Editor dan Kata Pengantar: Idi Subandy Ibrahim
Kata Pengantar "Kamu Bergaya Maka Kamu
Masyarakat Pesolek dan Ladang Persemaian Gaya Hidup
"Bukankah dalam pengertian '
-Johan Huizinga (1938)
"Masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti."
-Thomas C. O'Guinn et al. (2003).
Pertama-tama, izinkanlah saya menyampaikan rasa terima kasih saya kepada Penerbit Jalasutra yang telah memberi kepercayaan menulis sekadar pengantar yang amat sederhana dan singkat bagi buku Gaya Hidup: Sebuah Pengantar Komprehensif. Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi yang mungkin hampir selalu mengemuka dalam setiap perjamuan sosial (yang jangan-jangan juga sudah menjadi
Dalam sebuah masyarakat di mana, di satu sisi, persoalan
Masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tampaknya tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya semacam Shopping Mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, real estate, gencarnya iklan barang-barang supermewah dan liburan wisata ke luar negeri, berdirinya sekolah-sekolah mahal (dengan label "plus"), kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba-instan (fast food), telepon seluler (HP), dan tentu saja serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan televisi yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi, dan bahkan mungkin ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam.
Tak bisa dilupakan pula globalisasi industri media dari mancanegara dengan modal besar yang mulai marak masuk ke Tanah Air sejak akhir 1990-an. Serbuan majalah-majalah mode dan
Pada saat yang bersamaan di kalangan sebagian masyarakat mencuat pula gaya hidup alternatif, gerakan untuk "kembali ke alam", ke hal-hal yang dianggap bersahaja, semacam kerinduan akan kampung halaman atau surga yang hilang, dan gaya hidup spiritualisme baru yang seakan-akan menjadi antitesis dari glamour fashion yang sekarang juga sudah tidak malu-malu lagi dipamerkan oleh kaum borjuasi, OKB (orang kaya baru) di Indonesia. Orang
Pada saat kriteria kesuksesan justru menguat ke arah yang bersifat prestise materialistik, semangat spiritualisme baru pun ternyata mengalami polesan lebih canggih lagi dalam budaya konsumen. Saya melihat misalnya ketika kebangkitan agama mengambang di level simbolik, simbol-simbol, tanda-tanda dan ikon yang diyakini sebagai artefak ketakwaan seseorang, justru telah terkomodifikasi menjadi objek konsumsi. Hari-hari raya keagamaan pun bisa menjadi semacam "festival konsumsi" di mana semangat pergantian mode dan fashion dalam tata busana penganut suatu agama tertentu justru dimanfaatkan industri iklan dan televisi untuk keuntungan bisnis semata. Di sini kebangkitan semangat keagamaan di kalangan tertentu juga harus kita pahami sebagai kebangkitan
Di kalangan umat Islam, misalnya, kini mulai marak iklan dan industri jasa yang menawarkan "wisata religius", "paket spiritualisme dan sufisme", umroh bersama kiai beken, berdirinya sekolah-sekolah Islam yang mahal, kafe khusus Muslim, menjamurnya konter-konter berlabel Exclusive Moslem Fashion, kegandrungan kelas menengah-atas akan Moslem Fashion Show dan berdirinya pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan bisnis.1 Sementara maraknya penerbitan majalah anak muda Islam (khususnya Muslimah) nyaris tidak jauh berbeda sensibilitasnya dengan majalah anak muda umumnya. Yang ditawarkan adalah mode, shopping, soal gaul, seks dan pacaran yang dianggap pengelolanya sebagai "yang Islami". Slogan yang ditawarkan pun seperti halnya fantasi muda-mudi kelas menengah umumnya: Jadi Muslimah yang gaul dan smart! Atau, Jadi Muslimah yang cerdas, dinamis, dan trendi! Jadilah cewek Muslimah yang proaktif dan ngerti Fashion!
Saya melihat dalam hal ini tengah ditanamkan semacam ideologi yang samar-samar terbentuk: beragama tapi tetap trendi atau biar religius tapi tetap modis! Rupanya para pemikir keagamaan sekarang harus mulai melihat bahwa sensibilitas keagamaan pun mulai mengalami komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi
Saya kira gejala tumbuhnya pusat-pusat penyemaian dan pemekaran
Tentu saja, persoalan gaya hidup tidak sesederhana seperti halnya potret kehidupan kelas menengah, OKB, orang sukses atau selebriti di kolom gaya hidup media populer atau kisah cinta dan sukses seseorang di acara televisi semacam "Famous to Famous". Urusan
Di sinilah terlihat betapa tidak sederhananya istilah atau konsep
Lantas, kalau kita menyelami dan merefleksikan karya Chaney dengan kehidupan kita sehari-hari, betapa akan mencengangkannya bahwa ternyata pilihan
Dalam karyanya ini,
Menyititir pemikiran Giddens, Chaney menambahkan bahwa perkembangan gaya hidup dan perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui reflektivitas institusional: "karena 'keterbukaan' (openness) kehidupan sosial masa kini, pluralisasi konteks tindakan dan aneka ragam 'otoritas', pilihan gaya hidup semakin penting dalam penyusunan identitas-diri dan aktivitas keseharian".6 Untuk memahami secara lengkap argumen ini, seseorang harus menyadari bahwa bagi Giddens identitas-diri adalah suatu proyek yang diwujudkan, yang dipahami oleh para individu dengan cara-cara pendirian mereka sendiri, dan cara-cara menceritakan, mengenai identitas personal dan biografi mereka.
Maka tampaklah bahwa gaya hidup dianggap merupakan proyek yang lebih penting daripada aktivitas waktu luang yang khas, dan Giddens sendiri mengingatkan bahwa gagasan gaya hidup telah dikorupsi oleh konsumerisme-meskipun pasar, terutama ketika telah menjadi tema ideologis dalam politik neo-liberal, sepertinya menawarkan kebebasan memilih, dan dengan demikian bermaksud mempromosikan individualisme. Giddens sendiri berpendapat bahwa komodifikasi kedirian (selfhood), melalui genre-genre narasi media (media narratives), begitu pula strategi-strategi pemasaran, menekankan
Cara khusus yang dipilih seseorang untuk mengekspresikan diri tak disangsikan merupakan bagian dari usahanya mencari
Dalam kegalauan pencarian identitas diri ini, kita benar-benar hidup ibarat mengarungi sebuah pasar dengan begitu banyak kemungkinan yang ditawarkan dan model
Dalam perburuan akan
Industri Gaya Hidup, Industri Penampilan
Dalam abad
Dalam abad
Lebih jauh Chaney mengingatkan bagaimana para politisi, selebriti, artis pertunjukan, dan figur-figur publik lainnya akan terus berusaha memanipulasi penampakan luar citra mereka (
Chaney juga mengatakan bahwa pada akhir modernitas semua yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan (a culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi penonton dan sekaligus ditonton. Ingin melihat tapi sekaligus juga dilihat. Di sinilah
Ketika
Tak heran, industri jasa yang memberikan layanan untuk mempercantik penampilan (wajah, kulit, tubuh, rambut) telah dan akan terus tumbuh menjadi big business. Kini urusan bersolek tidak lagi melulu milik wanita, tapi kaum pria pun sudah merasa perlu tampil dandy. Perubahan sensibilitas kaum pria dalam memandang penampilan dan citra diri agaknya telah dilirik oleh industri kosmetika dan bisnis kecantikan di Tanah Air. Kini tidak hanya menjamur shampo khusus untuk pria dari berbagai merk, tapi di rumah-rumah mode juga akan mudah ditemui perlengkapan kosmetika khusus pria, berlaber For Men!
Urusan solek-bersolek kini tidak hanya melulu di sekitar rekayasa tubuh (body building) yang ditandai dengan menjamurnya fitness centre atau pusat kebugaran dan menggejalanya kebiasan berdiet atau operasi plastik di kalangan wanita atau pria yang gelisah karena bentuk atau ukuran tubuh yang dianggap kurang-ideal, tapi industri nasihat yang berurusan dengan penampilan juga tak kalah hebatnya, bahkan hingga ke pelosok-pelosok. Iklan jasa pengobatan dan pil-pil yang menjanjikan keperkasaan pria dan stamina wanita mulai dijajakan bahkan hingga di warung-warung pinggir jalan.
Tampaknya urusan tampangisme atau wajahisme (Lookism/Faceism) kini mulai menjadi persoalan serius dalam perburuan kecantikan dan untuk selalu tampil menjadi yang tercantik (tertampan!) tidak hanya di pentas dunia fashion, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Salah seorang psikolog Amerika terkemuka, Nancy Etcoff, dalam Survival of the Prettiest: The Science of Beauty (1999) menyebut gejala tersebut dengan "Lookism". Lookism adalah teori yang menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda, maka akan lebih sukseslah Anda dalam kehidupan. Dalam abad citra, citra mendominasi persepsi kita, pikiran kita, dan juga penilaian kita akan penampilan wajah, kulit atau tampang seseorang.
Bahkan kebiasaan senyuman, misalnya, sekarang ini tidak bisa lagi dianggap sepele. Senyuman bisa menjadi modal simbolik dalam pergaulan sosial sehari-hari, di dunia kerja dan di dunia bisnis. Meskipun kita tidak perlu mengumbar senyum, tapi dalam dunia bisnis entertainment dan Public Relations, senyuman adalah modal simbolik. Senyuman adalah profesi: Smiling Professions! John Hartley dalam The Politics of Pictures: The Creation of the Public in the Age of Popular Media (1992), menyatakan bahwa senyuman (smiling) telah menjadi salah satu kebajikan yang paling umum dari zaman kita. Bahkan menurut Hartley, senyuman kini merupakan "ideologi dominan" dalam "ranah publik". Ia ibarat pakaian seragam yang harus dipakai di bibir seseorang yang berfungsi sosial untuk menciptakan, memelihara, mendidik, merepresentasikan dan membangun citra di depan publik.
Apa yang mungkin lebih relevan adalah bahwa dalam perburuan akan
Iklan Gaya Hidup, Budaya Citra dan Budaya Cita Rasa
Dalam masyarakat mutakhir, berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu semuanya terobsesi dengan citra.12 Di dalam era globalisasi informasi seperti sekarang ini, yang berperan besar dalam membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) adalah gempuran iklan yang menawarkan gaya visual yang kadang-kadang mempesona dan memabukkan. Iklan merepresentasikan
Kritikus media terkemuka, Marshall McLuhan, menyebut iklan sebagai karya seni terbesar abad ke-20. Iklan sering dianggap sebagai penentu kecenderungan, trend, mode, dan bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern.13 Kritikus periklanan, Sut Jhally, menunjukkan bagaimana citraan periklanan komersial telah menyebar ke wilayah-wilayah budaya populer lainnya dan dia membahas dampaknya bagi pembentukan identitas individual dan sosial.14 Sistem citra visual dan budaya berbasis citra yang melekat dalam perembesan iklan juga dianggap telah mengkoloni wilayah kehidupan yang sebelumnya lebih banyak didefinisikan (meski tidak selalu) lewat pengalaman dan persepsi auditori. Budaya visual akhirnya yang mendominasi masyarakat konsumen.
Tentu saja, tidak semua orang atau konsumen bisa terpengaruh begitu saja oleh bujuk-rayu iklan. Tidak setiap orang akan membeli setiap barang yang diiklankan dengan menawan sekalipun. Paling banter orang hanya terkagum-kagum dengan wacana iklan yang membangkitkan rasa humor atau karena terpesona dengan bintang iklannya yang aduhai. Tapi, jelas unsur repetesi, trik dan manipulasi dalam periklanan tak bisa diabaikan dalam perembesan
Bagi Chaney sendiri, iklan adalah penampakan luar yang menyesatkan (illusory surfaces) yang membuat berkilau subjeknya. Saat ini kita tidak mungkin memahami apa pun yang berhubungan dengan media
Public Relations dan Jurnalisme Gaya Hidup
"Twenty-first century society is all about celebrity," (Masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti) demikian ungkap akademisi periklanan, Prof. Thomas C. O'Guinn et al. dalam karya mutakhir mereka, Advertising and Integrated Brand Promotion (2003). Selebriti adalah suatu kategori sosiologis yang unik, mereka dapat menjadi ekspresi-diri dan sekaligus pembangkit aspirasi bagi para konsumen. Selebriti adalah "human pseudo-event" atau "heroic image", kata Daniel Boorstin dalam karyanya yang sangat terkenal The Image (1962). Ketika menggambarkan peran selebriti dalam dunia media, Boorstin mengatakan, "The celebrity is a person who is known for his well-knowness."
Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya berbasis-selebriti (celebrity based-culture), para selebriti membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran "aksesori fashion". Wajah generasi baru yang dikenal sebagai anak-anak E-Generation, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-inspired identity)-cara mereka berselancar di dunia maya (Internet), cara mereka gonta-ganti busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti dan citra mereka digunakan momen demi momen untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
Tak disangsikan yang bertindak sebagai agen Public Relations dari kaum selebriti adalah media populer dan terutama televisi. Televisi bagi sebagian kalangan bahkan dianggap telah mengkolonisasi waktu luang.17 Saluran musik televisi non-stop 24 jam seperti MTV tidak hanya menghibur anak muda di berbagai penjuru dunia dengan video klip lagu-lagu atau grup-grup musik yang lagi in, tapi juga menghibur mereka dengan pesan-pesan komersial dan secara halus menanamkan nilai dan kesadaran akan betapa bahagianya kalau bisa mengisi waktu luang dengan bersenang-senang dan bersantai. MTV jelas telah menjadi saluran penyemaian
Sementara itu, pabrik
Jurnalisme sekarang lebih asyik menciptakan tokoh, bintang, atau selebriti, untuk kemudian sewaktu-waktu mengenyahkannya dan menggantikannya dengan yang baru. Seperti siklus mode atau fashion dalam dunia bintang.
Keasyikan jurnalisme modern dalam merekam dan memberitakan berbagai aktivitas, perkataan, skandal dari mereka yang diklaim oleh media-dan tak jarang juga mengklaim dirinya sendiri-sebagai selebriti telah melahirkan apa yang disebut kritikus media sebagai "jurnalisme selebriti" (celebrity journalism). Hal ini, misalnya, dilukiskan oleh Peter Hamill dalam News is Verb (1998) sebagai virus dan fenomena yang paling menyebar sepanjang masa. Hamill memandang bahwa prestasi atau pencapaian sejati (true accomplishment) seseorang justru disingkirkan sebagai faktor pengakuan. Karenanya, menurut Hamill, jarang sekali perhatian diberikan kepada ilmuan, penyair, pendidik atau arkeolog. Kecuali mereka yang menurut media telah dinobatkan atau mencapai status selebriti. Nama-nama besar (big names) terus-menerus menjadi fokus perhatian media dan menyingkirkan subjek-subjek lain yang dianggap belum layak dikatrol sebagai selebriti media.
Di Indonesia, akhir-akhir ini fenomena jurnalisme selebriti benar-benar tengah mengalami polesan dengan tumbuhnya industri televisi swasta yang semakin memperpanjang jam tayangnya. Dalam keinginan untuk memenuhi waktu tayang yang begitu besar, godaan ke arah sensasi diperkuat pula oleh persaingan antartelevisi swasta untuk merebut hati pemirsa dan meraup porsi iklan sebesar-besarnya. Sayangnya, unsur persaingan tak dengan sendirinya membuat insan pertelevisian semakin kreatif dan acara yang disuguhkan semakin berkualitas. Paling tidak kalau kita melihat acara-acara yang mengklaim diri sebagai acara para selebriti. Yang menonjol justru adalah keseragaman. Hanya nama acaranya saja yang berbeda dan televisinya saja yang berbeda.
Tentu saja, uraian ini bukanlah seluruh penjelasan, namun saya melihat ada semacam keranjingan yang luar biasa di media (khususnya televisi) di
Adakah Emansipasi dalam Perburuan Gaya Hidup?
Ladang-ladang persemaian gaya hidup di Tanah Air agaknya di masa depan masih akan terus menumbuhkan berbagai corak gaya, nilai, cita rasa yang tak lepas dari peran iklan gaya hidup dan "pahlawan-pahlawan" dalam kebudayaan pop. Dalam kondisi seperti ini, tak ada jalan lain antara larut atau lari dari hegemoni
"Jika
Oleh karena itu, dia membedakan antara tradisi politik emansipasi, di mana para aktivis berupaya memperbaiki organisasi kehidupan kolektif untuk meningkatkan otonomi individu, dan perkembangan politik kehidupan yang lebih mutakhir. Perkembangan mutakhir tersebut tidak "mempunyai perhatian terutama terhadap kondisi-kondisi yang membebaskan kita untuk menentukan pilihan; ini adalah politik dari pilihan. Sedangkan politik emansipasi adalah politik kesempatan hidup, politik kehidupan adalah suatu politik
Idi Subandy Ibrahim
Catatan Akhir:
1. Untuk menunjukkan fenomena ini, ketika saya sedang menyiapkan pengantar buku ini, misalnya, di Bandung pada 4 Oktober 2003 yang lalu baru saja dibuka "Moslem's Shopping Centre" (kenapa namanya tidak dalam bahasa Indonesia atau bahasa Arab saja!) yang dari spanduknya mengklaim "Pertama dan Terlengkap di Indonesia". Umat Islam di sini jelas ditempatkan dalam kategori pasar yang potensial. Belum lagi kalau kita melihat sekarang banyaknya konter, butik dan juga rumah mode di kota-kota besar di
2. Untuk rintisan yang sangat sederhana saya sendiri sudah berupaya mengoleksi beberapa tulisan dari para akademisi dan ilmuan yang menyoroti pergeseran gaya hidup dalam konteks masyarakat Indonesia, lihat Idi Subandy Ibrahim (ed.), Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Bandung: Mizan, 1997).
3. Untuk menyebut beberapa tulisan yang cukup penting, lihat, misalnya, Dick Howard, "The Rise of Middle Class and the Changing Concept of Equity in Indonesia: an Interpretation", Indonesia, No. 39, 1985; Kemudian juga kumpulan tulisan yang sudah hampir menjadi klasik disunting Richard Tanter dan Kenneth Young, The Politics of Middle Class Indonesia (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1989), diterjemahkan oleh Nur Iman Subono dkk., Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1993); Richard Robison, "The Middle Class and the Bourgeoisie in Indonesia", dalam Richard Robison dan David S.G. Goodman (eds.), The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle Class Revolution (London & New York: Routledge, 1996); Selain itu, Dr. Ariel Heryanto juga menghasilkan sejumlah esei yang cukup penting untuk perbincangan ini, misalnya, lihat Ariel Heryanto, "Kelas Menengah Indonesia: Tinjauan Kepustakaan", Prisma, No. 4, Th. XIX, 1990, hlm. 52-71; "Memperjelas Sosok yang Samar", pengantar dalam Politik Kelas Menengah
4. Lihat, misalnya, Alan Tomlison, Consumption, Identity and Style (London: Routledge, 1991). Bandingkan juga dengan pembahasan yang menarik dari Yasraf Amir Piliang dalam Sebuah Dunia yang Dilipat (Bandung: Mizan, 1998), khususnya Bab 10, "Globalisasi dan Gaya Hidup Alternatif".
5. Untuk pembahasan lebih jauh mengenai subkultur ini lihat Dick Hebdige, Subculture: The Meaning of Style (London: Methuen, 1979).
6. Lihat Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Cambridge: Polity Press, 1991), hlm. 5.
7. Lihat Mike Featherstone, "Lifestyle and Consumer Culture", Theory, Culture & Society 4, 1987, hlm. 55-70.
8. Berdasarkan gagasan yang diajukan Mike Featherstone dalam Consumer Culture and Postmodernism (London: Sage, 1991), yang juga dikembangkan lebih jauh dalam bagian akhir dari karya Chaney ini.
9. Lihat, misalnya, Bryan S. Turner, The Body and Society: Explorations in Social Theory (Oxford: Basil Blackwell, 1984).
10. Untuk lebih jauh mengenai ladang-ladang persemain gaya hidup dalam masyarakat konsumen ini, khususnya dalam kaitan dengan sejarah pertumbuhan shopping mall, lihat Rob Shields, "Spaces for the Subject of Consumption", dalam R. Shields (ed.), Lifestyle Shopping: The Subject of Consumption (London & New York: Routledge, 1992).
11. Petikan saya ini berdasarkan edisi bahasa Indonesia karya Johan Huizinga, Homo Ludens (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 257.
12. Daniel J. Boorstin, The Image: A Guide to Pseudo-Event in
13. Dalam analisis historisnya mengenai budaya konsumen tahun 1920-an, Stuart Ewen mengungkapkan bahwa perubahan ekonomi kebutuhan (need) menjadi ekonomi keinginan (want) di dunia modern, membutuhkan para ahli dalam "logika konsumerisme". Bahasa iklan (advertising language) diyakini telah meningkatkan ekonomi konsumen ke tahap status sebagai "filosofi kehidupan" yang menyatakan kepada masyarakat, bukan saja mengenai apa yang harus mereka beli, melainkan juga apa yang harus mereka impikan. Untuk lebih jauh lihat Stuart Ewen, Captains of Consciousness: Advertising and the Social Roots of the Consumer Culture (New York: McGraw-Hill, 1976).
14. Lihat Sut Jhally, "Image-Based Culture: Advertising and Popular Culture", The World and I (July 1990).
15. Lihat Stuart Ewen & Elizabeth Ewen, Channels of Desire: Mass Images and the Shaping of American Consciousness (New York: McGraw-Hill, 1982) dan Ewen, All Consuming Images: The Politics of Style in Contemporary Culture (New York: Basics Book, 1990).
16. Jhally berkesimpulan bahwa setiap warganegara harus bertempur dalam "politik budaya citra" (cultural politics of image) untuk melawan efek negatif periklanan. Lihat Jhally, op.cit.
17. Lihat Haluk Sahin dan John P. Robinson, "Beyond the Realm of Necessity: Television and the Colonization of Leisure", dalam Media, Culture & Society 3, 1 (Januari 1981), hlm. 85-95.
18. Anak-anak muda yang secara fenomenal gandrung dengan acara MTV atau yang atribut dan
19. Dalam kata-kata Patrick Rossler dan Hans-Bernd Brosius, "Because of growing competition among different talk-shows, topics and style have become tougher in recent years. Some observers have talked about 'trash TV'." Talk-Show atau bincang-bincang dipandang sebagai program yang cenderung sangat personal dan sangat emosional disajikan untuk konsumsi publik. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang dianggap tidak layak, negatif, kasar, konfrontatif, serangan, penghakiman, stereotip, dan simplistik justru sering dijumpai dalam sejumlah acara bincang-bincang. Untuk lebih jauh mengenai studi Rossler dan Brosius, lihat dalam esei mereka, "Do Talk Shows Cultivate Adolescent's Views of the World? A Prolonged-Exposure Experiment", dalam Journal of Communication, Vol. 51, No. 1, March 2001, hlm. 164.
20. Lihat Giddens, op.cit., hlm. 214.
[Relawan.Net::Jaringan Relawan
2 comments:
Bapak maaf sebelumnya...
Saya mau tanya tentang buku ini pak...
Saya seadang menyusun skripsi dan saya membutuhkan buku ini buat referensi saya pak...
Bisakah bapak memberitahukan saya, dimana saya bisa mendapatkan buku ini?
Saya sudah cari kemana-mana tapi buku ini habis stock...
Saya mohon infonya yah pak...
Terimakasih...
Coba kamu tanya ke jalasutra bandung...mungkin mereka punya stok bukunya....
Post a Comment