oleh
M.Z. Al Faqih
anggota KPI Jabar
PENOLAKAN masyarakat sipil (civil society) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyiaran terus bergulir. Aliansi pembela pasal 28 yang merupakan gabungan organisasi wartawan dan lembaga swadaya masyarakat menuntut pencabutan PP ini. Menurut anggota aliansi ini, Leo Batubara, yang juga anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), pemberlakuan PP ini adalah upaya pembalikan sejarah kekuasaan media dan penyiaran kepada pemerintah.
Pendapat Leo semakin dikuatkan oleh Heru Hendratmoko, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dia mengatakan, prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan informasi. Keputusan menjadikan pemerintah (Depkominfo) sebagai pembuat regulasi bertentangan dengan cita-cita demokratisasi dan kebebasan pers. Pakar komunikasi Effendi Ghazali pun menyatakan, PP ini tidak memihak publik dari siaran yang merugikan publik, karena dalam PP ini tidak tercantum sanksi yang tegas bagi pelanggaran siaran.
Sejarah demokrasi di dunia telah menempatkan pers dan penyiaran sebagai ruang yang diperebutkan oleh kekuasaan dan masyarakat sipil. Dari sisi kekuasaaan keduanya diharapkan menjadi alat pendukung program-program serta tidak bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan negara. Sedangkan masyarakat sipil meng-hendaki agar pers dan penyiaran menjadi alat perjuangan kepentingan masyarakat yang selama ini selalu dimarjinalkan oleh kekuasaan.
Pers dan penyiaran memiliki pengaruh yang masif dan mampu mengarahkan masya-rakat untuk memihak terhadap sebuah nilai, pandangan, dan keyakinan. Jatuhnya pers dan penyiaran dalam kekuasaan menjadikan sebuah negara terjerembab ke lembah otoritarian seperti Indonesia prareformasi. Lazimnya di sebuah negara demokrasi, pers dan penyiaran memosisikan diri sebagai anjing penjaga (watchdog), yang bertugas memonitor penyelenggaraan kekuasaan agar tidak meminggirkan kelompok-kelompok minoritas (perempuan, kaum miskin, buruh, tani, dan lain-lain).
Karena keberpihakannya pada demokratisasi, maka pers dan penyiaran harus melawan segala macam upaya campur tangan pemerintah di bidang ini. Konstitusi negara kita pun sesungguhnya telah menjamin hal itu sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Peniadaan peran pemerintah atas pers dan penyiaran berlaku di negara-negara demokrasi di dunia. PBB sebagai badan dunia pun telah menyatakan secara tegas dalam Deklarasi Umum PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948, yang menetapkan hak seseorang untuk bebas menyatakan pendapat.
Demokratisasi di Indonesia akan mengalami hambatan serius bila menyaksikan terbitnya empat PP penyiaran (PP No. 49, 50, 51, dan 52 tahun 2005) yang menempatkan pemerintah sebagai pembuat regulasi. Parahnya, industri penyiaran yang seharusnya kritis atas hal ini malah mendukung pemberlakuan PP tersebut. Ini terlihat dari pernyataan sikap yang disampaikan Forum Organisasi Penyiaran Indonesia, yang merupakan gabungan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, Asosiasi Siaran Swasta Indonesia, Asosiasi Radio Siaran Swasta Lokal Indonesia, Forum Radio Jaringan Indonesia, Asosiasi Pelayanan Radio Indonesia, Komunitas Televisi Indonesia, dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia.
Forum Organisasi Penyiaran Indonesia meminta pemberlakuan paket peraturan pemerintah tentang penyiaran, terutama peraturan pemerintah No. 50 tahun 2005 tentang penyelenggaraan penyiaran lembaga penyiaran swasta. Sikap Forum Organsisasi Penyiaran Indonesia dapat dimengerti apabila Indonesia merupakan sebuah negara totaliter (fasis dan komunis), di mana pers dan penyiaran keberadaannya menjadi alat penopang kekuasaan dan pengukuh ideologi negara. Faktanya, Indonesia sejak berdirinya sebagaimana yang digagas para founding fathers telah memilih menjadi sebuah negara demokrasi yang menempatkan pers dan penyiaran sebagai pilar keempat di luar konsepsi trias politica.
Pemihakan industri penyiaran terhadap campur tangan pemerintah bertentangan dengan prinsip demokrasi, dan ini akan membuka peluang penguasaan pemerintah atas media. Keberpihakan industri penyiaran terhadap pemerintah patut diduga karena kekhawatiran industri penyi-aran terhadap peran dan kiprah yang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lakukan, yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan industri penyia-ran.
KPI seringkali menempatkan diri sebagai kepanjangan tangan publik yang kerap mengkritik industri penyiaran, yang KPI nilai sering melanggar hak publik dengan menyiarkan program acara yang bermotif profit an-sich nir-kepentingan publik (acara yang bermuatan seks, darah, dan mistik) dengan mengacu pada rating sebagai tolak ukur kebenaran.
Memang, masyarakat tidak bisa menutup mata bahwa industri penyiaran pun telah memberikan kontribusi positif. Industri penyiaran mampu menyajikan informasi faktual dalam waktu yang relatif cepat. Karena jasa dan peran industri penyiaran pula kita bisa bisa menyaksikan betapa dahsyatnya gelombang tsunami yang menerpa Nanggroe Aceh Darussalam. Kita pun dapat menyaksikan drama runtuhnya menara kembar WTC yang ada di belahan dunia lain dalam waktu yang relatif singkat.
Publik sebagai mitra
Namun publik pun harus peka bahwa ternyata industri penyiaran banyak juga menyiarkan acara yang dinilai oleh berbagai kalangan (agama, akademisi, LSM, dan masyarakat umum) merugikan kepentingan publik.
Karena itu KPI sebagai wakil publik punya tanggungjawab mengingatkan industri penyiaran agar mengeliminasi hal buruk dan meminta lembaga penyiaran untuk mengganti dengan tayangan yang well-educated. KPI juga meminta agar lembaga penyiaran menempatkan publik bukan sebagai konsumen melainkan sebagai mitra. Dengan demikian, baik buruknya tayangan yang disiarkan bukan lagi menjadi kesalahan industri penyiaran semata, tetapi menjadi tanggungjawab semua komponen masyarakat.
Dalam mengingatkan industri penyiaran (baca:pengawasan) KPI selalu bergandeng tangan dengan kekuatan civil society. Bukti kemitraan KPI dengan publik dapat dilihat dalam kegiatan bersama antara KPI Daerah Jawa Barat dengan unsur-unsur masyarakat Jawa Barat dalam Focus Group Discussion (FGD) menyoroti isi siaran yang dinilai tidak berpihak
kepada publik. Kegiatan ini diselenggarakan KPI Daerah Jawa Barat di Hotel Kedaton pada tanggal 24 November 2005, yang menghasilkan beberapa rekomendasi kritis, yang subtansi isinya meminta lembaga penyiaran dalam siaran yang dipancarluaskannya untuk berpihak pada kepentingan publik. Rekomendasi tersebut telah KPI Daerah Jawa Barat sebarluaskan kepada para pihak yang berkepentingan.
Sikap dan tindakan KPI yang semacam ini yang membuat KPI tidak populer di mata industri penyiaran. Sebagian besar industri penyiaran menyadari bahwa siaran-siarannya mendapat protes, kitik, bahkan teguran dari civil society. Protes tersebut terus berlangsung lewat berbagai saluran publik seperti; surat pembaca di berbagai surat kabar, seminar, diskusi, hingga aksi-aksi massa yang dilakukan masyarakat sipil. Di saat KPI dipandang bukan sebagai "teman"maka industri membutuhkan "perlindungan" demi mempertahankan usahanya.
Industri penyiaran merasa aman tatkala pemerintah memberikan "perlindungan" tersebut. Di sinilah sesungguhnya terjadi situasi berhadap-hadapan antara KPI-Publik dan Industri-Pemerintah.
Di saat pemerintah (Menteri) ditunjuk oleh PP penyiaran sebagai pihak yang akan memberikan dan memperpanjang izin penyiaran, setidaknya industri penyiaran sedikit bernafas lega, karena bila KPI yang memegang kewenangan itu, bisa diprediksi akan banyak sekali industri yang rontok karena tidak lulus uji kelayakan oleh KPI. Hingga detik ini saja KPI Daerah Jawa Barat telah menerima aduan masyarakat sebanyak 57 (lima puluh tujuh) aduan yang menyoroti masalah isi siaran. Aduan tersebut telah diteruskan ke KPI Pusat dan lembaga penyiaran terkait.
Bila KPI yang memiliki kewenangan penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran, KPI akan menjadikan data aduan masyarakat tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran.
KPI juga menyayangkan dalam PP penyiaran tidak terdapat sanksi denda yang jelas bagi pelanggaran siaran yang mengandung muatan pornografis. Di PP tersebut hanya tercantum bahwa siaran-siaran yang melanggar akan ditegur secara tertulis oleh KPI. KPI hanya diberikan kewenangan menegur tanpa diberikan kewenangan untuk mencabut siaran. Hal ini pasti tidak akan membuat jera industri penyiaran karena teguran yang KPI lakukan tidak berdampak langsung terhadap Izin Penyelenggaraan Penyiaran yang mereka pegang. Seperti peribahasa yang sering kita dengar, teguran KPI dan publik akan dimaknai laksana anjing menggonggong kafilah berlalu. KPI menegur industri pun berlalu.
Source:http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/14/0901.htm
No comments:
Post a Comment