu sistem simbolik yang terbentuk secara internal, khas secara sosio-historis. Dengan demikian -berlawanan dengan definisi diatas- untuk merengkuh budaya tidak mungkin dengan mereduksinya pada praksis, struktur sosial atau ‘impuls-impuls kemanusiaan dasar”.
No comments:
Post a Comment