This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here
Media Studies: AG. Eka Wenats Wuryanta
Media criticism is in an undeveloped state, today, largely because the mainstream media allows virtually no open discussion of the subject. Some criticism that does get to the public, of course, but most of it is corrupted by the same forces that have turned the rest of the media into a source of manipulation.
Monday, November 01, 2021
Friday, October 13, 2017
Post-Structuralist Feminist Discourse
What Is Post-Structuralist Feminist Discourse ?
In recent years, a number of doctoral and post-doctoral students have begun to explore and experiment with the
use of a new theoretical and methodological approach to gender and language study: that of Feminist Post-Structuralist
Discourse Analysis (FPDA). While there is a growing international interest in the FPDA approach, it
is still relatively unknown in the wider community of discourse analysts. There is little published work as yet which
directly draws on FPDA, but much fascinating work in the pipeline. At the moment, it is just a small fish in the big
sea of discourse analysis; its future is far from certain and it may well be swallowed up whole by larger varieties,
or choose to swim with the tide of Critical Discourse Analysis, which to some extent it resembles.
Thursday, October 12, 2017
Mahabarata: Depiksi Kehadiran Tuhan dalam Dialektika Kemanusiaan (Perspektif Zizek)
Oleh: Alvin Dwi Saputra
Pendahuluan
Mahabarata
adalah kisah warisan dunia yang berasal dari India. Mahabarata banyak memuat
suri tauladan akan kejujuran, kepahlawanan, dan kebenaran. Di Indonesia,
Mahabarata ialah kisah keteladanan yang telah diwariskan dari masa ke masa.
Pada masa peradaban Hindu terdahulu, pujangga Jawa telah meresapi kisah
Mahabarata dan mengasimilasikannya dengan budaya setempat. Meskipun telah
dimodifikasi, kisah Mahabarata di Jawa tidak berbeda jauh dengan kisah
Mahabarata di India.
Mahabarata
merupakan penceriteraan tentang perseteruan antara para Pandawa dan saudaranya
para Kurawa. Ikatan persaudaraan antara Pandawa dan Kurawa terbentuk karena
ayah dari Pandawa, yakni Pandu, adalah adik dari Drestarata, ayah para Kurawa. Para
Pandawa bukan merupakan putra Pandu secara langsung, melainkan atas anugrah
para Dewa. Ketika itu, Pandu tidak dapat memiliki anak dari kedua istrinya,
yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Meskipun demikian, Dewi Kunti memiliki
kemampuan untuk memanggil para Dewa guna meminta anugrah darinya. Oleh karena
itu, Pandu memerintahkan Kunti untuk memanggil para Dewa untuk memperoleh
anugrah berupa pemberian keturunan. Melalui Kunti, Pandu memperoleh anugrah
tiga orang anak lelaki, yakni Yudistira atau Puntadewa, Bima atau Werkudara,
dan Arjuna. Mengetahui kemampuan yang dimiliki Kunti, Dewi Madrim meminta Kunti
untuk mengajarinya kemampuan tersebut. Setelah mempelajari ilmu tersebut, Dewi
Madrim mendapatkan anugrah dua orang anak lelaki kembar, yaitu Nakula dan
Sadewa. Meskipun berbeda ibu, kelima bersaudara tersebut hidup rukun dan saling
bahu membahu dalam mengahadapi berbagai hal.
Di
lain hal, Kurawa adalah keturunan Drestarata yang memiliki jumlah mencapai
seratus satu orang bersaudara. Para Kurawa terdiri atas seratus orang lelaki
dan seorang perempuan. Duryudana merupakan yang tertua di antara para Kurawa
dan juga yang paling disegani. Duryudana mudah dipengaruhi oleh hasutan
pamannya, yakni Sangkuni.
Perseteruan
antara para Pandawa dan Para Kurawa bermula saat terjadi suksesi tahta kerajaan
Hastinapura, yang kala itu dipegang oleh Drestarata. Setelah Drestarata lengser,
tahta seharusnya diberikan kepada putra Pandu yang tertua, yakni Yudistira. Hal
ini dikarenakan Drestarata hanya menjabat tahta sementara yang seharusnya
dimiliki oleh Pandu. Drestarata tidak layak menjadi raja karena tidak
dikaruniai penglihatan. Duryudana berdasarkan hasutan Sangkuni memiliki
pandangan lain. Ia berpandangan bahwa tahta kerajaan Hastinapura sehausnya
jautuh kepada dirinya. Duryudana merasa lebih berhak untuk menduduki singgasana
kerajaan dibanding para putra Pandu. Perselisihan pun terus terjadi antara para
Pandawa dan Kurawa hingga berujung pada Perang Baratayuda.
Di
dalam perang Baratayuda, para Pandawa sebenarnya enggan untuk bertempur melawan
sanak saudaranya sendiri di pihak lawan. Para Pandawa harus berhadapan dengan kakek
yang sangat disayanginya, yakni Bisma, dan saudara tertuanya yang berjuang
bersama para Kurawa karena hutang budi, yaitu Karna. Satu-satunya Pandawa yang
mampu mengalahkan Bisma dan Karna ialah Arjuna. Dalam memerangi kerabatnya
tersebut, Arjun selalu diliputi oleh keraguan. Arjuna merasa berat hati untuk
melawan kerabat-kerabatnya. Krishna sebagai rekan Arjuna dalam perang
Baratayuda ialah kunci keberhasilan Arjuna dalam memerangi keraguannya
tersebut. Krishna adalah titisan Dewa Wishnu dimana sebagian besar umat Hindu
menganggapnya sebagai representasi Tuhan Yang Maha Esa.
Permasalahan
Watak-watak
tokoh dalam kisah Mahabarata merepresentasikan kepribadian manusia secara baik.
Duryudana merupakan representasi manusia yang mudah terpengaruh, tamak, dan
menjalankan berbagai cara untuk mendapatkan tahta. Sangkuni adalah representasi
diri manusia yang berpikiran picik. Sangkuni selalu berpikiran picik terhadap
putra Pandu dan kemudian meracuni Duryudana melalui pikirannya tersebut. Bisma
dan Karna ialah representasi diri manusia yang memiliki keteguhan hati karena
memiliki prinsip dalam kepribadiannya. Mereka merelakan dirinya berjuang dalam
pihak yang salah untuk menjaga prinsipnya yang telah dipegang teguh selama ini.
Bisma terpaksa untuk berjuang dalam pihak Kurawa karena saat perang Baratayuda
berlangsung kekuasaan kerajaan Hastinapura dipegang oleh para Kurawa. Bisma
sendiri berjanji untuk selalu membela teguh kehormatan Hastinapura apapun yang
terjadi. Sedangkan, Karna terpaksa berjuang dalam pihak Kurawa karena terikat
janji dengan Duryudana. Sejak awal, Karna tidak mengetahui bahwa ibu dari para
Pandawa, yakni Dewi Kunti, adalah ibunya juga. Hal ini dikarenakan sejak kecil
ia telah berpisah dengan ibunya dan diadopsi oleh orang lain. Ia baru
mengetahui perihal identitas menjelang perang Baratayuda terjadi.
Mengingat
hal ini, Mahabarata agaknya berusaha memberikan pelajaran bagi manusia bahwa
sifat-sifat manusia yang seperti diwakili oleh Duryudana dan Sangkuni ialah hal
yang tidak tepat. Kepribadian yang tamak, berpikiran picik, dan berniat buruk
akan selalu membuahkan hasil yang buruk juga. Meski didukung oleh banyak
ksatria hebat, Duryudana dan Sangkuni menghadapi kekalahan dan kematian dalam
medan perang Baratayuda.
Selain
hal di atas, Mahabarata juga menggambarkan proses dialektika yang dialami oleh
manusia.. Saat berada dalam medang perang, Arjuna memiliki keraguan dalam
dirinya untuk berhadapan dengan kerabatnya yang berada dalam pihak Kurawa. Pada
keadaaan tersebut, “Yang Simbolik” berada dalam diri Arjuna tidak mampu
membahasakan realitas yang sedang terjadi di depannya. Ia berhadapan dengan
suatu hal yang disebut oleh Friedrich Hegel sebagai dialektika. Hal-hal yang
mengisi diri Arjuna selama ini berkecamuk satu sama lain. Di satu pihak, ia
merasa ragu untuk berhadapan dengan kerabat-kerabat yang disayanginya. Tetapi
di lain hal, Arjuna harus memperjuangkan tahta Hastinapura untuk dikuasai oleh
pihak yang berhak dan berkemampuan, yakni Yudistira atau Puntadewa yang
merupakan kakaknya sendiri. Secara ringkas, dialektika memandang apa pun yang
ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan melalui
langkah-langkah yang saling berlawanan”, sebagai ‘hasil dari, dan unsur dalam
sebuah proses yang maju lewat negasi atau penyangkalan”.[1]
Dialektika ialah proses dimana pengetahuan manusia terdahulu kemudian
dinegasikan oleh pengetahuan manusia yang baru dan bersifat berlawanan. Proses
dialktika menurut Hegel akan membuahkan pengetahuan absolut dalam diri manusia.
Manusia
seringkali digambarkan mendapatkan pengetahuan absolut berdasarkan prsoses
dialektika yang dilaluinya secara alami. Manusia mendapatkan pengetahuan awal
secara sendiri dan kemudian menegasikannya bersadarkan pengalamannya. Akan
tetapi, Mahabarata berusaha menggambarkan bahwa manusia tidak memperoleh
pengetahuan absolut secara alami. Dalam tiap waktunya, manusia mendapatkan
pengetahuan absolut tidak dengan sendirinya.
Manfaat
Tulisan
ini berusaha menggambarkan bahwa proses dialektika dalam diri manusia.
Dialektika merupakan bagian dari komunikasi intrapersonal. Komunikasi
intrapersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang, dimana
ia berperan sebagai komunikator maupun sebagai komunikan.[2]
Setiap manusia mengalami proses dialektika guna mendapatkan pengetahuan yang
absolut. Pada umumnya, dialektika dianggap sebagai proses pencarian pengetahuan
absolut yang hanya mengikutsertakan diri manusia itu sendiri sebagai pembentuk
pengetahuan awal dan juga negasi terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini memicu
pandangan bahwa diri manusia mampu memperoleh pengetahuan yang absolut tanpa
memerlukan campur tangan dari sesuatu yang lain. Kisah Mahabarata ikut
menceriterakan tentang proses dialektika yang berada dalam diri manusia.
Dialektika diwujudkan dalam kebimbangan Arjuna untuk melawan atau menghindari
diri dari posisi saling berhadapan dengan kakek yang disayanginya, Bisma, dan
kakak tertuanya, Karna. Arjua merasa berat hati untuk melawan keduanya. Dalam
kisah Mahabarata, proses dialektika menemukan makna lain yang sebelumnya tidak
begitu dianggap. Analisis terhadap kisah Mahabarata dapat menggambarakan secara
baik proses dialektika yang tidak hanya melibatkan diri seseorang saja sebagai
sumber pengetahuan.
Kerangka Konseptual
Tulisan
ini menggunakan konsep pemikiran Slavoj Zizek sebagai kerangka utama analisa. Slavoj
Zizek ialah seorang filsuf berkewarganegaraan Slovenia yang lahir pada tanggal
21 Maret 1949 di Ljubljana, Slovenia. Zizek menyelesaikan pendidikan sarjana,
magister, dan doktoral dalam bidang ilmu filsafat dan sosiologi di Universitas
Ljubljana. Di samping itu, ia juga mendapatkan gelar doktor dalam bidang
psikoanalisa di Universitas Paris VII. Pemikiran Zizek banyak dipengaruhi oleh
tokoh-tokoh filsafat lain, yakni Friedrich Hegel, Karl Marx, dan Jean Jacques
Lacan. Friedrich Hegel memengaruhi Zizek dalam hal metodologi, terutama tentang
proses dialektika. Slavoj Zizek dipengaruhi Karl Marx dalam hal ideologi.
Sedangkan, Jean Jacques Lacan memengaruhi Zizek terkait pemikirannya tentang
“Yang Imajiner”, “Yang Simbolik”, dan “Yang Nyata”. Slavoj Zizek dikenal
sebagai filsuf paling berbahaya di dunia Barat kini karena pemikirannya yang
memadukan Marxisme dan Strukturalisme.
Triad Lacanian
Jean
Jacques Lacan banyak memengaruhi Slavoj Zizek terkait konsep “Yang Imajiner”,
“Yang Simbolik”, dan “Yang Nyata”. Konsep yang diutarakan Jean Jacques Lacan
tersebut merupakan penyemangat bagi Zizek untuk memanaskan dan mengemukakan
kembali konsep tentang subyek. Sebelumnya, banyak filsuf yang telah berupaya
untuk mengagungkan ataupun menenggelamkan konsep subyek. Slavoj Zizek berusaha
merumuskan kembali konsep subyek yang sebenarnya berdasarkan pemikiran Lacan.
Triad
Lacanian menyatakan manusia sebagai subyek mengalami tiga tahap perkembangan.
Pada tahap awal, manusia mengalami fase yang dinamakan tahap imajiner. Tahap
imajiner terjadi saat manusia berusia sekitar 6 sampai dengan 18 bulan. Tahap
ini juga dikenal sebagai mirror stage.
Mulanya, manusia lahir tidak mengenal gambaran dirinya. Manusia baru mengetahui
dirinya saat melihat refleksi dirinya melalui cermin. Cermin yang dilihat
manusia dapat merupakan cermin sungguhan ataupun cermin dalam makna konotasi,
seperti diri orang lain. Kemudian, manusia merasa takjub akan gambaran dirinya
dalam cermin. Manusia memiliki hasrat untuk memilki kesatuan antara dirinya dan
refleksi dirinya dalam cermin. Pada tahap ini, manusia mengalami proses
alienasi dan tahap simbolik dimulai. Proses ini memaksa manusia untuk
menerjemahkan realitas yang terdapat di hadapannya. Hal ini membuat “Yang
Simbolik”, dalam hal ini bahasa, dengan mudah memasuki diri manusia. “Yang
Simbolik” adalah bagian dari Big Other
yang merupakan gambaran kekuasaan hal simbolik. Big Other dapat merujuk pada institusi hukum dan politik di
lingkungan sekitar subyek. Pemikiran manusia dipengaruhi oleh Chain Of Signifier, dimana signifier (penanda) dan signified (petanda) saling mengejar satu
sama lain untuk dapat memaknai segala hal. Manusia telah terjerat oleh “Yang
Simbolik” yang berada dalam dirinya. Kemudian, manusia memasuki tahap terakhir
dari Triad Lacanian, yakni tahap Yang Nyata. Tahap ini menyatakan bahasa sama
sekali belum masuk atau merupakan realita yang belum terbahasakan.[3]
Pada tahap ini, manusia menyadari tidak semua makna dalam dirinya dapat
terbahasakan. Makna yang tidak dapat terbahasakan tersebut layaknya sebuah
pulau tidak berpenghuni yang tidak dapat terjamah oleh berbagai pendatang.
Makna yang tidak dapat terbahasakan ini bersifat abadi sebab Chain Of Signifier mengalami lackness. Tahap Yang Nyata ini merupakan
tahap yang akan selalu dikejar oleh manusia. Tahap Yang Nyata membuat manusia
sadar bahwa tidak seluruh bagian dalam diri manusia dapat dikuasai oleh Big Other, simbol kekuasaan “Yang
Simbolik”. Oleh karena itu, setiap manusia tetap memiliki kuasa atas makna
dalam dirinya meski terdapat “Yang Simbolik”.
Authentic
Action
Subyek
akan selalu mengalami kegagalan untuk dapat merepresentasikan dirinya. Hal ini
disebabkan oleh “Yang Simbolik” dalam
diri subyek tidak dapat merepresentasikan diri subyek seluruhnya. Subyek
menyadari kekurangannya dan menerima kegagalannya. Akan tetapi, subyek akan
terus berusaha untuk melakukan pemenuhan atas kekurangannya. Oleh karena itu,
subyek yang menerima kegagalan tidak dapat dimaknai sebagai rasa menyerah.
Sebaliknya, subyek yang menemui kegagalan akan selalu berusaha melakukan
penolakan terhadap realitas yang dihadapinya.
Subyek
yang melakukan penolakan terhadap realitas menggambarkan bahwa terdapat
keoptimisan. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi kekurangannya meski
dihadapkan pada ketidakmungkinan. Kemudian, subyek melakukan action sebagai
bentuk perlawanan terhadap kekurangannya. Action yang dilakukan oleh subyek
tidak dapat memenuhi kekurangannya, tetapi memiliki makna yang sangat penting.
Menurut
Zizek, beberapa film Barat dapat menganalogikan usaha subyek untuk memenuhi
kekurangannya meski terbentur ketidakmungkinan. Dalam film-film tersebut,
subyek melakukan tindakan-tindakan radikal sebagai rasa optimis mampu memenuhi
kekurangan. Zizek menyatakan tindakan radikal tersebut sebagai usaha subyek
untuk meninggalkan “Yang Simbolik” lama dalam dirinya dan menjemput “Yang
Simbolik” baru. “Yang Simbolik” baru lebih dapat mengisi kekurangan dalam diri
subyek, meski tidak menghilangkan kekurangan tersebut.
Salah
satu film yang Zizek anggap tepat untuk menggambarkan usaha subyek memenuhi
kekurangannya ialah film General Della
Rovere. Film ini mengisahkan seorang pencopet amatir, bernama Bertone, yang
ditangkap oleh pasukan Gestapo Jerman. Bertone dipaksa untuk menyamar sebagai
individu lain oleh pasukan Gestapo. Bertone memutuskan untuk mengambil peran
sebagai Jendral Della Rovere. Sebagai Jendral Della Rovere, Bertone ditugaskan
untuk memata-matai pasukan musuh Jerman. Jendral Della Rovere merupakan sosok
idola Bertone, tetapi ia telah gugur dalam pertempuran. Bertone yang ditugaskan
sebagai mata-mata kemudian membelot. Bertone menikmati penyamarannya sebagai
Jendral Della Rovere meski harus meninggalkan identitas lamanya. Film ini
menunjukan bahwa diri manusia sebagai subyek lebih memilih untuk bertahan pada
peran palsunya daripada harus kembali pada dirinya sendiri yang bukan
siapa-siapa dan tidak berarti[4].
Selain
itu, Zizek juga memberikan contoh lain tentang kehendak bebas subyek dengan mengulas
film German, Year Zero. Film ini
mengisahkan tentang Edmund, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun. Dalam
banyak kesempatan, Edmund selalu diajarkan oleh gurunya untuk berusaha keras
memperjuangkan hidupnya dan cara mempertahankan hidup ialah dengan tidak
mengedepankan rasa belas kasih karena dapat membuat diri manusia lemah. Edmund
memiliki seorang ayah yang tengah mengalami sakit dan tidak memiliki tujuan hidup lebih lanjut.
Atas dasar ajaran gurunya, Edmund kemudian mengakhiri ajal ayahnya karena
menganggap ayahnya tidak berusaha memperjuangkan hidup dan dapat menimbulkan
kelemahan bagi dirinya. Setelah itu, Edmund yang diberikan label sebagai
seorang pembunuh oleh lingkungannya berusaha untuk bersosialisasi kembali
dengan teman sebayanya. Tetapi, teman sebayanya menolak Edmund karena merasa
takut akan tindakan yang dilakukan oleh Edmund. Edmund yang terus mengalami
penolakan dalam dunia sosial kemudian memutuskan untuk mengakhiri riwayatnya.
Ia melakukan bunuh diri dengan cara terjun dari gedung yang memilki ketinggian.
Tindakan yang dilakukan oleh Edmund ialah bentuk kehendak bebas. Ia melakukan
action, dalam hal ini bunuh diri, untuk menjemput “Yang Simbolik” baru, yakni
kehidupan sesudah kematian. Ia merasakan “Yang Simbolik” lama, yakni kehidupan
masa kecilnya yang susah, tidak dapat lagi memenuhi kekurangannya. Oleh karena
itu, Edmund melakukan aksi bunuh diri sebagai kehendak bebasnya untuk melakukan
penjemputan terhadap “Yang Simbolik” baru. Ia berharap “Yang Simbolik” baru
dapat memenuhi kekurangan yang dialaminya selama ini.
Film-film
tersebut menunjukkan bahwa subyek dapat menolak keberadaan dirinya sendiri agar
dapat memenuhi kekurangannya. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi
kekurangannya dan diwujudkan dalam bentuk action.
Action yang dilakukan oleh subyek ialah kehendak bebas. Dalam melakukan action, subyek tidak dipaksa oleh
siapapun dan dengan sadar melakukannya. Action
yang dilakukan oleh subyek memiliki dimensi yang tidak dapat diperkirakan.
Subyek yang melakukan action dapat
menunjukkan bahwa subyek memiliki keinginan untuk memutus rantai ikatannya
dengan “Yang Simbolik” lama. Kemudian, subyek berusaha memperoleh “Yang
Simbolik” baru, meski akan mengalami kehilangan identitas dirinya yang lama.
Hal ini menunjukkan subyek dalam pemikiran Zizek ialah subyek yang optimis dan
juga berani. Subyek memiliki keberanian dan ditunjukkan melalui action.
Vanishing
Mediator
Tindakan
authentic action seorang subyek dapat
dipengaruhi oleh vanishing mediator. Vanishing mediator merupakan salah satu
konsep hasil pemikiran Slavoj Zizek. Vanishing
mediator adalah sebuah konsep ketika seseorang bernegosiasi dan terbiasa
dengan suatu hal, masa transisi dari konflik mengenai hal tersebut akan
menghilang.[5]
Dalam konsep ini, Slavoj Zizek ikut menemukan pemikiran Friedrich Hegel
mengenai dialektika. Vanishing mediator akan mengarahkan manusia untuk meraih
pengetahuan yang sebenar-benarnya atau menempatkan manusia kepada “Yang
Simbolik” lain.
Diskusi
Setelah
menghadirkan Dewa Darma dan Dewa Bayu, Dewi Kunti memohon anugrah keturunan
dari Dewa Indra. Dewa Indra merupakan dewa yang menjadi pemimpin perang para
Dewa. Dewa Indra kemudian memberikan karunia kepada Kunti, yakni seorang anak
bernama Arjuna. Seperti halnya Dewa Indra, Arjuna juga memiliki kemahiran dalam
mempergunakan berbagai peralatan perang, khususnya panah.
Dalam
kisah Mahabarat, Arjuna memegang peranan penting dalam usaha Pandawa merebut
kekuasaan kerajaan Hastinapura. Arjuna menjelma menjadi ksatria terhebat dalam
kubu Pandawa. Selain hebat, Arjuna juga diliputi oleh rasa kasih sayang,
terlihat dengan rasa hormatnya terhadap pemimpin perang para Kurawa yang
merupakan kerabatnya sendiri.
Pembentukan Diri Arjuna
Sebagai Subyek
Sebagaimana
manusia lain, Arjuna juga mengalami tahap-tahap perkembangan manusia menjadi
subyek. Tahap imajiner atau mirror stage
berlaku bagi Arjuna saat ia melihat gambaran dirinya melalui cermin. Cermin
yang menggambarkan Arjuna dapat cermin dalam arti sebenarnya ataupun cermin
dalam makna lain, seperti manusia lain. Cermin yang dilihat Arjuna ialah sosok
ayahnya, Pandu. Pandu ialah pribadi yang pintar dan memiliki sifat bijaksana, sabar,
dan penuh kasih sayang. Kemudian, Arjuna merasa takjub akan penggambaran
dirinya melalui cermin. Hal ini memunculkan keinginan Arjuna untuk
mempersatukan dirinya dengan refleksi dirinya dalam cermin.
Saat
Arjuna berusaha mempersatukan dirinya dan refleksi dirinya dalam cermin, “Yang
Simbolik” memasuki diri Arjuna. “Yang Simbolik” adalah bahasa yang berusaha
merepresentasikan keberadaan makna dalam diri manusia. “Yang Simbolik” membantu
Arjuna untuk merepresentasikan dirinya sesuai dengan cermin yang ia lihat saat
tahap mirror stage. Dalam diri
Arjuna, “Yang Simbolik” menghasilkan Chain
Of Signifier. Chain Of Signifier berusaha
membuat segala pemaknaan akan realitas yang dihadapi oleh subyek. Meski
demikian, Chain Of Signifier dapat
mengalami lackness. Hal ini
dikarenakan tidak semua makna dapat diproduksi oleh Chain Of Signifier. Subyek memiliki sebuah wilayah dalam dirinya
yang tidak dapat dimasuki oleh “Yang Simbolik”. Wilayah ini seperti pulau tidak
berpenghuni yang tidak dapat terjamah oleh para pendatang, dalam hal ini “Yang
Simbolik”. Wilayah ini bersifat abadi dan tidak dapat ditembus oleh “Yang
Simbolik”.
Tahap
dimana terdapat makna yang tidak dapat terbahasakan oleh “Yang Simbolik”
disebut sebagai tahap Yang Nyata dalam Triad Lacanian. Tahap Yang Nyata akan
terjadi saat subyek menydari bahwa terdapat makna dalam dirinya yang tidak
dapat disentuh oleh “Yang Simbolik”. “Yang Simbolik” memang akan selalu mengisi
diri subyek dan berusaha memberikan pemahaman. Tetapi, “Yang Simbolik” tidak
dapat menguasai pemaknaan dalam diri subyek sepenuhnya. “Yang Simbolik” tidak mampu
menjamah wilayah makna dalam diri subyek seutuhnya. Oleh karena itu, subyek
pada dasarnya memiliki kuasa atas dirinya meski telah dimasuki oleh “Yang
Simbolik”.
Saat
berada dalam medan perang Baratayuda, Arjuna tengah berada dalam tahap Yang
Nyata. Hal ini dinyatakan dengan keengganan dan rasa berat hati Arjuna untuk
berhadapan dengan kakek yang disayanginya, yaitu Bisma, dan saudaranya, Karna.
Arjuna tidak dapat membahasakan realita yang berada di hadapannya. Hal ini
dikarenakan “Yang Simbolik” yang berada dalam diri Arjuna tidak mampu
merepresentasikan makna yang ada. “Yang Simbolik” berada dalam diri Arjuna
merupakan simbolik-simbolik yang berkaitan dengan sifat kasih sayang. “Yang
Simbolik” mengisi diri Arjuna merupakan simbolik-simbolik yang berkaitan dengan
refleksi dirinya dalam cermin, yakni Pandu. Arjuna yang sebenarnya ksatria
hebat telah dipenuhi oleh rasa kasih sayang.
Arjuna
yang juga merupakan anugrah dari Dewa Indra, sebenarnya mewarisi berbagai sifat
Dewa Indra. Dewa Indra dikenal sebagai pemimpin perang para Dewa. Dewa Indra
memiliki fungsi demikian karena ia memiliki kekuatan yang yang sangat luar
biasa. Sifat Dewa Indra sebagai ksatria terwarisi dalam diri Arjuna. Arjuna
memiliki berbagai kemahiran dalam menggunakan peralatan perang. Akan tetapi,
Arjuna merefleksikan gambaran dirinya melalui ayahnya, Pandu, sehingga ia
kehilangan identitasnya sebagai seorang ksatria.
“Yang Simbolik” dalam diri Arjuna
tidak dapat merepresentasikan makna dalam diri Arjuna. Arjuna menyadari hal
tersebut karena ia memiliki kuasa akan dirinya. Diri Arjuna tidak dikuasai oleh
“Yang Simbolik” secara utuh. Oleh karena itu, ia membutuhkan “Yang Simbolik”
lain guna merepresentasikan makna dalam dirinya yang tidak dibahasakan oleh
‘Yang Simbolik” lama.
Kehadiran Krishna
Sebagai Vanishing Mediator
Dalam
pemikiran Zizek, Vanishing Mediator
ialah suatu hal dalam masa transisi yang akan memengaruhi subyek. Setelah masa
konflik tersebut usai, Vanishing Mediator
akan menghilang karena telah berhasil menjalankan perannya. Arjuna memerlukan
seorang Vanishing Mediator guna
mengakhir dialektika dalam dirinya. Pada perang Baratayuda, dalam diri Arjuna
terus berkecamuk oleh dialektika yang berada dalam pemikirannya. Arjuna terus
memikirkan tindakan yang harus ia lakukan terkait tugasnya memerangi Bisma dan
Karna. Di satu hal, ia masih berhadapan dengan “Yang Simbolik” dalam dirinya
yang menyatakan bahwa ia harus memiliki rasa kasih sayang dan menolak berperang
dengan Bisma dan Karna. Tetapi, pengetahuan tersebut dinegasikan oleh pengetahuan
lain, dimana Arjuna harus memerangi Bisma dan Karna guna membantu kakaknya,
Yudistira, mendapatkan tahta Hastinapura yang memang merupakan haknya.
Dalam
masa konflik pemikiran tersebut, Krishna hadir sebagai seorang Vanishing Mediator. Pada masa perang
Baratayuda, Krishna berperan sebagai pengatur siasat para Pandawa dan juga
kusir kereta perang Arjuna. Krishna berjanji untuk tidak ikut serta dalam
peperangan sehingga tidak turun langsung untuk berperang. Krishna merupakan
salah dari sepuluh titisan Dewa Wishnu. Krishna merupakan saudara sepupu dari
para Pandawa. Tali persaudaraan tersebut terbentuk karena Dewi Kunti ialah
saudara dari kedua orangtuanya. Dalam agama Hindu, sebagian besar umat
menganggap Dewa Wishnu merupakan Dewa tertinggi dan representasi dari Tuhan
Yang Maha Esa. Keberadaan Krishna dalam perang Baratayuda dapat dikatakan
sebagai campur tangan Tuhan Yang Maha Esa dalam memberikan pelajaran kepada
seluruh manusia.
Arjuna
yang tengah berada dalam konflik pemikiran yang sangat rumit kemudian diberikan
pencerahan oleh Krishna. Krishna berusaha menghadirkan “Yang Simbolik” baru
kepada Arjuna. Arjuna kemudian menegasikan “Yang Simbolik” lamanya tersebut
dengan pengetahuan baru yang dihadirkan oleh Krishna. Krishna menerangkan
bahwasannya sifat kasih sayang memang harus ada di dalam dunia ini. Tetapi,
Arjuna berperan sebagai seorang ksatria dalam perang Baratayuda sehingga harus
menjalankan perannya. Krishna menjelaskan bahwa benih-benih kebatilan yang berada
dalam benak para Kurawa harus dilenyapkan. Kebatilan tersebut harus dilenyapkan
meski harus berhadapan dengan kerabat sendiri.
Krishna
berusaha menanamkan kepada diri Arjuna bahwa tindakan yang paling benar
dilakukan oleh Arjuna ialah berperang melawan Bisma dan Karna. Meski, Bisma dan
Karna adalah kerabat Karna tetapi mereka berada dalam pihak yang berlawanan
dengan kebenaran. Krishna menghadirkan hal yang demikian juga agar menjadi
petuah dan pembelajaran bagi manusia bahwa segala macam kebatilan pada akhirnya
akan dihapuskan oleh tindakan kebenaran seorang ksatria.
Arjuna Melakukan Authentic Action
Dalam
kerangka konsep telah dijelaskan bahwa Zizek menganggap subyek memiliki rasa
optimis dan keberanian. Subyek memiliki kesadaran bahwa dirinya akan selalu
dihadapkan pada kekurangan. Subyek menerima kekurangannya tetapi tidak berhenti
untuk menyerah. Subyek memiliki rasa optimis untuk memenuhi kekurangannya meski
akan terus dihadapkan pada ketidakmungkinan. Subyek merasa perlu untuk
menjemput “Yang Simbolik” baru. Subyek optimis bahwa “Yang Simbolik” baru dapat
memenuhi kekurangannya dibanding “Yang Simbolik” lama lakukan. Subyek memiliki
keberanian untuk memutus ikatan dengan “Yang Simbolik” lama walau akan
kehilangan identitas terdahulunya yang mungkin sangat berharga.
Arjuna
merupakan subyek yang sadar bahwa dirinya telah dihinggapi oleh berbagai
kekurangan. Arjuna menyadari bahwa tidak dapat membahasakan realitas yang
dihadapinya dalam medan perang Baratayuda. Ia menerima kekurangannya, tetapi
tidak mneyerah begitu saja. Subyek dalam pemikiran Zizek ialah subyek yang
optimis. Arjuna yang tengah menerima kekurangannya, tetap berjuang dengan
sepenuh hati guna menemukan “Yang Simbolik” baru yang dapat mengisi kekurangan
representasi makna dalam dirinya. Krishna hadir sebagai vanishing mediator dan menghadirkan “Yang Simbolik” baru yang dapat
membahasakan realitas yang berada di hadapan Arjuna.
Arjuna
sebagai subyek yang optimis kemudian menjemput “Yang Simbolik” baru. Selain
optimis, Arjuna dapat dikatakan sebagai subyek yang berani. Arjuna telah
melakukan suatu tindakan yang berani dengan menjemput “Yang Simbolik” baru dan
memutus rantai ikatan “Yang Simbolik” lama. Ia berani untuk meninggalkan “Yang
Simbolik” lama yang dapat saja mengandung hal yang sangat berharga dirinya. Ia
menjemput “Yang Simbolik” baru dan mewujudkan dalam bentuk tindakan. Arjuna
yang telah mendapatkan pengetahuan baru kemudian menegasikan pengetahuannya
tersebut dengan pengetahuannya yang lama. Jika dahulu, ia ragu untuk bertarung dengan
Bisma dan Karna karena dirinya diliputi oleh rasa kasih sayang. Maka, “Yang
Simbolik” baru menghadirkan pengetahuan bahwa kebatilan harus ditumpas meski
harus melawan kerabat sendiri. Arjuna memperoleh pengetahuan absolut dan
mewujudkannya dalam bentuk keberanian melawan Bisma dan Karna.
Atas
bantuan Srikandi, Arjuna berhasil mengalahkan kakek yang disayanginya, Bisma.
Di samping itu, ia juga berhasil mengalahkan Karna dengan kesaktian ilmunya.
Hal ini telah menunjukkan bahwa Arjuna telah menemukan representasi makna dalam
dirinya yang selama ini belum dapat terbahasakan, yakni menjadi ksatria yang sesungguhnya
dalam medan perang. Arjuna harus dapat mengorbankan rasa kasih sayangnya agar
dapat mewujudkan cita-cita yang luhur, yakni menegakkan keadilan dan hak nya
yang telah terenggut oleh para Kurawa.
Krishna Sebagai Campur
Tangan Tuhan Dalam Dialektika Manusia
Krishna
sebagai pemberi jalan pengetahuan bagi Arjuna tidak dapat dipandang sebagai vanishing mediator saja. Krishna
merupakan titisan Dewa Whisnu yang seringkali disenut sebagai representasi
Tuhan Yang Maha Esa. Kehadiran Krishna dalam memberikan jalan bagi dialektika
Arjuna agaknya menggambarkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebenarnya hadir dalam
prosese pembentukan pengetahuan absolut manusia. Tuhan Yang Maha Esa berperan
serta aktif dalam menunjukkan jalan pengetahuan bagi manusia. Oleh karena itu,
selain menunjukkan nilai luhur mengenai kebenaran, kejujuran, dan kepahlawanan,
Mahabarata juga tampaknya merupakan kisah yang berusaha menggambarkan perannan
Tuhan Yang Maha Esa dalam memecah dialektika manusia.
Kesimpulan
Mahabarata
ialah kisah warisan dunia yang banyak memberikan banyak pembelajaran terhadap
umat manusia. Mahabarata memberikan pelajaran berupa penggambaran tentang
kebenaran yang akan selalu mengalahkan kebatilan. Selain itu, Mahabarata juga
menggambarkan secara baik dialektika yang terjadi dalam diri manusia.
Dialektika akan selalu hadir dalam pemikiran manusia guna membantu manusia
mendapatkan pengetahuan yang absolut. Dalam kisah Mahabarata, proses dialektika
digambarkan dalam diri Arjuna. Arjuna merupakan salah satu di antara Pandawa
yang ikut berusaha merebut kekuasaan kerajaan Hastinapura dari tangan para
Kurawa. Kekuasaan Hastinapura selayaknya dimiliki oleh para Pandawa karena ayah
para Kurawa, Drestarata, hanya bertugas menjaga tahta kerajaan yang sebelumnya
diduduki oleh ayah para Pandawa, yakni Pandu. Anak-anak Drestarata, para
Kurawa, merasa berhak akan tahta itu kemudian terjadi perselisihan akan suksesi
tahta. Para Pandawa berusaha memperjuangkan hak nya dan menjadikan Yudistira,
kaka tertua para Pandawa, sebagai raja Hastinapura yang baru. Perjuangan ini
menempuh berbagai halangan hingga akhirnya berujung konflik pada perang
Baratayuda.
Arjuna
merupakan salah satu Pandawa yang ikut memperjuangkan hak nya terhadap para
Kurawa. Dalam medan perang, Arjuna dihantui oleh kebimbangan. Arjuna dilanda
oleh rasa bimbang karena ia harus bertempur melawan kakek yang disayanginya,
Bisma, dan kakak yang baru ditemuinya, Karna. Ia merasa berat hati untuk
melawan kedua ksatria tersebut. Arjuna harus melawan keduanya karena Bisma dan
Karna berdiri di pihak Kurawa. Di lain hal, Arjuna harus tetap bertempur
melawan keduanya guna memperoleh tahta Hastinapura kembali dari tangan Kurawa
dan menjadikan kakak tertuanya, Yudistira atau Puntadewa, sebagai raja
Hastinapura.
“Yang Simbolik” dalam diri Arjuna tidak dapat
membahasakan realitas yang dihadapi olehnya seperti demikian. Arjuna sedang
berdialektika karena dalam dirinya berkecamuk pengetahuan yang lama, yakni
representasi dirinya terhadap Pandu, dan “Yang Simbolik” baru, yaitu keinginan
dirinya untuk menjadikan kakaknya, Yudistira, sebagai pemegang kuasa kerajaan
Hastinapura yang baru. “Yang Simbolik” tersebut terus berkecamuk dalam diri
Arjuna hingga membuat ia bimbang.
Kemudian,
Krishna sebagai titisan Dewa Wishnu memberikan pengarahan kepada Arjuna guna
memeproleh pengetahuan baru yang bersifat absolut. Arjuna sebagai manusia dan
subyek tidak mampu untuk mendapatkan pengethaun absolut atas
pengetahuan-pengetahuan yang saling bernegasi dalam dirinya. Krishna bertindak
sebagai Vanishing Mediator
menunjukkan kepada Arjuna “Yang Simbolik” baru dan berusaha mengarahkan diri
Arjuna pada hal tersebut. Arjuna sebagai subyek memiliki kuasa atas dirinya
untuk memutus “Yang Simbolik” lama dalam dirinya guna memperoleh pengetahuan
baru yang absolut. Oleh karena itu, ia kemudian melepaskan rantai pengekang
dari “Yang Simbolik” lama untuk menjemput “Yang Simbolik” baru yang dihadirkan
oleh Krishna.
Krishna
menghadirkan “Yang Simbolik” baru berupa pengetahuan bahwa rasa kasih sayang
seperti “Yang Simbolik” lama memang diperlukan oleh diri manusia. Tetapi,
Arjuna sebagai harus tetap menunaikan perannya untuk menumpas segala angkara
murka meski harus berhadapan dengan kerabat dekatnya sekalipun. Arjuna sebagai
subyek sadar akan kekurangan representasinya terdahulu. “Yang Simbolik” lama
tidak berhasil membahasakan diri Arjuna yang sebenarnya memiliki jiwa ksatria.
Arjuna sebagai obyek yang optimis kemudian berani melepas segala belenggu “Yang
Simbolik”. Arjuna menjemput “Yang Simbolik” baru yang dihadirkan oleh Krishna. Tindakan
peralihan Arjuna kepada :Yang Simbolik” yang baru merupakan hal yang baru
karena ia dapat saja meninggalkan hal-hal terdahulu yang sangat berharga bagi
dirinya.
Arjuna
yang telah melakukan peralihan, kemudian mengisi dirinya dengan “Yang Simbolik”
baru. “Yang Simbolik” baru mampu mengisi ruang dalam diri Arjuna sebagai
ksatria yang tidak dapat terbahasakan oleh “Yang Simbolik” lama. Perpindahan
Arjuna kepada “Yang Simbolik” baru banyak dipengaruhi oleh Krishna. Arjuna
sebagai manusia telah banyak diarahkan oleh Krishna yang merupakan perwujudan
Tuhan Yang Maha Esa guna mendapatkan pengetahuan yang sebanar-benarnya.
Mahabarata
banyak memberikan penjelasan tentang proses dialektika dalam diri manusia.
Manusia direpresentasikan dalam bentuk Arjuna, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa
direpresentasikan dalam wujud Krishna yang memang merupakan titisannya. Melalui
penggambaran Krishna, Mahabarata berusaha menghadirkan pemahaman bahwa
pengetahuan absolut manusia tidak hanya terbentuk atas pengetahuan yang
didalami oleh manusia, melainkan juga atas campur tangan Tuhan Yang Maha Esa,
yang digambarkan melalui Krishna.
Daftar Pustaka
Dr. Purwadi, M. H. (2004). Mahabarata. Yogyakarta:
Media Abadi.
Efendi, E. (2011).
Kehadiran Subyek Di Tengah Kekosongan : Subyek Dialektis Menurut Slavoj
Zizek , 75.
Jayanti, S. M.
(2012). Problematika Fantasi dan Emansipasi Dalam Pemikiran Slavoj Zizek
, 57.
Kingsland, V. M.
(1997). Simple Guide To Hinduism. Kent: Global Books Limited.
Kristiatmo, T.
(2007). Redefinisi Subyek Dalam Kebudayaan : Pengantar Memahami
Subyektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek. Bandung : Jalasutra.
Mazdalifah. (2004).
Komunikasi Intrapersonal Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi Komunikasi
, 5.
Suseno, F.-M.
(1999). Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yusari, I. (2012).
Subyek Menurut Slavoj Zizek. Subyek Dalam Pemikiran Slavoj Zizek , 74.
[1] Franz-Magnis Suseno dalam Pemikran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis
Ke Perselisihan Revisionisme, 1999.
[2] Mazdalifah dalam jurnal Komunikasi
Intrapersonal Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi Komunikasi, 2004.
[4] Slavoj Zizek dalam skripsi Indah Yusari berjudul Subyek Dalam Pemikiran Zizek, 2012.
[5] Thomas Kristiatmo. Redefinisi Subyek Dalam Kebudayaan : Pengantar
Memahami Subyektivitas Modern Menurut Perspektif Slavoj Zizek. 2007.
Framed and Mounted: Sport on The Photographic Eyes
Jennifer Hargreaves (1993) menyatakan,
bahwa majalah dan koran olahraga semakin berkembang dan semakin banyak
jumlahnya. Tapi yang selalu terlihat untuk atlit wanita adalah sisi feminiti
nya dibandingkan dengan sisi atletik/olahraga nya. Contoh, ada atlit wanita dan
atlit pria yang berfoto bersama dalam satu frame, namun atlit pria yang lebih
mendominasi atau menonjol dan atlit wanita seperti pendukung; foto atlit pria
yang dikelilingi dan dikagumi oleh banyak wanita-wanita disekililingnya; foto
atlit wanita yang sedang menangis terharu dan di rangkul atau dekati oleh suami
atau kawanan atlit lainnya; yang mana sama sekali tidak menunjukkan
keterkaitannya dengan olahraga; dalam konteks domestik, hamil atau mempunyai
anak; dan foto-foto dari atlit wanita yang lebih menonjolkan dari sisi make up, hair do, dan wardrobe.
Momen-momen epicolahraga, dari proses, puisi, gambar bergerak, hal-hal yang
paling dikenang hanya dapat ditangkap dan masih oleh fotografi.Pandangan
mengenai ‘frozen in time’ adalah
sebuah gesture atau gimik terkenal yang mampu menyampaikan sejarah, emosi, dan perasaan
unik. Salah satu yang paling berkesan adalah momen ‘black power’oleh Tommie Smith dan John Carlos pada podium
kemenangan di Olimpiade Meksiko 1968 (Given 1995; Johnson dan Roediger 2000;
Guttmann 2002), yang pada 1990-an, telah dimasukkan ke dalam Kampanye pemasaran
leisurewear korporat sebagai gambar chic radikal hitam funky (McKay 1995).
Objek yang paling penting dalam fotografi
olahraga instrumen utama olahraga, yaitu tubuh manusia. Raga olahragawan
diamati dengan seksama melalui gambar
yang mencolok yang menarik kekuatan mereka bukan hanya dari aksi, tapi dengan
mengenali tubuh yang dicitrakan pada masalah dan identitas sosial yang lebih
luas. Oleh karena itu tubuh dalam
fotografi olahraga selalu diinvestasikan dengan peran representasional yang
lebih luas seperti seksualitas, gender, rasial, dan sebagainya. Seperti media
olahraga yang tertulis, foto dapat diklasifikasikan menurut genre dan sub-genre,
maisng-masing memiliki kualitas, motif , dan kemiripan yang berbeda.
Hal ‘utama’ masih tentang teks fotografi
olahraga yang ditangkap, 1) menarik perhatian kita, 2) citra yang mengubah
pembaca saat mereka membuka halaman melalui kekuatan visual dan emosional yang
sesungguhnya, dan memiliki kemampuan membuat kita merasa ingin berada disana 3)
bahkan ketika kita disana, kita juga melihatnya dengan cara yang sama.
Melihat dan mencitrakan tubuh pria
merupakan aspek integral dari budaya seputar musik populer pasca perang.Pemirsa
'dewasa' juga dipenuhi oleh berbagai genre melalui tokoh pria (lagi-lagi,
biasanya putih) seperti Jon Bon Jovi, Chris Isaak dan Mick Jagger, meskipun
pemusik hitam seperti almarhum Marvin Gaye dan Lionel Ritchie juga memiliki
peran sebagai berikut. Olahraga adalah domain tradisional di mana pria dapat
melihat dan bahkan menyentuh atau merangkul pria lain tanpa stigmatisasi
homofobia. Selanjutnya, tipikal 'ahli', penggemar olahraga pria yang sebenarnya
'secara resmi' memandang tubuh olah raga laki-laki secara teknis daripada
estetika atau erotis. Tubuh adalah instrumen pertunjukan olahraga tertinggi
daripada undangan untuk memenuhi hasrat. Dengan berpotensi membuka diri
terhadap 'feminisasi' citra tubuh mereka dengan digambarkan secara seksual,
olahragawan berusaha melawan proses semacam itu dengan melakukan sesuatu - apa
saja - dan bukan hanya menerima tatapan.
Terdapat sebuah contoh kasus terhadap
seorang Andrew Ettingshausen. Miller (1998) meneliti secara terperinci kasus
penghinaan yang terkenal di mana Ettingshausen berhasil menggugat majalah HQ
pada tahun 1993 karena menerbitkan fotonya telanjang di kamar mandi tanpa
seizinnya. Sementara dia membiarkan dirinya tampil di berbagai media lainnya
untuk majalah wanita yang dengan jelas memanfaatkan daya tarik seksnya (pembaca
majalah Cleo edisi Australia pernah memilihnya sebagai 'Sexiest Man Alive').
Kasus ini menyoroti tiga bidang utama
sensitivitas yang telah kita lihat berlaku di saat melakukan memotretan tubuh
laki-laki dalam bidang sport: mencegah pandangan alat vital, menghindari saran
tentang ketidakpedulian atau ketidakberdayaan, dan berkonsentrasi pada daya
tarik heteroseksual dan homoseksualnya. Miller mengatakan bahwa model pin-up
pria menggambarkan ketidakamanan, ketidakstabilan, dan kontradiksi
maskulinitas.Berlawanan dengan ikon maskulin konvensional, model pin-up lebih
mengamankan tubuh.
Gambaran Rodman yang beredar dengan mudah
di surat kabar, majalah dan buku, termasuk karya akademis seperti Baker dan
Boyd's (1997) Out of Bounds: Olahraga, Media dan Politik Identitas, tampak
menggambarkan bicepsnya dan menggigit rantai logam, jelas merupakan
keberangkatan utama dari gambar olah raga tradisional yang ortodoks yang masih
merupakan bagian besar dari fotografi olahraga.
Masih perlu ditanyakan bagaimana gambar
semacam itu bisa dibaca sebagai indeks keadaan maskulinitas olahraga.Salah satu
tanggapan yang jelas adalah dengan memastikan bahwa mereka hanya efek dari
mesin media olahraga Amerika, sebuah 'pertunjukan aneh' yang dirancang untuk
memberi status selebriti kepada para ekshibisi yang menginginkan publisitas.Diperkirakan
bahwa citra sport imageakan memainkan peran yang lebih menonjol dalam mencatat
perubahan budaya dan menantang ideologi sosial yang ada. Citra olahraga
maskulin semakin terstimulasi dimana 'berkat komodifikasi subjek laki-laki,
laki-laki dibawa ke dalam terang narsisisme dan pembelian.
Transformasi modernitas dan postmodernitas
telah bergema melalui 'budaya tubuh' dari berbagai masyarakat dan zaman
(Eichberg 1998). Tingkat otot yang tinggi di kalangan wanita sering digambarkan
sebagai sesuatu yang aneh dan 'sosok yang mirip laki-laki', dan secara homofobia
dicemooh sebagai tanda lesbianisme (Wright and Clarke 1999; Miller 2001). Dalam
menghadapi permusuhan yang memperparah media tersebut, seringkali ada upaya
untuk memulihkan tubuh wanita berotot yang dicitrakan untuk model biner pria
maskulin dan wanita feminin konvensional.
Tapi, seperti kata pepatah lama, 'sebuah
gambar menceritakan seribu kata', dan di majalah binaraga, ini menceritakan
sebuah kisah yang mencoba membawa kembali struktur kekuatan gender.Sementara,
dalam satu cara, kata-kata tertulis tersebut berfungsi untuk memecah subkultur
yang didominasi oleh batas-batas kaku yang berfungsi untuk menahan dan
membangun gender sesuai dengan sistem kekuasaan yang dinegosiasikan seputar
perbedaan seksual.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana sebuah foto olahraga menjadi sesuatu yang bersifat seksual dan
erotis.Sebagai disiplin yang berhubungan dengan tubuh seseorang, keseksian bisa
menjadi produk kedua dari ekspresi sensual tubuh seorang dalam bidang olahraga
di beberapa cabang olahraga, dan ini tidak bisa terpisahkan.
Bab ini berkonsentrasi pada 2 tipe foto
olahraga. Yang pertama adalah aksi dari fotografi itu sendiri dan yang kedua
adalah bahwa gambar olahragawan dan wanita mengambil banyak bentuk, seperti
gambar pin-up dan estetika. Foto-foto ini bergantung pada representasi aspek
olahraga yang dapat dikenali, seperti tubuh atlet terkenal atau 'tanda-tanda'
olahraga seperti seragam atau peralatan.Pada olahraga itu sendiri.Posh'n'Becks
sebelumnya dan sejak dulu merupakan media yang bisa menarik perhatian banyak
orang untuk materi fotografi. Pernikahan mereka di kastil Irlandia tahun 1999,
misalnya, menarik liputan media yang besar, dengan gambar pernikahan terjual
secara eksklusif seharga £ 1 juta untuk OK! Majalah, yang masalah pernikahannya
pada gilirannya terjual antara 350 dan 400 kali lebih banyak dari biasanya
(Cashmore 2002: 32-3).Teks semacam itu, dengan koneksi yang lebih kuat atau
lemah terhadap olahraga, tersebar di seluruh media, dengan olahraga sebagai
fokus atau sebagai aspek tambahan yang membantu mengamankan ketertarikan dengan
asosiasi.Fungsi asosiatif inilah yang sangat penting bagi citra iklan
menggunakan olahraga sebagai elemen kunci dalam menangani konsumen potensial.
Penggunaan iklan dan promosi gambar diam
atlet pria kulit hitam disebutkan di atas sebagai salah satu praktik paling
umum dalam persuasi konsumen kontemporer.Sebagai contoh ada bola basket
pensiunan Michael Jordan yang meng-endorsing produk Nike.Atlet pemenang
multi-medali Carl Lewis memodelkan rangkaian Nike 'Apparel', sementara Tiger Woods tampaknya mencakup
seluruh blok kedai Madison Avenue. Dapat dikatakan bahwa gambaran positif
semacam itu dari kelompok minoritas yang tunduk pada rasisme dan kecurigaan
yang mendalam dalam budaya putih dominan merupakan tanda baik kemajuan sosial.
Namun, seperti yang diamati oleh McKay (1995: 192), gambar menarik orang kulit
hitam yang sangat istimewa memompa keluar slogan seperti 'Just do it' (Nike),
'There is no limit (Puma) dan ‘Life is short. Play hard’ (Reebok)membantu
menyembunyikan keterasingan. Bagi Boyd (1997 dan juga Maharaj 1997), hasil
pemilihan dan dekontekstualisasi aspek budaya laki-laki kulit hitam, dihubungkan
dengan aspek olahraga yang menarik, dan kemudian menggabungkan kombinasi
tersebut menjadi ikonografi konsumen (terbentang dari ortodoks ke sosok yang
lebih mengancam Dari 'nigga yang buruk') bukanlah pembebasan dan peningkatan
minoritas tertindas, namun komodifikasi dan ekspektasi perbedaan dan hambatan
mereka (Marquesee 1999).
Bagian ini tidak melakukan tinjauan
menyeluruh tentang setiap jenis dan genre foto olahraga dan cara membacanya,
melainkan untuk menunjukkan bagaimana mereka berkembang biak di media dan
dikaitkan dengan penayangan, ideologi, mitos, dan teks-teks lain yang berbeda dan
menjadikan mereka komponen penting dari budaya
kontemporer.
Monday, November 21, 2016
We Are Social 2016
Digital sosial adalah hal yang terbendung sampai saat ini. Banyak hal yang bisa dilakukan dan banyak yang bisa bersifat merusak. Berikut ini adalah beberapa laporan bagaimana digital sosial ini merambah masyarakat kita. we-are-social-digital-in-2016
Sunday, May 01, 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)
This blog migrated to https://www.mediologi.id. just click here
-
What Is Post-Structuralist Feminist Discourse ? In recent years, a number of doctoral and post-doctoral students have begun to explore an...
-
Komunikasi massa global merupakan hal yang nyata untuk sekarang. Dapat dikatakan bahwa komunikasi massa yang bersifat global merupakan fakta...
-
PENDAHULUAN [1] Perkembangan infrastruktur komunikasi dan telekomunikasi sekarang ini sedang mengalami perkembangan yang pesat...