Pola komunikasi politik modern telah berkembang secara dramatis. Perkembangan demi perkembangan telah memperlihatkan bahwa komunikasi politik tidak berhenti di era tahun 80-an, melainkan terus berkembang bersamaan dengan dinamika politik modern. Demikian juga apabila kita mengamati perkembangan politik dan model komunikasi politik di Indonesia. Salah satu teman saya yang juga ingin menjadi pengamat politik yang handal, memberikan komentar mengenai gejala komunikasi politik kontemporer Indonesia. Gungun Heryanto dalam kupasannya menyebutkan:
"....Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini, segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009. Berbagai manuver, intrik, managemen konflik serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan memanas. Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye, menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004, memberi kesempatan para kandidat baik capres, caleg maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tuna kuasa tanpa literasi politik yang memadai.
Data-data (Majalah Cakram, 2008) berikut bisa dipakai untuk menggambarkan pernyataan di atas bahwa sekarang kompetisi iklan politik telah menjadi gejala yang nampak secara jelas. Pada pemilu 2004, PDIP paling banyak mengeluarkan dana iklan, yaitu sekitar Rp 39,258 miliar. Selanjutnya, diikuti Partai Golkar (Rp21,725 miliar), Partai Karya Peduli Bangsa (Rp6,858 miliar), Partai Amanat Nasional (Rp6,854 miliar), Partai Demokrat (Rp6,257 miliar). Dalam daftar sepuluh besar parpol terbesar yang mengeluarkan dana iklan di media juga terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan, PKS, PKB, Partai Bintang Reformasi dan Partai Persatuan Daerah. Sedangkan di urutan bawah belanja iklan parpol di media tercatat, Partai Buruh Sosial Demokrat (Rp76,06 juta), Partai PNUI (Rp158,48 juta), Partai Pelopor (Rp. 169,995 miliar) dan Partai Merdeka (Rp. 206,92 miliar). Televisi adalah media yang paling banyak menelan dana iklan parpol, yaitu sekitar Rp. 75,434 miliar. Selanjutnya diikuti media cetak (Rp. 35,184 miliar) dan radio (Rp. 2,163 miliar).
Menjelang pemilu 2009, iklan sosok Ketua Umum Gerindra Mayjen (purn) Prabowo Subianto, Ketua Umum Hanura Jenderal (purn) Wiranto, dan yang yang terbaru muncul adalah iklan Partai Demokrat dengan SBY sebagai ikonnya serta PKS dengan tema: Menuju Indonesia Bersih dan Peduli, tak pelak membuat masyarakat dihadapkan pada begitu banyak visi-misi partai yang semuanya memberikan harapan kepada masyarakat.
Sampai dengan saat ini, iklan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berada pada posisi terdepan. Dalam sehari iklan SB bisa tayang 180 kali. Padahal iklan pada jam-jam utama (prime time) bertarif sekitar Rp 20 juta per slot (30 detik) sekali tayang. Sedangkan biaya iklan berdurasi 60 detik bisa mencapai Rp 7,2 miliar per hari. Sampai dengan saat ini sudah berpuluh kali iklan tersebut ditayangkan. Itu belum termasuk spanduk-spanduk atau billboard yang terdapat di daerah-daerah.
Berdasarkan penelitian lembaga survei AC Nielsen Media Research Indonesia, total belanja iklan politik selama Januari hingga Juni 2008 mencapai Rp 769 miliar. Sedangkan, belanja iklan secara umum pada rentang waktu yang sama adalah Rp 19,6 triliun atau naik 24 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp 15,8 triliun. Peningkatan belanja iklan itu awalnya disumbangkan oleh dua produk, yakni telekomunikasi (Rp 1,9 triliun) dan otomotif (Rp 850 miliar. Namun, iklan politik turut memberi kontribusi dengan nilai Rp 769 miliar.
Media surat kabar atau koran masih menjadi pilihan favorit bagi pemasang iklan sehingga pertumbuhannya masih tertinggi, yakni 38 persen. Disusul majalah (24 persen) dan televisi (17 persen). Sedangkan dari segi pendapatan, televisi masih mendapat perolehan uang tertinggi, mencapai Rp 12 triliun, lalu koran sebesar Rp 6,7 triliun dan majalah hanya sebesar Rp 4 triliun.
Tentu saja yang menangguk keuntungan adalah pengelola media massa. Tetapi jangan juga dilupakan perusahaan periklanan dan konsultan politik. Ada beberapa nama yang sering muncul sebagai perusahaan periklanan spesialis iklan politik antara lain Fox Indonesia milik Rizal Mallarangeng yang didirikan 1 Februari 2008, disebut pula Hotline Advertising yang menangani iklan SBY dan Demokrat pada Pemilu tahun 2004 lalu.
Dengan deretan data di atas, terlihat bahwa para pelaku dan para manajer kampanye partai politik memperlihatkan kepercayaan kepada media massa. Meski sebenarnya, ada beberapa teori yang memang mengatakan bahwa kampanye di media massa, apapun itu bentuknya berdampak sangat kecil terhadap preferensi pemilih.
Dari sebuah penelitian oleh Lazarfeld dan Menzel, ada kesimpulan bahwa “orang lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antar pribadinya dalam menentukan keputusan politiknya dari pada dipengaruhi oleh hubungan politiknya daripada dipengaruhi oleh media massa”. (2003:120) Seorang tokoh komunikasi politik, Klapper, mengatakan bahwa “pemberitaan kampanye atau berita-berita yang terkait dengan pasangan calon sebenarnya tidak akan mengubah pilihan pemilih. Pemberitaan mengenai pasangan calon dan kegiatan kampanye mereka berguna untuk memperteguh keyakinan bukan mengubah pilihan. Klapper mengatakan dalam kampanye politik lewat media massa, orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya 10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung dalam arti orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan awalnya sebelum pandangannya berubah.” (1999:94)
Berkaitan dengan pernyataan di atas maka, jika mau jujur, permasalahan media sesungguhnya bukan terletak pada bagaimana mengisi halaman demi halaman, segmen demi segmen dengan informasi yang harus disajikan secara berkelanjutan kepada khalayak. Sebab setiap hari ada begitu banyak isu dan peristiwa yang muncul dalam kehidupan publik. Ruang untuk melaporkan dan mengurai isu maupun peristiwa itu justru yang terbatas. Yang lebih relevan untuk diidentifikasi sebagai masalah media adalah bagaimana memilih, memilah dan mengolah luberan isu dan peristiwa itu (dalam hal ini para pelaku politik atau institusi politik) ? Bagaimana media merumuskan strategi pemberitaan di antara begitu banyak obyek pemberitaan atau lebih khusus adalah objek iklan politik ? Seberapa jauh media akan mengangkat satu persoalan, sementara persoalan-persoalan baru bermunculan?
Di sinilah kita perlu berbicara tentang agenda setting. Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa (Littlejohn, 2008:293-294). Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Berkembangnya opini publik dalam sebuah tatanan masyarakat tidak terlepas dari peran media massa. Harus disadari media massa sebagai salah satu pilar (estate) negara juga mempunyai agenda untuk menciptakan opini publik (Schutson, 1999). Agenda yang lazim disebut agenda media ini harus dilihat sebagai sebab, mengapa sebuah kasus di-blow up di media massa. Banyak media berpendapat, pemberitaan kepada khalayak itu didasari oleh ”hak untuk tahu” bagi masyarakat.
Seiring dengan kebebasan pers yang kini sudah dirasakan media massa Indonesia, kita cuma berharap bahwa media massa dapat berlaku profesional. Artinya, berbagai pemberitaan tersebut harus benar-benar dilandasi agenda media untuk melayani ”hak untuk tahu” masyarakat (Lichtenberg, 1990: 102-136) . Mencermati agenda media di Indonesia, kita harus melihat media sebagai kekuatan yang tidak mungkin berpihak pada siapa pun. Hal ini seharusnya membuat media bebas dari nilai (neutral value). Walaupun adalah suatu kenyataan bahwa sistem bebas nilai (neutral value) itu akan selalu bersinggungan dengan permainan politik, bahkan di negara dan masyarakat paling demokratis sekalipun.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah pernyataan yang melandasi dan menjadi titik tolak refleksi ini.
Titik tolak refleksi perspektif komunikasi dan politik adalah wilayah kekuasaan. Permasalahan kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu dimanfaatkan adalah pola yang jamak terjadi dalam politik. Mengutip Gungun Heryanto lagi: Politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang mengiurkan setiap orang. Tak bisa dimungkiri, Bangsa Indonesia yang sudah bersepakat untuk belajar demokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang mengalami gegap gempita dan euporia pesta demokrasi. Bak permainan baru yang sedang digemari, energi masyarakat, banyak yang tersedot ke dalam rivalitas politik yang kian mengharu biru. Pilkada digelar dimana-mana, riuh rendah dukungan dan penolakan terhadap kandidat terpilih, seolah menjadi penanda paling nyata bahwa wilayah permainan dan rivalitas politik tak lagi tersentral di Jakarta. Melalui Pilkada langsung, hasrat politik sekian banyak orang dapat tersalurkan. Tentu, setelah mereka mampu bertarung dengan kandidat lain di sebuah era industri citra. Pertarungan yang masih didominasi oleh politik citra atau politik yang berporos pada popularitas kandidat di tengah massa pemilih.
Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar.
Hampir tak ada satu pun komponen-komponen sistem politik yang dapat meniadakan hubungan saling menguntungkan antara politisi dengan industri citra politik. Komponen seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan dan pelaksanaan aturan dibentuk dan dilaksanakan melalui akses terhadap industri citra. Di antara industri citra yang sangat menonjol dewasa ini adalah industri media massa.
Kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengkonstruksi realitas". Ini menandakan bahwa pola politik memang berkaitan dengan pola komunikasi, apalagi yang berkaitan dengan pencitraan politik dengan menggunakan media komunikasi.
Studi Agenda Setting
Studi efek media dengan pendekatan agenda setting sudah dimulai pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda publiknya (Baran, 2000:299-303). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk menelaah, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda media dan prioritas agenda publik.
Setelah publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah temuan McCombs dan Shaw. Mengapa demikian? Everett Rogers (dalam Littlejohn, 2008), berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going process dalam framing dan priming agenda media; maupun on going process dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam studi agenda setting tidak sesuai dengan realitas yang ada. Dengan begitu, bisa jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan isu-nya kebetulan berhubungan atau tidak berhubungan dengan kepentingan kelompok responden.
Warna Agenda Setting
Berbicara perspektif teori agenda setting sebenarnya merupakan model efek moderat . Perspektif ini menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan fokus penelitian yang telah bergeser. Dari efek pada sikap dan pendapat bergeser kepada efek pada kesadaran dan pengetahuan atau dari afektif ke kognitif. Prinsipnya sebenarnya “to tell what to think about” artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan media memberikan cues tentang mana isu yang lebih penting. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Iklan politik di media massa (seperti model yang kita bahas sebelumnya) tentunya tidak lepas dari pembicaraan soal efek, karena ini merupakan entry point bahasan agenda setting. Para pengiklan iklan politik yang hendak menggunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan politik sudah seharusnya memahami masalah efek ini. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung ini berkaitan dengan issues, apakah issue itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak (pengenalan); dari semua issues, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak (salience); bagaimana issues itu diranking oleh responden dan apakah rangkingnya itu sesuai dengan rangking media. Efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan (seperti memilih kontestan pemilu atau melakukan aksi protes). Pada kenyataannya menurut perspektif teori agenda setting, media massa menyaring artikel, berita, iklan atau acara yang disiarkannya. Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, produser iklan politik bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan.
Yang menarik dicermati, karena pembicara, pemirsa dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan dan bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience).
Masyarakat tentunya memiliki hak untuk tahu (right to know) yang akhirnya menjadikan suatu isu atau peristiwa menjadi public sought (permintaan publik) akan informasi tentang isu atau peristiwa tersebut. Media dengan kepentingan teknis, idealisme dan pragmatismenya memilih, mengemas dan akhirnya mendistribusiakan kepada khalayak kalau sesuatu itu penting. Relevan dalam konteks ini, media melakukan pengemasan (framing). Membuat frame berarti menyeleksi beberapa aspek dari pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol. Esensinya dilakukan dengan berbagai cara antaralaian, penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplikasi.
Merujuk pada pendapat Gamson dan Modigliani (1983), frame merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek suatu wacana. Sebuah upaya persuasif dalam kemasan iklan politik di media massa dari perspektif agenda setting tentunya harus memperhatikan beberapa hal pokok. Pertama, struktur makro, artinya makna umum dari suatu tampilan iklan di media yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan. Kedua, super struktur, yang merupakan struktur iklan politik yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks atau acara yang dibuat dan diarahkan kepada khalayak tersusun secara utuh. Ketiga, struktur mikro, ini merupakan iklan politik yang dapat diamati melalui bagian kecil dari suatu teks atau acara di media massa. Kalau dalam wujud teks misalnya kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, atau gambar, dan angel pengambilan photo suatu kejadian. Hal-hal yang diamati dalam struktur mikro misalnya meliputi semantik yaitu bagaimana bentuk susunan kalimat yang dipilih. Stilistik, yaitu bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita, dan retoris yaitu bagaimana dan dengan cara apa penekanan itu dilakukan. Iklan politik dalam media massa tentu saja berbeda dengan propaganda yang dilakukan lewat model rapat akbar partai dan ceramah di lapangan. Iklan politik di media sangat dibatasi dengan waktu yang disediakan. Oleh karena itu kemampuan pengemasan menjadi hal yang sangat pokok.
Dari perspektif agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang anggap penting. Sama berpengaruhnya saat media selalu menampilkan tokoh tertentu, maka orang tersebut cenderung dianggap tokoh politik penting.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa agenda setting ini merupakan upaya memperbaharui kembali penelitian tentang efek media yang perkasa yang sebelumnya dibangun model jarum hipodermik. Pada model jarum hipodermik yang sering juga disebut “bullet theory”. Dalam konteks iklan politik di media massa dengan model ini diasumsikan kalau komponen-komponen komunikator, pesan dan media amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan. Pesan persuasi dalam iklan politik “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan yang dianggap pasif menerima rangkaian dan rentetan pesan-pesan. Pada umumnya persuasi kalau menggunakan model ini bersifat linier dan satu arah.
Sementara kalau menggunakan model Uses and Gratification justru kontras dengan jarum hipodermik. Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak diangap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan. Karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika kebutuhan itu terpenuhi. Pendirinya antara lain Katz, Blumler dan Gurevitch. Dari perspektif teori ini berarti propaganda lewat media hanya menjadi salah satu alternatif bagi khalayak dalam memenuhi kebutuhannya. Kalau khalayak media tersebut tidak membutuhkannya maka dengan sendirinya propaganda yang dilakukan tidak akan efektif.
Agenda setting lahir secara lebih moderat, model ini mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan tersebut. Singkatnya apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula masyarakat dan apa yang dilupakan media akan dilupakan juga oleh publik. Dengan demikian iklan politik melalui media massa akan efektif, kalau ada upaya mengemas pesan iklan dalam prioritas isi pesan media. Isi pesan inilah yang menjadi tawaran dalam mempengaruhi cara berpikir khalayak.
Perspektif agenda setting yang dipengaruhi oleh media massa itu adalah pengetahuan khalayak. Sesuatu dianggap penting oleh khalayak kalau secara terus menerus ditampilkan dalam media massa. Ini artinya memerlukan suatu framing waktu dan framing isu dalam suatu kurun waktu tertentu, sehingga mempengaruhi konstruk berpikir masyarakat terhadap isu tersebut. Pesan politik baik permintaan dukungan, isu atau kejadian politik yang dikemas menjadi prioritas media, memanipulasi aspek psikologis massa.
Warna Iklan Politik dalam Media Massa
Iklan politik semakin banyak menghiasi media massa kita. Perang iklan pun sudah dan sedang terjadi. Umumnya iklan dimaksud diisi oleh partai-partai politik, kandidat bakal calon presiden, dan para calon legislatif. Model dan modusnya pun bervariasi. Tetapi kebanyakan bermuatan sebatas pencitraan diri agar dipilih dan didukung rakyat pada saat pemilu nanti.
Hal itu terlihat dari isi iklan. Partai pemerintah dengan gagah menyodorkan keberhasilan pemerintah sebagai wajah dari iklan politiknya. Sementara partai-partai oposisi tampil dengan cemohan atas serangkaian kebijakan pemerintah yang dinilai kurang pro rakyat. Di lain pihak, ada juga model iklan yang juga menampilkan sosok pahlawan yang kadar kepahlawanannya masih diperdebatkan oleh publik. Materi iklan pun menjadi pergunjingan politik. Iklan yang pada dasarnya ditujukan untuk menambahkan rasa simpatik dari masyarakat pemilih, justru menabur sinisme.
Memang iklan punya cara pandang dan pendekatan tersendiri. Dan cara pandang itu hanya dimiliki oleh sipembuatnya. Namun jangan lupa ketika iklan sudah ditawarkan ke publik, sejatinya sudah menjadi milik publik. Rakyat pun bebas menyampaikan pujian dan juga kritik kepadanya. Umpan balik berupa kecintaan serta kebencian bisa saja terjadi dalam ranah yang sama. Iklan yang baik terlihat dari apakah pesan yang disampaikan olehnya tersampaikan dengan lugas dan jelas.
Dalam kaca mata komunikasi politik, iklan adalah suatu cara untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran kepada masyarakat. Maka iklan politik semestinya berisi visi dan program yang ditawarkan kepada masyarakat yang jika dipilih dan dipercaya untuk mengemban amanah dan kekuasaan, akan dijalankan dengan baik. Dari serangkaian iklan politik tersebut, satu hal yang kita catat bahwa muatannya belum memiliki substansi yang jelas, selain “memaksakan” kehendak. Padahal, iklan tersebut diharapkan sebagai wahana pendidikan politik dengan menyodorkan serangkai pedoman kebijakan. Bukan sekedar slogan dan pernyataan serampangan semata. Iklan semestinya mencerdaskan dan mengundang rasa simpatik.
Iklan tentu saja dibutuhkan sebagai media komunikasi antara partai dengan rakyat. Iklan merupakan bahagian dari kampanye. Namun iklan dimaksud hendaknya ditata dengan bijak, terkait dengan visi dan misi partai berikut kandidatnya. Sebab siapa yang memiliki visi yang jelas, serta dibarengi dengan program-program yang rasional akan mendapat dukungan dari masyarakat.
Berdasarkan data dari AC Nielsen yang dirilis Media Indonesia (1/12/2008) tentang pengeluaran partai politik untuk iklan dapat disimpulkan, iklan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan dukungan terhadap partai politik. Sebagai catatan, iklan politik tidak selalu berhasil meningkatkan dukungan terhadap suatu partai. Contohnya, PAN, pada Mei dan Juni, gagal mendongkrak dukungan. Hasil survei LSI, April-Juni 2008 dukungan terhadap PAN hanya naik dari 4,0 persen menjadi 4.5 persen.
Yang menarik diperhatikan adalah pengeluaran iklan Gerindra dan PD. Pada Juni lalu, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar. Peningkatan pengeluaran iklan ini ternyata diikuti peningkatan popularitas dan dukungan yang memuaskan.
Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November. Hasil survei Cirus Surveyors Group pada November menunjukkan, dukungan terhadap Gerindra meningkat jika dibandingkan Juni lalu, menjadi sekitar 5,5 persen. Jadi, ada korelasi antara perolehan dukungan Gerindra dan pengeluaran iklan. Begitu juga dengan PD. Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober). Peningkatan pengeluaran iklan diikuti peningkatan dukungan terhadap PD.
Berdasarkan survei LSI, sejak Pemilu 2004, dukungan terhadap PD mencapai titik terendah pada April dan Juni 2008, yaitu di kisaran 9,0 persen. Namun, dari Juni hingga September 2008, dukungan terhadap PD meningkat menjadi 12 persen. Ini sejalan meningkatnya pengeluaran iklan PD pada Agustus dan September. Dukungan terhadap PD kembali meningkat menjadi sekitar 17 persen (November) dan berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah pengeluaran iklan PD pada bulan Oktober.
Data di atas adalah data kuantitatif belanja iklan di media yang berkorelasi dengan dukungan publik. Sementara dalam hal isi maka dapat dipaparkan sebagai berikut: Pada pandangan awam, audiens akan berpendapat bahwa visi calon presiden pada film iklan adalah realitas dasar dari apa yang berada di benak komunikator. Namun, di sisi yang lain fenomena komunikasi seperti ini menyisakan pertanyaan pada aspek pencitraan realitas yang tersimulasi. Sebab, ketika film iklan itu menjadi wacana dari keseharian publik di depan televisi dan ditayangkan berulang-ulang kali, maka ia membantu membentuk simulasi atas realitas substansinya. Penonton tidak pernah merasakan secara langsung apakah memang benar calon presiden tersebut melakukan seperti hal yang ditunjukkan tersebut. Dan ketika penonton tidak mampu menikmati itu sebagai objek langsung, maka film iklan dan televisi membuatnya bisa dinikmati oleh jutaan penonton pada saat yang bersamaan, sebab ia disimulasikan.
Iklan Wiranto yang memakan nasi aking bersama sebuah keluarga miskin misalnya adalah sebuah simulasi realitas bahwa Wiranto peduli dengan rakyat miskin. Film iklan tersebut hanya merepresentasikan sikap Wiranto secara visual (memakan, senyuman dan gerakan tangan), bukan seluruhnya terjadi pada tataran di dunia nyata.
Demikian juga iklan Rizal Mallarangeng yang direpresentasikan berada di tengah-tengah rakyat di berbagai daerah di Nusantara adalah upaya simulasi atas realitas yang sebagian darinya belum pernah terjadi. Apa yang terjadi adalah penciptaan ‘realitas’ atau agenda setting baru, di mana seolah-olah ia hadir sebagai realitas yang benar-benar real. Ada kesan ketergesaan atas eksistensi seseorang di antara orang lain yang hendak membawa perubahan yang benar-benar nyata.
Sebagian besar isi pesan dari tema iklan politik menyangkut aspek-aspek kemiskinan, pengangguran, daya beli rakyat, kebutuhan pokok rakyat luas, keadilan hukum, keamanan, dan kesatuan-persatuan bangsa. Sementara pada sisi program, tema utama iklan juga cenderung bervariasi. Ada yang berjanji untuk mengembangkan rasa cinta pada produk sendiri, membela petani, penyediaan lapangan kerja, harga bahan pokok yang murah.
Alasan mengapa isi pesan tertentu disampaikan adalah karena dua hal. Pertama, ekstrim karena kebijakan pemerintah sampai saat kini belum mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat. Tak ada satupun sisi dari keberhasilan pemerintah diungkapkan. Sementara bentuk yang kedua adalah iklan yang menonjolkan keberhasilan kebijakan pemerintah yang menyangkut persentase penurunan jumlah penduduk miskin, jumlah penganggur yang menurun, atau iklan yang bertema anti korupsi dan keberhasilan dalam keamanan.
Bagaimana dengan tampilan atau kemasan iklan? Berbeda dengan isi tema dan program yang sifatnya relatif masih umum dan penuh janji, tampilan atau kemasan iklan cukup beragam. Begitu pula frekuensinya. Ada yang menampilkan hampir setiap hari dan ada juga yang seminggu sekalipun tidak. Tetapi waktu tayangan hampir semuanya sama yakni ketika waktu prima dimana hampir semua segmen pemirsa menonton televisi. Terbanyak ditayangkan ketika momen laporan berita dan hiburan. Tampilannya, mulai dari yang penuh warna, eksotis, dan gegap gempita sampai ke yang sangat moderat dan warna yang pucat pasi. Ada yang tidak jelas isi pesannya, monoton, kurang greget, serta jauh dari eksotik apalagi estetika.
Yang jelas periklanan politik menjelang pemilu 2009 jauh lebih semarak ketimbang pemilu tahun 2004. Suasana kompetisi untuk merebut pemilih semakin tinggi intensitasnya. Semua penuh dengan janji warna-warni. Program-program ditawarkan untuk membangun bangsa ini. Namun pertanyaannya apakah sudah dipikirkan dan disiapkan strategi dan taktik pencapaiannya? Bagaimana menggalang dana pembangunan untuk itu? Bagaimana strategi kebijakan moneter dan fiskalnya? Bagaimana dalam waktu relatif singkat ini mereka menyiapkan pilihan konsep mengatasi akibat krisis finansial global terhadap perekonomian rakyat? Ternyata tak satu pun partai yang beriklan menawarkannya secara utuh.
Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course, but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source of manipulation.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here
-
What Is Post-Structuralist Feminist Discourse ? In recent years, a number of doctoral and post-doctoral students have begun to explore an...
-
Komunikasi massa global merupakan hal yang nyata untuk sekarang. Dapat dikatakan bahwa komunikasi massa yang bersifat global merupakan fakta...
-
PENDAHULUAN [1] Perkembangan infrastruktur komunikasi dan telekomunikasi sekarang ini sedang mengalami perkembangan yang pesat...
No comments:
Post a Comment