HIDUP DALAM JARING INFORMASI
Oleh: Adeline M.T.
Judul: The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume I: The Rise of the Network Society (1996). Volume II: The Power of Identity (1997). Volume III: End of Millennium (1998)
Penulis: Manuel Castells
Penerbit: Blackwell Publishers
Tebal Vol.I: xxix + 594 hlm,Vol.II: xv + 461 hlm,Vol.III: xv + 448 hlm
Apa yang membuat pergantian milenium begitu spesial? Peramal membayangkan akhir jaman. Futurolog menggambarkan keterkejutan masa depan dan ‘gelombang ketiga’. Programmer meributkan soal digit tahun pada komputer.
Lahir 1942 di Spanyol, Castells belajar hukum dan ekonomi di
Setelah masalah gerakan akar rumput di perkotaan, minatnya berkembang ke masalah teknologi informasi dan masyarakat. The
Sebagai komentar dan tanggapan atas The Urban Question dan The City and the Grassroot,
Manuel Castells kini tinggal di Berkeley bersama istrinya Emma Kiselyova. Mereka memiliki dua anak dan tiga cucu.
Analisa yang membumi
Trilogi The Information Age merupakan hasil penelitian selama 15 tahun di Eropa, Amerika Latin dan
Analisis Castells sangat empiris. Seperti dikemukakannya (vol.I, hal.27), “
Walau sangat hati-hati, mantan aktivis ini menutup observasinya dengan saran tentang apa yang dapat dilakukan. Membaca trilogi The Information Age seperti mengikuti lingkaran analisa sosial, perlu kepekaan refleksi dalam mencerna data-data empiris.
Masyarakat jaringan
Apa yang dimaksud Castells ‘masyarakat jaringan’? Inilah masyarakat di mana fungsi dan proses dominan ditata sekitar jaringan—bisa internet, intranet, jaringan kerjasama berbagai perusahaan, organisasi, negara, hingga jaringan pergaulan. Logika jaringan menentukan dan memodifikasi morfologi sosial, proses produksi, kekuasaan, budaya dan pengalaman keseharian.
Bangkitnya masyarakat jaringan dipicu dan dipacu oleh revolusi teknologi informasi yang diawali dengan teknologi rekayasa mikro: elektronika, komputer dan telekomunikasi. Revolusi teknologi ini mempengaruhi masyarakat dan pola-pola relasi di dalamnya.
Sementara inti globalisasi menurut Castells adalah proses ekonomi. Untuk pertama kalinya sebuah sistem ekonomi—yaitu kapitalisme informasional global—menguasai hampir seluruh planet. Bentuk ekonomi jelas kapitalisme, karena modal memegang peran utama; dan informasional dalam arti sumber-sumber produksi dan kompetisi tergantung pada pengetahuan, informasi dan teknologi. Sifat globalnya menyangkut kapasitas untuk bekerja sebagai satu unit serentak dalam skala planet.
Menjadi dominan apa yang disebutnya perusahaan jaringan (network enterprise), yaitu jaringan yang terbentuk dari beberapa perusahaan, atau beberapa bagian dari beberapa perusahaan, atau sebagian internal dari beberapa perusahaan. Pola kerja jadi fleksibel. Bermunculanlah tenaga kerja waktu longgar (flex-timers)—seperti pekerja tak terikat (freelance), pekerja paruh waktu (part-timer), dan buruh kontrak. Bentuk organisasi perusahaan harus disesuaikan dengan arus modal yang mudah berpindah ke segala penjuru dunia dalam hitungan detik.
Pembagian kerja dalam paradigma informasional tak lagi sesederhana teori Marxis awal, antara buruh dan pemodal. Polarisasi sosial yang terjadi adalah antara produser informasional dengan tenaga kerja generik yang mudah tergantikan. Soal utama ketidakadilan bukan lagi penindasan fisik dan ekonomi, melainkan ekslusi (penyingkiran) sosial terhadap komunitas-komunitas yang tidak mendapat cukup informasi.
Bingkai media
Menjawab ramalan Marshal McLuhan (1962) mengenai munculnya kampung global akibat kesalinghubungan media khususnya televisi, Castells setuju televisi berperan penting dalam masyarakat era informasi—bahkan menjadi jantung kebudayaan (cultural epicenter of society). Budaya televisi, dengan hiburan sebagai supra-ideologi yang santai bak obrolan sehari-hari, menggantikan budaya baca yang seperti esai dengan sifat sistematis berjarak, obyektif, rumit, konseptual, deduktif dan lambat bereaksi. Maka, “Selamat tinggal galaksi Gutenberg, selamat datang galaksi McLuhan!”
Namun media ternyata tidak menjadi ‘media
Bagi masyarakat jaringan yang berdenyut di sekitar media elektronik, realitas sehari-hari adalah realitas virtual; simbol-simbol dan pulsa-pulsa elektromagnetik adalah lingkungan hidup. Selamat datang dalam budaya real virtuality! Dalam jaring-jaring virtualitas kenyataan ini, politik pun mendapat panggung baru. Apa lagi jika bukan media elektronik—dari televisi, radio, koran, internet, hingga telepon selular. Tanpa kemunculan di layar kaca, seorang politisi bukan siapa-siapa—tak beda dengan artis tanpa liputan infotainment.
Dalam masyarakat jaringan, perbedaan waktu lenyap jadi tak berwaktu, timeless time. Ruang material dalam dinamika sosial digantikan oleh apa yang disebutnya ruang aliran, space of flows. Jarak menjadi tak berhingga bagi mereka yang di luar jaringan, namun menjadi nol atau sama sekali tak berjarak bagi anggota jaringan.
Identitas, oh…identitas
Sementara Thomas Meyer menyatakan gejala mengedepannya identitas sebagai Identity Mania (2001), Castells dengan sedikit lebih kalem dan berjarak membahas “kekuatan identitas”, The Power of Identity. Salah satu tesisnya: dalam masyarakat jaringan dengan jarak ruang dan waktu makin kabur, tradisi dan budaya lokal berusaha mempertahankan identitas terhadap terpaan globalisasi.
Gerakan-gerakan sosial politik dan budaya yang bermunculan pada 1980-1990an menurut Castells merupakan wujud kebutuhan manusia era informasi akan identitas dan akar tempatnya berasal. Ia memetakan gerakan-gerakan sosial, politik, lingkungan hidup, feminisme hingga religius secara sistematis, dihubungkan dengan relasi-relasi kekuasaan dalam pembentukan identitas. Ia mengkategorikan tiga macam identitas. Pertama, identitas resmi atau terlegitimasi (legitimizing identity) yang diperkenalkan oleh institusi-institusi dominan masyarakat. Kedua, identitas pembangkang (resistance identity) yang dimulai oleh aktor-aktor sosial dalam posisi direndahkan atau distigmatisasi oleh institusi dominan. Ketiga, identitas yang dicita-citakan (project identity), yaitu identitas baru yang (ingin) dibangun untuk mentransformasi seluruh struktur sosial.
Dengan kerangka tersebut, dibahas beberapa gerakan yang bersifat informasional—menggunakan informasi dan teknologi informasi sebagai landasan gerakannya seperti Zapatista, Patriot atau American Militia, dan Aum Shinrikyo. Selain itu, gerakan lingkungan hidup sejak 1970an, gerakan sosial budaya menyangkut seksualitas seperti feminisme dan homoseksualitas, juga merupakan perlawanan identitas pembangkang terhadap identitas resmi untuk melahirkan identitas baru yang dicita-citakan.
Dan lahirlah…politisi busuk
Jangan kira ‘politisi busuk’ hanya di Indonesia. Membaca ulasan Castells tentang lingkaran setan yang menjerat para politisi dalam skandal, rupanya KKN dan selingkuh politisi dengan pebisnis adalah gejala logis dari politik informasional.
Apa itu politik informasional? Inilah sistem politik yang terbingkai dalam jaringan berbagai jenis media (elektronik) dan tergantung teknologi informasi, di mana sumber kekuasaan adalah proses menghasilkan, memproses dan menyiarkan informasi. Masyarakat mendapat informasi dan membentuk pendapat melalui media elektronik. Partai-partai politik harus menggunakan media untuk mendapat dukungan. Sementara pers punya logika sendiri: berjarak, berimbang, cenderung only bad news is news, dan bisnisnya tergantung pengiklan. Segmen berita berebut pemirsa dan pengiklan dengan hiburan; berita politik bersaing ketat dengan gosip selebriti. Akibatnya, lahir dan berbiaklah ‘politik skandal’, di mana korupsi dan moralitas personal pemimpin mendominasi isi berita.
Tak hanya logika media yang mendorong maraknya politik skandal! Melemahnya sistem politik, termasuk makin kaburnya definisi negara-bangsa seperti tesis Kenichi Ohmae (The End of Nation State, 1995) juga menyuburkan iklim ini. Politisi mengejar posisi eksekutif untuk motivasi yang sama dengan pekerjaan lain: uang, uang dan uang! Baik untuk proyek organisasi maupun personal, untuk menikmati hidup dan menyokong keluarga, maupun untuk membantu kegiatan humanitarian dan sosial.
Skandal menjadi senjata dalam politik informasional. Argumennya begini, bisnis media kian kuat secara teknologi, finansial dan politis. Partai dan kandidat harus melalui media untuk sampai ke masyarakat. Bukan karena media adalah pilar demokrasi keempat, namun karena media adalah
Dunia keempat dan premanisme global
End of Millennium mengilustrasikan beberapa proses yang telah dan sedang terjadi seperti krisis statisme dan hancurnya Uni Soviet, fenomena ‘dunia keempat’, ekonomi kriminal global, pembangunan dan krisis di Asia Pasifik, serta unifikasi Eropa.
Ekonomi kapitalisme informasional global menimbulkan tak sedikit dampak sosial. Keterbelahan sosial tetap terjadi dalam masyarakat jaringan, namun bukan sebagai kelas kapitalis dan kelas proletar seperti pada masyarakat industri, melainkan antara pemegang kendali yang masuk jaringan dengan mereka yang terputus dari jaring-jaring global.
Tercipta ‘dunia keempat’, yaitu komunitas miskin tak terdidik yang bisa di mana saja bahkan di negara-negara dunia pertama seperti daerah kumuh di
Castells memetakan tiga keterbelahan masyarakat jaringan. Pertama, antara produsen informasional dan ‘tenaga kerja generik’ yang mudah tergantikan. Kedua, eksklusi sosial terhadap mereka yang tak punya akses informasi atau tak tersambung ke jaringan global. Ketiga, antara logika pasar—berupa jaringan global dari aliran-aliran modal—dengan hidup dan pengalaman manusia—keseharian para pekerja.
Bersama mengglobalnya arus modal dan gerakan-gerakan sosial, mengglobal pula kriminalitas. Konferensi PBB tentang Kejahatan Terorganisasi Global 1994 memperkirakan nilai perdagangan narkoba global 500 dollar AS pertahun. IMF pada 1999 mensinyalir pencucian uang (money laundering) global 500 milyar hingga 1,5 trilyun dollar AS pertahun.
Fenomena lain, organisasi-organisasi kriminal lokal seperti Mafia Amerika, Mafia Sicilia, Triads Cina, Mafiyas Rusia, dan Yakuza Jepang saling bekerja sama, membentuk aliansi strategis. Dengan demikian tangan-tangan mereka terentang menjangkau seluruh bola dunia. Bidang kerja: perdagangan obat terlarang, senjata, bahan-bahan nuklir, penyelundupan imigran ilegal, perdagangan perempuan dan anak, organ tubuh, dan pencucian uang. Kunci sukses: fleksibilitas dan kecerdikan. Bentuk operasi: jaringan—internal maupun dengan organisasi kriminal lain. Cara memperkuat transaksi: satu, kekerasan; dua, mengajak kerjasama aparat keamanan, hakim, politisi, dan polisi, dengan bayaran tinggi. Aparat yang terlibat setia pada ‘partnernya’ selain karena bayaran tinggi juga karena ancaman. Premanisme pun ikut mengglobal.
Masih adakah harapan untuk demokrasi?
Begitu banyak gerundelan mengenai globalisasi. Dengan dampak berkurangnya kedaulatan negara, mengapa pemerintah negara-negara tetap ngotot mempromosikannya?
Terbingkainya politik dalam media bercampur aduk dengan budaya hiburan menimbulkan ‘kehabisan rasa kasihan’ (compassion fatigue) dan ‘kelelahan akan skandal’ (scandal fatigue). Anggota masyarakat jaringan lelah menyesuaikan diri terhadap tuntutan pekerjaan—sebagai flex-timers dalam network enterprise. Mereka kehilangan semangat dan ketertarikan pada politik dan berita-berita kemanusiaan. Berita tentang Pemilu hanya menambah apatisme, penganiyaan warga miskin
Lalu apakah media telah kehilangan kekuatannya sebagai pilar keempat demokrasi atau setidaknya sebagai ruang publik untuk penyebaran informasi? Tidak juga! Sebab media, seperti teknologi, merupakan pisau bermata dua: dapat dipakai mendukung struktur dominan maupun untuk mendobraknya. Sayang, ekonomi politik global cenderung menggunakan media untuk agenda yang pertama.
Di sini sang mantan aktivis tak bisa lagi berjarak. Castells melihat tiga kemungkinan rekonstruksi demokrasi. Pertama, penciptaan kembali politik lokal. Kedua, komunikasi elektronik untuk memperkuat partisipasi politik dan komunikasi horisontal antar-warganegara, termasuk arus informasi sebagai kontrol terhadap pemerintah. Ketiga, penguatan komunitas akar-rumput (grassroots) sebagai penyeimbang dengan internet sebagai alat informasi, komunikasi dan organisasi.
Hamparan data empiris dan statistik yang cukup detail dalam trilogi ini cukup berguna, namun dapat pula dilewati untuk langsung membaca teori dan analisa yang disampaikan. Kasus matinya statisme Uni Soviet, krisis Asia Pasifik, marginalisasi Afrika dan analisa mengenai perceraian negara dari bangsa layak disimak. Apalagi buku yang ditulis sebelum Timor merdeka ini telah menunjukkan kemungkinan
Secara keseluruhan, Castells mengajak pembaca menyadari transformasi masyarakat yang sedang terjadi. Soal akan dibawa ke mana transformasi ini, merupakan pekerjaan rumah yang wajib kita pikirkan setelah membaca trilogi The Information Age: Economy, Society and Culture.
No comments:
Post a Comment